Amelia menyandarkan tubuhnya. Selama perjalanan tak banyak pembicaraan di antara mereka. Amelia beberapa kali melirik ke arah Romy. Yang fokus pada jalan.
"Kenapa Mbak?"
Dia hanya menggeleng.
"Enggak apa-apa kok Rom."
Amelia membuang jauh pandangannya ke luar jendela. Tampak dia hanyut dalam lamunan. Terbayang saat mengenal pertama kali Romy Pradipta. Pikirannya terbang jauh sembilan tahun yang lalu.
Di saat Amelia Pratiwi masih menjadi staf pengajar di sebuah Universitas Swasta di Semarang. Dia pernah merasakan usia rawan bagi seorang wanita. Tiga puluh tahun. Sedangkan kedua orang tua seolah tidak mau tahu. Terus menuntut untuk segera menikah.
"Emang menikah semudah yang mereka bilang?" bisik Amelia. Mencoba berdamai dengan hatinya.
“Jangan karier yang terus kamu kejar Mel, laki-laki gak bakal berani dekati kamu biarpun kamu cantik!” Kalimat itu selalu terngiang di telinga.
Hingga aroma par
"Kamu ingin merebut hati Dita?"Kali ini Amelia bertanya serius."Apa ada yang salah Mbak?""Enggak sih. Kamu kan kakaknya.""Tapi dia terbiasa panggil Om. Iya kan?"Amelia hanya mengangguk. Dia terus mengikuti langkah Romy yang menuju sebuah rak. Tempat boneka hello Kity dengan ukuran sebesar manusia dewasa."Kamu mau belikan Dita ini?""Iya. Apa dia enggak suka?""Bu-bukan itu, tapi buat apa?""Sesekali lah Mbak. Aku belum bawain dia oleh-oleh."Tanpa menghiraukan Amelia. Romy terus berjalan menuju kasir. Setelah membayar, spontan Romy menggandeng tangan Amelia. Langkah mereka berdua berjalan sejajar. Tampak tinggi Amelia sebahu Romy.Ketika keluar dari toko, hujan deras langsung menyambut mereka.“Mbak tunggu di sini! Aku ambil payung.”Namun Amel mencegahnya.“Kita lari aja ke mobil.”Romy mengikuti langkah cepat Amelia dengan memayungkan boneka ke ata
"Kamu ngomoing apaan sih Adrian?"Terdengar tawa yang meledak. Saat melihat wajah Amelia seperti udang rebus."Maaf! kebetulan aku salah satu pria yang paling tidak suka memaksa wanita.""Baguslah!"Kembali Adrian tersenyum dengan melirik pada Amelia yang terlihat cemberut."Hubungan kalian itu terlalu rumit Amelia. Sebaiknya tinggalkan dan kamu bisa bahagia dengan cara kamu.""Terima kasih atas nasehatnya!"Perjalanan mereka mulai memasuki gerbang kota Surabaya."Serius kamu mau antar aku sampai rumah?""Iyalah Adrian. Masa aku bohong?""Pulang besok aja ke Malang. Istirahat dulu di rumahku." Seraya mengerling pada Amelia yang masih gusar."Haaa? Rumah kamu?!""Udahlah, lihat rumahku dulu!"Amelia hanya terdiam. Dia tak langsung memberikan jawaban. Sampai akhirnya mobil mereka memasuki sebuah perumahan elit kawasan Surabaya timur."Wowww! Ini lingkungan rumah kamu Adrian?"Lelak
Cukup lama mereka berenang dan saling berbincang. Amelia mengabaikan suara dering ponsel yang terus berdering. Dia begitu menikmati berbincang hangat dengan Adrian. Sungguh dia pintar memperlakukan Amelia sebagai seorang wanita. Berulang kali kalimat yang terlontar. Membuat rona merah di kedua pipi Amelia."Wajah kamu memerah. Seperti tomat. Apa lagi gantiin badut Ancol?"Seketika Amelia tersipu malu. Dia berusaha menyembunyikan wajahnya dengan menyelam ke lantai dasar. Dan berenang hingga ke ujung. Membuat Adrian tersenyum lebar melihat tingkah polahnya."Kamu malu, Mel?" teriak Adrian."Enggak. Buat apa?" Tetap saja kata-kata yang terlontar tak bisa menyembunyikan rasa jengah di lubuk hatinya."Yakin?"Adrian pun berenang ke arahnya. Hingga mereka saling berhadapan. Jarak di antara keduanya hanya beberapa kilan. Amelia mendongak ke arahnya."Kenapa melihat aku seperti itu?""Enggak boleh?" Adrian terus menat
"Apa hatimu masih penuh dengan cinta Romy?"Sebuah pertanyaan yang tak mudah bagi Amelia untuk menjawabnya. Dia hanya terdiam dengan meneruskan mengganti semua pakaian yang basah.'Waduh! Harusnya aku ke mobilku dulu. Daleman aku basah. Iiiihhh ... kenapa aku jadi tulalit gini sih?' Amelia merutuki dirinya sendiri dalam hati.Hingga dia mendnegar sebuah ketukan pelan.Tuk tuk tuk!"Mel, buka sebentar!""Haaahhh? Kenapa?""Bukalah dulu!"Adrian berdiri di sisi pintu luar. Tampak Amelia membuka sedikit pintunya perlahan. Dari dalam ruang ganti yang tak luas itu. Dia melihat tangan Adrian menyodorkan sesuatu yang masih terbungkus plastik.Sesaat Amelia terpaku. Pandangannya tertuju pada barang yang ada dalam genggeman Adrian."Untukku?""Cobalah dulu. Ini semua masih baru, tapi aku mana tau ukuran kamu. Tiga empat, tiga enam atau malah tiga delapan? Dengan cup A atau B? Kalau yang bawah, kura
