Share

Dalam Bayangan Kesepakatan

Penulis: Pilar Waisakha
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-09 08:10:56

Dalam Ruang Tamu Keluarga Von Richter

Ruang tamu itu dipenuhi keheningan yang berat. Interior bergaya klasik-meja kayu ek gelap, kursi berlapis beludru, dan perapian yang tak lagi menyala berdiri kaku seperti penjaga warisan aristokrat yang enggan menerima zaman. Udara berbau kayu tua dan sedikit aroma tembakau yang samar, mungkin sisa dari malam sebelumnya.

Margarethe duduk tenang, anggun, dan nyaris terlalu santai untuk situasi sepenting ini. Kakinya bersilang, mantel dibuka separuh, dan sorot matanya menatap lurus ke depan-pada pria muda dengan setelan gelap sempurna, duduk di seberang, membisu.

Leonhardt von Richter tidak mengatakan sepatah kata pun. Tatapannya membaca situasi—tajam, metodis, dan dingin.

Margarethe mencondongkan tubuh sedikit ke depan.

“Dengarkan baik-baik.” Suaranya tenang, tak gentar.

“Pernikahan ini akan tetap berlangsung secara formal.”

Detak senyap bergema di dada Leonhardt.

“Lanjutkan,” ucapnya datar.

“Tapi pengantinnya..berganti.” Satu tarikan napas.

Kemudian, dengan dingin yang memotong seperti belati: “Aku yang akan menggantikannya.”

Senyum melintas di sudut bibirnya. Bukan manis. Bukan angkuh. Senyum itu seperti luka lama yang dibuka dengan sengaja.

Leonhardt tak bereaksi. Tidak mengangguk, tidak menolak. Ia hanya menatapnya hening, menghitung sesuatu dalam diam

Margarethe tak memberinya ruang untuk bernegosiasi.

“Kau tahu ini gila—menikahi gadis lima belas tahun demi memuaskan ambisi dua pria tua?” Suaranya nyaris bergetar—bukan oleh ragu, tapi oleh kemarahan yang ditahan. “Aku tidak akan biarkan adikku menjadi tumbal.”

Ia membuka tas kecilnya. Mengeluarkan secarik kertas terlipat rapi dan meletakkannya di atas meja.

Tatapannya menusuk ke arah Leonhardt.

“Aku tidak mencintaimu. Kau pun tidak mencintaiku. Tapi kita sama-sama ingin ini cepat selesai.”

Ia menarik napas pendek. “Jadi kita buat kesepakatan.”

Leonhardt menatapnya dalam diam, lalu mengambil kertas itu.

Ia membacanya cepat. Sekali. Lalu sekali lagi—lebih lambat, lebih dalam.

“Tinggal serumah, kamar terpisah. Tak ada kontak fisik. Tak saling ikut campur. Di depan keluarga—pasangan bahagia. Di balik pintu—dua orang asing.”

Ia menaikkan satu alis, nadanya rendah dan kering:

“Tidak ada ‘ciuman wajib di depan umum’? Tidak ada jamuan keluarga mingguan? Ini bahkan lebih dingin dari perjanjian militer yang biasa kutandatangani.”

Margarethe tak tersenyum.

“Kau tahu ayahmu. Dan kau tahu ayahku. Mereka ingin menikahkan Adelheid demi kepentingan politik, bukan cinta. Aku tak akan membiarkan itu terjadi.”

Keheningan turun lagi. Kali ini bukan karena kebingungan, tapi karena kesadaran.

Leonhardt menatap jendela. Tirai renda tipis berkibar ringan diterpa angin musim gugur. Di luar, langit Berlin tetap mendung. Waktu Seakan tak bergerak.

Margarethe bersandar, kedua tangan terlipat di pangkuannya.

“Kita akan mainkan permainan mereka. Tapi dengan aturan kita sendiri.”

Leonhardt menghela napas pendek. Lalu, nyaris tanpa ekspresi, ia merogoh sakunya, mengeluarkan pena, dan menandatangani dokumen itu.

Ia mengangkat wajahnya, menatap Margarethe.

“Baiklah, Nyonya Palsu,” ujarnya tenang. “Kita sepakat.”

Di dalam ruang tamu rumah keluarga Von Richter yang temaram dan beraroma kayu tua, kesepakatan tak biasa telah tercapai.

Leonhardt mengulurkan tangan—gestur dingin, penuh formalitas.

Margarethe menatapnya datar. Ia berdiri tanpa menjabat. Tangannya tetap di sisi tubuh—dingin, disengaja.

Ia melangkah menjauh dari meja. Mantel panjangnya berdesir pelan, menyapu permadani yang jadi saksi terlalu banyak rahasia.

Tangan Leonhardt tergantung sesaat, lalu turun perlahan. Jemarinya mengepal ringan. Tapi sorot matanya berubah—seperti seseorang yang baru saja mencatat sesuatu penting.

Namun langkah Margarethe terhenti. Ia berbalik perlahan. Suaranya tenang, tapi tajam:

“Leonhardt von Richter.”

