LOGINSuara itu memecah hening.
Dirian dan seluruh orang di sana menoleh bersamaan. Lucien melangkah mendekat, langkahnya mantap, tatapannya penuh tekad keras kepala yang sulit disembunyikan.
“Aku tidak ingin melibatkanmu,” kata Dirian datar. “Dan ini adalah urusanku.”
Lucien berhenti beberapa langkah di depannya.
“Aku sudah bilang,” ucap Lucien dengan suara tegas, nyaris menantang, “di mana kau hidup, aku hidup. Di mana kau mati, aku mati.”
Dirian menatapnya lama, sorot matanya dingin namun tajam.
“Kau tidak bosan menempel terus padaku?” tanyanya datar.
Lucien mendengus kecil. “Kalau beg
Jantung itu akhirnya hancur.Bukan runtuh.Bukan mati perlahan.Melainkan pecah seolah sesuatu di dalam tubuh iblis itu tidak mau menerima akhir yang dipaksakan.Sesaat…sunyi.Dirian masih berdiri dengan pedangnya tertancap di dada makhluk itu. Darah hitam berhenti menyembur, lalu justru berputar kembali, tersedot ke dalam tubuh iblis seperti pusaran terbalik.“Dirian—!” suara seseorang tenggelam oleh dentuman aneh yang mulai terdengar dari dalam dada iblis.Retakan cahaya menjalar dari jantung ke seluruh tubuhnya. Kulit merah darah itu merekah, memancarkan cahaya gelap yang berdenyut liar. Segel para pen
DibiaraSetelah pendeta tua mengatakan pupa, obor-obor terangkat tinggi, namun cahaya justru memperjelas sesuatu yang membuat napas tercekat di dada. Beberapa pendeta mundur setengah langkah. Ada yang menjatuhkan obor karena tangannya gemetar.“Apa… itu…?” suara seseorang pecah, hampir tidak terdengar.Di dalam kurungan terakhir, sesuatu yang tidak seharusnya ada berdiri, diam, besar, dan menjijikkan dalam cara yang sunyi. Seluruh kurungan terbungkus rapat oleh lapisan putih keabu-abuan, berlapis-lapis, menempel pada besi, dinding, dan lantai seperti daging beku yang ditarik paksa.Udara di sana terasa salah.Bukan bau darah.Bukan bau busuk.Melainkan bau hidup yang dikurung terlalu lama.
Di medan perang itu, pertarungan belum berhenti.Salju yang tadinya putih kini berubah menjadi hamparan kelabu tercampur tanah, darah, dan jelaga sihir. Udara dipenuhi bau besi panas dan mantra yang terbakar di udara sebelum sempat membentuk kehendaknya sendiri.Iblis itu berdiri di tengah medan, menjulang, bertanduk besar dengan tubuh merah darah yang berdenyut seperti jantung raksasa. Setiap tarikan napasnya menggetarkan tanah. Setiap gerakannya membuat udara terbelah.Aumannya kembali terdengar.Bukan sekadar suara melainkan panggilan.Salju di sekelilingnya terangkat, melayang sesaat sebelum hancur berkeping-keping. Beberapa prajurit terpental bahkan sebelum sempat mendekat. Ada yang jatuh dengan tulang patah, ada yang tidak bangun lagi.
Pertarungan itu meledak tanpa aba-aba.Raungan iblis banteng mengguncang udara, memecah barisan seperti gelombang badai. Tanah beku terbelah saat kakinya menghantam salju, tubuh raksasanya bergerak terlalu cepat untuk ukuran sebesar itu sebuah bayangan merah yang menerjang.“MAJU—!”Teriakan bercampur dengan dentang logam, mantra yang dirapal terburu-buru, dan jerit ketakutan yang pecah sebelum sempat ditelan keberanian.Dirian bergerak lebih dulu.Ia menurunkan tubuhnya, pedang menyambar dari sampingDUUUNG!Logam itu menghantam kulit iblis, namun hanya memercikkan bunga api. Tidak ada darah. Tidak ada luka. Hanya getaran keras yang menja
Lucien melangkah maju setengah langkah, matanya menyapu para penyihir yang kini berdiri gelisah di belakang Lamina. Nada suaranya keras, jujur, tanpa basa-basi.“Aku tidak ingin bertarung bersama penyihir,” katanya. “Kalian selalu meminta bayaran. Dan tidak ada jaminan kalian tidak akan mengkhianati bangsawan kalian sendiri ketika keadaan berbalik.”Beberapa pasukan mengangguk setuju. Ketidakpercayaan itu lama, berakar, dan berdarah.Lamina tidak tersinggung. Ia justru mengangkat dagunya, menatap Lucien balik dengan ketenangan yang tajam.“Benar,” katanya pelan. “Kami memang sering meminta bayaran.”Ia menoleh ke arah makhluk bertanduk itu iblis yang kini menggeram rendah, kukunya mencakar sa







