FAZER LOGINChapter 6
Samuel Yudhistira POV Semua berjalan lancar. Begitu Sienna datang, segala phobia dan trauma yang kumiliki, hilang. Aku sedikit berekspektasi Sienna—paling tidak—akan melabrakku, begitu melihatku menyetubuhi sepupu polosnya. Siapa sangka? Di depan kamera pengintai yang William install pada tembok yang memisahkan kami, bisa kulihat ekspresi wajah Sienna dengan jelas. Kedua pipi bersemu, napas memburu. Ekspresi itu, jelas bukan ekspresi yang dikeluarkan ketika dia sedang marah. Kutunda dulu rasa puasku, untuk melakukan eksperimen. Kujambak rambut Angel dari belakang, hingga lehernya tertolak menyerupai busur. Dengan rambutnya ditanganku, bisa dengan mudah aku menggenjot pinggangku di bawah sana. Bunyi benturan kulit, kecipak yang seharusnya tidak terjadi, menggema di toilet kosong ini. Mustahil, Sienna yang sedang bersembunyi di balik dinding, tidak mendengarnya. "L-lebih cepat, Samuel ..." Angelina, dia pintar belajar. Tanpa perlu kusuruh, dia membuat desahan-desahan erotis. Mustahil Sienna menyadari seks palsu kami. Bayangan yang kami berdua buat, cukup membuktikan betapa panas pinggulku menggempur sepupunya. "Hmp." Telingaku tiba-tiba menangkap sebuah desahan. Kucekik leher Angel yang telah memerah oleh keringat. Angel terdiam karena rahangnya kupaksa menoleh, tatapannya penuh tanda tanya. Angel tidak mendesah lagi. Aku tak sanggup menyembunyikan seringai di taringku. Itu artinya, desahan yang kudengar dari, berasal dari Sienna. "Pfftt. Dia ikut mendesah juga?" Kutahan tawaku dengan susah payah. Aktivitas kami berhenti sejenak, aku ingin mendengar desahan yang Sienna buat di depan kamera pengintai. Bisa kusaksian jelas, tubuh nakalnya ikut bergerak maju mundur, seirama dengan gerakan panggulku. Jemari lentiknya, bermain di ujung lidah. Oh, sepertinya yang menikmati peran, bukan hanya kami berdua. Aku mengajak Angel membuat eksperimen lagi. Kupastikan suara basah kecipak bagian bawah kami, beradu seolah-olah kami sedang berciuman panas, menguar hingga ke balik toilet. Tanganku menarik pinggang Angelina lebih dalam, namun mataku tertuju sepenuhnya pada layar monitor kecil yang William sediakan. Kami bertiga begitu intens. Aku yakin Sienna tidak menyadari, tapi tiap kali Angel mendesah, napasnya semakin tidak beraturan. Seolah dia juga ikut merasakan kenikmatannya. Setiap pinggulku menumbuk bokong Angelina, Sienna merapatkan kedua pahanya. Dan, dia mengejang. "Pffttt. Apa dia orgasme?" gumamku, tak tahan tawa. Bisa kulihat seringai puasku pada pantulan cermin besar toilet. Kapan terakhir kali aku sebahagia ini? "Kalau tau dia se-lacur ini, harusnya dia yang kuajak main," gerutuku, kesal namun juga puas. Kupandangi dingin punggung Angelina, mulai terkulai lelah pada keramik wastafel. Cukup lama pagelaran palsu ini, kurasa sudah waktunya santapan utama. Agak sedikit menyesal juga. Tujuan utamaku merencanakan skenario palsu ini, untuk membuat Sienna marah padaku. Selama ini, dia hanya melihatku sebagai objek pelampiasan kemarahannya. Aku ingin ada sebuah pemicu. Kalau kubuat situasi dimana Sienna mau tak mau harus melihatku dari dekat, marah padaku, mungkin itu bisa membangkitkan memorinya. Saat tau bocah kecil yang dulu dikaguminya, sekarang berubah menjadi bajingan dan sedang merusak sepupunya— —bukankah itu menjadi balas dendam paling sempurna? Kubetulkan lagi letak celanaku. Beranjak dari Angel untuk menghampiri cermin, kurapikan tatanan rambutku di sana. Kupandangi penampilan kacauku. Meski di luar rencana, tapi reaksi Sienna tidak buruk juga. Dia terangsang, aku tau