Share

Duka Sang Putri Tertawan
Duka Sang Putri Tertawan
Author: Lilia

Bab 1

Author: Lilia
Bagi dunia, aku adalah Sofia Permana, si putri keluarga yang liar dan mempesona. Vincent Dirgantara adalah pewaris mafia, dingin, terkontrol, dan gambaran sempurna dari pengendalian diri.

Tapi setiap malam, dia mencengkeram pinggangku, meniduriku sampai kakiku lemas sambil terus berbisik memanggilku, "Putri."

Dia hanya tidak tahu bahwa dua minggu lagi aku akan menikah dengan pria lain.

Seprai masih lembap oleh panas yang baru saja kami bagi. Aku berbaring di ranjang, mencoba mengatur napas sementara Vincent bangkit untuk berpakaian.

Dari sisi ranjang, aku memperhatikan jemari panjangnya yang cekatan mengancingkan kemejanya.

"Tidak menginap malam ini?" tanyaku.

"Ada rapat keluarga," jawabnya tanpa menoleh. "Bersikaplah baik."

Itu lagi.

Aku duduk, membiarkan seprai melorot sampai ke pinggang. Tangan Vincent sempat berhenti sebentar sebelum ia bergerak untuk mengikat dasinya.

"Vincent."

"Hm?"

"Tidak jadi."

Dia berbalik, menunduk, lalu menempelkan ciuman di dahiku. "Aku pergi."

Begitu pintu menutup, aku langsung meraih ponsel dan menekan nomor yang sudah sangat kukenal.

"Ayah, aku terima pernikahan bisnis itu. Dua minggu lagi aku akan menikahi pewaris Keluarga Nugraha yang sekarat di Arunika. Tapi aku punya satu syarat."

Di ujung sana, Hendra Permana terdengar girang. "Bagus! Sebutkan!"

"Kita bicarakan langsung."

Aku menutup telepon, lalu mataku jatuh pada ponsel Vincent yang tertinggal di meja samping tempat tidur.

Layar menyala oleh pesan baru.

Dari Isabel:

[Vincent, terima kasih sudah menemaniku ke rumah sakit hari ini. Dokter bilang pemulihanku berjalan baik, semua itu karena kamu. Aku ingin menonton film denganmu besok, seperti dulu.]

Diakhiri dengan emoji kecupan.

Aku menatap pesan itu, jemariku bergetar.

Vincent tidak pernah membawaku ke rumah sakit. Bahkan saat tulang rusukku patah saat latihan sekalipun.

Aku berpakaian dan diam-diam mengikuti mobilnya.

Dia berhenti di sebuah restoran Sunda yang hangat di Jalan Purnama. Dari kejauhan, aku melihatnya melangkah menuju seorang gadis bergaun putih.

Isabel.

Dia bahkan lebih kurus daripada di foto. Vincent mengulurkan tangan, menyelipkan helai rambut yang tertiup angin di belakang telinganya. Dia menyentuhnya seakan gadis itu terbuat dari kaca, rapuh dan mudah pecah.

Aku tidak pernah melihatnya selembut itu, kecuali saat kami di ranjang.

Tiga tahun lalu, ayahku mengirimku kepada Vincent. Waktu itu, melihat wajahnya yang tampan dan dingin saja sudah membuat lututku lemas.

"Sofia butuh pendidikan yang tepat tentang cara kerja keluarga kita," kata Hendra pada Vincent. "Dia terlalu liar. Hanya kamu yang bisa mengendalikannya."

Aku masih sembilan belas tahun saat itu, baru keluar dari sekolah asrama dan penuh pemberontakan. Kupikir Vincent hanyalah pria lain yang mencoba menjinakkanku.

Jadi aku memutuskan akan menjinakkannya terlebih dahulu.

Pertama kali kami bertemu, aku memakai rok mini ke kantornya hanya untuk memancing reaksi. Vincent duduk di belakang mejanya dan bahkan tidak repot-repot menoleh.

"Tutup kakimu, Sofia."

"Kenapa?"

"Karena cara kamu duduk itu membuat Keluarga Permana terlihat tidak punya kelas."

Aku sengaja mengangkat rokku lebih tinggi. "Kalau sekarang bagaimana?"

Vincent akhirnya mengangkat wajah, tatapannya dingin di balik kacamata bingkai emas. "Keluar."

Berbulan-bulan aku melakukan segalanya untuk mengusiknya. Menyelipkan catatan genit ke dalam berkasnya, mengacaukan misi yang dia berikan, bahkan pernah menaruh obat pencahar di bir miliknya.

