“Memang! Aku memang munafik, kuakui itu. Aku tidak menyukaimu sejak dulu. Kau tahu, aku terpaksa menerimamu. Aku terpaksa membohongi diriku sendiri. Aku tak rela berbagi. Dan sialnya, Damar malah memujamu bak seorang Dewi. Sementara aku? Aku harus mengemis cinta oadanya sejak dulu! Selama bertahun tahun dia mencintaimu! Dia hanya menganggapku tempat pembuangan benih, tidak lebih. Saat ejakulasi, dia kadang menyebut namamu! Kau tahu, itu sangat sakit! Aku memiliki raganya, tidak hatinya!" Terang Caroline dengan jujur.
Sudah kepalang basah, mengelak pun percuma. Bukankah menceburkan diri lebih baik untuk saat ini? Toh, kedoknya sudah terbongkar, kan? Mau diapakan, ia tetap salah"Hidupmu menyedihkan. Mati saja kamu menyusul Pak Damar! Pergi saja ke sana dan minta maaflah! Istri tak tahu di untung dan durhaka! Untungnya aku tak mau menjadi madumu!" seru Diana dengan bahu bergetar. Wajahnya memerah dnegan otot di leher yang menonjol kuat."Itu semua kulakuka“Diana!” Damar kembali berseru, suaranya memecah keheningan. Diana tak peduli. Semakin sakit perasaannya, semakin kuat ia berusaha mengabaikan Damar. Ia menyeka butiran peluh yang membasahi pelipisnya, lalu mengusap perutnya yang masih tampak datar dengan gerakan lembut. “Apakah kisah Shanum dulu akan terulang lagi? Ya Allah, ini sangat sakit,” bisiknya lirih, air mata semakin deras mengalir di pipinya. Betapa menyakitkan pemandangan itu. Seorang istri sah memergoki suaminya dipanggil 'ayah' oleh anak kecil yang tak dikenal. Bayangan Damar bersama Carol, atau wanita mana pun, saja sudah cukup untuk melemahkan seluruh sendinya. Apalagi kenyataan yang ada di depan matanya saat ini. “Haruskah aku berbagi? Aku tak sanggup!” monolognya sambil terus mengayunkan langkah, berusaha menjauh dari Damar. Damar masih berusaha mengejar Diana. “Diana,
Deg! Deg! Diana terdiam sesaat, jantungnya berdebar tak karuan. Perlahan, ia menunduk, matanya menatap tajam ke arah bocah kecil yang kini memeluk erat kaki Damar. Sebuah pertanyaan tajam meluncur dari bibirnya, "Papa? Siapa dia, Mas?" Nadanya dingin, penuh selidik, seolah setiap kata adalah tuduhan yang siap meledak. "Hei, aku bukan ayahmu!" bentak Damar panik, suaranya meninggi tak terkendali. Ia mencoba melepaskan pegangan bocah ini. Damar melirik sekilas ke arah istrinya, dan jantungnya mencelos hingga ke dasar perut. Wajah Diana berubah keruh, pucat pasi, dengan sorot mata yang gelap. Mendung hitam bergelayut di wajah cantik itu, pertanda badai akan segera datang, jauh lebih dahsyat dari badai emosi sebelumnya. Damar mulai berkeringat dingin, merasakan firasat buruk yang menusuk. "Papa, jangan tinggalkan aku lagi, ya?" kata bocah laki-laki itu, suaranya merengek, memelas,
Damar berusaha menjawab sepelan mungkin agar tidak memicu keributan. Meskipun ia adalah pemilik rumah sakit ini dan tidak mungkin ditegur satpam—tapi membuat onar di tempat umum tentu akan mengganggu kenyamanan orang lain.Dulu, saat ia jujur menceritakan semua wanita yang pernah ia ajak ke ranjang, Diana seolah tidak masalah.Damar tidak tahu saja kalau mood wanita hamil memang sering berubah-ubah. Ia tidak pernah mendampingi Diana saat ngidam, mual, dan perubahan emosional lainnya, sehingga ia benar-benar tidak paham.Diana menatap suaminya dengan pandangan tajam menusuk, kedua tangannya sudah berkacak pinggang."Wanita mana yang tidak cemburu saat suaminya selalu dikelilingi wanita cantik? Bukan aku saja yang cemburu, tetapi wanita di luaran sana pasti akan melakukan hal yang sama denganku. Itu namanya wajar, karena aku takut kehilangan! Kenapa begitu saja kamu tidak mengerti, Mas?""Jangan mentang-mentang kamu sangat tampan, lalu kamu