Leonhardt masih duduk. Kaki disilangkan, satu tangan menyentuh pena. Ia mengangkat alis—gestur kecil, penuh makna.

“Saat sumpah pernikahan nanti... pastikan tak ada janji abadi yang keluar dari mulutmu.”

Leonhardt tak menjawab. Tak mengangguk. Tapi matanya bicara—tenang, dingin, penuh hitungan yang tak akan ia lepaskan.

Saat Margarethe melangkah pergi, suaranya masih terngiang di udara seperti gema dingin yang tertinggal.

*****

Di luar ruangan, sunyi tak wajar menyelimuti lorong sempit berpanel kayu. Ia membuka pintu dengan tenang, seolah baru saja selesai membaca buku harian, bukan mengatur sebuah konspirasi keluarga.

Di ambang pintu, berdiri Adelheid. Remaja itu bersandar pada dinding dengan postur santai yang dibuat-buat-tapi mata besarnya, yang selalu sulit menyembunyikan emosi, menyiratkan lebih banyak daripada yang semestinya diketahui. Wajahnya menegang, pipinya bersemu merah.

“Apa itu berhasil?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi. Ada nada penasaran yang ditekan, seperti sedang menahan napas terlalu lama.

Margarethe menatapnya sekilas, lalu mulai berjalan tanpa menghentikan langkahnya. Suaranya datar, nyaris terdengar seperti gumaman.

“Diluar dugaanku, ini terlalu mudah.”

Adelheid mengerutkan dahi, lalu mengekor dengan langkah cepat.

“Kau tidak menamparnya kan?”

Margarethe akhirnya berhenti, hanya sebentar. Ia menoleh, matanya menajam-tapi tidak marah, hanya lelah

. “Jika perlu, aku bisa saja melakukannya.Tapi untungnya, dia lebih suka menandatangani kontrak daripada menantang adu fisik.”

Adelheid mendengus pelan, tapi ada senyum terbit di ujung bibirnya. Campuran antara kagum dan... khawatir.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • ERBLINIE: Warisan Dosa dan Pernikahan Palsu Sang Agen   Janji yang Tak Bisa Ditarik Kembali

    Semua mata tertuju pada Leonhardt. ia menatap lurus ke depan, lalu perlahan menoleh ke arah Margarethe. Di wajah wanita itu, tak ada isyarat. Tak ada permohonan. Hanya persetujuan diam, seperti dua agen yang menandatangani perjanjian tak tertulis. Lalu ia memalingkan wajahnya. Di sisi kanan altar, bayangan Adelheid berdiri diam. Matanya seperti dua kilat di tengah badai yang tertahan. ia menggigit bibir, menahan kata-kata yang tak bisa ia ucapkan. Masih terlalu muda untuk mengerti, namun terlalu cerdas untuk tidak curiga. Leonhardt kembali menghadap pastor. Dan untuk sesaat, dunia terasa berhenti. Tak ada yang terdengar, kecuali detak jam tua di dinding gereja—setiap dentangnya seperti memaku sesuatu yang tak bisa ditarik kembali. Ia menarik napas pelan. “Aku bersedia,” ucapnya pelan, nyaris seperti doa yang dikirim diam-diam ke langit kelabu. Seolah bukan hanya menjawab untuk hari ini. Tapi untuk semua luka yang belum sembuh, dan masa depan yang belum tentu ia percayai. Se

  • ERBLINIE: Warisan Dosa dan Pernikahan Palsu Sang Agen   Altar Tanpa Doa

    Charlottenburg kediaman Von Richter Leonhardt von Richter berdiri di depan jendela kamarnya. Sunyi. Lapang. Nyaris tanpa kehangatan—seperti dirinya. Tirai dibiarkan setengah terbuka, membiarkan cahaya pagi jatuh di lantai marmer dan memantulkan siluet tubuhnya yang tegap dalam balutan kemeja putih. Tangannya sibuk merapikan dasi hitam yang sedikit miring, tapi gerakannya berhenti sejenak. Ada jeda aneh di sana—antara tarikan napas dan bayangan sosok yang menyelinap tanpa izin. Margarethe. Nama itu saja cukup membuat pikirannya berhenti bekerja seefisien biasanya. Ia melihat bayangan dirinya di cermin. Wajah yang sama dengan yang dipakai untuk bernegosiasi, menyusup, menipu. Tapi pagi ini, sesuatu dalam pantulan itu terlihat berbeda. Mungkin karena kata-kata terakhir wanita itu belum juga menemukan titik akhirnya. Kata-kata yang menggantung seperti peluru yang belum ditembakkan. Suara pelan dalam dirinya berbisik—dingin, tapi tajam: Apa kau yakin? Ia menarik napas dalam. H

  • ERBLINIE: Warisan Dosa dan Pernikahan Palsu Sang Agen   Gaun Putih dan Perpisahan

