Share

Bagian 4

Aku terbangun karena alarmku berbunyi nyaring. Rasanya ingin tetap berada dibawah selimut. Tapi aku harus bersekolah. Kupandang sejenak langit Forks yang berkabut. Hujan semalam membuat suhu semakin dingin. 

Pagi ini, aku bangun dengan perasaan kacau. Aku bahkan menemukan jejak air mata di wajahku. Mimpiku tentang Damien, yang sudah hampir tujuh bulan tidak menghantuiku, kini mulai kembali. Ada rasa penyesalan dihatiku karena tidak menyelesaikan permasalahanku dengannya dulu. Tapi kemudian kusingkirkan perasaan bodoh itu dengan berpikir bahwa dirinya yang memicu masalah. 

Kuperiksa ponselku sebentar. Menemukan pesan mom yang mengatakan dia akan terbang ke New York, sebelum melanjutkan perjalanan ke Miami. Lalu pesan dari nomer semalam yang menanyakan kabarku hari ini. 

Aku mengerang kesal. Ingat bahwa hari ini ada kemungkinan aku akan bertemu dengan Damien Priessle meskipun secara kebetulan. 

Akhirnya, setelah aku selesai merutuki mimpiku tadi malam dan juga pesannya, aku mempersiapkan diri untuk kesekolah. 

Aku keluar dari kamar mandi dengan perasaan yang cukup baik. Air hangat mampu membuat suasana hatiku cukup tenang. Kukenakan kemeja jins dongker dengan celana jins berwarna senada, menggerai rambutku yang kini panjangnya sudah hampir sepinggang. Kuraih ranselku dengan cepat, kemudian turun kebawah.

Aku membuka kulkas, meminum susu langsung dari dusnya. Menikmati pagi ini dengan susu yang mengisi tubuhku sudah cukup bagiku. Aku kembali meletakkan susu kedalam kulkas. Mengecek kembali diriku pada cermin didalam kamar mom, dan aku siap untuk pergi kesekolah. 

Aku sedang menutup pintu garasi ketika Ben mampir kerumah. Tasnya yang hanya tersampir di bahu kirinya, mengingatkanku pada banyak kebiasaannya yang sederhana namun tetap membuatku nyaman. “Hai Abby,” sapaannya terdengar ragu. 

Aku tidak membalas sapaannya. Kuabaikan dirinya dengan terus berjalan menuju mobilku yang terparkir tak jauh dari kami berdiri saat ini. 

“Dengar Abby, kejadian malam itu dirumah Zac adalah kesalahan.” Kalimatnya membuatku yang sudah membuka pintu mobil terhenti. Kututup kembali pintu itu dengan keras. 

Oke, seharusnya aku memakan sereal atau apapun sebelum keluar rumah. Susu yang kuminum tidak cukup untuk menghadapi situasi seperti ini. 

“Ini lucu, Ben.” Suaraku terdengar menghina—aku bahkan tidak berniat untuk seperti itu. “Kau meniduri sahabatmu dan kemudian mengatakan padaku bahwa itu kesalahan?”

Kulipat kedua tanganku. Siap untuk mendengar berbagai alasan tak masuk akal Ben, tapi tidak untuk menerimanya didalam otakku. 

“Kami minum, kemudian—kami mabuk dan saling tidak sadar. Aku bahkan mengira itu dirimu!”

Tawaku meledak, aku bahkan menyeka air mataku yang keluar karna penjelasan singkatnya yang terdengar begitu... brengsek!

“Kau menjadikanku sebagai objek seks, Ben?” tanyaku sinis. Ben menggeleng cepat, mulutnya terbuka untuk mengatakan sesuatu tapi aku memotong dengan cepat. “Aku menyukaimu, Ben. Itu sebabnya kita berkencan. Tapi melihat video saat kau dan Sid ketahuan melakukan itu, dan kau menutupi wajahnya karena ingin melindungi dirinya membuatku sadar akan satu hal. Kau tidak pantas untukku.”

“Abby—”

“Apa?”

