공유

Chapter 4

last update 최신 업데이트: 2025-12-03 19:10:56

Sienna Halim POV

Buru-buru kutarik celana dalamku, mengancingkan rok asal demi mengejar pengintip itu.

"Jangan kabur kau! Hey! Sialan!" Pengintip itu sudah kabur. Kakiku, justru tersandung pintu toilet yang menghalangi jalan. Sepanjang berlarian kutahan sakit, tapi tak sebanding dengan amarah mencuat untuk menangkap pengintip sialan itu.

'Akan kubunuh. Akan kubunuh dia begitu kutangkap. Takkan aku biarkan siapapun melihat matahari besok dengan matanya yang dia pakai untuk mengintipku,' sumpah serapahku bertebaran dalam hati. Lorong gedung SAINTEK aku lewati, kutemukan sepasang jejak basah dari sepatu yang menyambung dari toilet, hingga ke gedung perabotan kimiawi sekolah.

'I got you, bitch,' batinku tergelak.

Permainan mengejar rubah telah usai. Senyumku mengembang seraya kudapatkan pengintip itu, rambutnya mencuat dari balik jendela kaca—niat sembunyinya berhasil kupatahkan.

Hockey Player, Dilan, yang pernah nembak aku tahun lalu, berjalan lewat di depanku. Mereka hendak menuju lapangan untuk pemanasan pagi. Seketika ide gila yang tak kusangka, menghampiri. Kucegah langkah Dilan, kurebut tongkat Hockey-nya hingga dia tertinggal diam. Kuseret batangan besi itu, sepanjang koridor senyap dengan suara gesekkannya yang nyaring.

Kumasuki gedung perabotan dengan langkah tajam. Tongkat di tanganku, kutancapkan ujungnya tepat pada samping kepala pengintip itu. Sang empunya terdiam, tak berani bergerak. Baru setelah kusaksian jelas siapa wajah yang berani bermain-main denganku, tawaku meledakkan udara.

"Samuel." Mataku memicing sinis. Rubah yang kutangkap, sudah tak mampu melarikan dirinya.

Tapi, aneh. Saat nama itu terlontar, ada rasa puas asing yang menyelam di dada. Fakta bahwa si cowok kutu busuk itu yang ternyata mengintipku, rasanya aku sangat lega.

Apa jangan-jangan dalam hatiku, diam-diam berharap Samuel lah yang mengintipku?

"Sudah kuduga, kau si mesum sialan," lidahku berdecik, cibir. Tongkat tadi kugunakan untuk mengangkat dagunya—Samuel terdiam. Tapi, ada hal lain yang aku sadari dari tubuhnya.

Samuel, duduk di lantai dengan kedua paha terbuka, menampilkan batangan penisnya yang tegak di balik celana. Sontak, getir horor menimpa wajahku. Kujauhkan badanku darinya, namun satu kakinya mengunci betis kurusku secepat kilat.

"Ngh." Samuel—si sialan itu mendesah. Tak perlu kudorong mataku ke bawah untuk mengetahui. Samuel, dia memakai bagian bawah tubuhku sebagai stimulasi onaninya.

Kakiku tak bisa bergerak. Bukan karena kedua tangannya yang memelukku, namun, tubuhku tak membiarkan aku pergi.

"Kau. Jangan-jangan, kau terangsang setelah mengintipku?" celetuk lidahku, mencibir miris. Palsu. Aslinya, badanku ikut terasa panas.

Samuel lihai sekali menggoda kepala penisnya—yang berwarna pink segar—dengan jemarinya, hingga tubuh atletis ramping itu mengejang nikmat.

Insting primataku ikut meronta.

Suara desahan Samuel di bawah sana, mengingatkanku momen panasnya dengan Angel, di toilet Bar. Cowok cupu yang hanya tau tugas dan buku itu, mendadak menjelma menjadi lelaki yang lihai bermain seksual. Panggulnya bergerak maju mundur, membenturkan batang penisnya pada ujung sepatuku. Aku menelan ludah. Ingatanku terbawa pada teriakkan Angel yang penuh kenikmatan.

