Compartilhar

Chapter 5

last update Última atualização: 2025-12-10 12:39:25

Samuel Yudhistira POV

"Ini ponsel Sienna yang kujanjikan. Sekarang aku sudah menyerahkannya padamu, kau akan memberikanku uang itu, kan?"

Hitam legam tanpa dihiasi apapun, berbeda sekali dengan seleranya pada saat taman kanak-kanak dulu. Seorang gadis berkacamata tebal, membersikan permukaan telapaknya di atas rok biru, berkali-kali. Usai membiarkanku merasakan lempengan metalik berlayar gelap itu, Angelina Halim terpucat-pucat wajahnya.

Bahu ringkih gadis di depanku gemetar, mengikuti suaranya yang sarat akan ketakutan. "Kau akan memberikan uang itu persis dengan jumlah yang kau janjikan, bukan, Samuel? Aku sangat membutuhkannya. Hari ini, aku harus menyerahkannya pada orang itu."

Hidungku mendengus. Manusia, lelaki atau wanita, sifat aslinya terkuak begitu dihadapkan oleh harta. Kugerakkan jari telunjukku, pada William—pelayan pribadiku. Usai dia menyampirkan jubah hitam panjangnya, William menyeret sekoper besar uang dari dalam mobilku.

Koper besar diletakkan tepat di depan sang gadis yang sudah banjir air liurnya. Kuinjak bagian engselnya, tepat sebelum tamu kami dapat menyentuh.

"Empat ratus juta rupiah," bibirku bergerak cepat. "Aku tambahkan sepuluh persen dari yang kita janjikan. Anggap saja, ini reward karena kau berhasil mencuri ponsel Sienna satu jam lebih cepat dari yang kita janjikan. Silakan, hitung. William akan mengurus, kalau nominalnya salah."

"T-terima kasih, Samuel!" Angel berderai air mata. Di bawah kakiku, wajahnya menciumi tumpukan uang yang besarnya sudah melebihi tubuhnya sendiri. Kacamata tebalnya longsor jatuh, tarkala bibirnya basah menghitung jumlah uang sebanyak itu. Kutenggerkan senyum jijik, melirik dari ujung mata. Wanita, akan melalukan apapun saat uang sudah menguasai pikirannya.

Termasuk, mengkhianati saudaranya sendiri.

"Ngomong-ngomong, kau tau sandinya?" Kuputar-putar batangan metalik dingin itu, pada sela-sela jari. Kuketukkan layarnya menunggu lawan bicaraku bereaksi.

Angel menarik posisi kacamatanya dengan telunjuk, memandangku sambil berpikir. "Mengingat sifat asli Sienna, kurasa tanggal lahir dan tahunnya. Kau tau kapan dia ulang tahun, kan? Coba saja," dia menjawab, usai mendapat jeda keterkejutan dari ekspresiku.

Layar redup itu, kupandangi lagi, "Ulang tahunnya? Dan bukan nama Jonathan?" ulangku kurang yakin, memastikan, sambil mencoba saran yang gadis itu berikan.

Angel mengendikkan bahu, "Jonathan?" Wajah berparas lugu itu diam sejenak. "Aku rasa nama Jo justru paling terakhir di list kata sandi Sienna. Yang pertama, tanggal lahirnya, kedua, nama kucing peliharaannya, Cupcake. Dan yang ketiga ..."

"Namanya," tenggorokanku menyahut, spontan. Angel tersenyum getir saat perkataannya ditebak secara gamblang. "Benar," sahutnya, berkeringat dingin. "Lebih mungkin Sienna memakai namanya sendiri untuk kata sandi ponselnya, daripada nama Jonathan."

Menggunakan tanggal lahirnya, jemariku berhasil menaklukkan layar redup itu hingga tampak semua kelemahannya. Bertelanjang tubuh di depan mataku, kupandangi ponsel milik Sienna Halim dalam tatap kepuasan. Semua berjalan mulus, berkat bantuan sekretaris OSIS kami yang begitu teladan.

Di dalam ruang dapur Bar terbengkalai ini, tempat janji bertemu bersama Angel, aku tak menyesal memutuskan berkerja sama dengannya.

Aku, Sienna, Jonathan, kami adalah teman kecil, sahabat taman kanak-kanak yang berjanji sehidup semati. Atau, lebih tepatnya, hanya aku yang ingat akan janji kecil kami itu.

