Masuk"Pak, siapa itu, Pak? Apa itu penculik?" Diana bertanya cemas sambil menepuk pundak Alex, sopirnya.
Nada suara Diana sedikit tercekat lantaran dia sangat panik. Jantungnya berdebar kencang, takut akan keselamatan dirinya dan janin yang dikandungnya.Kini, Alex melihat pria-pria di luar dengan tenang. Ia memberitahukan kalau laki-laki yang ada di luar mobil sana tidaklah berbahaya.“Tidak tahu, Nyonya. Sepertinya orang penting, pakaiannya rapi dan saya yakin bukan penculik. Kalau memang mereka lihat dengan kita atau pun mereka seorang penculik, berita tidak akan mengetuk pintu. mereka akan menggelar pintu dengan paksa sampai katanya pecah!”“Iya juga.” Diana pun membenarkan.Dengan penuh ketegasan dan sikap waspada, Alex meminta izin kepada nyonya nya. “Saya akan keluar dulu, Nyonya. Anda diam di sini saja dan jangan bukakan pintu untuk mereka.""Jangan! Jangan! Mengapa Pak Alex ninggalin aku? Aku gak mau, Pak. Aku takut!" cegah Diana dengan cepat, tangannya“Jangan sentuh Nyonyaku!”“Bajingan! Sudah menunggak tapi tidak mau menyerahkan barang! Rasakan ini!”Teriakan dan tekanan dari pria yang mengaku petugas leasing itu membuat Alex geram. Ia tidak peduli jika harus melawan tiga orang sekaligus, karena prioritasnya adalah keselamatan Nyonya-nya.Alex yang baru saja ditarik dan digelandang keluar segera bangkit dari tersungkur. Ia harus cepat karena kondisinya sangat genting dan tempat ini cukup sepi.Sebelum melayangkan serangan, perhatian Alex fokus pada Diana, majikannya. Ia menendang pintu mobil dengan kakinya, memastikan pintu itu tertutup rapat dan Diana di dalamnya aman."Nyonya, hubungi Tuan Damar cepat!" teriak Alex dengan kata-kata penuh emergency. Alex tidak ingin terjadi sesuatu pada nyonya nya. Karena kalau sampai nyonya nya itu terluka, maka dialah yang akan habis di tangan Damar.Setelah memastikan Diana aman, Alex segera mengambil kuda-kuda. Pria itu sudah m
"Pak, siapa itu, Pak? Apa itu penculik?" Diana bertanya cemas sambil menepuk pundak Alex, sopirnya. Nada suara Diana sedikit tercekat lantaran dia sangat panik. Jantungnya berdebar kencang, takut akan keselamatan dirinya dan janin yang dikandungnya.Kini, Alex melihat pria-pria di luar dengan tenang. Ia memberitahukan kalau laki-laki yang ada di luar mobil sana tidaklah berbahaya. “Tidak tahu, Nyonya. Sepertinya orang penting, pakaiannya rapi dan saya yakin bukan penculik. Kalau memang mereka lihat dengan kita atau pun mereka seorang penculik, berita tidak akan mengetuk pintu. mereka akan menggelar pintu dengan paksa sampai katanya pecah!”“Iya juga.” Diana pun membenarkan.Dengan penuh ketegasan dan sikap waspada, Alex meminta izin kepada nyonya nya. “Saya akan keluar dulu, Nyonya. Anda diam di sini saja dan jangan bukakan pintu untuk mereka.""Jangan! Jangan! Mengapa Pak Alex ninggalin aku? Aku gak mau, Pak. Aku takut!" cegah Diana dengan cepat, tangannya
