Aku terbangun karena alarmku berbunyi nyaring. Rasanya ingin tetap berada dibawah selimut. Tapi aku harus bersekolah. Kupandang sejenak langit Forks yang berkabut. Hujan semalam membuat suhu semakin dingin.
Pagi ini, aku bangun dengan perasaan kacau. Aku bahkan menemukan jejak air mata di wajahku. Mimpiku tentang Damien, yang sudah hampir tujuh bulan tidak menghantuiku, kini mulai kembali. Ada rasa penyesalan dihatiku karena tidak menyelesaikan permasalahanku dengannya dulu. Tapi kemudian kusingkirkan perasaan bodoh itu dengan berpikir bahwa dirinya yang memicu masalah.
Kuperiksa ponselku sebentar. Menemukan pesan mom yang mengatakan dia akan terbang ke New York, sebelum melanjutkan perjalanan ke Miami. Lalu pesan dari nomer semalam yang menanyakan kabarku hari ini.
Aku mengerang kesal. Ingat bahwa hari ini ada kemungkinan aku akan bertemu dengan Damien Priessle meskipun secara kebetulan.
Akhirnya, setelah aku selesai merutuki mimpiku tadi malam dan juga pesannya, aku mempersiapkan diri untuk kesekolah.
Aku keluar dari kamar mandi dengan perasaan yang cukup baik. Air hangat mampu membuat suasana hatiku cukup tenang. Kukenakan kemeja jins dongker dengan celana jins berwarna senada, menggerai rambutku yang kini panjangnya sudah hampir sepinggang. Kuraih ranselku dengan cepat, kemudian turun kebawah.
Aku membuka kulkas, meminum susu langsung dari dusnya. Menikmati pagi ini dengan susu yang mengisi tubuhku sudah cukup bagiku. Aku kembali meletakkan susu kedalam kulkas. Mengecek kembali diriku pada cermin didalam kamar mom, dan aku siap untuk pergi kesekolah.
Aku sedang menutup pintu garasi ketika Ben mampir kerumah. Tasnya yang hanya tersampir di bahu kirinya, mengingatkanku pada banyak kebiasaannya yang sederhana namun tetap membuatku nyaman. “Hai Abby,” sapaannya terdengar ragu.
Aku tidak membalas sapaannya. Kuabaikan dirinya dengan terus berjalan menuju mobilku yang terparkir tak jauh dari kami berdiri saat ini.
“Dengar Abby, kejadian malam itu dirumah Zac adalah kesalahan.” Kalimatnya membuatku yang sudah membuka pintu mobil terhenti. Kututup kembali pintu itu dengan keras.
Oke, seharusnya aku memakan sereal atau apapun sebelum keluar rumah. Susu yang kuminum tidak cukup untuk menghadapi situasi seperti ini.
“Ini lucu, Ben.” Suaraku terdengar menghina—aku bahkan tidak berniat untuk seperti itu. “Kau meniduri sahabatmu dan kemudian mengatakan padaku bahwa itu kesalahan?”
Kulipat kedua tanganku. Siap untuk mendengar berbagai alasan tak masuk akal Ben, tapi tidak untuk menerimanya didalam otakku.
“Kami minum, kemudian—kami mabuk dan saling tidak sadar. Aku bahkan mengira itu dirimu!”
Tawaku meledak, aku bahkan menyeka air mataku yang keluar karna penjelasan singkatnya yang terdengar begitu... brengsek!
“Kau menjadikanku sebagai objek seks, Ben?” tanyaku sinis. Ben menggeleng cepat, mulutnya terbuka untuk mengatakan sesuatu tapi aku memotong dengan cepat. “Aku menyukaimu, Ben. Itu sebabnya kita berkencan. Tapi melihat video saat kau dan Sid ketahuan melakukan itu, dan kau menutupi wajahnya karena ingin melindungi dirinya membuatku sadar akan satu hal. Kau tidak pantas untukku.”
“Abby—”
“Apa?”
“Aku benar-benar minta maaf, Abby.” Ujarnya penuh rasa bersalah. “Aku brengsek.”
Oh, bagus! Akhirnya Ben sadar betapa brengseknya dia!
“Sidney sudah menunggumu, Ben. Sebaiknya kau berikan dia kesempatan untuk menjadi jalang yang sempurna untukmu.” Ujarku. Kutepuk pelan bahunya, kemudian tersenyum mengejek.