Lagipula, orang dungu mana yang terus terbelenggu dengan janji bocah TK, sampai dia SMA? Kalau bisa, aku pun ingin menghapus ingatan itu dari kepalaku selamanya. Sayang, di antara banyaknya kecerdasan yang aku punya, satu-satunya hal yang tak bisa kulakukan adalah menghapus ingatanku tentang Sienna.

Menghabiskan masa kecilku di Amerika, kembali ke Jakarta untuk belajar bisnis keluarga, kembali lagi ke Jerman, lalu pulang lagi ke Indonesia untuk kesekian kalinya. Hampir separuh dari dunia ini sudah aku arungi. Nyatanya, satu-satunya yang tidak bisa aku hapuskan, hanyalah perasaanku padanya.

Aku tidak menyalahkannya. Lebih aneh lagi, kalau gadis sesibuk Sienna Halim masih ingat dengan janji yang dibuatnya di taman kanak-kanak dulu. Hanya saja, saat kembali ke Indonesia dan mengetahui Jonathan sudah lebih dulu merebut Sienna dariku—

—untuk pertama kalinya, aku ingin sekali menghancurkan dunia.

"Kau ... teman TK-nya Sie, kan?" Suara Angel membidik telingaku tanpa diundang. Alisku berkedut terganggu. "Kalau kau begitu menyukainya ... mengapa enggak bilang langsung saja? Kalau itu Sie, aku yakin dia paham. Kalau dia tau siapa identitasmu yang sebenarnya, saat kau menyatakannya cinta padanya, aku yakin—"

"Cinta?" Aku tergelak.

Kusampirkan helai rambutku menjauhi wajah. William sigap memantik korek api elektrik, dipasangkan oleh batang tembakau Premiere di bibirku. Pangkal hidung Angel terhembus oleh asap rokok mengepul dariku, dia terbatuk. Sementara aku, masih dengan buih ledakan tawa di dada. Begitu geli, sampai membuat lawan bicaraku terkesima.

"Cinta?" Kulontarkan lagi kata itu, mengulang sinis, lebih tepat. Bara rokok menyala di wajahku, menajamkan betapa jijik aku memandang. "Jangan salah paham. Kalau aku mencintainya, sudah lebih dulu kurebut dia dari sepupuku. Apa yang kulakukan saat ini, jauh dari kata cinta."

Lutut gadis berkacamata itu mulai memar dari posisi bersimpuhnya yang tak nyaman. Sebagaimana, mulutnya yang terbuka ragu menanggapi jawabanku.

"Begitu," wajahnya terjatuh lesu, iris yang bergerak gelisah, mencoba meraih mataku. "Kalau bukan cinta, lalu apa? Aku tak tau hubungan apa yang kalian punya di TK dulu. Aku dan Sienna berbeda sekolah, jadi aku kurang paham detailnya. Cuma ... um, melihat kau membayar sebanyak ini hanya untuk ponsel Sienna, kurasa kau punya urusan penting sekali dengannya."

"Apa mungkin ... balas dendam?" Gadis itu menebak. Tawaku justru semakin kencang.

"Pfftt. Balas dendam, ya," tawaku menggema di ruangan. William di belakangku, ikut mengekor saat kubawa sepatu usang ini melangkah meninggalkan gudang.

Sebelum pintu kuraih, kutolehkan wajah ke belakang pada Angel yang belum berubah raut takutnya. Usai melihat ekspresi apa yang kupasang saat tertawa.

"Bisa kau sebut begitu," timpalku, menyeringai di balik tirai rambut. "Jangan lupa, tugasmu sekarang adalah, sebagai pionku, memastikan balas dendamku dengan Sienna berjalan lancar. Aku ingatkan, sebelum hari ini selesai, peranmu jauh dari kata berakhir."

Dengan ogah-ogahan, Angel menyerahkan pengamanan koper uangnya pada pelayan pribadiku. Giliran, gadis itu yang berganti mengekor. Berjarak empat unit ruangan, menunggu toilet Bar yang menjadi tempat kedua dalam pementasan drama kami malam ini.

Tugas Angelina Halim malam ini, dua. Pertama, mencuri ponsel Sienna Halim saat dia lengah, tanpa meninggalkan jejak. Dan yang kedua, adalah peran yang paling penting.

Kucengkeram rahang gadis itu dari belakang. Wajahnya meringis ketakutan, di hadapan cermin toilet yang memantulkan tubuh kami berdua saling menimpa.

Dua belas kancing bajunya kupisahkan satu-persatu. Punggung polos tidak tersentuh, telanjang pasrah di hadapan mataku yang berkilat tajam. Kuseka keringat dingin yang membulir permukaan pori-pori halus itu. Pandanganku kosong, jauh dari kata nafsu sama sekali.

