LOGIN“Apakah Ibu lupa… dia yang menolongku saat kecil?!” seru Dirian, suaranya bergetar karena emosi yang ditahan.
Odet terkekeh pelan, nada tawanya terdengar menyakitkan.
“Dia menyelamatkanku, Ibu!” balas Dirian tegas. “Dan sekarang Ibu harus bertanggung jawab!”
“Bertanggung jawab?” Odet melangkah maju, matanya menyipit menatap putranya. “Baiklah,” ujarnya akhirnya, dingin. “Aku akan membiayai seluruh pengobatannya di rumah sakit. Tapi ingat baik-baik—” suaranya meninggi, menusuk udara.
“Mulai sekarang, wanita itu tidak akan pernah diizinkan menginjakkan kaki di wilayah kekuasaan Duke Leventis
Dirian menjatuhkan Divrio ke tanah dengan kasar namun aman, lalu melesat kembali ke dalam tenda. Pedangnya terangkat tinggi.Bayangan hitam merembes dari bawah alas jerami, menjalar seperti asap hidup dan membelit kaki Dagny, menariknya makin cepat.“JANGAN! AKU TAKUT!”Dagny menangis histeris, kukunya mencakar tanah, berusaha menahan tubuhnya sendiri.Divrio bangkit sambil terhuyung, wajahnya pucat.“Ayah! Ayah, Dagny diambil!”“PEGANG AKU!” bentak Dirian, tapi Divrio terlalu panik untuk mendekat.Dirian menebas.Satu tebasan. Dua. Tiga.Pedan
Suara itu masuk begitu saja ke dalam kepalanya, datar namun tajam, membuat Dirian refleks menarik tangannya dan langsung siaga. Otot-ototnya menegang, mata merahnya menyala di kegelapan.“Lamina,” ucapnya pelan, bukan bertanya, melainkan memastikan.Terdengar tawa kecil, rendah, hampir seperti desahan angin di sela dahan.“Masih secerdas itu rupanya.”Dirian berdiri perlahan, matanya tak lepas dari kodok itu. “Kenapa ada makhluk hidup di hutan es?” tanyanya dingin. “Dan kenapa kau melarangku menyentuhnya?”“Karena itu milikku.” Suara Lamina kini terdengar lebih jelas, lebih dekat, seolah ia berdiri tepat di balik pepohonan. “Aku yang menaruh kodok itu.”
Gerbang istana kekaisaran terbuka lebar ketika kereta kuda berhenti dengan derit panjang. Salju masih melekat di sisi roda, seolah ikut membawa dingin dan ketakutan dari utara masuk ke jantung kekuasaan.Selene turun dengan langkah yang nyaris goyah, diapit oleh Odet dan Sylar. Wajahnya pucat, matanya kosong seperti seseorang yang tubuhnya sudah tiba, tetapi jiwanya tertinggal jauh bersama dua anak yang direnggut dari pelukannya.Mereka bahkan belum sempat menarik napas panjang ketika dua sosok telah menunggu di aula depan.Putra Mahkota Kekaisaran, Lucien, berdiri tegak dengan jubah kebesarannya, dan di sisinya, Putra Mahkota Kerajaan Utara, Eisach, dengan raut wajah keras khas bangsanya. Keduanya menoleh hampir bersamaan saat Selene melangkah masuk.Lucien membeku.
Hening kembali turun.Namun kali ini, Dirian tidak memanggil lagi.Ia berdiri diam di tengah salju, napasnya berat, matanya menyala dengan tekad yang jauh lebih berbahaya daripada amarah.Instingnya telah memilih.“Waktuku hampir habis,” suara Lamina terdengar semakin jauh, seolah ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat.“Lamina—” Dirian langsung memotong, nadanya keras. “Kenapa kau memberitahuku semua ini?”Ada jeda singkat. Bukan hening kosong, melainkan hening yang sarat makna.“Karena aku sudah berjanji,” jawab Lamina akhirnya. “Pada Selene.&
Langkah Dirian terhenti.Bukan karena ia terkejut, melainkan karena ia mengenali suara itu. Suara yang tidak pernah benar-benar pergi, hanya terdiam lama di sudut paling gelap pikirannya.Dirian tidak menoleh. Tidak mencari sumber suara itu.Ia hanya mengatupkan rahang.“Lamina.”Nama itu keluar dari bibir Dirian nyaris tanpa suara, namun beratnya terasa seperti sebuah sumpah lama yang tidak pernah selesai. Udara dingin menusuk paru-parunya saat ia mengucapkannya, sementara kuda hitam di bawahnya meringkik pelan, seolah ikut merasakan kegelisahan tuannya.Sesaat,hening.
Kata-kata itu menusuk tepat sasaran.Selene terdiam. Tidak ada bantahan yang bisa ia susun dengan cepat. Hanya denyut nyeri di dadanya yang semakin terasa nyata.Sig menarik napas. “Mungkin sejak awal, rumah tangga Anda dan Yang Mulia rusak bukan karena orang ketiga, bukan pula karena pengkhianatan siapa pun.”Ia menatap Selene lurus-lurus.“Mungkin rusak karena di antara Anda berdua… tidak pernah benar-benar ada rasa saling percaya.”Kalimat itu menggantung lama di udara.Selene merasa tenggorokannya kering. Ia membuka mulut, lalu menutupnya kembali. Tidak satu pun kata terasa cuk







