LOGIN“Bayar pakek tubuh lo juga oke!”
“Lo gila?” “Ya, gue emang gila! Kenapa? Baru nyadar?” “Shit!” Ara terkesiap, matanya membelalak tak percaya. Ia tertawa sumbang, berusaha menutupi rasa ngerinya. “Gaje banget lon ngerendahin gue! Lo bilang, gue harus bayar pakai tubuh gue? Lo tadi ngatain gue kerempeng, dada rata, bocil kematian! Sekarang lo mau tubuh gue? Lo beneran sakit jiwa, ya?” Sagara tidak merasa terhina. Ia justru menarik sedikit pisau lipatnya, namun tetap mengunci pergerakan Ara. Seringainya makin dalam. “Justru itu. Karena tubuh lo ‘berantakan dan gak menarik sama sekali’, gue jadi tertarik buat memperbaikinya sesuai standar gue.” “Ini tubuh gue, Sagara! Ya suka-suka gue, lah!” “Gini, anggep aja gue dapet mainan baru buat nemenin malam-malam gue yang membosankan gara-gara motor gue lo hancurin. Jadi, lo harus setuju gue rombak. Terutama di bagian dada lo“Ini cowok kalo dibiarin makin ngelunjak!”Tanpa menunggu Sagara bertindak lebih jauh, Ara mengambil inisiatif. Dengan gerakan yang sangat cepat, dia menarik pergelangan tangan Sagara dan membanting tubuh pria itu ke lantai menggunakan teknik judo dasar.Bugh!Seketika, tubuh Sagara yang tidak siap melayang di udara, lalu punggungnya menghantam lantai dengan bunyi dentuman yang cukup keras.Pria itu langsung mengaduh dan mengerang kesakitan, “Aaarghhh!”Melihat Sagara meringis kesakitan dengan wajah pucat, Ara mendadak panik. Ia langsung berlutut di sampingnya, takut pria tengil itu benar-benar mengalami cedera serius atau bahkan mati. “Gara! Gara! Kamu nggak apa-apa, kan? Kamu nggak mati, kan?!”Melihat wajah Ara yang pucat pasi karena panik, ide jahil seketika muncul di kepala Sagara. Ia sengaja mengaduh lebih panjang dan mulai berakting dramatis. “Aaaargh ... g-gue ... kayaknya mau mati!”
Sagara dan Damar akhirnya tiba di rumah. Namun, alih-alih mendapatkan pengampunan atau pengobatan untuk wajahnya yang babak belur, Sagara justru menerima titah kejam dari sang ayah.“Tidur di luar malam ini! Gak usah masuk ke rumah, ngerti?!” perintah Damar dingin begitu mobil berhenti di garasi.“Yah, kok gitu sih?!” protes Sagara dengan mata membelalak. “Muka aku bonyok begini, bukannya disuruh istirahat malah diusir!”“Salahmu sendiri banyak ttingkah! Udah, buruan turun. Tidur sana di pos satpam bareng Pak Kumis!” usir Damar tanpa perasaan.“Ck! Ayah gak seru banget, sih!”“Makanya jangan bandel! Ayah itu udah cukup sabar sama kamu. Udah ngerusakin mobil orang, mengurung anak orang di kamar hotel, masih aja ada kenakalan yang kamu lakuin. Kamu pikir uang Ayah tinggal metik di pohon, apa?”Sagara mendengus, mencoba membela diri sambil memegangi rahangnya yang berdenyut. “Cowok mah wajar kalo nakal, Yah. Kalau kalem kayak Kak Sh
“Gak usah gitu, nanti kemakan omongan sendiri nyahok!” kekeh Damar, masih sempat-sempatnya menggoda Arnold. Ia menatap Ara sekilas, lalu dengan suara tenang menambahkan, “Tapi, syukurlah kalau si bocah tengil ini gak hamilin kamu.”“Ketemu juga baru sekali, kok hamil! Ayah ada-ada aja, deh!” gerutu Sagara sambil memutar bola matanya malas.“Hm, ya udah kalau gitu masalah clear, ‘kan? Sagara, uang jajan kamu Ayah potong untuk gantiin mobilnya Ara, dan kamu Ara, gantiin juga motor Sagara,” putus Damar dengan nada final yang tidak bisa diganggu gugat.Kini, Ara mengembuskan napas panjang, merasa beban di pundaknya sedikit terangkat. Tapi, was-was juga karena tatapan sagara padanya masih penuh ancaman. “Baik, Tuan Setyawan. Jadi lega dengernya,” ucap Ara. Meski suaranya terdengar sopan pada Damar, tatapannya mengarah lurus pada Sagara dengan kilatan kemenangan.Di balik sikap tenang yang ditunjukkan Ara, Sagara justru sebaliknya. I
