Adrian tetap tak bergeming. Tak ada rasa iba di dalam lubuk hatinya. Sama seklai. Walaupun air mata terus bergulir di wajah wanita canti itu.
"A-ku benar-benar sakit hati dengan perlakuan kamu ini, Adrian. Bukan kah Papa meminta kamu untuk melamr aku? Dan sekarang kamu bilang kita tak ada hubungan. Setelah kau mengenal wanita kemarin itu. Iya 'kan?" Suara Sella masih terisak.
"Papa kamu hanya meminta, kalau aku bersedia Sella. Tolong dipahami kalimat itu. Jangan kau putar-putar dan bolak balik. Mengerti?" Suara Adrian sedikit melunak.
"Apa kelebihan wanita itu?"
"Yang jelas aku sampai sata ini belum ada hubungan spesial dengannya. Jadi aku bleum tau apa kelebihan yang dimiliki Amelia."
"Ohhh, Amelia namanya!" Sembari mengusap kasar wajahnya.
Tampak api cemburu membakar hati Sella.
"Hanya saja, dia selalu bisa membuat aku tersenyum. Dan aku merasa nyaman di dekatnya," ucap Adrian dengan tatap mata yang masih tajam mengarah pada Sella.<
Seketika Adrian terdiam dengan pertanyaan Om Handy. Dia tak bisa menjawabnya."Apa kekurangan Sella?""Enggak ada, Om. Bahkan dia terlihat sangat sempurna.""Dan kamu tak bisa menerima dia?"Kali ini Adrian diam."Maafkan saya, Om. Bayangan Renata masih belum bisa saya lupakan. Saya masih terlalu mencintainya."Mendengar ucapan Adrian. Membuat Sella memalingkan wajahnya. Tampak dia masih belum bisa menerima perlakuan lelaki itu terhadap dirinya."Aku tak memaksa kamu, Adrian. Hanya saja Om sangat senang seandainya kamu mau jadi menantu Om.""Sekali lagi maafkan saya Om. Saya masih belum berpikir ke arah sana.""Tak masalah Adrian. Tapi ingat! Kalau kau ingin mencari istri. Ingat Sella!"Dia pun tak berani untuk berjanji. Baginya sulit untuk menerima Sella. Karakter wanita itu tak disukainya."Oke, Adrian. Om mau pergi dulu. Berbincanglah kalian berdua.""Baik, Om."Setelah kepergian Handy Sant
Mereka bersiap menuju kota kelahiran Salsa. Melewati jalan tol. Perjalanan pun tak terlalu jauh. Hanya sekitar dua jam.Sesekali Salsa melirik pada Romy yang hanya diam. Pandangannya terus mengarah pada luar jendela. Salsa pun tak berani mengajaknya bicara. Dia pun ikut diam."Kalian ini kok dari tadi diam aja. Nanti kalau sampai di rumah Salsa. Jangan diam aja lho!""Iya, Ma," sahut Salsa.Tak lama kemudian. Rombongan dua mobil itu pun sudah sampai di depan rumah Salsa. Di teras depan. Sudah berkumpul saudara dan kerabat Salsa. Yang menyambut kedatangan mereka."Pengantin baru datang," ujar salah seorang dari mereka.Dari dalam rumah terlihat seorang wanita berlari keluar. Dia langsung tersenyum lebar begitu melihat rombongan pengantin datang. Pandangan matanya mencari sosok anaknya, Salsa."Ibuuu ...!" ucap Salsa tanpa suara.Tampak wajah keduanya berbinar. Memendam kerinduan. Ibu Sulastri mmebesarkan Salsa semenjak kematian
Sulastri terdiam. Dia mengerutkan dahi saat melihat perubahan di wajah Salsa. Dia berjalan mendekat."Ada apa, Nak? Apa ada perkataan Ibu yang membuat kamu berpikir? Atau mungkin tersinggung?""Ohhh, enggak Bu. Ehhh ... Salsa cuman capek dikit.""Ya, sudah kamu istirahat sana. Ini kopi buat suami kamu.""Iya, Bu. Salsa ke kamar dulu ya?"Sulastri mengangguk. Dia terus memperhatikan gerak tubuh anaknya."Dia sedikit berbeda. Tak seceria dulu. Apa ada permasalahan dalam rumah tangga mereka? Tapi, wong yo belum sampe seminggu."Sulastri hanya meneguk rasa penasaran yang mendera. Tapi, dia menepis semua."Enggak mungkin. Wong mereka baik-baik aja kok," ujarnya berbisik.Kemudian Sulastri menemui kerabatnya yang lain. Di teras rumah. Sedangkan Salsa hanya bisa berdiri terpaku. Saat melihat sang suami sudah terlelap."Kalau kamu tidur seperti ini. Aku di mana?"Salsa duduk di pinggir ranjang. Sesekali dia menoleh
