Mag-log in“Aku akan ke sana, Yang. Sepertinya ada masalah,” ucap Damar dengan cemas, raut wajahnya berubah serius. Ia takut Claudia melakukan kesalahan atau merusakkan barang berharga miliknya. “Kamu di sini saja. Jaga anak-anak!”
Tanpa menunggu jawaban, ia segera melangkah cepat menuju pintu samping, meninggalkan Diana yang berdiri terpaku. Diana menghela napas, hatinya mencelos. Ia menggendong Sagara erat-erat, mencoba menenangkan diri. “Ada apa?” tanyanya penasaran. Matanya melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi dan ia harus bersiap mengantarkan Shanum ke sekolah sekaligus belanja bulanan. Saat ia berdiri, Shanum menghampirinya dengan wajah cemas. Gadis kecil itu memang tak banyak bicara setelah Claudia datang, “Bunda, ada apa? Apa Kak Claudia buat ulah lagi?” bisiknya, matanya yang bulat mengerjap berulang kali, seolah ingin tahu apa yanClaudia meremas ujung kaos pres body yang ia kenakan. Dengan kepala tertunduk, ia menjelaskan apa yang ia lihat dan ia pelajari dari apa yang dilakukan Maminya. “A-aku .…” jawab Claudia dengan suara tercekat. Ia sangat ketakutan melihat kemarahan Damar. Bahkan, ia juga ikut menangis. “Jawab!” bentak Damar tanpa ampun hingga membuat Claudia tersentak kaget, dan akhirnya Claudia mau mengakui hal tersebut meski dengan air mata berderai. Claudia refleks menjatuhkan tubuhnya di lantai. Ia merangkak mendekati Damar, kemudian memeluk kaki Damar yang dibalut celana panjang bahan slim fit itu. Di bawah kaki Damar, Claudia menangis dan menjerit-jerit. “Ampun, Om! Ampun! Aku cuma niru apa yang dilakuin oleh Mami, Om!” “Apa yang Mami kamu lakukan?” Ki ini, Diana angkat bicara. Ia tarik Claudia dari kaki suaminya dan ia ingin tahu, apa alasan suaminya marah besar pada keponakannya yang satu ini. “Apa yang kamu lakukan cep
“Ya Allah! Claudia, astagfirullah! Apa-apaan ini? Apa yang kamu lakukan, Claudiaaaaaa!” maki Damar dengan intonasi yang makin meninggi. Damar segera berpikir jernih, ia menghapus video tersebut meski Claudia menjerit-jerit. “Jangan hapus, Om! Jangan! Jangaaaan!” Refleks, Damar melepas pegangannya pada Claudia dan rasa respect-nya pada keponakannya seketika menghilang, diganti dengan kemarahan yang memuncak tiada berakhirnya. Jantungnya berdegup kencang, bagaikan genderang perang yang ditabuh bertalu-talu saat melihat video yang katanya baru diunggah Claudia 20 menit tadi. “Dasar anak tidak tahu diri! Ya Allah! Apa yang ada di otak kamu, Claudia? Kamu memposting video ini? Apa kamu gila?” Saking syoknya dengan kelakuan bo-cil kem-atian ini, Damar sampai menangis. Ia jatuh terduduk dan melempar tablet milik Shanum ke lantai, tak p
“Aku akan ke sana, Yang. Sepertinya ada masalah,” ucap Damar dengan cemas, raut wajahnya berubah serius. Ia takut Claudia melakukan kesalahan atau merusakkan barang berharga miliknya. “Kamu di sini saja. Jaga anak-anak!” Tanpa menunggu jawaban, ia segera melangkah cepat menuju pintu samping, meninggalkan Diana yang berdiri terpaku. Diana menghela napas, hatinya mencelos. Ia menggendong Sagara erat-erat, mencoba menenangkan diri. “Ada apa?” tanyanya penasaran. Matanya melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi dan ia harus bersiap mengantarkan Shanum ke sekolah sekaligus belanja bulanan. Saat ia berdiri, Shanum menghampirinya dengan wajah cemas. Gadis kecil itu memang tak banyak bicara setelah Claudia datang, “Bunda, ada apa? Apa Kak Claudia buat ulah lagi?” bisiknya, matanya yang bulat mengerjap berulang kali, seolah ingin tahu apa yan