itu. Normalnya, apakah seseorang akan terangsang melihat adegan seks orang yang dibencinya? Unless she's crazy sick, maybe. Tapi Sienna yang aku, tau tidak begitu. Jadi, ada dua kemungkinan. Selagi menunggu William mengeringkan rambut basahku dengan handuk, kutenggerkan pundak pada dinding toilet. Berpikir. Sienna saat ini sudah ingat semuanya, atau, dia hanyalah gadis pelacur biasa yang terangsang hanya karena melihat cowok telanjang. Tipikal yang sering aku temui dulu, saat masih di Amerika. "Oh?" Sienna membuatku mataku mengerjap terkesima. Penampilanku sudah rapi; celana penuh lekukan berantakan, rambut basah, kemeja dengan seluruh kancing terbuka. Sengaja ditampilkan, bulir keringat pada lekuk otot perutku. Sempurna untuk menampilkan kesan seorang Samuel Yudhistira, baru saja selesai 'memerawani' wanita. Bahuku bergetar menahan tawa, saat aku berjalan keluar. Di depan pintu toilet, Sienna duduk bersimpuh di lantai dengan kedua kaki tremor. Ada paper bag di dekatnya—tampaknya terjatuh usai memergokiku dengan Angelina tadi. 'This is clearly not what I expected.' pikirku, jeda sedikit dengan mata bergulir pahanya yang basah. Kuharapkan tadi pertemuan perdanaku dengan Sienna sedikit dramatis; dia yang terkejut padaku, yang tiba-tiba menghampiri. Tapi begitu kusambangi, Sienna sudah KO duluan. "Sie—" Tanganku disentak. Aku terkesiap. Ucapanku belum selesai, Sienna sudah lebih dulu berlari kabur tanpa melihat padaku. Sama sekali. Dia merebut paper bag itu, lalu berlari secepat kilat. Tanganku yang ditepisnya cukup kasar, sedikit terasa panas. Tapi, hatiku lebih panas. Ditinggalkan sebelum klimaksnya selesai, senyumku keluar getir dengan gemeletuk di rahang. Kukencangkan kepalan tanganku, meninju tembok bekas Sienna bersembunyi, hingga permukaannya retak. "Tuan muda!" William bergegas menghampiri begitu melihat tetes darah dari sela-sela jemariku. Disusul oleh Angelina, pakaiannya masih berantakan dengan kaitan bra yang belum terpasang. Tapi, dia menghampiriku lebih dulu karena suara benturan yang begitu keras tadi. Mereka berdua kubuat terkejut dengan tinju kedua. Kali ini, yang retak sepertinya adalah tulangku. Menjelaskan William begitu panik sampai kedua lenganku ditahan olehnya. "Wow, how messed up," Angelina bergidik horor dari kejauhan. Dia melirik pada jejak kaki sepupunya yang tertinggal di lantai. Mulai memahami situasi. "Sie kabur, kah? Kayak bukan dia. Harusnya kalau tau aku had sex dengan cowok bully-nya, harusnya, sih, dia lebih ke marah daripada kabur." "Sialan!" Benci mengakui, tapi Angelina benar. Alasanku membuat skenario seks palsu ini, adalah untuk membuat Sienna Halim marah, cemburu, apapun itu yang bisa membuatnya ingat padaku lagi. Tapi, apa-apaan, tadi? Kabur tanpa melihat wajahku sama sekali? Jangan bilang, suaraku kurang jelas. Jangan bilang Sienna tak tau kalau itu adalah aku. "Hey, kau. Cari tau kemana dia pergi. Kau sepupunya, kan? Pasti tau kemana Sienna sekarang," Dadaku panas. Kusentak Angelina yang masih kacau penampilanya. Kupaksa dia segera berbenah, untuk mengejar Sienna sebelum gadis itu pergi lebih jauh. William memanggil dokter pribadi keluargaku. Bar ini, sebenarnya salah satu cabang bisnis keluargaku. Jonathan memilih Bar ini karna tau keluargaku akan memberikan potongan harga padanya. Justru itu, kupakai untuk menjebak Sienna. Dan kenapa semuanya jadi berantakan? Esok harinya, Sienna absen. Aku sudah memaksakan diri dengan drama keributan di rumah, usai ayahku marah melihat tanganku penuh perban. Saat tau Sienna Halim tidak sekolah, kucari kemana