Vincent selalu membereskan kekacauanku dengan ketenangan yang menyebalkan, lalu berkata dengan nada menggurui, "Sofia, kamu gadis pintar. Kamu harus menyalurkan kecerdasanmu ke hal yang benar."

Sampai malam itu.

Aku mencampur minuman Vincent dengan obat, ingin tahu seperti apa dia tanpa kendalinya yang sangat kuat.

Aku tidak menyangka akan tetap berada di ruangan saat efeknya mulai terasa.

Vincent menekan pergelangan tanganku, napasnya berat dan terengah. "Apa yang kamu masukkan ke minumanku?"

"Kamu sudah bisa menebak, kan?" Aku menatap matanya yang membara. "Mau coba aku?"

Malam itu mengubah segalanya.

Saat aku terbangun keesokan paginya, Vincent sudah berpakaian rapi.

Kupikir dia akan marah dan mengirimku kembali ke ayahku. "Vincent, aku..."

"Putri," bisiknya sambil membelai pipiku. "Ini akan menjadi rahasia kita."

Putri. Si putri kecil.

Itulah kata yang membuatku jatuh sepenuhnya.

Selama dua tahun berikutnya, kami mempertahankan hubungan aneh dan diam-diam ini. Siang hari, dia tetap menjadi Vincent yang sama, tenang, rasional, penuh kendali. Tapi di malam hari, dia akan membisikkan "Putri" di telingaku dan meniduriku sampai kakiku tidak sanggup lagi menopang tubuh.

Kupikir dia mencintaiku.

Sampai hari ulang tahunku.

Aku menghabiskan sepanjang hari bersiap, memakai gaun terindah dan memesan tempat di restoran tempat kami pertama kali bertemu. Aku berencana mengatakannya, bahwa aku mencintainya, bahwa aku ingin bersamanya, apa pun konsekuensinya.

Tapi Vincent tidak pernah datang.

Aku duduk sendirian di restoran itu selama tiga jam, sampai para pelayan pun mulai menatapku dengan tatapan iba.

Keesokan harinya, foto Vincent menyambut seorang wanita di bandara menjadi viral.

Dalam foto-foto itu, Isabel berada dalam pelukannya, sedekat kekasih yang sudah lama tak bertemu.

Jadi di sanalah dia semalam, menjemput Isabel.

Aku tertawa pahit dan minum sampai tidak bisa merasakan apa-apa. Aku ingin menemuinya, ingin menuntut penjelasan, apa sebenarnya diriku ini baginya? Teman ranjang? Alat?

Tapi aku tidak punya keberanian.

Aku terlalu kesepian, terlalu kecanduan pada hangatnya yang menenangkan.

Malam itu, Vincent pulang dan mendapati kekacauan, aku menggunakan botol anggur untuk menghancurkan setiap foto Isabel di ruang kerjanya.

Tapi dia bahkan tidak bereaksi. Hanya memerintahkan pembantu untuk membersihkan kekacauan itu dan merawatku, lalu berjalan melewatiku begitu saja.

Saat itu, aku akhirnya mengerti. Vincent adalah pewaris keluarga, tak tersentuh, dingin, dan penuh kebanggaan. Toleransinya bukan tanda kasih sayang, dia hanya tidak mau repot berdebat denganku.

Setelah itu, dia masih memanggilku Putri di ranjang, seolah tidak ada yang berubah.

Tapi hatiku sudah mati.

Di luar restoran, Vincent membukakan pintu mobil untuk Isabel. Mereka tertawa tentang sesuatu.

Aku memalingkan wajah dan mengemudi kembali ke kediaman Keluarga Permana.

Di ruang tamu, Hendra dan ibu tiriku, Melisa sedang menonton TV. Begitu aku masuk, ayah langsung mematikannya.

"Baiklah, apa syaratmu?"

Aku duduk di sofa seberang mereka. "Aku ingin kamu menghapus aku dari keluargamu."

Ekspresi Hendra membeku. "Apa kamu bilang?"

Melisa yang duduk di sebelahnya, terlihat jelas menahan senyum puas.

"Aku bilang, aku akan menikah dengan pewaris Keluarga Nugraha yang sekarat itu. Sebagai gantinya, kita putus semua hubungan. Mulai sekarang, aku bukan lagi anggota Keluarga Permana. Kau bisa menyambut selingkuhanmu dan anak haramnya ke rumah ini dengan tangan terbuka. Hari saat kau mengatur kecelakaan mobil yang membunuh ibuku, aku sudah berhenti menginginkanmu sebagai ayah."

Wajah Hendra berubah muram. "Aku sudah bilang, kecelakaan itu tidak disengaja!"

