FAZER LOGINPandangan Kaisar beralih ke wajah-wajah di aula, pengkhianat, pemberontak, dan sekutu yang jatuh.
Tak ada kekacauan. Tak ada teriakan.
Hanya keheningan berat yang menyadarkan semua orang akan satu kenyataan. Malam tadi bukan sekadar penangkapan.
Itu adalah pembersihan.
Dan fajar kali ini terbit membawa akhir bagi mereka yang terlalu lama berpikir kekaisaran bisa digoyahkan tanpa membayar harga yang mahal.
“Semuanya milikmu,” ucap Dirian tenang namun tajam, “tapi mereka—” ia mengangkat tangannya, menunjuk tanpa ragu, “Milikku.”
Jarinya mengarah tepat pada Duke Leonhardt dan keluarganya, lalu bergeser pada
Di medan perang itu, pertarungan belum berhenti.Salju yang tadinya putih kini berubah menjadi hamparan kelabu tercampur tanah, darah, dan jelaga sihir. Udara dipenuhi bau besi panas dan mantra yang terbakar di udara sebelum sempat membentuk kehendaknya sendiri.Iblis itu berdiri di tengah medan, menjulang, bertanduk besar dengan tubuh merah darah yang berdenyut seperti jantung raksasa. Setiap tarikan napasnya menggetarkan tanah. Setiap gerakannya membuat udara terbelah.Aumannya kembali terdengar.Bukan sekadar suara melainkan panggilan.Salju di sekelilingnya terangkat, melayang sesaat sebelum hancur berkeping-keping. Beberapa prajurit terpental bahkan sebelum sempat mendekat. Ada yang jatuh dengan tulang patah, ada yang tidak bangun lagi.
Pertarungan itu meledak tanpa aba-aba.Raungan iblis banteng mengguncang udara, memecah barisan seperti gelombang badai. Tanah beku terbelah saat kakinya menghantam salju, tubuh raksasanya bergerak terlalu cepat untuk ukuran sebesar itu sebuah bayangan merah yang menerjang.“MAJU—!”Teriakan bercampur dengan dentang logam, mantra yang dirapal terburu-buru, dan jerit ketakutan yang pecah sebelum sempat ditelan keberanian.Dirian bergerak lebih dulu.Ia menurunkan tubuhnya, pedang menyambar dari sampingDUUUNG!Logam itu menghantam kulit iblis, namun hanya memercikkan bunga api. Tidak ada darah. Tidak ada luka. Hanya getaran keras yang menja
Lucien melangkah maju setengah langkah, matanya menyapu para penyihir yang kini berdiri gelisah di belakang Lamina. Nada suaranya keras, jujur, tanpa basa-basi.“Aku tidak ingin bertarung bersama penyihir,” katanya. “Kalian selalu meminta bayaran. Dan tidak ada jaminan kalian tidak akan mengkhianati bangsawan kalian sendiri ketika keadaan berbalik.”Beberapa pasukan mengangguk setuju. Ketidakpercayaan itu lama, berakar, dan berdarah.Lamina tidak tersinggung. Ia justru mengangkat dagunya, menatap Lucien balik dengan ketenangan yang tajam.“Benar,” katanya pelan. “Kami memang sering meminta bayaran.”Ia menoleh ke arah makhluk bertanduk itu iblis yang kini menggeram rendah, kukunya mencakar sa
Suara itu bukan berasal dari medan perang yang sudah membeku oleh ketakutan.Suara itu datang dari belakang.Semua kepala menoleh hampir bersamaan.Dari balik kabut salju yang mulai menipis, barisan baru muncul teratur, padat, dan sunyi dengan cara yang berbeda. Panji-panji yang dikenali oleh semua orang berkibar pelan, diterpa angin dingin utara.Lucien.Ia berdiri di depan, mantel perangnya dipenuhi salju, helmnya sudah dilepas. Wajahnya keras, mata tajam mata seorang pemimpin yang sudah melihat terlalu banyak kematian untuk mudah panik.Di sisinya, Eisach melangkah dengan tangan bertumpu pada tombak panjangnya, rahangnya mengeras ketika pandangannya jatuh pada wujud di tengah medan. Sylar berdiri
Ledakan itu tidak terdengar seperti suara biasa.Ia meledak dari dalam, dari daging, dari tulang, dari kutukan yang terlalu lama dipaksa menahan dunia.Cahaya hitam menyembur keluar dari ujung lorong bukan cahaya yang menerangi, melainkan yang memakan. Dinding batu bergetar keras, jeruji-jeruji berderit nyaring, dan udara seketika berubah berat, pekat, seolah napas sendiri berubah menjadi racun.Tubuh itu atau apa pun yang tersisa darinya meledak.Bukan ledakan api.Melainkan pecahan daging, darah, dan lendir hitam yang menyebar ke segala arah seperti hujan neraka. Tentakel-tentakel tercabik, meleleh di udara, lalu menghantam lantai dan dinding dengan suara basah yang membuat perut mual. Potongan