Ben ingin berbaikan padaku. Atau lebih tepatnya, dia berusaha untuk kembali padaku. Tapi untuk alasan apapun, aku tidak akan bisa kembali menerimanya menjadi kekasihku. Lagipula, dia tidak menolak saat Sidney terus menggelayutinya. Mereka bahkan berciuman di kafetaria dan itu tidak mengganggunya. Jadi untuk alasan apa lagi dia mengatakan bahwa semua itu adalah salah paham?
***
Awan cukup tipis hari ini hingga matahari muncul. Sebuah hal yang selalu disukai oleh seluruh penduduk Forks, terutama diriku. Mia bergabung denganku, Savannah, dan Sam. Menikmati matahari yang menyinari kami meskipun udara dingin masih tetap terasa dikulit. Mia bercerita banyak hal saat seminggu ketidakhadiranku di sekolah. Mulai dari Ben dan Sidney yang datang dengan menggemparkan seluruh sekolah; Sidney yang berusaha untuk terus mencium Ben; Ben yang hanya diam saja saat Sidney mengatakan bahwa aku hanya selingan untuk Ben, dan gosip-gosip tentang kami bertiga lainnya. Juga tentang kisah tragis Suzanne Cooper yang pergi dengan selingkuhannya.
“Jadi, sekarang kau tidak bergabung dengan Sid?” tanyaku dengan acuh—meskipun sebenarnya aku cukup penasaran dengan kehadirannya saat ini dikelompok kecil kami.
Mia memutar matanya. Tangannya sibuk mengambil manisan kering yang dibeli Sam. “Aku bosan mendengarkan kisah panasnya dengan Ben.” Mia mendengus, matanya melirik pada kelompok Sid yang duduk di kursi taman—tak jauh dari kami. “Terlebih, aku sudah cukup mendengar setiap kata dari mulut busuknya!”
“Kau terlihat sedang berselisih dengannya,” kali ini Savannah yang menimpali.
“Dia mengadu padaku pagi ini bahwa Ben mampir kerumahmu. Jika kau mendengar caranya memaki, kau mungkin akan meninjunya.”
Kutarik sudut kiri bibirku, membentuk sebuah senyum sinis. “Aku tidak ingin mengotori tanganku,” gumamku. “Kau tahu, sejak tadi Sidney melihat kearah sini. Mungkin kesal karena kau duduk bersamaku.” Lanjutku. Mia mengikuti arah pandanganku, menemukan Sidney menatapnya untuk beberapa saat. Satu jari tengahnya mengacung pada kami, ditujukan untuk seseorang dikelompok kami. Mungkin untukku, mungkin juga untuk Mia.
“Bukankah jari-jari Sidney cukup manis?” suara Sam membuat kami menoleh padanya. Savannah memberikan tatapan skeptis pada Sam, sementara Mia dengan terang-terangan menatapnya jijik. “Aku selalu ingin memegang tangannya dan mematahkannya,” lanjutnya acuh.
“Kau aneh, tapi aku setuju denganmu,” Kata Mia. “Tapi aku tidak setuju dengan jarinya yang cantik. Hanya orang aneh yang menganggap jarinya cantik.” Ejeknya kemudian.
Dan adu mulut antara Sam dan Mia berlangsung, diikuti dengan manisan kering yang beterbangan diantara kami. Aku hanya memperhatikan ketiga temanku saat ini. Mia dan Sam yang terus melemparkan potongan-potongan kecil manisan, dan Savannah yang tertawa melihat tingkah mereka.
Tidak kusangka teman-temanku yang selama ini hanya sebatas bertukar sapa denganku adalah orang-orang yang menyenangkan. Mereka menerimaku dengan baik, meskipun aku seperti pengecut yang mencari pelarian.
Aku melihat arlojiku. Lima menit sebelum aku masuk pelajaran sejarah. Kukemasi beberapa barangku diatas meja, “Aku harus menemui Mr. Priessle.” Pamitku dengan suara setengah menggumam. Hanya Savannah yang mendengarkan kalimatku—dia mengangguk. Sementara dua orang yang sejak tadi melempar manisan mulai beradu argumen.
Kulangkahkan kakiku masuk kedalam gedung. Hampir seluruh siswa berada diluar gedung untuk menikmati matahari. Beberapa anak cheers mengambil kesempatan langka untuk latihan di lapangan. Anak-anak baseball mengisi lapangan dengan bermain beberapa babak.