gadis itu pergi. Seminggu berlalu, tetap tidak ada kabar. Sampai luka di tanganku membaik, Sienna belum masuk sekolah juga. Jonathan—cowok bajingan itu—tidak bisa diharapkan. Aku kecewa. Kalau tau Sienna dijodohkan dengan cowok lembek seperti dia, harusnya sudah kurebut Sienna dari dulu. Kalau aku jadi dia, Sienna sudah kukurung, kurantai dalam kamar. Di momen kita berpacaran, akan kubuat Sienna Halim tidak bisa melihat apapun selain diriku. Pikiranku sedang larut di hadapan jendela besar mansion kami, ketika William mengetuk pintu kamarku. "Tuan Muda. Nona Sienna Halim kami temukan sedang mengunjungi sebuah bar," ucap pria tua berambut putih itu. Dia, membawakan bukti lima foto yang diambil oleh bawahanku, yang kuperintahkan untuk me-stalking Sienna. Kusentuh salah satu dari foto tersebut yang masih basah. Ada beberapa warna yang tidak sinkron di kulitnya. Memar. Mataku mendapati memar di paha dan leher Sienna, saat meneliti foto-foto itu. Terlihat jelas dia berusaha menutupinya dengan jaket, tapi mataku tidak bisa ditipu. Dan ini terjadi bukan hanya sekali. Setiap Sienna absen sekolah, dia selalu kembali dengan luka memar di tubuhnya. "Henri sialan," aku menggeram kalah. Kubuang foto-foto itu yang sudah kumal akibat cengkeramanku. Dan bergegas keluar kamar. "William, siapkan mobil. Kita pergi ke Bar Lumierre sekarang," perintahku cepat. Begitu tau alasan hilangnya Sienna seminggu ini, yang kupikirkan hanyalah satu; aku harus cepat-cepat merebutnya dari Henri dan Jonathan. Aku memang membenci Sienna, yang dengan mudahnya melupakanku begitu saja. Tapi, not in my wildest dream, I would lay a finger on her, let alone hurt her. Aku tidak terima. Mainan yang harusnya aku rusak, justru disentuh oleh orang lain. Mobilku sampai di Bar Lumierre. Sienna, mabuk parah. Dia sampai tidak mengenaliku. Hanya dengan satu pujian, dengan mudahnya Sienna mengajakku ke kamar Bar. Jelas, ini sama sekali bukan yang kuharapkan. Saat Sienna menggodaku di kamar Bar, yang kurasakan jauh dari nafsu. Marah, benci, dan tidak terima. Dia bahkan tidak tau siapa aku. Apa maksudnya, dia terbiasa menggoda pria asing untuk tidur dengannya? Kupandangi wajahnya yang tertidur pulas berkat efek alkohol. Kami berpisah 10 tahun lebih. Dan di masa aku tidak ada di sisinya, siapa yang sudah membuat Sienna si gadis lugu, manis, menjadi pelacur seperti ini? "William, ayo kita pergi." Aku melenggang dengan langkah kaki panas. Kutinggal Sienna di kamar itu sendirian, setelah menyelimuti tubuhnya. Aku tidak menyentuhnya. Malah, Sienna yang berinisiatif melepas celana dalamnya sendiri, untuk menggodaku. Alih-alih terangsang, aku justru ingin sekali menculik dan mengurungnya di kamarku sekarang. Malam itu, aku tidak pulang. Kembali ke rumah hanya akan memperburuk suasana. Kuhabiskan malam di hotel keluargaku, Golden Triangle, saat ponselku tiba-tiba berdering. Satu pesan masuk, Angelina Halim, melampirkan sebuah screenshot. [Lusa, Sie ulang tahun. Tapi Raya dan Agnes mau merayakannya lebih awal besok malam. Kupikir informasi ini bakal berguna untukmu. Sekalian, kuberikan alamat lokasi party mereka. Jangan lupa untuk mengirim uang dua ratus juta yang kau janjikan, Samuel. Aku sudah bekerja keras mencari informasi ini.] "Tikus itu berguna juga." Wajah asamku, akhirnya dihujani senyum kepuasan. Kubaca deretan pesan Angelina, lalu memanggil asistenku. "William, kirim dua ratus juta ke rekening Angelina Halim. Sekarang," perintahku seraya bangkit dari sofa. "Baik, Tuan Muda." William menundukkan tubuhnya. "Apa anda ingin pergi ke suatu