“Aha! Aku ada ide, Mas!”Tiba-tiba saja, Diana menjentikkan jari, matanya berbinar saat memandang ke arah suaminya. Sebuah ide brilian melintas di benaknya. Bagai bohlam lampu yang tiba-tiba menyala terang, menerangi seluruh ruangan dengan cahayanya.“Ide apa memangnya?” tanya Damar, rasa penasaran memenuhi benaknya dan ia tahu, saran Diana mungkin perlu dipertimbangkan dulu. Matanya tak lepas dari ekspresi wajah Diana yang tampak begitu bersemangat.“Bagaimana kalau kita bahwa claudia tinggal di rumah peninggalan mendiang Mama? Kan dia tinggal di sana sendiri. Kita berikan dia fasilitas yang sama seperti yang didapatkan dulunya. Kita bayar sopir dan pembantu untuknya? Gimana? Mas setuju?” Diana mengutarakan idenya dengan antusias, berharap suaminya akan setuju dengan usulannya barusan.Sejujurnya, Diana tidak benar-benar menginginkan kehadiran orang lain di rumahnya, meskipun itu adalah keponakannya sendiri. Mengingat kelakuan Claudia y
“Ya, Om, ya. Belikan HP, nanti aku jadi konten kreator. Aku jamin, pasti FYP. Secara, aku cantik, muka udah oke. Ya Om ya?” rengek Claudia pada Damar. Tak peduli yang dia mintai bukanlah ayah kandungnya, tapi dia tetap melakukannya.Damar memijat pelipis. Ia mulai tersadar kalau usulan Jimmy ada benarnya juga. Tapi karena ia merasa bersalah, maka ia tak akan meledak kali ini.“Kamu masuk dulu ke kamar kamu, kita bisa bahas ini lain kali, oke?”Seperti biasa, Claudia akan merajuk dan memberengut. “Gak mau! Om harus janji dulu! Aku gak akan mandi kalau Om dan Tante gak beliin aku HP yang ada logo apel kegigit-nya!”Diana pun ikut murka. Tapi melihat Claudia yang sudah yatim piatu, ia pun menasehati. “Nanti kalau Om dan Tante pegang uang, Om beliin. Untuk sekarang, kami tidak memegang uang. Sabar, ya?”Merasa rengekannya tak berarti apa pun, Claudia mendengus kesal. “Ih, apaan sih? Rumah sebagus ini gak pegang uang? Ya ampun! Apa rumah ini n
“Tuan, apa tidak sebaiknya Anda bicarakan masalah ini dengan Nyonya Diana terlebih dahulu? Saya takut masalah ini akan menjadi problematika di kemudian hari— mengingat keponakan Anda yang satu itu cukup tengil, menurut saya sih.”Ketika melihat Claudia yang begitu lahap menyantap aneka olahan seafood, Jimmy memandanginya dari kejauhan.Sejenak kemudian, Jimmy menoleh ke arah Damar, ia segera mengungkapkan keresahan hatinya yang sejak tadi membelenggu.Damar sendiri setuju dengan usulan Jimmy. Tapi untuk sekarang, tidak ada yang bisa dia lakukan selain membawa Claudia ke rumahnya. “Kalau aku minta pendapatnya, dia tidak akan pernah setuju. Karena jujur saja kami juga tidak ingin orang lain masuk ke ranah privasi kami,” ujarnya dengan suara berat.Jimmy masih belum puas dengan jawaban tersebut. Dia pun segera memberikan usul pada bosnya itu, “Kalau begitu, kenapa Anda tidak menyewakan rumah untuknya saja? Bukankah itu lebih bagus? Dia bisa tinggal s