Digempur habis oleh Samuel. Seperti sedang membawa pintu surga jatuh padanya.

Bagian bawahku mulai basah. Dan, aku tak tahan lagi. Kepribadianku seperti membelah menjadi dua. Satu, sisi rasional yang membenci cowok cupu itu. Sisi lain, adalah Sienna si gadis biasa yang terangsang melihat seorang lelaki masturbasi dengan kakinya.

Aku menggigit bibir basahku. Apa ... Memang seenak itu?

Senikmat itu, kah, seks dengan Samuel, sampai membuat Angel terkenal polos, berteriak meminta kenikmatan seperti orang memakai?

'Bagaimana ... Kalau aku juga—' kata hatiku, langsung terpangkas.

Kami berdua buru-buru mengubah posisi, saat mendapati seseorang masuk ke gudang perabotan kimiawi. Dan, hampir menangkap basah kami berdua.

"Sienna?"

Suara Jonathan meremang di telinga. Pintu gudang terbuka, Jonathan datang membawa sekotak penuh cairan kimiawi untuk eksperimen lensa warna kami Minggu depan.

Rautnya memasang terkejut. Detik kemudian, matanya jatuh pada Samuel yang sudah bercelana lengkap. Duduk bersimpuh di lantai—di depanku. Tak sanggup membawa wajahnya ke depan.

"Apa yang mau lakukan di sini, bro?" Jonathan menegur Samuel terlebih dahulu. Nadanya sarat akan tak suka. Karena tau, dia tidak bisa memarahiku, jadi dia menargetkan Samuel lebih dulu. "Ini ruang khusus guru dan staf. Murid dilarang masuk kecuali ada izin khusus. Kau, ada keperluan apa di sini?"

Samuel—dia diam. Hening lelaki itu ditemani rambut basahnya oleh keringat, tersapu halus oleh gerak tubuhnya yang beringsut bangkit berdiri. "Maaf," ucapnya, halus, kental oleh nada bersalah. Kubiarkan Jonathan mengurus cowok cupu itu, tapi mataku, justru fokus pada tengah selangkangannya.

Yang ... masih berdiri.

"Eh! Tunggu!" Mulutku memekik spontan. Seketika wajah merahku berubah pucat mayat. Jo, Samuel, melirik padaku bersamaan. Melirik pada selangkangan Samuel lagi, wajahku mulai menyalin merahnya tomat.

Samuel—juga, sok ikut memandangku dengan tatapan bertanya. Ini berkat kau, sialan. Maksudnya, dia mau berdiri dan berjalan di depan Jonathan dengan kondisi penis tegak, basah di dalam, seperti itu?

Hanya ada aku di sini. Kalau Jonathan berbalik menuduhku, nyawaku jadi taruhan!

Kupilih jalan pintas. Liquid box bawaan Jo kurampas sekali serang. Total tujuh botol cairan warna di dalamnya, kubuka semua. Dan, kusiram seluruhnya ke tubuh Samuel.

Semuanya. Sampai tubuh kutu busuk itu basah kuyup penuh warna-warni cairan. Kupastikan tak ada bagian yang kering. Cukup untuk menyembunyikan cairan cinta Samuel dalam celananya.

Samuel, terdiam. Jonathan, berkerut keningnya, tak suka melihat aksiku.

"Hey ..." Jo mengelenguhkan napas menderu. Wajah blasteran Indonesia-Jerman itu tergeleng padaku. "Itu untuk ujian kita Minggu depan, Sienna."

Ekspresiku datar. Aku tau Jo akan marah. Tapi, daripada dia melihat Samuel ereksi di satu ruangan denganku, ocehan wali kelas kami nanti terasa lebih ringan untuk ditahan.