Lorong kelas cukup sepi. Aku menuju lokerku. Menemukan pintu lokerku bergambar tidak senonoh dengan tulisan vulgar. Dengan cepat kufoto semua itu, menyimpan beberapa bukti yang mungkin nantinya akan berguna.
Aku menekan pemindai sidik jari. Mengambil buku tugas yang akan kuserahkan pada Mr. Priessle. “Seseorang mengganggumu?” suara Damien menyentakkanku. Aku berjengit sesaat, lalu dengan cepat memperbaiki ekspresiku sebelum dia melihat.
“Kau mengulang kisah yang sama dua kali, tapi kali ini ditambah dengan unsur kekanak-kanakan. Dan kau akan mendapati lokermu penuh dengan slogan vulgar yang menggambarkan dirimu dimatanya.”
“Mengapa kau tidak melawannya?”
“Mengapa kau ingin tahu urusanku?” balasku sengit. Kututup pintu lokerku, mendapati Damien bersandar pada pintu loker disebelahku. Tangannya terlipat didepan dada.
Biasanya dia cukup mampu menyimpan ekspresinya dengan baik, membuatku selalu bertanya-tanya apa yang dipikirkannya. Tapi saat ini, saat aku membalasnya dengan sengit, Damien terlihat terganggu. Ada kilatan kecewa dimatanya.
“Abby,” kalimat yang ingin diucapkannya menggantung. Tatapannya menerawang jauh. Menimbang sesuatu. “Siapapun mereka yang menggangumu, tindakannya perlu dihentikan.”
Aku tertawa kecil. Lucu akan kalimatnya. Kali ini ekspresinya berubah menjadi terkejut. Membuatku kembali terkejut dengan dirinya yang mulai mampu berekspresi dengan bebas. Kalau kuingat-ingat lagi, dirinya menunjukkan ekspresi saat bertemu denganku semalam.
“Yeah. Sama seperti setahun yang lalu, bukan?” Ujarku. “Seharusnya aku mencegahmu untuk mencumbunya.”
“Abby—”
“Apa yang kau katakan padanya?” aku menatapnya nyalang. Kali ini kebencian yang kusimpan selama setahun akhirnya tumpah. “Kau mengatakan bahwa kau guru pribadiku, bukan?”
“Abby aku melakukan kesalahan dan aku berusaha memperbaikinya.” Balasnya cepat.
Aku ingin meneriakinya. Tapi saat ini aku dan Damien berada di lorong kelas. Bertengkar karena masa lalu yang berusaha untuk kututupi di tempat seperti ini sama dengan menceburkan dirimu yang dilumuri darah kedalam kolam penuh piranha.
“Aku tidak melihat keseriusanmu dalam usahamu, Dame.” Balasku tak kalah cepat. “Kau berusaha memperbaikinya setelah setahun berlalu? Setelah kau selesai dengan gadis itu?”
“Abby, dia hanya teman kuliahku!”
“Tapi kau berusaha menelanjanginya dikamarmu!” bentakku.
Aku menyodorkan buku tugasku padanya. Lalu pergi ketika tangannya menerima buku itu setelah kami saling menatap beberapa saat.
Kuakui bahwa kebencian yang kusimpan untuknya selama ini tidak terluapkan dengan selesai pada pertemuan singkat kami barusan. Sejujurnya, aku juga benar-benar kecewa padanya. Terlepas dari perbuatannya dimasa lalu yang menyakitiku. Aku tidak melihat usahanya untuk memperbaiki keadaan, atau mememuiku untuk menjelaskan.
Setahun yang lalu, setelah aku menyaksikan secara langsung kejadian menjijikkan itu, Damien hanya sekali menemuiku. Dia datang kerumahku dengan membawa gadis itu, mengaku pada mom bahwa gadis itu adalah pacarnya. Waktu itu, aku tidak melihat kepura-puraan pada ekspresinya yang selalu penuh kontrol. Aku juga tidak melihat rasa bersalah. Jadi apakah aku—pada posisi seperti ini—sangat membencinya adalah sebuah kesalahan?
Seperti setahun yang lalu saat dia meninggalkanku dengan menyakitkan, aku juga akan melakukan hal yang sama. Tidak akan kuberikan celah sekecil apapun untuk dirinya.