“Sial! Damar melihatku, tapi dia sepertinya sengaja membuatku cemburu!” maki Raline kesal. Secara tak langsung, pemandangan itu membuat hatinya berdesir. Ia merasa marah, cemburu, dan pada saat yang sama, bagian intimnya berdenyut, meminta sentuhan dan sensasi yang sama. Rasa benci dan hasrat bercampur aduk, menciptakan gejolak emosi yang hampir tak tertahankan. Raline memaksakan dirinya untuk mengendalikan napas. Ia tidak boleh kehilangan akal di ketinggian ini. Ia harus segera pergi, atau ia akan melakukan hal bodoh lagi setelah ini. Saat itu, salah satu kru yang bersamanya di gondola, seorang wanita bernama Mega menyadari ada yang salah. “Hei, Raline, kenapa diam saja? Ayo bersihkan nodanya. Kita tidak bisa berlama-lama di sini," bisik Mega cemas dengan goncangan kecil yang dibuat Raline karena menahan emosi. Sedangkan Raline tidak menjawab. Ia hanya mengepalkan tangan yang memegang squeegee, tatapannya terpaku pada pasangan di balik kaca, mendesis pelan. “Awas saja n
"Apa? Gak, gak! Saya gak mau!" seru Raline kepada Pak Carlos. Raline menyesal, ia ternyata baru saja menerima instruksi baru yang jelas-jelas berniat menyiksanya.Demi apa pun, Raline ingin pergi saja dari dunia ini daripada bergelantungan bak monyet di luar kantor dan membersihkan kaca.Raline tak berpengalaman. Dan bagaimana ia bisa melakukannya?"Kalau Pak Damar mau bunuh saya, katakan padanya untuk nembak saya aja!" Raline meludah setelah mengungkapkan kata-kata itu. Ia tetap mencari pembelaan diri. "Enak sekali dia meminta saya berbuat seperti ini? Apa dia pikir saya monyet yang bisa dia suruh-suruh bergelantungan mencari noda tidak jelas? Tidak, aku pokoknya tidak mau, Pak! Itu bahaya!"Raline frustrasi. Ia menyadari sepenuhnya bahwa alih-alih dekat dengan Damar, ia justru membahayakan diri sendiri. Kini, Raline bagai masuk ke mulut singa! Masuk ke dalam perangkap yang ia ciptakan sendiri dan tidak bisa keluar!S
"Bagaimana? Jadi memecat saya?" Raline tidak membiarkan keheningan itu berlanjut. Ia mendongak angkuh, menantang keputusan Damar.Lalu, ia tatap wajah Damar yang memerah, sarat akan kemarahan yang kini harus ditahan.Sedangkan Damar sudah memikirkan matang-matang apa yang harus ia lakukan. Ia tidak akan membuang waktu dan uang untuk memecat Raline. Damar hanya perlu membuat Raline tidak betah bekerja di sini. Ia akan mengubah neraka Raline dari luar menjadi neraka yang lebih menyakitkan dari dalam."Tidak." Damar merespons dengan nada datar, senyuman tipis di wajahnya tidak mencapai mata. "Kamu boleh kembali. Silakan kerjakan pekerjaanmu sesuai kontrak yang berlaku."Setelah bicara begitu, Damar mengibarkan telapak tangannya. Sebuah gestur penguasa yang mengusir bawahan. Ia pun melirik tajam pada Daisy yang nyaris saja dia pecat."Dan kamu, Daisy, kembalilah ke ruanganmu!"“Baik, Tuan.”Pelototan Dama
"Mau apa kamu ke sini, hah?" Wanita yang mendongak itu ternyata adalah Raline.Damar mendelik, matanya memancarkan amarah dan kejengkelan yang luar biasa. Ia tak suka Raline kembali mengusik kehidupannya. Kemarin, Raline meminta Profesor Bima—ayahnya—untuk meluluhkannya dengan drama bunuh diri. Dan kini, Damar justru dipertemukan dengan Raline lagi. Bedanya, Raline kini tampil dalam balutan seragam Petugas Kebersihan atau Office Girl!"Sial benar hidupku! Kenapa hidupku selalu dibayangi oleh wanita gila ini?!" batin Damar.Sedangkan di hadapannya agak ek bawah, Raline memasang wajah tak bersalah yang sempurna. Dia tersenyum kecil, seringai tipis yang hanya bisa dilihat oleh Damar. "Oh, maaf, Tuan. Saya hanya bekerja karena membutuhkan uang. Em, mohon maaf saya lupa menaruh—""Shut up! Apa katamu tadi? Bekerja? Hah! Mustahil kamu bekerja di sini!" Damar berdecih jijik. Ia tak percaya Raline sudi bekerja sebag