Aku terus dimarahi Jonathan, Samuel sibuk membersihkan sisa cat warna yang menggenang di kepalanya.

Bayaran yang tak setimpal untuk menyelamatkan harga diri. Tapi, diamnya aku di depan Jonathan menyimpan rasa penyesalan. Kalau saja Jo tidak menganggu, mungkin, aku bisa sedikit lebih lama menyaksikan cowok cupu itu.

Penasaran. Bagaimana Samuel bisa menggoda sepupu polosku, Angel, sampai berubah segenit pelacur? Aku mau melihat. Memastikan. Mungkin, Samuel bisa menunjukkan—

—tunggu dulu.

Apa? Menunjukkan apa, Sienna? Dan kenapa ... aku jadi penasaran sama cowok cupu itu?

"Intinya, tolong refrain something like this to happen in our school. Dan kamu, sayang, harus secepatnya menyudahi bully-mu itu. Kamu enggak tau, Samuel itu sebenarnya adalah—hey! Sienna! Aku belum selesai bicara!"

Langkahku berlarian meninggalkan gudang. Jo masih di sana, peduli setan. Rasa jijik pada pikiranku sendiri melebihi bersalahku saat ini.

Begitu otakku kembali waras, kusadari pikiranku soal Samuel si cupu mulai berbelok drastis. Sebelumnya, dia hanya pelampiasan emosiku semata. Sekarang, terjalin rasa penasaran tabu yang seharusnya aku, Sienna Halim, paling tidak boleh merasakannya.

Oke. Kuakui, seks Samuel dan Angel memang menggoda. Bikin penasaran. Lalu, apa? Bukan sekali dua kali aku memergoki teman sekolah kami seks di luar nikah. Perawanku hanya di badan, bukan di mata. Tapi, kenapa Samuel begitu istimewa?

"Jangan bilang aku suka sama dia," gumanku, entah kenapa, tergelak sendiri saat kakiku sibuk berlarian kabur entah dari apa.

Demi mengembalikan kewarasan, aku kembali masuk kelas. Sienna Halim terkenal hobi bolos, tapi kali ini aku rela duduk diam 7 jam penuh di kelas tanpa komplain. Semua demi menghilangkan bayangan wajah horny Samuel dari kepalaku.

Walau setiap aku melihat ke dalam kertas, yang muncul justru ekspresi terangsang cowok itu yang menggesek kemauannya pada kakiku.

Jam sekolah usai, orang pertama yang menagih penjelasan padaku: Raya, bisa ditebak. Gadis berambut ikal itu menodongku di depan kelas. Tanpa ampun. Penjelasanku langsung ditagih di tempat.

"Kau!" Raya menudingku di depan kawan-kawan kami. "Seminggu enggak ada kabar! Kau sudah enggak anggap aku temanmu lagi, hah!"

"Tsk." Kutepis telapaknya, yang hampir mencolok mataku. "Bukan gitu. Aku mau telpon, hape-ku disita ayah. Gimana mau kasih kabar?"

Ocehan Raya berhenti di moment kubawa kata sakral itu ke tengah percakapan kami. "A-ayahmu menyita ponselmu? Wow, girl. What did you do this time to make him that angry, huh."

Pandanganku terbuang jengah. Kekesalan Raya langsung dipoles bersih oleh rasa takutnya. "Mau dengar ceritaku? Tapi, jangan di sini. Cari tempat aman. Oh, sekalian, besok ultah-ku. Kau dan Agnes berjanji mentraktirku," kupotong sisa ucapan, menunggu reaksi Raya yang cekikikan sok lupa.

"Hehe. Iya, mau makan dimana?" sahutnya bernada tak enak. "Gimana kalau resto Hotel kakakku? Kau suka seafood, kan? Di sana best banget. Sekalian malamnya kita party, ajak Jo! Aku telpon dia, oke?"