Aku menatap matanya dan menyeringai sinis. "Sengaja atau tidak, dia mati dalam perjalanan mencari tahu kau berselingkuh dengan Melisa. Ayah, hentikan sandiwara kita ini. Kau sudah berusaha menjualku ke Keluarga Nugraha selama lima bulan, bukan? Bukankah itu supaya selingkuhan kesayanganmu bisa menikah masuk keluarga, dan anak haramnya bisa memakai marga Permana?"

Hendra berdiri dengan marah. "Sofia, kau mau dihapus dari keluarga ini? Baik! Mulai besok, kau bukan lagi putriku!"

"Sepakat," jawabku sambil berbalik menuju tangga. "Oh, dan jangan lupa beri tahu Keluarga Nugraha. Pengantin mereka bukan lagi putri sulung Keluarga Permana, tapi seorang yatim piatu tanpa orang tua. Tanya apakah mereka masih mau membayar harga yang sama."

Kembali ke kamarku, aku menutup pintu, dan topeng yang kupakai akhirnya runtuh.

Air mata mengalir di pipi. Aku meringkuk di ranjang, seperti binatang terluka yang menjilat lukanya sendiri.

Kamu tahu, Vincent? Untuk benar-benar meninggalkanmu, aku harus melepaskan satu-satunya hal yang masih kumiliki.

...

Keesokan paginya, aku mendengar suara perabotan digeser di bawah.

Aku bangkit dan berjalan ke arah puncak tangga.

Sosok yang sangat kukenal berdiri di bawah.

Isabel.

Darahku seketika terasa membeku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Duka Sang Putri Tertawan   Bab 22

    Di hari kedua puluh tujuh masa tahanannya, Sofia mulai belajar patuh.Ia berhenti melawan, berhenti mogok makan, bahkan sesekali memberinya senyum tipis.Awalnya Vincent curiga, tapi lama-lama ia mulai percaya kalau Sofia sudah pasrah menerima nasibnya."Apa yang mau kamu makan hari ini?" tanyanya suatu pagi sambil mengikat dasinya di tepi ranjang.Sofia bersandar di sandaran kepala ranjang, rambutnya terurai di bahu. Suaranya tenang. "Apa saja yang kamu buat."Jari Vincent terhenti. Sekilas rasa terkejut melintas di matanya, lalu senyum. "Baiklah." Ia berbalik menuju dapur, langkahnya untuk pertama kali dalam berminggu-minggu terasa rileks.Begitu ia pergi, Sofia menyingkap selimut dan mengeluarkan sebuah mikro komputer dari bawah kasur, hasil curian dari ruang kerjanya seminggu lalu. Jemarinya menari di atas keyboard mengetik serangkaian kode. Ia berhasil membobol sistem keamanan pulau itu. Sebuah sinyal darurat terenkripsi terkirim.Tiga malam kemudian, Sofia berdiri di tepi tebing.

  • Duka Sang Putri Tertawan   Bab 21

    Vincent harus kembali ke Mandala Jaya untuk mengurus urusan Keluarga Dirgantara.Di hari ketiga kepergiannya, Sofia berdiri di depan pintu kaca besar vila di pulau itu, menatap sinar matahari terakhir yang menghilang di cakrawala.Seorang pelayan masuk pelan-pelan. "Nyonya, silakan minum susunya."Sofia tak bergerak. "Kapan dia kembali?""Tuan Vincent bilang akan segera..."BRAK!Gelas itu membentur dinding dan pecah berderai. "Aku bukan nyonyamu," ejek mencibir. "Keluar."Pelayan itu ketakutan dan langsung lari. Sofia membungkuk, mengambil pecahan kaca yang paling tajam.Pada saat yang sama, di markas Keluarga Dirgantara di Mandala Jaya, Vincent duduk di kursi kepala meja rapat. Ibu jarinya tanpa sadar mengusap layar ponsel. Di layar, sebuah cuplikan rekaman pengawasan menampilkan Sofia di pantai, menatap ke arah laut, siluetnya begitu rapuh seakan angin laut bisa menerbangkannya."Bos? Tentang transaksi senjata ini...""Tunda," ujarnya tiba-tiba berdiri. "Siapkan mobil. Kita ke banda