    Tak ada suara selain desir angin yang menyusup dari celah jendela tua. Di kamar atas rumah keluarga Vogel—tempat dua anak perempuan pernah tumbuh dalam bayang-bayang perang—waktu seolah tertahan. Menunduk dalam sunyi pada sebuah pagi yang enggan dimulai. Margarethe duduk diam di tepi ranjang, wajahnya membeku di depan cermin rias tua. Kayu di sudut-sudut meja mulai lapuk, dan pantulan dirinya di kaca terlihat samar—seolah bukan dirinya, melainkan bayangan seseorang yang ia warisi. Gaun putih sederhana membalut tubuhnya. Terlalu lembut untuk dunia yang keras, terlalu murni untuk kenyataan yang menanti. Gaun itu milik ibu angkatnya, perempuan yang mencintai dalam diam, tanpa pernah menuntut. Di atas meja rias, foto-foto lama berserakan: tawa dua anak kecil yang belum mengenal luka, tangan seorang wanita yang memeluk mereka kala demam, potongan hidup yang kini hanya tersisa dalam hitam dan putih. Margarethe meraih satu bingkai kecil. Jemarinya menelusuri tepian kayu, se

  • ERBLINIE: Warisan Dosa dan Pernikahan Palsu Sang Agen   Permainan yang Tak Bisa Dikendalikan

    Di ruangan bergaya klasik itu, waktu terasa berjalan lambat. Dinding-dinding kayu tua memantulkan bayangan cahaya lampu gantung tembaga yang temaram. Rak buku membentang dari lantai hingga langit-langit, dipenuhi jilid-jilid tua berbahasa Latin dan Prusia. Aroma tembakau halus dan kulit tua memenuhi udara-bekas kejayaan yang tak pernah benar-benar pergi. Dua pria duduk berhadapan dalam keheningan yang lebih berat dari perang. Di antara mereka, sebuah papan catur antik terbuat dari marmer putih dan hitam. Setiap bidaknya tampak seperti peninggalan museum, namun di tangan mereka, semuanya hidup—dan berbahaya. Friedrich von Richter duduk tegak dengan mantel militer tua yang tetap rapi walau warnanya mulai pudar. Tongkat kayu gelap bersandar pada kursinya, tak tersentuh, seperti lambang disiplin yang tak pernah longgar. Wajahnya bersih, mata tajam kebiruan yang seolah bisa menembus dinding pikiran. Ketika ia memindahkan ratu ke tengah papan, gerakannya halus, namun mengandung mak

  • ERBLINIE: Warisan Dosa dan Pernikahan Palsu Sang Agen   Janji yang Tidak Diucapkan

    Malam turun perlahan di atas rumah keluarga Vogel. Angin musim dingin berdesir pelan di sela-sela jendela tua, menggoyangkan tirai renda yang warnanya telah memudar dimakan waktu. Di kamar di lantai atas—kamar yang dulu mereka tempati bersama saat masih gadis kecil—dua sosok duduk dalam diam. Margarethe duduk di tepi ranjang, mantelnya sudah ia tanggalkan. Rambutnya tergerai sebagian, bayangan wajahnya tercermin samar di cermin kecil tua yang tergantung di dinding, tapi ia tidak menatapnya. Pandangannya kosong, terarah ke lantai kayu yang mulai terkelupas di beberapa bagian. Helaan napasnya dalam—bukan berat, hanya terlalu lelah untuk berat. Di sisi lain, Adelheid duduk di kursi rotan dekat jendela. Tangannya menggenggam secangkir teh yang tak lagi mengepul. Ia memeluk lutut, menyandarkan dagunya di sana. Sorot matanya redup—penuh pertanyaan yang belum berani ia ajukan, dan jawaban yang ia takutkan untuk didengar. Beberapa menit berlalu dalam kesenyapan yang rapuh.

  • ERBLINIE: Warisan Dosa dan Pernikahan Palsu Sang Agen   Harga dari Sebuah Keputusan

    Setelah Margarethe pergi dari rumah besar keluarga von Richter, bersama Adelheid yang menggenggam erat tangannya, keheningan kembali menyelimuti ruang tamu bergaya kekaisaran itu. Suara sepatu hak Margarethe memudar di lorong marmer, lalu lenyap di balik pintu utama yang tertutup dengan dentuman tenang-namun gema akhirnya mengguncang dalam kepala Friedrich von Richter. Ia tetap berdiri tegap di balik jendela besar yang menghadap ke taman yang penuh langkah bocah perempuan. Matanya menatap tajam, bukan pada jejak, tapi ke masa lalu yang belum juga padam dalam benaknya. Asap rokok melayang pelan, membingkai wajahnya yang tegas dan beku. Di belakangnya, pelayan tua menunggu dalam diam. Tapi Friedrich hanya mengangkat satu tangan—isyarat kecil yang berarti: jangan ganggu. Tatapannya masih terpatri pada dua sosok muda yang kini melangkah menjauh. la mengenali kekuatan dalam langkah Margarethe, dan sorot tajam dalam mata si adik. Dua keberanian yang seolah tak lahir dari pembesaran...

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status