"Damar! Ini benar-benar kamu? Astaga, kamu..." Suara itu terhenti, sarat akan keterkejutan yang bercampur nostalgia."Kamu Yola, kan? Sejak kapan kamu keluar dari penjara?" tanya Damar, matanya tanpa sadar melirik sekilas ke arah wanita di sampingnya, seorang wanita yang memancarkan aura sensual yang kuat.Pertemuan tak terduga ini terjadi di sebuah lorong rumah sakit. Sebuah ironi, mengingat mereka terakhir kali bertatap muka dalam suasana suram rumah tahanan, tempat Damar menyaksikan pengakuan Carol, dan Yola menerima konsekuensi dari perbuatan buruknya.Yola tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak menutupi masa lalunya yang kelam."Mungkin sekitar sebulan yang lalu. Kau rupanya sudah menikah? Wow, cepat sekali. Selamat, ya," gurau Yola, tawa kecilnya terdengar meremehkan sekaligus jenaka.Damar menarik napas, berusaha mengendalikan suasana yang tiba-tiba tegang. "Oh, ya, kenalkan. Ini Diana, istriku."Damar memperkenalk
Sudah tiga purnama berlalu, dan badai masalah pelik yang mereka hadapi telah mereda hingga ke akarnya. Status perceraian Damar telah resmi berakhir, dan beberapa hari setelah akta cerai keluar, pria berusia tiga puluh lima tahun itu segera mengesahkan pernikahannya dengan Diana.Siang itu, Diana menatap paras rupawan suaminya yang terlelap. Ini adalah akhir pekan, waktu ideal bagi Damar untuk quality time bersama keluarga. Namun, karena lelah luar biasa akibat urusan pekerjaan yang sangat menyita waktu, Damar memilih untuk berdiam di rumah dan terlelap sejak pukul satu siang.Liburan terpaksa ditunda. Tumpukan pekerjaan dosen dan urusan kantor masih menanti untuk diselesaikan."Aku sayang kamu, Mas. Jangan tinggalkan aku lagi," bisik Diana lembut, suaranya mengalun merdu tepat di telinga kiri Damar.Rasa cinta yang bergejolak pada pria di hadapannya sudah tak terbendung. Hati Diana bergetar setiap kali kulit mereka saling berse
Setelah keluar dari ruangan dokter, Damar segera mempercepat langkahnya, seolah ada magnet kuat yang menariknya menuju kamar perawatan sang istri. Pintu dibuka tanpa mengetuk, menampilkan sosok Diana yang sedang bersandar anggun."Mas, dari mana saja kamu? Katanya cuma sebentar mau kasih uang ke anak-anak? Kenapa lama sekali?" Diana memberondongnya dengan pertanyaan, nada suaranya memancarkan campuran rasa rindu dan keraguan.Tangannya yang lentik terus mengupas buah jeruk, sementara ia menyandarkan punggungnya pada hospital bed yang telah diatur meninggi."Itu... Tadi aku bertemu seseorang di sana," jawab Damar. Ia mencoba menjaga intonasi suaranya tetap tenang, walau tahu konsekuensi dari kalimat singkat itu."Siapa? Wanita? Mantan kekasihmu? Atau mantan teman kencanmu di masa lalu?" Raut wajah Diana seketika berubah, dipenuhi kecemburuan yang membakar. Ia selalu sensitif pada kehadiran wanita lain di sekitar Damar."Iya, wanita. Dan se