Selepas aku meninggalkan Damien di lorong, aku berjalan tanpa menoleh menuju ruang kelas sejarah. Kelas akan dimulai beberapa menit lagi. Tapi aku sadar bahwa aku orang pertama yang berada di kelas.
Dan benar seperti dugaanku. Kelas sejarah masih kosong, bahkan Mr. Gilbert juga tidak ada di ruangan. Kudorong pintu kelas dengan pelan, kemudian berjalan menuju bangku paling belakang.
Hal yang kubenci dari guru sejarahku—Dave Gilbert—adalah kecenderungannya dalam menggerutu. Pria berumur setengah abad itu selalu menggerutu jika siswa tidak bisa menjawab dengan benar. Dan pada akhirnya, kami akan diberikan tugas untuk mencari beberapa jurnal untuk dibahas minggu depan.
Jadi, saat minggu lalu salah satu teman kelasku berhasil membuatnya jengkel, kami diberi tugas untuk mencari beberapa topik bahasan. Kami harus membahas secara berkelompok, dan seluruh kelompok harus memberikan pertanyaan-pertanyaan.
Aku bukan seorang siswa penjilat yang menginginkan nilai sempurna dalam hal seperti ini. Bukan berarti aku malas, jelas saja bukan—nilaiku bahkan cukup untuk aku masuk ke perguruan tinggi bergengsi. Aku hanya tidak menyukai cara guruku meremehkan siswa didalam kelas, dan menggerutu. Jadi rasanya cukup bagus jika aku mengasingkan diriku dan duduk dibagian paling belakang kelas.
Pintu kelas dibuka. Aku melepaskan pandanganku dari ponsel. Melihat mungkin saja beberapa temanku sudah masuk. Tapi tebakanku salah. Damien berdiri didepan pintu. Wajahnya kembali minim ekspresi. Hanya matanya yang kulihat sedang menatapku dengan kesal.
Dia berjalan mendekatiku. Langkah lebarnya membuat jarak yang cukup jauh antara kami menjadi tipis. Tangannya dengan cepat meraih tanganku. Menarikku hingga berdiri dan mengikutinya yang membawaku keluar kelas.
Aku berharap lorong kelas dipenuhi siswa yang ingin masuk pelajaran selanjutnya. Berharap agar cengkraman tangannya terlepas karena banyaknya siswa yang akan menatap kami dengan pandangan aneh. Tapi nampaknya hari ini seluruh siswa sepakat untuk membolos—mengingat ini adalah matahari pertama yang bersinar dibulan ini.
Damien menyeretku keruangannya. Dia bahkan setengah melemparkanku saat kami sampai didalam ruangannya. Damien mengunci pintu. Dengan cepat menarik kunci dari gagangnya dan memasukkannya kedalam saku. Aku takut, jelas saja. Damien bukan seperti yang orang-orang kira. Seorang guru fisika yang membuat hampir seluruh siswa menyukai dirinya karna ketampanannya itu.
Ada sisi kelam pada dirinya, yang akan membuat siapapun berjengit setiap kali melihat wujud aslinya. Dan aku seperti lupa pada dirinya yang sesungguhnya. Memunculkan sisi dirinya yang asli bukanlah hal yang mudah untuk kuhadapi.
Aku mundur perlahan. Tapi setiap kali aku mundur, Damien mengambil langkah maju. Bibirnya tertarik membentuk sebuah senyum miring. Sinis, tapi menyimpan banyak kemarahan.
Pada langkah mundur terakhir, tumit sneakers-ku bertemu dengan dinding. Tapi Damien masih terus maju hingga ujung-ujung sepatu kami bertemu.
Kedua tangan Damien tersimpan didalam saku celananya. Tapi rasanya tangan itu siap untuk menghentakkan tubuhku ke dinding setiap saat.
“Aku hanya ingin memberikan penjelasan, angel.” Aku mengernyit, menahan rasa sakit dihatiku saat dia memanggilku dengan panggilan yang selalu dia ucapkan dulu. Melihat perubahan ekspresiku, wajah dinginnya yang sejak masuk tadi berubah menjadi sendu.
Seakan-akan kesadaran menghantam pikirannya, Damien mundur sedikit. “Maafkan aku,” ujarnya.
Aku tahu itu bukan permintaan maaf untuk setahun yang lalu, tapi permintaan maafnya karena menakutiku.