“Aku benar-benar minta maaf, Abby.” Ujarnya penuh rasa bersalah. “Aku brengsek.”

Oh, bagus! Akhirnya Ben sadar betapa brengseknya dia!

“Sidney sudah menunggumu, Ben. Sebaiknya kau berikan dia kesempatan untuk menjadi jalang yang sempurna untukmu.” Ujarku. Kutepuk pelan bahunya, kemudian tersenyum mengejek. 

Ben ingin berbaikan padaku. Atau lebih tepatnya, dia berusaha untuk kembali padaku. Tapi untuk alasan apapun, aku tidak akan bisa kembali menerimanya menjadi kekasihku. Lagipula, dia tidak menolak saat Sidney terus menggelayutinya. Mereka bahkan berciuman di kafetaria dan itu tidak mengganggunya. Jadi untuk alasan apa lagi dia mengatakan bahwa semua itu adalah salah paham?

***

Awan cukup tipis hari ini hingga matahari muncul. Sebuah hal yang selalu disukai oleh seluruh penduduk Forks, terutama diriku. Mia bergabung denganku, Savannah, dan Sam. Menikmati matahari yang menyinari kami meskipun udara dingin masih tetap terasa dikulit. Mia bercerita banyak hal saat seminggu ketidakhadiranku di sekolah. Mulai dari Ben dan Sidney yang datang dengan menggemparkan seluruh sekolah; Sidney yang berusaha untuk terus mencium Ben; Ben yang hanya diam saja saat Sidney mengatakan bahwa aku hanya selingan untuk Ben, dan gosip-gosip tentang kami bertiga lainnya. Juga tentang kisah tragis Suzanne Cooper yang pergi dengan selingkuhannya. 

“Jadi, sekarang kau tidak bergabung dengan Sid?” tanyaku dengan acuh—meskipun sebenarnya aku cukup penasaran dengan kehadirannya saat ini dikelompok kecil kami. 

Mia memutar matanya. Tangannya sibuk mengambil manisan kering yang dibeli Sam. “Aku bosan mendengarkan kisah panasnya dengan Ben.” Mia mendengus, matanya melirik pada kelompok Sid yang duduk di kursi taman—tak jauh dari kami. “Terlebih, aku sudah cukup mendengar setiap kata dari mulut busuknya!” 

“Kau terlihat sedang berselisih dengannya,” kali ini Savannah yang menimpali. 

“Dia mengadu padaku pagi ini bahwa Ben mampir kerumahmu. Jika kau mendengar caranya memaki, kau mungkin akan meninjunya.”

Kutarik sudut kiri bibirku, membentuk sebuah senyum sinis. “Aku tidak ingin mengotori tanganku,” gumamku. “Kau tahu, sejak tadi Sidney melihat kearah sini. Mungkin kesal karena kau duduk bersamaku.” Lanjutku. Mia mengikuti arah pandanganku, menemukan Sidney menatapnya untuk beberapa saat. Satu jari tengahnya mengacung pada kami, ditujukan untuk seseorang dikelompok kami. Mungkin untukku, mungkin juga untuk Mia. 

“Bukankah jari-jari Sidney cukup manis?” suara Sam membuat kami menoleh padanya. Savannah memberikan tatapan skeptis pada Sam, sementara Mia dengan terang-terangan menatapnya jijik. “Aku selalu ingin memegang tangannya dan mematahkannya,” lanjutnya acuh. 

“Kau aneh, tapi aku setuju denganmu,” Kata Mia. “Tapi aku tidak setuju dengan jarinya yang cantik. Hanya orang aneh yang menganggap jarinya cantik.” Ejeknya kemudian. 

Dan adu mulut antara Sam dan Mia berlangsung, diikuti dengan manisan kering yang beterbangan diantara kami. Aku hanya memperhatikan ketiga temanku saat ini. Mia dan Sam yang terus melemparkan potongan-potongan kecil manisan, dan Savannah yang tertawa melihat tingkah mereka. 

Tidak kusangka teman-temanku yang selama ini hanya sebatas bertukar sapa denganku adalah orang-orang yang menyenangkan. Mereka menerimaku dengan baik, meskipun aku seperti pengecut yang mencari pelarian. 