tempat? Chairman ingin bertemu anda pagi ini. Lebih baik jika—" "Batalkan saja," sanggahku, cepat. Kupakai kembali jas hitam yang sempat kubuang tadi dengan buru-buru. "Paling, dia mau bicara soal perjodohanku dengan Laura. Bilang, aku tidak tertarik. Dan berhenti mencampuri urusanku." Aku pergi tanpa William. Begitu mendapat informasi dari Angelina, kepalaku tak bisa tenang. Ada satu ide gila, yang bisa kulakukan untuk membuat Sienna ingat padaku. "Kalau aku menculiknya, memperkosanya ... kira-kira, apa dia masih bisa sok pura-pura lupa padaku?" Aku tak bisa menahan seringai di balik kemudi mobil. Salah satu ponselku menyala. Panggilan suara yang aku tunggu-tunggu, datang. Kunailkan volume suaranya—sengaja. Aku ingin mendengar suara gadis itu dengan jelas. "Tuan Muda, kami berhasil menculik Sienna Halim. Sebagai bukti, kami akan perdengarkan suaranya padamu." Suara putus-putus mulai terdengar, akibat gesekan dari seseorang yang berusaha meronta-ronta dari dalam mobil. "Lepaskan aku, sialan! Kau, siapa kau!? Berani sekali kau menculikku! Akan kubuat kau menyesal! Akan kubuat kau tidak bisa mendapatkan pekerjaan apapun seumur hidupmu!"Chapter 6Samuel Yudhistira POVSemua berjalan lancar.Begitu Sienna datang, segala phobia dan trauma yang kumiliki, hilang.Aku sedikit berekspektasi Sienna—paling tidak—akan melabrakku, begitu melihatku menyetubuhi sepupu polosnya. Siapa sangka? Di depan kamera pengintai yang William install pada tembok yang memisahkan kami, bisa kulihat ekspresi wajah Sienna dengan jelas.Kedua pipi bersemu, napas memburu. Ekspresi itu, jelas bukan ekspresi yang dikeluarkan ketika dia sedang marah.Kutunda dulu rasa puasku, untuk melakukan eksperimen.Kujambak rambut Angel dari belakang, hingga lehernya tertolak menyerupai busur. Dengan rambutnya ditanganku, bisa dengan mudah aku menggenjot pinggangku di bawah sana. Bunyi benturan kulit, kecipak yang seharusnya tidak terjadi, menggema di toilet kosong ini. Mustahil, Sienna yang sedang bersembunyi di balik dinding, tidak mendengarnya."L-lebih cepat, Samuel ..." Angelina, dia pintar belajar.Tanpa perlu kusuruh, dia membuat desahan-desahan erotis. M
Samuel Yudhistira POV"Ini ponsel Sienna yang kujanjikan. Sekarang aku sudah menyerahkannya padamu, kau akan memberikanku uang itu, kan?"Hitam legam tanpa dihiasi apapun, berbeda sekali dengan seleranya pada saat taman kanak-kanak dulu. Seorang gadis berkacamata tebal, membersikan permukaan telapaknya di atas rok biru, berkali-kali. Usai membiarkanku merasakan lempengan metalik berlayar gelap itu, Angelina Halim terpucat-pucat wajahnya.Bahu ringkih gadis di depanku gemetar, mengikuti suaranya yang sarat akan ketakutan. "Kau akan memberikan uang itu persis dengan jumlah yang kau janjikan, bukan, Samuel? Aku sangat membutuhkannya. Hari ini, aku harus menyerahkannya pada orang itu."Hidungku mendengus. Manusia, lelaki atau wanita, sifat aslinya terkuak begitu dihadapkan oleh harta. Kugerakkan jari telunjukku, pada William—pelayan pribadiku. Usai dia menyampirkan jubah hitam panjangnya, William menyeret sekoper besar uang dari dalam mobilku.Koper besar diletakkan tepat di depan sang ga