Angel memposisikan bokongnya, persis di depan gundukan kemaluanku. Alih-alih terangsang, dua di antara kami saling larut dalam perasaan tragis masing-masing.

Angel, matanya nyaris menangis saat aku menarik jatuh roknya hingga menumbuk lantai. Pahanya yang kurus gemetar bahkan sebelum perannya dimulai. Tanganku berhenti pada kaitan bra putih gadis itu, menahan rasa mual luar biasa saat tubuh Angelina Halim nyaris telanjang di depanku.

"Kau oke?" Angel membalik wajahnya, bertanya gusar. Meski peran terberat ada di dia—mungkin karena melihat wajahku hampir semaput—Angel jadi berbalik mencemaskanku. Kendati, dia sendiri nyaris pingsan karena ketakutan.

Kuanggukkan kepala, asal. Telapakku masih bertahan di depan mulut untuk mencegah apapun itu dari dalam perut, agar tidak keluar. Sebelumnya saat memasuki toilet, aku biasa. Baru setelah melucuti pakaian Angel satu persatu, merasakan kontak tubuh begitu intim, penolakan itu terjadi.

"Perlu saya yang menangani, Tuan Muda?" William, berjongkok untuk memberikanku segelas air minum, dan handuk tipis. Kutepis keduanya dengan tak suka. Dia selalu begitu. Setiap aku muntah setelah bersentuhan dengan seorang wanita, William selalu ikut campur.

Ini semua berkat ibuku. Sebelum meninggal, dia yang selalu menjadi korban kekerasan ayah, melampiaskan amarahnya padaku, sejak aku kecil. Aku tidak membencinya. Tapi, semua trauma itu membuatku menjadi phobia dengan sentuhan perempuan.

Setiap kali kontak fisik dengan perempuan, sengaja atau tidak, aku selalu muntah.

Anehnya, seolah mengonfirmasi perasaanku, Sienna Halim adalah satu-satunya perempuan yang tidak membuatku jijik. Aku tidak pernah muntah setiap disentuh olehnya. Sebanyak apapun perempuan itu menyentuh, atau menyiksaku.

"Ayo, cepat. Waktu kita tipis," sentakku, tak sabar. Dengan dibantu William, Angel memposisikan tubuhnya sempurna di depan lampu toilet; memastikan siluetnya bergerak jelas hingga ke bagian depan pintu. Spot sempurna untuk Sienna nanti melihatnya.

Kuturunkan sedikit resleting celana. Tak sampai melucuti celana dalam, tapi cukup untuk membuat adegan seks palsu kita nanti. Di depanku adalah Angel yang sibuk dengan naskah di dalam kepala; berlatih desahan dan rintihan seperti yang sudah kita rencanakan tiga bulan lalu.

Aku mendesah malas. Part tersulit, posisi doggy-style—bagianku. Meski palsu, tapi aku tetap harus membuat gerakan memompa panggul, maju mundur, kalau mau aksi kami terlihat real. Masalahnya, kalau sentuhan tangan saja sudah membuatku nyaris memuntahkan isi perut, bagaimana kalau penisku yang bertabrakan dengan pantatnya?

"Ha." Napasku tertarik lelah. Kucoba tenangkan diri, berusaha me-replace batangan tubuh Angelina di dalam kepalaku, dengan bantal.

Benar. Bayangkan saja aku sedang masturbasi dengan bantal raksasa berbentuk Sienna. Tak jadi masalah. Aku pernah melakukannya dulu, saat malam pubertas pertamaku. Melakukannya sekarang, tak jadi masalah.

"Oke, kita latihan dulu." Aku memposisikan panggulku tepat di belahan bokong angel, yang hanya tertutup kain underwear tipis. "Kau, mendesahlah kencang, sesuai dengan rencana. Ingat, jangan pakai suaramu, pakai suara Sienna. Kalian bersaudara, kan? Pasti kau bisa menirunya."

Angelina mulai mendesah. Dia bahkan menambahkan 'bantuan' berupa menggesek-gesekkan bongkahan pantatnya ke gundukan kemaluanku. Yang mana alih-alih membantu, aku justru semakin ingin muntah.

"Cukup." Tanganku menghentikannya. Mulai tak kuat, kepalaku rasanya nyaris meledak. "Kita istirahat dulu. William, ambil handuk tadi. Rasanya aku sebentar lagi muntah—"

Dari titik terjauh mataku bisa menangkap, aku melihat sosok gadis dengan rambut panjang indah terbuai oleh derai angin artifisial.