"Jangan." Ku hentikan gerak tangannya. Raya menyorot bingung. Sebelum dengar dia komplain, buru-buru kuluruskan.

"Jo sibuk. Nanti aja. Panggil anak lain, atau kita bertiga juga oke," kusambung cepat. Dengan mudahnya Raya menerima alibiku, realitanya aku sedang menyembunyikan sesuatu.

Benci kuakui, tapi belakangan ini terlalu banyak insiden aneh terjadi. Dan semuanya, berkaitan dengan Samuel. Bohong kalau aku tak terpikirkan. Malah, isi kepalaku penuh dengan wajahnya.

Jonathan, dia sangat sensitif. Dia orang pertama yang tau ayah menyiksaku sebulan penuh, meski memar ditubuh sudah kututup. Aku jamin kalau Jo melihatku malam ini, dia akan menyadari ada sesuatu yang calon tunangannya sembunyikan.

Yaitu, Sienna Halim diam-diam memiliki guilty pleasure pada cowok paling cupu di sekolah.

"Lama banget. Katanya, mau jemput pakai mobil." Aku menggerutu sendirian. Kakiku mulai kebas, berkat memilih tempat paling sepi di sekolah untuk gerbang utama pesta kecil kami nanti.

Demi menghindari Jonathan, aku menyuruh Raya dan Agnes menjemputku di belakang gedung keperawatan yang masih kosong. Tempat paling sepi yang bahkan anak paling nakal pun ogah untuk mampir. Kutunggu sendirian di sini, sambil merasakan gatalnya gigitan nyamuk.

Layar ponsel kulirik kesekian kali, Raya belum juga mengangkat panggilan. Kesabaranku mulai tipis. Kuketik satu pesan singkat lewat W******p, untuk Raya sebagai peringatan terakhir.

'Telat 5 menit lagi, kau kutinggal.' Bunyi pesan itu. Lalu, kirim. Aku tau dimana hotel bintang lima milik kakak tertua Raya, tapi kami bertiga sepakat berangkat bersama. Karena, Raya yang berjanji akan membiayai pesta ulang tahun early-ku malam ini.

Raya selalu membual, tentang betapa sukses kakaknya. Kita lihat malam ini, se-tajir apa keluarganya. Kalau dia bohong, aku tinggal mem-bully-nya juga.

Lima menit terakhir berlalu. Perjanjian dibatalkan. Raya dan mobilnya tidak kunjung datang, aku pun bersiap untuk memesan taksi online sendiri.

Sambil mengumpat kesal, kupilih titik jemput paling dekat dengan jalan raya. Di tengah sepinya jalur pertigaan, mataku mendapati sebuah mobil mewah—terlalu mewah untuk taksi online, pun untuk mobil pribadi Raya.

Tapi, mobil itu berhenti di depanku.

Aku mulai mencium hal tak beres. I had my fair share of fight in the middle school, jadi aku tau mana mobil yang mencurigakan, mana yang bukan.

Dugaanku tepat. Dua pria berjas hitam, berbadan besar mirip petinju, dengan tato naga di leher mereka, keluar dari mobil mewah itu. Melihatku berlari ketakutan, mereka cepat mengejar.

"Tolong!" aku berteriak. Panik. Mengapa genre hidupku cepat sekali berubah? Dikejar pria garang di sekolah, ini bukan sinopsis film action!

Kaki kurusku tak sanggup menandingi kecepatan lari mereka. Dengan sekejap, dua pria itu menangkapku. Salah satu di antara mereka menutup mulutku dengan sapu tangan basah. Seketika, aku kehilangan napas. Sedetik kemudian, kesadaranku menghilang.

Di tengah kesadaran menggantung, aku bisa mendengar kedua pria itu tertawa.

"Bawa dia ke mobil. Tuan Muda sudah menunggu," ucap salah seorang di antara mereka.