Sienna Halim POVBuru-buru kutarik celana dalamku, mengancingkan rok asal demi mengejar pengintip itu."Jangan kabur kau! Hey! Sialan!" Pengintip itu sudah kabur. Kakiku, justru tersandung pintu toilet yang menghalangi jalan. Sepanjang berlarian kutahan sakit, tapi tak sebanding dengan amarah mencuat untuk menangkap pengintip sialan itu.'Akan kubunuh. Akan kubunuh dia begitu kutangkap. Takkan aku biarkan siapapun melihat matahari besok dengan matanya yang dia pakai untuk mengintipku,' sumpah serapahku bertebaran dalam hati. Lorong gedung SAINTEK aku lewati, kutemukan sepasang jejak basah dari sepatu yang menyambung dari toilet, hingga ke gedung perabotan kimiawi sekolah.'I got you, bitch,' batinku tergelak.Permainan mengejar rubah telah usai. Senyumku mengembang seraya kudapatkan pengintip itu, rambutnya mencuat dari balik jendela kaca—niat sembunyinya berhasil kupatahkan.Hockey Player, Dilan, yang pernah nembak aku tahun lalu, berjalan lewat di depanku. Mereka hendak menuju lapa
Sienna Halim POV "Tau namaku darimana?" Aku bertanya. Segelap lampu yang memudarkan wajah tegasnya, pria misterius itu enggan menjawab. Lebih cepat dari hentakan musik pada piringan disc jockey, begitulah pria misterius berkarisma yang saat ini sedang mencuri perhatianku. Giselle dan aku—pandangan kami saling bertukar arahan. Gerakan matanya mengindikasi saran agar aku segera pulang, agar dia bisa 'melayani' tamu barunya ini. Harusnya, itu adalah SOP yang normal. Lainnya, kepalaku justru lebih tertarik untuk memperhatikan pria ini dari dekat wajahnya. "Oh." Baru sadar. Pria ini menyodorkanku segelas kecil wine Cabernet Sauvignon, sebagai salam perkenalan. Semakin kecil gelasnya, semakin tinggi alkoholnya. Kutarik kesimpulan, pria ini tidak tau usiaku masih di bawah umur. "Aku masih sekolah, Pak," ucapku—sengaja. Aku tau lelaki ini belum setua itu, tapi cara pdkt-nya sangat kuno sekali. "Hm," gumamnya, matanya tergulir pada barisan koleksi liquor milik Giselle. Jemari kekar
Sienna Halim POV"Sie—"Sebelum tangan itu menarikku, sudah lebih dulu aku berlarian pergi. Engsel pundakku sedikit terkilir akibat betapa kencang mencoba melarikan diri dari genggaman tangan kekar itu.Begitu panik saat tetangkap basah mengintip mereka, sampai tak sempat lagi memandang siapa yang menarik tubuhku tadi. Kekuatan tangannya tidak masuk akal. Apa Samuel sekuat itu selama ini? Sambil terus berlarian bak orang sinting, kusentuh pundakku yang berdenyut nyeri. Lalu, memandang horor ke belakang.'Inikah cowok yang selama ini aku siksa? Maksudku—kalau dia sekuat ini, buat apa dia selalu diam tak melawan setiap kali aku bully?' batinku tidak bisa berhenti bertanya-tanya.Merinding. Dan, gelisah.Dua kata itu mencakar dadaku saat ini. Rasanya lepas mengetahui sifat asli Samuel, secuil bagian di hatiku berteriak ketakutan. Memperingatkan, mungkin saja, selama ini aku telah memilih lawan yang salah.Namun, gelisah itu sebatas buih di lautan garam. Lepasnya, ombak kemarahan mengepul
Sienna Halim POV"Siram lagi! Hey, yang banyak! Kau tuli? Aku bilang, siram yang banyak!"Gadis yang menggenggam botol bir keluaran tahun 1980-an itu, menatapku dengan wajah horor penuh air mata. Gemetar di tangannya mewujudkan betapa mustahil request yang kuberikan. Kudorong dengan ujung sepatu, meja yang menghalangi kami berdua itu. Merebut botol kaca se-keruh air selokan, lalu——byur.Menyiram wajah Samuel Yudhistira dengan liquid wine konsentrasi tinggi. Hingga cairan alkohol itu masuk ke matanya."Pfftt." Kugigit punggung jari telunjukku, menahan tawa. "Fucking hell. Sudah se-merah wine pun, aku masih tak sudi melihat wajahmu. Menjijikan. Gimana bisa, manusia melahirkan manusia babi sepertimu? Cih."Ludahku mencuat. Kutembakkan air liurku tepat ke batang hidung lelaki itu—yang parasnya hanya bisa diam semata.Kurasakan sebuah cengkeraman tangan menyapa pundak—dari belakang, tiba-tiba—muncul punggung tegak Jonathan. Tampak sedikit basah kerah kemeja hitamnya, napasnya tersengal. J