Aku melihat arlojiku. Lima menit sebelum aku masuk pelajaran sejarah. Kukemasi beberapa barangku diatas meja, “Aku harus menemui Mr. Priessle.” Pamitku dengan suara setengah menggumam. Hanya Savannah yang mendengarkan kalimatku—dia mengangguk. Sementara dua orang yang sejak tadi melempar manisan mulai beradu argumen. 

Kulangkahkan kakiku masuk kedalam gedung. Hampir seluruh siswa berada diluar gedung untuk menikmati matahari. Beberapa anak cheers mengambil kesempatan langka untuk latihan di lapangan. Anak-anak baseball mengisi lapangan dengan bermain beberapa babak. 

Lorong kelas cukup sepi. Aku menuju lokerku. Menemukan pintu lokerku bergambar tidak senonoh dengan tulisan vulgar. Dengan cepat kufoto semua itu, menyimpan beberapa bukti yang mungkin nantinya akan berguna. 

Aku menekan pemindai sidik jari. Mengambil buku tugas yang akan kuserahkan pada Mr. Priessle. “Seseorang mengganggumu?” suara Damien menyentakkanku. Aku berjengit sesaat, lalu dengan cepat memperbaiki ekspresiku sebelum dia melihat. 

“Kau mengulang kisah yang sama dua kali, tapi kali ini ditambah dengan unsur kekanak-kanakan. Dan kau akan mendapati lokermu penuh dengan slogan vulgar yang menggambarkan dirimu dimatanya.” 

“Mengapa kau tidak melawannya?”

“Mengapa kau ingin tahu urusanku?” balasku sengit. Kututup pintu lokerku, mendapati Damien bersandar pada pintu loker disebelahku. Tangannya terlipat didepan dada. 

Biasanya dia cukup mampu menyimpan ekspresinya dengan baik, membuatku selalu bertanya-tanya apa yang dipikirkannya. Tapi saat ini, saat aku membalasnya dengan sengit, Damien terlihat terganggu. Ada kilatan kecewa dimatanya.

“Abby,” kalimat yang ingin diucapkannya menggantung. Tatapannya menerawang jauh. Menimbang sesuatu. “Siapapun mereka yang menggangumu, tindakannya perlu dihentikan.”

Aku tertawa kecil. Lucu akan kalimatnya. Kali ini ekspresinya berubah menjadi terkejut. Membuatku kembali terkejut dengan dirinya yang mulai mampu berekspresi dengan bebas. Kalau kuingat-ingat lagi, dirinya menunjukkan ekspresi saat bertemu denganku semalam.

“Yeah. Sama seperti setahun yang lalu, bukan?” Ujarku. “Seharusnya aku mencegahmu untuk mencumbunya.”

“Abby—”

“Apa yang kau katakan padanya?” aku menatapnya nyalang. Kali ini kebencian yang kusimpan selama setahun akhirnya tumpah. “Kau mengatakan bahwa kau guru pribadiku, bukan?”

“Abby aku melakukan kesalahan dan aku berusaha memperbaikinya.” Balasnya cepat. 

Aku ingin meneriakinya. Tapi saat ini aku dan Damien berada di lorong kelas. Bertengkar karena masa lalu yang berusaha untuk kututupi di tempat seperti ini sama dengan menceburkan dirimu yang dilumuri darah kedalam kolam penuh piranha. 

“Aku tidak melihat keseriusanmu dalam usahamu, Dame.” Balasku tak kalah cepat. “Kau berusaha memperbaikinya setelah setahun berlalu? Setelah kau selesai dengan gadis itu?”

“Abby, dia hanya teman kuliahku!” 

“Tapi kau berusaha menelanjanginya dikamarmu!” bentakku.

Aku menyodorkan buku tugasku padanya. Lalu pergi ketika tangannya menerima buku itu setelah kami saling menatap beberapa saat. 