  • Duka Sang Putri Tertawan   Bab 20

    Helikopter itu mendarat di sebuah pulau pribadi saat fajar menyingsing. Deru baling-balingnya perlahan mereda, berganti dengan suara ombak yang menghantam karang.Vincent menggendong Sofia turun dari pesawat. Begitu kakinya menyentuh tanah, ia langsung mendorongnya menjauh."Penahanan ilegal?" Dia mencibir, gaun pengantinnya berkibar dihembus angin laut. "Sejak kapan Vincent Dirgantara jatuh ke taktik murahan seperti ini?"Vincent tidak marah. Ia justru tersenyum tipis. "Lalu kenapa kalau memang begitu?" Tangannya terulur membelai pipinya. Ujung jarinya dingin, namun tatapannya membakar. "Sofia, kamu milikku. Jangan pernah berpikir untuk menikah dengan orang lain."Di dalam vila utama, Vincent mengajaknya berkeliling. "Semuanya di sini milikmu," katanya sambil membuka pintu kaca besar. "Kebun, kolam renang, perpustakaan... bahkan laut itu."Sofia tak tergoyahkan. "Aku mau pulang.""Sofia, mari kita mulai dari awal," ucap Vincent memeluknya dari belakang. Ia menyandarkan dagu di kepalan

  • Duka Sang Putri Tertawan   Bab 19

    Sehari sebelum pernikahan, Sofia duduk di depan meja rias di ruang pengantin, ujung jarinya menelusuri deretan berlian di gaun pengantinnya. Matahari bersinar terang, dan para staf di luar sibuk mempersiapkan upacara. Semuanya terlihat sempurna.Ketukan lembut terdengar di pintu."Putri?" Alexander masuk membawa secangkir teh herbal hangat dan sebuah kotak beludru kecil yang elegan. Ia mengenakan setelan jas hitam yang pas di tubuhnya, tatapannya lembut tak terlukiskan."Kamu hampir tidak menyentuh sarapanmu," katanya sambil meletakkan cangkir di sampingnya.Sofia menoleh, senyum tipis terlukis di bibirnya. "Ini cara Alexander mendisiplinkanku?""Aku tidak berani." Ia membungkuk sedikit dan menyerahkan kotak itu. "Aku hanya khawatir kamu akan lapar."Sofia membuka kotak itu. Di dalamnya ada potongan cokelat yang indah."Aku dengar dulu kamu suka cokelat dari toko ini," ucap Alexander lembut. "Aku memesannya langsung dari Arjapura."Sofia tertegun, hendak bicara, namun tiba-tiba alarm k

  • Duka Sang Putri Tertawan   Bab 18

    Keluarga Nugraha dan mafia Mandala Jaya selalu menjaga jarak satu sama lain.Lalu, apa yang Vincent Dirgantara lakukan di sini?Para tamu mulai berbisik-bisik, gumaman mereka cepat menyebar di seluruh aula dansa. Semua mata tertuju pada sosok tinggi di ambang pintu."Kenapa dia menatap Nona Sofia seperti itu? Jangan-jangan dia datang untuk merusak pernikahan ini."Hampir seketika, Alexander menarik Sofia ke dalam pelukannya, melindunginya dengan tubuhnya. Namun, Sofia justru terlihat tenang.Ia menatap Vincent dan tersenyum. "Tuan Vincent, ada apa Anda kemari? Bawa hadiah pernikahan?"Kata-katanya seperti pisau, menusuk dalam ke dada Vincent.Rahangnya mengeras, urat-urat di lehernya menegang. Suaranya serak. "Sofia, ikut aku pulang."Senyum Sofia melebar. "Pulang untuk apa? Untuk melihat kamu mengurus Isabel?""Aku tidak mencintai Isabel!"Suara Vincent hampir seperti teriakan, membuat kerumunan langsung terdiam."Aku mencintaimu!"Para tamu terkejut, bisik-bisik kembali pecah."Dia b

  • Duka Sang Putri Tertawan   Bab 17

    "Sepuluh tahun lalu, di pesta kapal pesiar di Pantai Adirama...""Kamu lupa siapa yang kamu selamatkan?"Sofia tertegun, ingatannya tertarik kembali satu dekade silam. Di pesta itu, ia berada di dek ketika mendengar suara cipratan air. Seorang anak laki-laki terjatuh ke laut. Sebelum siapa pun sempat bereaksi, ia sudah melompat mengejarnya.Airnya sedingin es, tapi ia berenang sekuat tenaga menuju sosok yang berjuang di permukaan. Setelah menelan beberapa kali air laut, akhirnya ia berhasil menariknya kembali ke dek."Kamu baik-baik saja?" tanyanya, tubuh basah kuyup tapi tak memedulikan dirinya sendiri saat berlutut untuk memberi pertolongan pertama.Anak laki-laki itu batuk mengeluarkan air lalu membuka mata, bulu matanya berembun. Sofia melepas jaketnya dan membungkus tubuh mungil yang menggigil itu. "Hei, Nak. Lain kali hati-hati."Anak itu menggenggam jaketnya erat-erat, matanya berkilau seperti bintang....Sofia tersadar kembali ke masa kini, menatap Alexander tak percaya. "Anak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status