Damar bahkan tak repot-repot membela anaknya. Alih-alih memasang badan, ia justru berdiri tegak sambil menyilangkan tangan di depan dada. Sebuah senyuman tipis penuh kepuasan muncul di wajahnya saat melihat Sagara babak belur di tangan Arnold.Bagi Damar, ini adalah pelajaran yang setimpal. Ia sudah terlalu sering mengurut dada menghadapi kenakalan Sagara, dan melihat musuh bebuyutannya melakukan ‘tugas’ mendisiplinkan putranya adalah pemandangan yang cukup menghibur.Setelah Arnold tampak terengah karena lelah melampiaskan emosinya, dan wajah Sagara sudah dihiasi lebam serta sudut bibir yang pecah, barulah Damar melangkah mendekat. Ia menatap putranya yang terduduk lemas di lantai dengan pandangan tanpa simpati. “Tenang, anakku bakalan tanggung jawab,” kata Damar santai, seolah tidak baru saja terjadi baku hantam di depan matanya.Arnold memicingkan mata, menyeka keringat di dahinya sambil menatap tajam ke arah
“Ya udah, ayo pergi!”“Ke mana, Yah?”“Mansion Harven, minta maaf cepat atau Ayah buang ke segitiga bermuda.”“Emang Ayah gak nyesel nanti? Kata Bunda, dulu Ayah seneng banget pas aku lahir. Kok kaya gini sekarang?”“Gak, gak nyesel. Ayah bisa buat lagi yang kaya kamu, tuh! Dua belas! Dulu, kamu emang imut-imut dan gemesin. Sekarang, amit-amit kelakuan kamu, Saga!”“Ck! Udah tua juga masih aja doyan buat lagi! Ayah itu udah tua, Bunda noh masih muda. Nanti, Ayah nambah anak lagi, lalu meninggal, jadi beban ‘kan buat Bunda? Kasian harus ngurus adik yang kecil, dan … eh, tapi kalo ayah meninggal, Bunda bisa dapetin Sugar Daddy yang lebih cakep!”Damar mengumpat, “Perlu Ayah obras mulut kamu, Saga? Bisa diem, gak?”“Oke, aku diem!” Tanpa membuang waktu, Damar menyeret Sagara menuju mobil SUV hitam miliknya. Ia tidak peduli ini sudah hampir tengah malam. Jika Arnold berani menuduh putranya melakukan hal asusila, maka Damar akan membuktikan sebalikn
“Kamu pasti pacarin dia, tidurin, terus kamu tinggalin, ‘kan? Iya, ‘kan?” Damar memberondong Sagara dengan tatapan curiga. Dia memelototkan matanya, dan kedua tangan berkacak pinggang.Didesak sang ayah, Sagara mundur. Dia tetap mengelak, “Yah, jangan curigaan mulu, deh! Aku gak mungkin kaya gitu!”“Mungkin aja!” Sela Damar cepat. Telunjuk kanan menuding wajah Sagara yang menyebalkan itu, menyesalkan kenapa putranya harus meniru jejaknya yang kelam. “Apa kamu kira, Ayah gak tau apa yang kamu lakuin diluar sana, Saga? Ayah tau semuanya! Termasuk … kamu yang pernah tidur dengan dua wanita!”Sagara memejamkan mata sejenak. Ia mengakui kesalahan itu, tapi tak mau mengeluarkan suara agar ayahnya tak makin memprovokasi.“Saga!”“Yah, please, jangan merembet ke mana mana. Oke, untuk yang satu itu … lupain. Dan masalah anaknya Arnold, itu penting. Gini, aku sama sekali gak tau kenapa dia nabrak gitu aja! Katanya sih buru-buru! Aku bahkan dikasih