Brakkk!Terdengar suara pintu yang dibanting keras."Apa-apaan kamu Mas?" tegur Salsa yang terkejut."Jangan bicara apa pun juga! Sebaiknya kamu diam!" sentak Romy tegas.Membuat Salsa terhenyak. Dia hanya bisa berdiri mematung. Menyaksikan suaminya yang semakin terlihat gelisah.'Pasti ada hubungannya dengan Tante Amel.'Terlihat Salsa semakin gusar. Tingkah Romy sudah tak menyenangkan baginya."Aku muak lihat tingkah kamu ini Mas!""Kalau kau muak kenapa masih di sini?"Seketika raut wajahnya memerah. Dia kesal dengan ucapan Romy. Lalu keluar kamar dengan membanting pintu.Braaakkk!"Memangnya hanya dia yang bisa banting pintu?" ujar Salsa kesal.Tiba-tiba ...."Kalian bertengkar?"Seketika suara itu membuat Salsa terkesiap. Dia langsung menoleh ke belakang."Mamaaa ...?" Wajah Salsa berubah. Dia berusaha untuk tetap terlihat tenang."Kalian bertengkar?"
Setelah selesai makan malam. Mereka berbincang hingga larut. Membuat keduanya terlihat sangat dekat dan akrab."Kau masih berjanji satu cerita sama aku, Adrian.""Tentang kucing?"Amelia mengangguk."Sebenarnya tak ada yang spesial. Cuman menurutku itu malah terlihat sangat spesial di mataku.""Dia memberi makan kucing jalanan?""Iya. Walau masih dari kejauhan. Kucing-kucing itu langsung berdatangan. Seperti sudah tau siapa yang datang. Belum sampai Ren turun. Entah dari mana asalnya. Kucing-kucing pada berdatangan. Menunggu dengan sabar lho Mel.""Oh, ya?""Iya. Awalnya aku juga heran. Tapi itu nyata loh Mel."Tampak Amelia begitu mendengarkan setiap cerita yang meluncur dari bibir Adrian."Pasti cerita aku membosankan ya?""Kenapa kamu bilangnya gitu? Aku malah menikmati setiap detil cerita kamu Adrian.""Serius atau cuman buat nyenengin aku?""Serius dong."Adrian beranjak dari tempa
Kenangan itu masih menyakitkan bagi Amelia. Dia mendekap dadanya sendiri. Ternyata rasa nyeri itu masih tersimpan rapi di palung hati terdalam."Aku kira semua sudah tak berbekas. Kenyataannya aku salah. Rasa itu masih berbekas di sini!" Sembarai Amelia menepuk dadanya.Dia kembali teringat saat diperkenalkan Faiz padanya oleh Romy. Saat itu sikap dan perlakuan Faiz yang begitu dewasa. Membuat dirinya terpesona."Mau kah kamu menikah Amelia?"Sontak kalimat itu membuat Amelia terbelalak. Tak mampu berucap sepatah kata pun. Hanya derai air mata. Yang mengisyaratkan dia menerima."Haaahhh!"Terdengar tarikan napas yang berat."Lalu kenapa juga aku hanyut oleh cinta lama yang hadir kembali mengisi hari-hariku yang kosong? Kenapa Amelia?" Berulang kali wanita cantik itu, seolah sedang merutuki dirinya sendiri.Kekesalan hati pada dirinya sendiri. Pada akhirnya membuat Amelia terlelap.Tenggelam dalam buai temaramnya malam.
Adrian tetap tak bergeming. Tak ada rasa iba di dalam lubuk hatinya. Sama seklai. Walaupun air mata terus bergulir di wajah wanita canti itu."A-ku benar-benar sakit hati dengan perlakuan kamu ini, Adrian. Bukan kah Papa meminta kamu untuk melamr aku? Dan sekarang kamu bilang kita tak ada hubungan. Setelah kau mengenal wanita kemarin itu. Iya 'kan?" Suara Sella masih terisak."Papa kamu hanya meminta, kalau aku bersedia Sella. Tolong dipahami kalimat itu. Jangan kau putar-putar dan bolak balik. Mengerti?" Suara Adrian sedikit melunak."Apa kelebihan wanita itu?""Yang jelas aku sampai sata ini belum ada hubungan spesial dengannya. Jadi aku bleum tau apa kelebihan yang dimiliki Amelia.""Ohhh, Amelia namanya!" Sembari mengusap kasar wajahnya.Tampak api cemburu membakar hati Sella."Hanya saja, dia selalu bisa membuat aku tersenyum. Dan aku merasa nyaman di dekatnya," ucap Adrian dengan tatap mata yang masih tajam mengarah pada Sella.