'Cerai?'Kata itu terus terulang di bibir Sulastri. Secara tak sengaja dia menguping pembicaraan mereka. Waita itu tersentak. Seolah tak percaya dengan apa yang baru dia dengar.'Enggak mungkin! Aku pasti salah mendengar. Apa lagi mereka baru saja menikah. Mungkin hanya pertikaian kecil. Pasti itu!'Sulastri berjalan menuju kamar. Dia asih terpaku dengan kata-kata Romy. Tak menyangka pertengkaran mereka membuatnya berpikir.Tampak wanita itu gelisah dan cemas. Kalimat itu terus terngiang di telinga dan pikirannya."Apa yang sebenarnya terjadi antara mereka? Buatku ini aneh banget.Enggak mungkin 'kan kalau suami Salsa minta cerai?"Wanita itu terus memikirkan hubungan putrinya yang baru seumur jagung. Baginya sebuah perceraian dalam rumah tangga, hal yang tabu. Apa lagi sampai menimpa Salsa. Gunjingan keluarga, kerabat, serta para tetangga.Dia langsung bergidik dan menggelengkan kepala. Tak ingin apa yang ada dalam p
"Melihat hubungan anak kamu? Si Salsa?"Sulastri mengangguk."Bukannya mereka baru menikah?""Memang Bu Kohar. Tapi saya ini gelisah."Wanita itu mempersilakan Sulastri untuk masuk."Duduklah dulu. Ini sebenarnya ada apa?""Aku mendengar mereka berdua lagi bertengkar.""Lalu? Namanya juga pengantin baru. Wajar lah kalau mereka ada pertengkaran seperti itu. Sampean jangan ikut campur urusan anaknya.""Tapi saya ini enggak bisa tenang, Bu. Apalagi suaminya Salsa sampai bilang cerai."Wanita itu mengerutkan dahinya. Dia menatap tajam pada Sulastri."Baiklah, aku lihatkan dulu!"Dia pun ke dalam. Menuju kamarnya. Hanya dalam hitungan detik. Bu Kohar sudah kembali. Dia seperti membawa sebuah kotak kecil yang berisi kartu.Kemudian dia meletakkan di atas meja. Jemari tangannya bergerak cepat menata beberapa kartu. Tampak Bu Kohar mulai membuka satu persatu. Hanya saja dia masih diam."A-apa ar
Pertanyaan yang diajukan Sulastri membuat Salsa terkejut. Dia mencoba mengalihkan pandangan. Menghindar dari tatapan sang ibu."Kenapa kamu berpaling? Apa kamu enggak mau bilang sama ibu?""Bukan itu, Bu. Cuman pertanyaan Ibu aneh buat Salsa.""Aneh gimana? Bagi ibu enggak aneh sama sekali. Kata cerai yang keluar dari bibir suami kamu itu. Menyakitkan buat Ibu. Tau kamu?!"Salsa terdiam, dengan kepala yang tertunduk. Dia tak tahu harus menjawab apa?"Apa benar yang Ibu bilang tadi?""Enggak benar itu, Bu!"Sulastri yang kesal. Menarik kedua bahu anaknya. Hingga menghadap dirinya. Dia pun menatap tajam pada Salsa."Tatap Ibu, Salsa!""Iya, Bu.""Sekarang katakan dengan jujur. Apakah Romy mempunyai wanita lain?"Salsa langsung menggeleng."Kamu jujur?""Iya, Bu. Buat apa Salsa bohong. Lagian buat apa nikah sama Salsa kalau ada cewek lain."Suara Salsa terdengar tegas. Membuat Sulastri men
"Kau mau ajari aku tentang rasa sakit Amelia?" Suara Romy terdengar kesal."Aku enggak mau berdebat sama kamu, Rom!"Terdengar suara Romy yang terkekeh. Seolah menggoda Amelia agar tersenyum atau malah tertawa bersamanya. Namun Amelia semakin kesal."Aku enggak mengajak kamu berdebat, Mel. Besok aku sudah di Surabaya. Malam aku ke rumah.""Maksud kamu ke rumahku?""Iya lah. Emangnya mau ke rumah siapa?""Jangan!""Apa maksud kamu jangan?""Kamu sudah punya istri, Rom. Tolong mengertilah hal ini!""Yang aku hanya bisa mengerti hanya semua tentang kamu. Baru aku mau memahami dan mau untuk mengalah."Amelia masih terdiam terpaku. Dia tak tahu harus meyakinkan Romy, tentang apa lagi."Aku sudah lelah, Romy. Aku sudah tak mau lagi menghadapi kepahitan hubungan kita. Jadi tolonglah, Rom. Jangan kamu kacaukan semua ini.""Mana ada aku kacaukan semua. Yang ada
Selama perjalanan mereka berdua saling terdiam. Amelia melirik pada lelaki di sebelahnya. Wajahnya terlihat kokoh dengan rahang yang tegas. Hidungnya mancung, dengan garis mata yang sedikit meruncing. Terkesan oriental. Membuat wajahnya begitu indah dipandang. "Ada yang salah dengan wajahku, Mel?"Seketika pertanyaan Adrian membuat Amelia gelagapan. Dia membenarkan posisi duduknya. Seolah sedang merapikan pakaiannya. Yang sebenarnya sudah terlihat rapi."Apa kamu heran lihat aku di sini sekarang?""Jujur, iya. Aneh aja sih." Amelia memberikan jawaban tanpa menoleh pada Adrian."Kenapa? Wajar 'kan? Lagian Surabaya - Malang itu hanya satu jam. Bahkan enggak sampai."Entah mengapa suara Adrian begitu menggetarkan jiwanya yang sepi. Seakan luruh oleh sebuah rasa yang asing.'Ishhh, kamu ini kenapa sih Mel? Mikir yang aneh 'kan? Ingat si pacarnya yang galak!'"Kok diam? Malah ngelamun lagi.""Ehhh ...."