Untuk sesaat, aku melihat ekspresi asli dirinya. Wajah Damien yang terluka, yang dulu sering diperlihatkannya padaku. Tapi dalam beberapa detik kemudian, ekspresinya berubah menjadi datar, seperti dirinya saat menghadapi seluruh orang.
Topeng mengerikan yang membuatku muak.
“Untuk beberapa alasan,” aku berhenti saat menyadari diriku secara impulsif berbicara. Damien mendongak dengan tanpa ekspresi, tapi matanya terlihat kilatan harap. “aku ingin memaafkanmu. Melihatmu hampir menelanjangi wanita itu—mengingat itu semua membuat kebencian dalam diriku kembali timbul.
“Aku tahu kau, Damien. Sepanjang hidupku aku mengenal dirimu. Mereka yang menyakitimu, mereka yang takut padamu, aku mengetahui semuanya. Aku menjauhkanmu dari kehidupan menyakitkanmu. Tapi kemudian kau mengatakan pada mereka—orang-orang yang tidak tahu masa lalumu—bahwa aku hanya seorang yang kau ajari beberapa pelajaran dirumah. Aku bahkan tidak apa-apa saat kau tidak mengakui diriku sebagai kekasihmu, kau tahu? Tapi tidak dengan berselingkuh.”
Aku mendorong tubuhnya perlahan, membuatnya mundur hingga cukup memberiku jalan untuk pergi. “Aku dan Hannah tidak ada hubungan apa-apa, angel,”
“Dan penyangkalanmu barusan membuatku seperti seorang idiot, Dame.” Balasku cepat. “Baik, jika kau tidak memiliki hubungan apa-apa dengannya, lalu apa alasanmu?” tanyaku menantang.
Bibir Damien membentuk garis tipis. Pertanyaanku jelas membuatnya tidak siap untuk memberikan jawaban. Aku ingin mendengar jawabannya—apapun itu—meskipun sebuah kebohongan lainnya.
Tapi hingga hampir satu menit berikutnya dia tetap bungkam, aku pada akhirnya mengangguk—memahami bahwa mungkin dia hanya ingin berusaha berbaikan denganku dengan mengatakan alasan yang tidak bisa kuterima.
Aku bergeser kesamping, berjalan mendekati pintu. Kutunggu dia mengeluarkan kunci yang disimpannya. Kemudian Damien mengatakan sesuatu, yang bahkan tidak ingin kubayangkan sebelumnya. Seluruh mimpi-mimpinya yang tidak ingin kubayangkan—ketakutan terbesarku.
“Aku tidak ingin kau menjadi kekasih seorang pembunuh.” Ujarnya. “Aku membunuhnya, setahun yang lalu.”
Kencan adalah hal yang menyenangkan untukku. Damien memiliki banyak kejutan menyenangkan, sama seperti dulu, saat kami masih remaja dan ibunya masih hidup. Dia banyak tertawa, banyak bercerita. Membuatku lupa jika aku pernah melalui hari-hari yang berat saat berpisah dengannya, atau saat Sidney memusuhiku. Saat ini, berada di rumahnya, dengan api unggun dan halaman belakang yang dipenuhi bantal dan lampu, kami duduk bergelung. Saling memeluk dan melilitkan kaki. Meskipun dalam lingkungan kecil, rumah-rumah berjarak cukup lebar, memberikan kami privasi untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan. Hanya kami berdua. Damien sedang bersenandung. Menyanyikan lagu pengantar tidur untukku. Seperti setahun yang lalu. "Aku bosan bernyanyi lagu yang sama selama dua jam." Keluhnya dipertengahan lagu. Aku tertawa. Memberikannya ciuman menyemangati untuknya. "Aku ingin satu jam lagi." Pintaku. Dia mendengus disela nyanyiannya, tapi tetap tak memprotes dan me
Bergelung didalam selimut adalah suatu hal yang menyenangkan untukku. Aku sedang ingin bermalas-malasan. Kuabaikan suara berkelontang yang berasal dari dapur di lantai bawah. Mom pasti sedang berperang dengan api dan wajan. Dan aku tak ingin mengganggunya. Hal yang menyenangkan kedua setelah bergelung adalah, sarapan yang dia antarkan untuk diriku. Bukan karena aku anak manja, tapi panas tubuhku belum berkurang sejak tiga hari yang lalu. Mungkin efek percobaan pembunuhan yang dilakukan Sidney seminggu yang lalu. Dan suaraku belum begitu membaik. Dokter bilang, ada trauma pada pita suaraku. Beruntung aku tidak bisu, karena kuatnya cekikan yang diberikan Sidney. Kabar Sidney? Dia dipenjara. Kedua orang tuanya memberikan pengacara terbaik untuk mengurangi hukumannya. Tapi tak ada yang bisa mengalahkan mom. Aku yakin ibuku akan memberikan hukuman maksimal, yang setimpal dengan yang dilakukannya. "Abby, kau sudah bangun?" Mom membuka pelan pintu kamarku. Melongok