Langkah arogan dibingkai kecantikan tubuh Dewi, wajah mungil super putih melebihi dempul murahan, iris biru yang selalu muncul dalam mimpiku. Hanya satu manusia di dunia ini yang memiliki semua itu. Aku, tersenyum menang.

Butuh tiga bulan untukku mulai terbiasa satu ruangan dengan Angelina, meski endingnya phobia-ku tetap datang.

Tapi, hanya butuh tiga detik untukku terangsang sempurna, setelah melihat wajah Sienna.

"Haha." Aku tertawa, melirik ke dalam celana. Penis yang sejak tadi lemas kendati gadis secantik Angelina sudah menggodanya, sekarang berubah tegak sempurna. Hanya dengan melihat wajah tukang bully-ku dari kejauhan.

Continue a ler este livro gratuitamente
Escaneie o código para baixar o App

Último capítulo

  • Dulu Pembulinya, Kini Wanita Mainannya    Chapter 6

    Chapter 6Samuel Yudhistira POVSemua berjalan lancar.Begitu Sienna datang, segala phobia dan trauma yang kumiliki, hilang.Aku sedikit berekspektasi Sienna—paling tidak—akan melabrakku, begitu melihatku menyetubuhi sepupu polosnya. Siapa sangka? Di depan kamera pengintai yang William install pada tembok yang memisahkan kami, bisa kulihat ekspresi wajah Sienna dengan jelas.Kedua pipi bersemu, napas memburu. Ekspresi itu, jelas bukan ekspresi yang dikeluarkan ketika dia sedang marah.Kutunda dulu rasa puasku, untuk melakukan eksperimen.Kujambak rambut Angel dari belakang, hingga lehernya tertolak menyerupai busur. Dengan rambutnya ditanganku, bisa dengan mudah aku menggenjot pinggangku di bawah sana. Bunyi benturan kulit, kecipak yang seharusnya tidak terjadi, menggema di toilet kosong ini. Mustahil, Sienna yang sedang bersembunyi di balik dinding, tidak mendengarnya."L-lebih cepat, Samuel ..." Angelina, dia pintar belajar.Tanpa perlu kusuruh, dia membuat desahan-desahan erotis. M

  • Dulu Pembulinya, Kini Wanita Mainannya    Chapter 5

    Samuel Yudhistira POV"Ini ponsel Sienna yang kujanjikan. Sekarang aku sudah menyerahkannya padamu, kau akan memberikanku uang itu, kan?"Hitam legam tanpa dihiasi apapun, berbeda sekali dengan seleranya pada saat taman kanak-kanak dulu. Seorang gadis berkacamata tebal, membersikan permukaan telapaknya di atas rok biru, berkali-kali. Usai membiarkanku merasakan lempengan metalik berlayar gelap itu, Angelina Halim terpucat-pucat wajahnya.Bahu ringkih gadis di depanku gemetar, mengikuti suaranya yang sarat akan ketakutan. "Kau akan memberikan uang itu persis dengan jumlah yang kau janjikan, bukan, Samuel? Aku sangat membutuhkannya. Hari ini, aku harus menyerahkannya pada orang itu."Hidungku mendengus. Manusia, lelaki atau wanita, sifat aslinya terkuak begitu dihadapkan oleh harta. Kugerakkan jari telunjukku, pada William—pelayan pribadiku. Usai dia menyampirkan jubah hitam panjangnya, William menyeret sekoper besar uang dari dalam mobilku.Koper besar diletakkan tepat di depan sang ga

  • Dulu Pembulinya, Kini Wanita Mainannya    Chapter 4

    Sienna Halim POVBuru-buru kutarik celana dalamku, mengancingkan rok asal demi mengejar pengintip itu."Jangan kabur kau! Hey! Sialan!" Pengintip itu sudah kabur. Kakiku, justru tersandung pintu toilet yang menghalangi jalan. Sepanjang berlarian kutahan sakit, tapi tak sebanding dengan amarah mencuat untuk menangkap pengintip sialan itu.'Akan kubunuh. Akan kubunuh dia begitu kutangkap. Takkan aku biarkan siapapun melihat matahari besok dengan matanya yang dia pakai untuk mengintipku,' sumpah serapahku bertebaran dalam hati. Lorong gedung SAINTEK aku lewati, kutemukan sepasang jejak basah dari sepatu yang menyambung dari toilet, hingga ke gedung perabotan kimiawi sekolah.'I got you, bitch,' batinku tergelak.Permainan mengejar rubah telah usai. Senyumku mengembang seraya kudapatkan pengintip itu, rambutnya mencuat dari balik jendela kaca—niat sembunyinya berhasil kupatahkan.Hockey Player, Dilan, yang pernah nembak aku tahun lalu, berjalan lewat di depanku. Mereka hendak menuju lapa