이 책을.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Dulu Pembulinya, Kini Wanita Mainannya    Chapter 6

    Chapter 6Samuel Yudhistira POVSemua berjalan lancar.Begitu Sienna datang, segala phobia dan trauma yang kumiliki, hilang.Aku sedikit berekspektasi Sienna—paling tidak—akan melabrakku, begitu melihatku menyetubuhi sepupu polosnya. Siapa sangka? Di depan kamera pengintai yang William install pada tembok yang memisahkan kami, bisa kulihat ekspresi wajah Sienna dengan jelas.Kedua pipi bersemu, napas memburu. Ekspresi itu, jelas bukan ekspresi yang dikeluarkan ketika dia sedang marah.Kutunda dulu rasa puasku, untuk melakukan eksperimen.Kujambak rambut Angel dari belakang, hingga lehernya tertolak menyerupai busur. Dengan rambutnya ditanganku, bisa dengan mudah aku menggenjot pinggangku di bawah sana. Bunyi benturan kulit, kecipak yang seharusnya tidak terjadi, menggema di toilet kosong ini. Mustahil, Sienna yang sedang bersembunyi di balik dinding, tidak mendengarnya."L-lebih cepat, Samuel ..." Angelina, dia pintar belajar.Tanpa perlu kusuruh, dia membuat desahan-desahan erotis. M

  • Dulu Pembulinya, Kini Wanita Mainannya    Chapter 5

    Samuel Yudhistira POV"Ini ponsel Sienna yang kujanjikan. Sekarang aku sudah menyerahkannya padamu, kau akan memberikanku uang itu, kan?"Hitam legam tanpa dihiasi apapun, berbeda sekali dengan seleranya pada saat taman kanak-kanak dulu. Seorang gadis berkacamata tebal, membersikan permukaan telapaknya di atas rok biru, berkali-kali. Usai membiarkanku merasakan lempengan metalik berlayar gelap itu, Angelina Halim terpucat-pucat wajahnya.Bahu ringkih gadis di depanku gemetar, mengikuti suaranya yang sarat akan ketakutan. "Kau akan memberikan uang itu persis dengan jumlah yang kau janjikan, bukan, Samuel? Aku sangat membutuhkannya. Hari ini, aku harus menyerahkannya pada orang itu."Hidungku mendengus. Manusia, lelaki atau wanita, sifat aslinya terkuak begitu dihadapkan oleh harta. Kugerakkan jari telunjukku, pada William—pelayan pribadiku. Usai dia menyampirkan jubah hitam panjangnya, William menyeret sekoper besar uang dari dalam mobilku.Koper besar diletakkan tepat di depan sang ga

  • Dulu Pembulinya, Kini Wanita Mainannya    Chapter 4

    Sienna Halim POVBuru-buru kutarik celana dalamku, mengancingkan rok asal demi mengejar pengintip itu."Jangan kabur kau! Hey! Sialan!" Pengintip itu sudah kabur. Kakiku, justru tersandung pintu toilet yang menghalangi jalan. Sepanjang berlarian kutahan sakit, tapi tak sebanding dengan amarah mencuat untuk menangkap pengintip sialan itu.'Akan kubunuh. Akan kubunuh dia begitu kutangkap. Takkan aku biarkan siapapun melihat matahari besok dengan matanya yang dia pakai untuk mengintipku,' sumpah serapahku bertebaran dalam hati. Lorong gedung SAINTEK aku lewati, kutemukan sepasang jejak basah dari sepatu yang menyambung dari toilet, hingga ke gedung perabotan kimiawi sekolah.'I got you, bitch,' batinku tergelak.Permainan mengejar rubah telah usai. Senyumku mengembang seraya kudapatkan pengintip itu, rambutnya mencuat dari balik jendela kaca—niat sembunyinya berhasil kupatahkan.Hockey Player, Dilan, yang pernah nembak aku tahun lalu, berjalan lewat di depanku. Mereka hendak menuju lapa

