LOGINTiba-tiba, mata Claudia berubah berbinar karena khayalan panas yang jauh lebih menarik daripada salju.
“Harusnya bawa kopi yang banyak! Di sini banyak bule, sekalian cuci mata sih,” serunya, suaranya kini bersemangat. Dia terkikik saat membayangkan hal yang lebih seru lagi baginya.“Ini enak kalau ngopi sama bule. Siapa tahu nanti aku bisa nikah dan tinggal di sini, ‘kan? Uh, pasti seru! Anakku rambutnya pirang, matanya biru, nanti aku diratukan, tiap hari jalan-jalan, explore tempat indah, dan aku jadi influencer yang videonya selalu FYP itu. Pasti dollar ku banyak. Ya ampun, aku harus cari bule! Harus!”Saat Claudia berkata menggebu-gebu sambil melirik pria-pria asing yang sangat tampan di sekitarnya, Damar yang berada di dekatnya mendengar setiap kata dengan jelas.Pria itu hanya memutar bola mata malas, ekspresinya menunjukkan rasa kesal akibat khayalan gila Claudia itu.Kini, Damar membatin penuh sindiran. “Apa dikira punya suami bul“Gak usah gitu, nanti kemakan omongan sendiri nyahok!” kekeh Damar, masih sempat-sempatnya menggoda Arnold. Ia menatap Ara sekilas, lalu dengan suara tenang menambahkan, “Tapi, syukurlah kalau si bocah tengil ini gak hamilin kamu.”“Ketemu juga baru sekali, kok hamil! Ayah ada-ada aja, deh!” gerutu Sagara sambil memutar bola matanya malas.“Hm, ya udah kalau gitu masalah clear, ‘kan? Sagara, uang jajan kamu Ayah potong untuk gantiin mobilnya Ara, dan kamu Ara, gantiin juga motor Sagara,” putus Damar dengan nada final yang tidak bisa diganggu gugat.Kini, Ara mengembuskan napas panjang, merasa beban di pundaknya sedikit terangkat. Tapi, was-was juga karena tatapan sagara padanya masih penuh ancaman. “Baik, Tuan Setyawan. Jadi lega dengernya,” ucap Ara. Meski suaranya terdengar sopan pada Damar, tatapannya mengarah lurus pada Sagara dengan kilatan kemenangan.Di balik sikap tenang yang ditunjukkan Ara, Sagara justru sebaliknya. I
Damar bahkan tak repot-repot membela anaknya. Alih-alih memasang badan, ia justru berdiri tegak sambil menyilangkan tangan di depan dada. Sebuah senyuman tipis penuh kepuasan muncul di wajahnya saat melihat Sagara babak belur di tangan Arnold.Bagi Damar, ini adalah pelajaran yang setimpal. Ia sudah terlalu sering mengurut dada menghadapi kenakalan Sagara, dan melihat musuh bebuyutannya melakukan ‘tugas’ mendisiplinkan putranya adalah pemandangan yang cukup menghibur.Setelah Arnold tampak terengah karena lelah melampiaskan emosinya, dan wajah Sagara sudah dihiasi lebam serta sudut bibir yang pecah, barulah Damar melangkah mendekat. Ia menatap putranya yang terduduk lemas di lantai dengan pandangan tanpa simpati. “Tenang, anakku bakalan tanggung jawab,” kata Damar santai, seolah tidak baru saja terjadi baku hantam di depan matanya.Arnold memicingkan mata, menyeka keringat di dahinya sambil menatap tajam ke arah