  • Dulu Pembulinya, Kini Wanita Mainannya    Chapter 3

    Sienna Halim POV "Tau namaku darimana?" Aku bertanya. Segelap lampu yang memudarkan wajah tegasnya, pria misterius itu enggan menjawab. Lebih cepat dari hentakan musik pada piringan disc jockey, begitulah pria misterius berkarisma yang saat ini sedang mencuri perhatianku. Giselle dan aku—pandangan kami saling bertukar arahan. Gerakan matanya mengindikasi saran agar aku segera pulang, agar dia bisa 'melayani' tamu barunya ini. Harusnya, itu adalah SOP yang normal. Lainnya, kepalaku justru lebih tertarik untuk memperhatikan pria ini dari dekat wajahnya. "Oh." Baru sadar. Pria ini menyodorkanku segelas kecil wine Cabernet Sauvignon, sebagai salam perkenalan. Semakin kecil gelasnya, semakin tinggi alkoholnya. Kutarik kesimpulan, pria ini tidak tau usiaku masih di bawah umur. "Aku masih sekolah, Pak," ucapku—sengaja. Aku tau lelaki ini belum setua itu, tapi cara pdkt-nya sangat kuno sekali. "Hm," gumamnya, matanya tergulir pada barisan koleksi liquor milik Giselle. Jemari kekar

  • Dulu Pembulinya, Kini Wanita Mainannya    Chapter 2

    Sienna Halim POV"Sie—"Sebelum tangan itu menarikku, sudah lebih dulu aku berlarian pergi. Engsel pundakku sedikit terkilir akibat betapa kencang mencoba melarikan diri dari genggaman tangan kekar itu.Begitu panik saat tetangkap basah mengintip mereka, sampai tak sempat lagi memandang siapa yang menarik tubuhku tadi. Kekuatan tangannya tidak masuk akal. Apa Samuel sekuat itu selama ini? Sambil terus berlarian bak orang sinting, kusentuh pundakku yang berdenyut nyeri. Lalu, memandang horor ke belakang.'Inikah cowok yang selama ini aku siksa? Maksudku—kalau dia sekuat ini, buat apa dia selalu diam tak melawan setiap kali aku bully?' batinku tidak bisa berhenti bertanya-tanya.Merinding. Dan, gelisah.Dua kata itu mencakar dadaku saat ini. Rasanya lepas mengetahui sifat asli Samuel, secuil bagian di hatiku berteriak ketakutan. Memperingatkan, mungkin saja, selama ini aku telah memilih lawan yang salah.Namun, gelisah itu sebatas buih di lautan garam. Lepasnya, ombak kemarahan mengepul

  • Dulu Pembulinya, Kini Wanita Mainannya    Chapter 1

    Sienna Halim POV"Siram lagi! Hey, yang banyak! Kau tuli? Aku bilang, siram yang banyak!"Gadis yang menggenggam botol bir keluaran tahun 1980-an itu, menatapku dengan wajah horor penuh air mata. Gemetar di tangannya mewujudkan betapa mustahil request yang kuberikan. Kudorong dengan ujung sepatu, meja yang menghalangi kami berdua itu. Merebut botol kaca se-keruh air selokan, lalu——byur.Menyiram wajah Samuel Yudhistira dengan liquid wine konsentrasi tinggi. Hingga cairan alkohol itu masuk ke matanya."Pfftt." Kugigit punggung jari telunjukku, menahan tawa. "Fucking hell. Sudah se-merah wine pun, aku masih tak sudi melihat wajahmu. Menjijikan. Gimana bisa, manusia melahirkan manusia babi sepertimu? Cih."Ludahku mencuat. Kutembakkan air liurku tepat ke batang hidung lelaki itu—yang parasnya hanya bisa diam semata.Kurasakan sebuah cengkeraman tangan menyapa pundak—dari belakang, tiba-tiba—muncul punggung tegak Jonathan. Tampak sedikit basah kerah kemeja hitamnya, napasnya tersengal. J

Mais capítulos
Explore e leia bons romances gratuitamente
Acesso gratuito a um vasto número de bons romances no app GoodNovel. Baixe os livros que você gosta e leia em qualquer lugar e a qualquer hora.
Leia livros gratuitamente no app
ESCANEIE O CÓDIGO PARA LER NO APP
DMCA.com Protection Status