  • Dulu Pembulinya, Kini Wanita Mainannya    Chapter 3

    Sienna Halim POV "Tau namaku darimana?" Aku bertanya. Segelap lampu yang memudarkan wajah tegasnya, pria misterius itu enggan menjawab. Lebih cepat dari hentakan musik pada piringan disc jockey, begitulah pria misterius berkarisma yang saat ini sedang mencuri perhatianku. Giselle dan aku—pandangan kami saling bertukar arahan. Gerakan matanya mengindikasi saran agar aku segera pulang, agar dia bisa 'melayani' tamu barunya ini. Harusnya, itu adalah SOP yang normal. Lainnya, kepalaku justru lebih tertarik untuk memperhatikan pria ini dari dekat wajahnya. "Oh." Baru sadar. Pria ini menyodorkanku segelas kecil wine Cabernet Sauvignon, sebagai salam perkenalan. Semakin kecil gelasnya, semakin tinggi alkoholnya. Kutarik kesimpulan, pria ini tidak tau usiaku masih di bawah umur. "Aku masih sekolah, Pak," ucapku—sengaja. Aku tau lelaki ini belum setua itu, tapi cara pdkt-nya sangat kuno sekali. "Hm," gumamnya, matanya tergulir pada barisan koleksi liquor milik Giselle. Jemari kekar

  • Dulu Pembulinya, Kini Wanita Mainannya    Chapter 2

    Sienna Halim POV"Sie—"Sebelum tangan itu menarikku, sudah lebih dulu aku berlarian pergi. Engsel pundakku sedikit terkilir akibat betapa kencang mencoba melarikan diri dari genggaman tangan kekar itu.Begitu panik saat tetangkap basah mengintip mereka, sampai tak sempat lagi memandang siapa yang menarik tubuhku tadi. Kekuatan tangannya tidak masuk akal. Apa Samuel sekuat itu selama ini? Sambil terus berlarian bak orang sinting, kusentuh pundakku yang berdenyut nyeri. Lalu, memandang horor ke belakang.'Inikah cowok yang selama ini aku siksa? Maksudku—kalau dia sekuat ini, buat apa dia selalu diam tak melawan setiap kali aku bully?' batinku tidak bisa berhenti bertanya-tanya.Merinding. Dan, gelisah.Dua kata itu mencakar dadaku saat ini. Rasanya lepas mengetahui sifat asli Samuel, secuil bagian di hatiku berteriak ketakutan. Memperingatkan, mungkin saja, selama ini aku telah memilih lawan yang salah.Namun, gelisah itu sebatas buih di lautan garam. Lepasnya, ombak kemarahan mengepul

  • Dulu Pembulinya, Kini Wanita Mainannya    Chapter 1

    Sienna Halim POV"Siram lagi! Hey, yang banyak! Kau tuli? Aku bilang, siram yang banyak!"Gadis yang menggenggam botol bir keluaran tahun 1980-an itu, menatapku dengan wajah horor penuh air mata. Gemetar di tangannya mewujudkan betapa mustahil request yang kuberikan. Kudorong dengan ujung sepatu, meja yang menghalangi kami berdua itu. Merebut botol kaca se-keruh air selokan, lalu——byur.Menyiram wajah Samuel Yudhistira dengan liquid wine konsentrasi tinggi. Hingga cairan alkohol itu masuk ke matanya."Pfftt." Kugigit punggung jari telunjukku, menahan tawa. "Fucking hell. Sudah se-merah wine pun, aku masih tak sudi melihat wajahmu. Menjijikan. Gimana bisa, manusia melahirkan manusia babi sepertimu? Cih."Ludahku mencuat. Kutembakkan air liurku tepat ke batang hidung lelaki itu—yang parasnya hanya bisa diam semata.Kurasakan sebuah cengkeraman tangan menyapa pundak—dari belakang, tiba-tiba—muncul punggung tegak Jonathan. Tampak sedikit basah kerah kemeja hitamnya, napasnya tersengal. J

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status