Kuakui bahwa kebencian yang kusimpan untuknya selama ini tidak terluapkan dengan selesai pada pertemuan singkat kami barusan. Sejujurnya, aku juga benar-benar kecewa padanya. Terlepas dari perbuatannya dimasa lalu yang menyakitiku. Aku tidak melihat usahanya untuk memperbaiki keadaan, atau mememuiku untuk menjelaskan. 

Setahun yang lalu, setelah aku menyaksikan secara langsung kejadian menjijikkan itu, Damien hanya sekali menemuiku. Dia datang kerumahku dengan membawa gadis itu, mengaku pada mom bahwa gadis itu adalah pacarnya. Waktu itu, aku tidak melihat kepura-puraan pada ekspresinya yang selalu penuh kontrol. Aku juga tidak melihat rasa bersalah. Jadi apakah aku—pada posisi seperti ini—sangat membencinya adalah sebuah kesalahan? 

Seperti setahun yang lalu saat dia meninggalkanku dengan menyakitkan, aku juga akan melakukan hal yang sama. Tidak akan kuberikan celah sekecil apapun untuk dirinya. 

Selepas aku meninggalkan Damien di lorong, aku berjalan tanpa menoleh menuju ruang kelas sejarah. Kelas akan dimulai beberapa menit lagi. Tapi aku sadar bahwa aku orang pertama yang berada di kelas. 

Dan benar seperti dugaanku. Kelas sejarah masih kosong, bahkan Mr. Gilbert juga tidak ada di ruangan. Kudorong pintu kelas dengan pelan, kemudian berjalan menuju bangku paling belakang. 

Hal yang kubenci dari guru sejarahku—Dave Gilbert—adalah kecenderungannya dalam menggerutu. Pria berumur setengah abad itu selalu menggerutu jika siswa tidak bisa menjawab dengan benar. Dan pada akhirnya, kami akan diberikan tugas untuk mencari beberapa jurnal untuk dibahas minggu depan. 

Jadi, saat minggu lalu salah satu teman kelasku berhasil membuatnya jengkel, kami diberi tugas untuk mencari beberapa topik bahasan. Kami harus membahas secara berkelompok, dan seluruh kelompok harus memberikan pertanyaan-pertanyaan. 

Aku bukan seorang siswa penjilat yang menginginkan nilai sempurna dalam hal seperti ini. Bukan berarti aku malas, jelas saja bukan—nilaiku bahkan cukup untuk aku masuk ke perguruan tinggi bergengsi. Aku hanya tidak menyukai cara guruku meremehkan siswa didalam kelas, dan menggerutu. Jadi rasanya cukup bagus jika aku mengasingkan diriku dan duduk dibagian paling belakang kelas. 

Pintu kelas dibuka. Aku melepaskan pandanganku dari ponsel. Melihat mungkin saja beberapa temanku sudah masuk. Tapi tebakanku salah. Damien berdiri didepan pintu. Wajahnya kembali minim ekspresi. Hanya matanya yang kulihat sedang menatapku dengan kesal. 

Dia berjalan mendekatiku. Langkah lebarnya membuat jarak yang cukup jauh antara kami menjadi tipis. Tangannya dengan cepat meraih tanganku. Menarikku hingga berdiri dan mengikutinya yang membawaku keluar kelas. 

Aku berharap lorong kelas dipenuhi siswa yang ingin masuk pelajaran selanjutnya. Berharap agar cengkraman tangannya terlepas karena banyaknya siswa yang akan menatap kami dengan pandangan aneh. Tapi nampaknya hari ini seluruh siswa sepakat untuk membolos—mengingat ini adalah matahari pertama yang bersinar dibulan ini. 

Damien menyeretku keruangannya. Dia bahkan setengah melemparkanku saat kami sampai didalam ruangannya. Damien mengunci pintu. Dengan cepat menarik kunci dari gagangnya dan memasukkannya kedalam saku. Aku takut, jelas saja. Damien bukan seperti yang orang-orang kira. Seorang guru fisika yang membuat hampir seluruh siswa menyukai dirinya karna ketampanannya itu.  

