MasukLedakan itu tidak terdengar seperti suara biasa.
Ia meledak dari dalam, dari daging, dari tulang, dari kutukan yang terlalu lama dipaksa menahan dunia.
Cahaya hitam menyembur keluar dari ujung lorong bukan cahaya yang menerangi, melainkan yang memakan. Dinding batu bergetar keras, jeruji-jeruji berderit nyaring, dan udara seketika berubah berat, pekat, seolah napas sendiri berubah menjadi racun.
Tubuh itu atau apa pun yang tersisa darinya meledak.
Bukan ledakan api.
Melainkan pecahan daging, darah, dan lendir hitam yang menyebar ke segala arah seperti hujan neraka. Tentakel-tentakel tercabik, meleleh di udara, lalu menghantam lantai dan dinding dengan suara basah yang membuat perut mual. Potongan
Suara itu bukan berasal dari medan perang yang sudah membeku oleh ketakutan.Suara itu datang dari belakang.Semua kepala menoleh hampir bersamaan.Dari balik kabut salju yang mulai menipis, barisan baru muncul teratur, padat, dan sunyi dengan cara yang berbeda. Panji-panji yang dikenali oleh semua orang berkibar pelan, diterpa angin dingin utara.Lucien.Ia berdiri di depan, mantel perangnya dipenuhi salju, helmnya sudah dilepas. Wajahnya keras, mata tajam mata seorang pemimpin yang sudah melihat terlalu banyak kematian untuk mudah panik.Di sisinya, Eisach melangkah dengan tangan bertumpu pada tombak panjangnya, rahangnya mengeras ketika pandangannya jatuh pada wujud di tengah medan. Sylar berdiri
Ledakan itu tidak terdengar seperti suara biasa.Ia meledak dari dalam, dari daging, dari tulang, dari kutukan yang terlalu lama dipaksa menahan dunia.Cahaya hitam menyembur keluar dari ujung lorong bukan cahaya yang menerangi, melainkan yang memakan. Dinding batu bergetar keras, jeruji-jeruji berderit nyaring, dan udara seketika berubah berat, pekat, seolah napas sendiri berubah menjadi racun.Tubuh itu atau apa pun yang tersisa darinya meledak.Bukan ledakan api.Melainkan pecahan daging, darah, dan lendir hitam yang menyebar ke segala arah seperti hujan neraka. Tentakel-tentakel tercabik, meleleh di udara, lalu menghantam lantai dan dinding dengan suara basah yang membuat perut mual. Potongan
Tidak ada yang berbicara lagi.Satu per satu, para penjaga suci menundukkan kepala, menerima perintah itu tanpa pertanyaan. Mereka tahu, lebih tepatnya, mereka percaya bahwa pendeta tua ini bukan sekadar pemimpin rohani.Ia mungkin adalah satu-satunya yang masih hidup, yang mengetahui kebenaran lama, yang mengingat nama-nama yang seharusnya dilupakan, dan yang memahami betul apa arti dentuman dari perut bumi itu.Di bawah biara, sesuatu sedang terjadi. Dan di atasnya, manusia hanya bisa bersiap berdoa agar apa pun yang mengguncang dunia. belum berniat menelan mereka semua.Di bawah sana, jauh di perut bumi, lebih dalam dari doa dan pengampunan, setiap kurungan merasakan hal yang sama, ketakutan yang murni, telanjang, dan tak bisa ditawar.
Kata-kata itu jatuh seperti palu.Semua orang di sana melihatnya kini dengan jelas, pasukan Dirian tidak meminta diselamatkan, tidak menjerit, bahkan tidak berharap keajaiban.Mereka tahu siapa yang mereka ikuti.Dan mereka memilih mati di belakangnya daripada hidup sebagai alasan ia harus menyerah.Dagny terisak pelan, menutup mulutnya dengan satu tangan kecilnya. Mata kecilnya yang basah menatap ayahnya dan untuk pertama kalinya, ia tidak hanya melihat ketakutan.Ia melihat kemarahan yang melindungi.Dan Utoh… untuk pertama kalinya…merasakan sesuatu yang asing menyusup ke dadanya.B
Semua orang terpaku.Para prajurit Ruzkar yang bertato di wajah dan tangan berhenti bergerak. Para penyihir yang sedari tadi bersorak membeku dengan napas tertahan. Bahkan Utoh yang mulutnya penuh janji darah dan kemenangan kehilangan suara sesaat.Tidak ada yang menyangka Dirian akan memilih itu.Dalam pikiran mereka, lelaki itu pasti akan mencari jalan lain. Memutar. Menghindar. Mengatur siasat. Tidak mungkin seorang manusia, betapapun mengerikannya reputasinya, melompat masuk ke dalam bayangan iblis dengan sadar.Mereka lupa satu hal paling mendasar. Dirian tidak sedang berpikir sebagai jenderal, Ia tidak sedang bertindak sebagai Duke dan Ia bahkan tidak sedang menjadi Pembantai.Ia adalah seorang ayah yang putrinya direnggut dari pe
Selene menutup mata sejenak. Nama itu seperti pisau yang ditusukkan perlahan ke dadanya.“Tidak,” sahut Odet lebih dulu, suaranya tenang namun mengandung peringatan. “Ayahmu akan marah jika kita masih di sini. Dia tidak ingin kalian berada dalam bahaya.”“Tapi Dagny—” suara Divrio bergetar.Selene membuka matanya. Ia berlutut sedikit agar sejajar dengan putranya, kedua tangannya memegang wajah kecil itu.“Div,” ucapnya pelan namun tegas, “kita menunggu di istana. Di sana lebih aman. Di sini… kita hanya akan menjadi alat. Orang-orang jahat bisa memanfaatkan kita untuk menghancurkan ayahmu.”Divrio menelan ludah. Matanya berkedip cepat, mencoba mencerna kata-kat