“Ya udah, ayo pergi!”“Ke mana, Yah?”“Mansion Harven, minta maaf cepat atau Ayah buang ke segitiga bermuda.”“Emang Ayah gak nyesel nanti? Kata Bunda, dulu Ayah seneng banget pas aku lahir. Kok kaya gini sekarang?”“Gak, gak nyesel. Ayah bisa buat lagi yang kaya kamu, tuh! Dua belas! Dulu, kamu emang imut-imut dan gemesin. Sekarang, amit-amit kelakuan kamu, Saga!”“Ck! Udah tua juga masih aja doyan buat lagi! Ayah itu udah tua, Bunda noh masih muda. Nanti, Ayah nambah anak lagi, lalu meninggal, jadi beban ‘kan buat Bunda? Kasian harus ngurus adik yang kecil, dan … eh, tapi kalo ayah meninggal, Bunda bisa dapetin Sugar Daddy yang lebih cakep!”Damar mengumpat, “Perlu Ayah obras mulut kamu, Saga? Bisa diem, gak?”“Oke, aku diem!” Tanpa membuang waktu, Damar menyeret Sagara menuju mobil SUV hitam miliknya. Ia tidak peduli ini sudah hampir tengah malam. Jika Arnold berani menuduh putranya melakukan hal asusila, maka Damar akan membuktikan sebalikn
“Kamu pasti pacarin dia, tidurin, terus kamu tinggalin, ‘kan? Iya, ‘kan?” Damar memberondong Sagara dengan tatapan curiga. Dia memelototkan matanya, dan kedua tangan berkacak pinggang.Didesak sang ayah, Sagara mundur. Dia tetap mengelak, “Yah, jangan curigaan mulu, deh! Aku gak mungkin kaya gitu!”“Mungkin aja!” Sela Damar cepat. Telunjuk kanan menuding wajah Sagara yang menyebalkan itu, menyesalkan kenapa putranya harus meniru jejaknya yang kelam. “Apa kamu kira, Ayah gak tau apa yang kamu lakuin diluar sana, Saga? Ayah tau semuanya! Termasuk … kamu yang pernah tidur dengan dua wanita!”Sagara memejamkan mata sejenak. Ia mengakui kesalahan itu, tapi tak mau mengeluarkan suara agar ayahnya tak makin memprovokasi.“Saga!”“Yah, please, jangan merembet ke mana mana. Oke, untuk yang satu itu … lupain. Dan masalah anaknya Arnold, itu penting. Gini, aku sama sekali gak tau kenapa dia nabrak gitu aja! Katanya sih buru-buru! Aku bahkan dikasih
Usai menelepon pihak showroom, ponsel yang baru saja dimasukkan Sagara ke celana kembali bergetar. Kesal karena merasa privasinya diganggu saat sedang merencanakan obsesi barunya, pria itu berdecak tanpa melihat siapa yang menghubunginya. “Ck! Apa lagi ini?” Sambil menggerutu, dia mengangkatnya dengan nada bicara yang kasar, “Ya, apa lagi?” “Apa lagi katamu?” Mampus! Sagara tersentak. Suara bariton di seberang sana sangat ia kenali. Itu ayahnya, Damar Setyawan. “Eh, Ayah. Maaf, Yah. Ada apa?” Suara Sagara langsung melunak, nyalinya yang tadi setinggi langit di depan Ara mendadak menciut. “Ada apa, ada apa! Pulang! Gak lihat ini jam berapa, Sagara Arsenio Setyawan?” Sagara menjauhkan ponsel dari telinganya karena suara sang ayah yang menggelegar membuat telinganya berdenging. “Baru jam 11, Yah! Gak usah kuno gitu lah! Lagian masih sore juga!” “Pulan
Sagara melangkah maju, memecah ketegangan antara kakak-beradik itu. Ia melipat pisau lipatnya dengan suara klik yang tajam. ”Udah selesai ceramahnya?” tanya Sagara dengan nada meremehkan. “Adik lo udah denger faktanya. Sekarang, pertanyaannya ... gimana cara keluarga Harven nebus ‘dosa’ si Belalang Sembah ini ke gue? Gue udah bilang, gue gak butuh duit bokap lo. Jadi, jangan coba-coba nawarin duit sama gue! Gak mempan!” Clayton menelan ludah, ia tahu posisi keluarganya sedang di ujung tanduk jika Damar Setyawan sampai turun tangan. Ia menatap Sagara dengan tatapan penuh kompromi. “Apa yang lo mau, Gar? Sebutin! Asal jangan sentuh adek gue lagi! Lo bisa minta apa pun, asal lo gak bawa adek gue kaya gini lagi.” Sagara menatap Ara dengan pandangan dingin yang membuat gadis itu bergidik, lalu beralih kembali pada Clayton. Sebuah ide licik melintasi benaknya untuk memberikan pelajaran yang tak terlupakan