Ada sisi kelam pada dirinya, yang akan membuat siapapun berjengit setiap kali melihat wujud aslinya. Dan aku seperti lupa pada dirinya yang sesungguhnya. Memunculkan sisi dirinya yang asli bukanlah hal yang mudah untuk kuhadapi.

Aku mundur perlahan. Tapi setiap kali aku mundur, Damien mengambil langkah maju. Bibirnya tertarik membentuk sebuah senyum miring. Sinis, tapi menyimpan banyak kemarahan. 

Pada langkah mundur terakhir, tumit sneakers-ku bertemu dengan dinding. Tapi Damien masih terus maju hingga ujung-ujung sepatu kami bertemu. 

Kedua tangan Damien tersimpan didalam saku celananya. Tapi rasanya tangan itu siap untuk menghentakkan tubuhku ke dinding setiap saat. 

“Aku hanya ingin memberikan penjelasan, angel.” Aku mengernyit, menahan rasa sakit dihatiku saat dia memanggilku dengan panggilan yang selalu dia ucapkan dulu. Melihat perubahan ekspresiku, wajah dinginnya yang sejak masuk tadi berubah menjadi sendu. 

Seakan-akan kesadaran menghantam pikirannya, Damien mundur sedikit. “Maafkan aku,” ujarnya. 

Aku tahu itu bukan permintaan maaf untuk setahun yang lalu, tapi permintaan maafnya karena menakutiku. 

Untuk sesaat, aku melihat ekspresi asli dirinya. Wajah Damien yang terluka, yang dulu sering diperlihatkannya padaku. Tapi dalam beberapa detik kemudian, ekspresinya berubah menjadi datar, seperti dirinya saat menghadapi seluruh orang. 

Topeng mengerikan yang membuatku muak. 

“Untuk beberapa alasan,” aku berhenti saat menyadari diriku secara impulsif berbicara. Damien mendongak dengan tanpa ekspresi, tapi matanya terlihat kilatan harap. “aku ingin memaafkanmu. Melihatmu hampir menelanjangi wanita itu—mengingat itu semua membuat kebencian dalam diriku kembali timbul.

“Aku tahu kau, Damien. Sepanjang hidupku aku mengenal dirimu. Mereka yang menyakitimu, mereka yang takut padamu, aku mengetahui semuanya. Aku menjauhkanmu dari kehidupan menyakitkanmu. Tapi kemudian kau mengatakan pada mereka—orang-orang yang tidak tahu masa lalumu—bahwa aku hanya seorang yang kau ajari beberapa pelajaran dirumah. Aku bahkan tidak apa-apa saat kau tidak mengakui diriku sebagai kekasihmu, kau tahu? Tapi tidak dengan berselingkuh.” 

Aku mendorong tubuhnya perlahan, membuatnya mundur hingga cukup memberiku jalan untuk pergi. “Aku dan Hannah tidak ada hubungan apa-apa, angel,” 

“Dan penyangkalanmu barusan membuatku seperti seorang idiot, Dame.” Balasku cepat. “Baik, jika kau tidak memiliki hubungan apa-apa dengannya, lalu apa alasanmu?” tanyaku menantang. 

Bibir Damien membentuk garis tipis. Pertanyaanku jelas membuatnya tidak siap untuk memberikan jawaban. Aku ingin mendengar jawabannya—apapun itu—meskipun sebuah kebohongan lainnya.

Tapi hingga hampir satu menit berikutnya dia tetap bungkam, aku pada akhirnya mengangguk—memahami bahwa mungkin dia hanya ingin berusaha berbaikan denganku dengan mengatakan alasan yang tidak bisa kuterima. 

Aku bergeser kesamping, berjalan mendekati pintu. Kutunggu dia mengeluarkan kunci yang disimpannya. Kemudian Damien mengatakan sesuatu, yang bahkan tidak ingin kubayangkan sebelumnya. Seluruh mimpi-mimpinya yang tidak ingin kubayangkan—ketakutan terbesarku.

“Aku tidak ingin kau menjadi kekasih seorang pembunuh.” Ujarnya. “Aku membunuhnya, setahun yang lalu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status