Suaraku serak nyaris hilang. Memanggil Damien yang kesetanan seperti malam sewaktu Sidney menghancurkan mobilku adalah suatu hal yang sia-sia. Kuseret tubuhku, melindas pecahan kaca dan rongsokan microwave yang berserakan dilantai. Semua itu tak terasa sakit dibanding Sidney memukul dan mencoba mencekikku. Berada ditengah ruangan, dua orang itu seperti berada dalam lingkup sendiri. Sidney sibuk meronta, mencakari tangan Damien yang bergeming. Sementara kedua kakinya menendang udara. Kupaksa tubuhku semakin cepat bergerak. Hingga akhirnya aku berhasil menarik ujung kemejanya yang tak terkancing. "Dame." Suaraku seperti bisikan. Aku melihat tubuh Damien yang tersentak. Dengan cepat kedua tangannya terlepas dari leher Sidney. Dia menoleh, menatapku dengan sorot menyesal. Gerakannya terlihat cepat. Tahu-tahu dia sudah mengangkatku, membawaku keluar dari kekacauan di ruangan ini. Damien mendudukkanku di ruang TV. Tak menunggu lama, dia langsung menghilang
Damien selesai memasukkan mobilku kedalam garasi. Aku bisa mendengar langkah cepatnya di tangga, kemudian pintu kamarku terbuka. Dia memelukku sekilas, mendaratkan bibirnya pada bibirku, kemudian mencebik. "Kau bisa kembali malam nanti," bujukku sambil menepuk pelan lengannya. "Aku benar-benar butuh waktu sendiri. Hanya beberapa jam kedepan," "Aku tidak suka ini, Angel." Rengutnya tak setuju. Kuselipkan sebelah tanganku pada rambutnya-mengusap-usap pelan. "Aku benci membuatmu sendirian." Mendengar tingkahnya yang merajuk seperti anak berumur enam tahun membuatku tertawa. "Kau bisa kemari jam tujuh, okay?" "Aku benci bernegosiasi denganmu," dengusnya. Dia menciumku kembali, sebelum akhirnya mengalah dan pulang. Pintu kamarku ditutup dengan pelan, kemudian langkah kaki Damien terdengar menuruni tangga. Kularikan tubuhku mendekati jendela. Melihat Damien yang menembus gerimis menuju mobilnya. Dia menekan klakson satu kali, sebelum keluar
Di hari terakhir sekolah, seluruh orang menatapku dengan penasaran. Aku bahkan dipanggil oleh kepala sekolah, menanyakan kabar hubunganku dengan Damien.Sejujurnya, aku ingin berbohong. Tapi semalam Damien datang dengan menyerahkan surat pengunduran diri. Kemudian tadi pagi dia mengantarku ke sekolah dengan sebuah ciuman sebelum aku berjalan ke gerbang sekolah. Disaksikan oleh beberapa orang.Kuakui semuanya pada semua orang yang bertanya padaku. Bahkan kepala sekolah yang kini sedang mengurut pangkal hidungnya."Well, Ms. Miles, kau mengatakan bahwa sebelum kau pindah ke Forks, kau sudah memiliki hubungan dengan Mr. Priessle?"Kulemparkan senyum bahagiaku—yang terlalu nampak kubuat-buat—dan mengangguk mantap. "Ya, sir."Pria tua di depanku mengangguk-angguk pasrah. "Baiklah, kau boleh kembali ke kelas." Ujarnya kemudian.Aku buru-buru keluar dari ruangan. Menemui Mia yang menungguku di luar. Dia menepuk bokongk
Mobil Damien terparkir di sudut, dengan dua anak laki-laki berkumpul disana. Aku melihat punggung Sam yang membelakangiku, sementara Damien menekan tuas dongkrak dan salah satu siswa cowok lainnya memegang ban cadangan."Ada apa?" tanyaku saat jarak kami tak terlalu jauh. Damien mendongak memperhatikan Sam bekerja, sementara Sam menoleh mendengar suaraku.Sam menjawab, dengan suara setengah menggeram karena memutar besi yang aku tak tahu apa namanya. "Dean melihat gadis itu menusuk-nusuk ban Mr. Priessle dengan pisau.""Sidney?""Yap." Balas Sam cepat. "Untung saja Dean melihatnya. Mungkin dia akan merusak seluruh ban jika tidak ketahuan,"Kupejamkan mataku sejenak. Mendengar penjelasan Sam membuat kepalaku sakit. Perbuatan Sidney sudah diluar batas kewajaran, dan nampaknya Damien tak ambil pusing dengan hal ini."Dia bahkan mengacung-acungkan pisau itu kewajahku," keluh cowok yang sejak tadi memegang ban."Dasar lembek," ejek Sam.
Pagi ini aku meminta dirinya untuk menurunkanku di depan rumahku, berangkat sekolah dengan mobilku sendiri. Tapi Damien menolak dengan keras. Dia bahkan tak menggubris kekesalanku, dan memaksaku masuk ke mobilnya. Damien menyeringai ketika aku bungkam di sepanjang perjalanan menuju sekolah. Suasana hatinya terlihat sangat bagus hari ini. Dia bernyanyi dengan lantang, mengikuti lagu di playlist mobilnya. Rasanya perjalanan menuju sekolah sangat singkat. Sekarang aku bisa melihat gerbang sekolah di depanku. Lapangan parkir adalah salah satu tempat paling cepat menyebarkan gosip. Damien sengaja menurunkanku di lapangan parkir siswa. Dengan mengedipkan matanya padaku, dia berlalu menuju parkiran khusus guru. Aku bisa melihat seluruh tatapan orang yang berada di parkiran tertuju padaku. Bahkan ketika aku melirik ke sudut dimana Christina sering berkumpul dengan teman-temanku—mereka menatapku dengan pandangan tak percaya. Langkah lebar Christina me
Aku meninggalkan rumah Kate dengan buru-buru. Memberitahu keempat temanku bahwa seluruh kaca dirumahku dipecahkan seseorang, sekaligus melarang keras mereka untuk ikut denganku. Mom sedang diluar kota, apa yang akan kukatakan padanya nanti? Jarak rumah Kate menuju rumahku hanya membutuhkan waktu tak lebih dari lima belas menit. Tapi saat ini, kuinjak pedal gas dalam-dalam, dan sampai dirumah kurang dari sepuluh menit. Mobil Damien terparkir di bahu jalan. Dengan cepat kutepikan mobilku dibelakang mobilnya. Halaman rumahku sudah didatangi beberapa orang. Ben, ibunya, kedua orang tua Sid, Damien, dan dua orang polisi. Aku berjalan dengan cepat, kemudian berdiri disebelah Liliana—ibu Ben. Tangannya dengan cepat merangkulku, memberikanku pelukan singkat menenangkan. Rumahku seperti kapal pecah. Seluruh kaca depan dan lantai dua pecah. Aku belum mengecek keadaan jendela bagian samping dan belakang, tapi dapat kupastikan seluruhnya pecah. "M
"Kemana mom?""San Diego. Empat atau lima hari. Mungkin Amanda akan pulang akhir pekan,"Aku mengangguk, "Bagaimana kau bisa kemari?"Damien terdiam sejenak. Kemudian dia terkekeh pelan, "Dengan perencanaan yang matang. Dan persiapan yang banyak. Karena aku tahu kau akan membenciku. Tapi aku tidak tahu rasanya akan semenyakitkan ini.""Apa sekarang rasanya membaik?""Yap, sangat." jawabnya. Dia mencium puncak kepalaku, kemudian melanjutkan, "Aku belajar banyak hal selama terapi. Tersenyum, menangis, marah, tertawa, kesal, benci—kau tahu ekspresi selayaknya manusia. Orang disekitarku di New York menganggap aku menyenangkan—mungkin karena aku berlatih berekspresi. Tapi saat pindah ke Forks—saat aku bertemu denganmu—aku merasa tidak pantas untuk bahagia.""Kau takut untuk bahagia." Koreksiku."Yah, kau benar. Lebih tepatnya, aku takut untuk kecewa. Aku takut untuk kehilanganmu. Karena aku tahu kau yang paling terl