Share

Ei-Bree My Betelgeuse
Ei-Bree My Betelgeuse
Penulis: Vyas Cornanila

1 - Marilyn Monroe

Waktu kecil, cerita favorit Papa untukku adalah cerita tentang bangsa Viking yang ditakuti. Mereka mengenakan helm-helm besi berbentuk menyerupai tanduk, pandai berperang, dan terampil membuat kapal. Papa bilang para Viking menamai pedang mereka dan bahkan mengukir sesuatu di sana. Sesuatu tentang nama keluarga mereka, sejarah prestasi, momen-momen paling berkesan, dan dewa-dewa kepercayaan mereka.

Viking adalah hal pertama yang kupikirkan saat pertama kali melihat senyum yang lembut di bibir tebal dan merah pudar Gesa Edrei. Kemudian aku menjadi lebih dari sekadar melihat—kini aku memperhatikan. Ketika jemari Beatrice hendak menyelipkan foto itu ke bagian bawah tumpukan foto di pegangannya, aku merebutnya dan memilikinya untuk diriku sendiri.

Apakah para Viking itu pernah tersenyum? Papa mungkin tidak tahu jawabannya. Muncul pertanyaan lain. Jika mereka tersenyum, kapan mereka melakukannya? Setelah melakukan penyerbuan?

Wajah cantik Gesa telah menyerbuku. Dia seharusnya terdaftar dalam Viking.

Naik ke atas dari bibirnya, melekat hidung runcing yang miring sempurna tanpa lekukan atau bengkok yang tegas. Kapal yang para Viking itu buat, apakah setegak hidung Gesa? Aku juga tidak tahu jawabannya. Tapi yang jelas, aku tahu Viking senang menjelajahi samudera yang seringkali berkecamuk. Dan aku melihat kecamuk itu dalam mata cokelat terangnya yang menatap dengan ceria, cemerlang, penuh semangat, tapi tetap terkendali. Magma bergemeletuk di dalam sana seolah mata itu menyimpan energi yang sangat besar.

Di sebelah Gesa, Junko Edrei tersenyum lebar. Sama lembutnya, tetapi lebih seperti mengikuti keadaan. Singkat kata tidak setulus kakaknya. Mereka sama-sama mengenakan topi rajut. Milik Gesa berwarna seperti cangkang telur dan milik Junko berwarna putih bersih. Di atas kepala mereka, bola kecil matahari putih menyebarkan jarum cahaya. Tampak sebuah chalet Swiss dengan karakteristik atap steep dan overhang-nya yang panjang yang mencuat dari punggung keduanya. Pepohonan alpine tersebar di tanah bersalju yang menanjak. Di antara mereka dan chalet Swiss, salju di tanah menyembur naik karena gaya yang diberikan seorang pemain ski bertopi rajut merah dan mengenakan kacamata biru yang tertangkap kamera.

Coretan hitam spidol melengkungkan panah ke sebuah kata di dekat topi rajut Gesa: Bree. Dan kata di dekat pipi tembam Junko: Junko.

Bree?

Aku berpaling pada Beatrice yang masih sibuk mengagumi koleksi foto yang dia rampas dari laci meja belajar di kamar Junko. Foto-foto yang diletakkan dalam sebuah peti kayu berukuran 10 x 15 cm. "Apa nama tengah Gesa Edrei adalah Bree?"

Tanpa berpaling kepadaku, Beatrice menggeleng dan menjawab, "Bukan. Itu nama panggilan yang diberikan keluarganya untuk Gesa."

Rambut panjang mereka terurai di bawah topi rajut, menutupi dua telinga yang mungkin memerah karena kedinginan. Aku memanjakan diriku sendiri dengan berlama-lama mengamati helai-helai rambut Gesa yang membentuk sebuah bundel dan menjuntai sebagai bingkai wajahnya. Wajah yang ekspresif dan bahagia.

Beatrice baru saja menyodoriku foto baru dengan acuh tak acuh ketika suara Junko terdengar lantang. "Cukup!" Terselubung berlapis-lapis kebosanan di dalam suaranya. Seolah-olah ini bukan kali pertama kamarnya di jarah dan para penjarahnya berkeliaran di antara kamarnya dan ruang menonton di lantai dua rumahnya.

Aku dan Beatrice serempak menoleh ke belakang. Melalui puncak punggung sofa, kami melihat Junko berdiri di depan pintu kaca kamar akuariumnya dengan tangan bersedekap dan satu kaki dijulurkan lebih panjang ke sisi samping tubuhnya sehingga membentuk huruf V terbalik di antara kaki rampingnya yang jenjang.

Jacob—semua orang memanggilnya Jake—mengangkat wajahnya dari sebuah buku yang diambilnya di rak kayu yang ditanam di dinding berwarna seperti alabaster. Buku itu milik Gregg Braden yang berjudul The Divine Matrix, salah satu buku yang kedua tanganku sangat terbuka untuk membacanya. Jake duduk di kursi dadu, yang seperti sofa di sini, berkain sewarna sirup cokelat di dekatku dan Beatrice.

Akhirnya dia menutup buku dan bangun sementara teman-teman cewek Junko menghambur keluar dari kamar Junko. Teman-teman laki-lakiku dan Jake yang menumpahkan UNO balok dan catur dari dalam kotak mainan langsung meringkasi kegaduhan kecil mereka dan ikut berkumpul di sekitar sofa. Aku dan Victor menarik mundur sofa sementara Beatrice dan Rain menggelar sebuah alas tidur yang menggelembung tetapi empuk. Yuda dan Tino langsung berebut tempat di atas situ, menyelonjorkan kaki pendek mereka sementara aku dan Victor saling menoleh dan menyeringai.

Kami berniat menarik sofa sejauh mungkin, tidak terlalu jauh sehingga efek bioskop buatan yang berusaha kami tampilkan masih memengaruhi kami, tetapi membuat anak-anak itu berpikir sofa tidak boleh digunakan karena semua orang harus duduk berjubelan di atas alas cokelat seluas 2 x 2 meter itu.

Jake mengoperasikan laptop Junko di meja yang sudah digotong sedekat mungkin dengan dinding pojok di bawah layar proyektor bagian kanan di dinding putih gading di hadapan kami. Semua orang mengambil tempat masing-masing, patuh menunggu Jake memberikan aba-aba. Aku dan Victor melompat ke sofa saat semuanya sudah duduk di bawah. Terdengar pekikan protes, bahkan Junko mengangkat sebelah alisnya terhadap kami. Tapi kami tidak gentar dan berniat mempertahankan armada menonton kami yang nyaman ini. Akhirnya mereka hanya menggerutu sambil kembali menghadap ke layar proyektor. Lampu-lampu di lantai dua sudah dipadamkan. Setelah mengangkat jempolnya sebagai aba-aba, opening pun berputar dan Jake melesat ke salah satu kursi dadu yang tersisa—satunya lagi diduduki oleh Gerald.

Dengan uang Jake yang terus mengalir dari ayahnya, dia membeli DVD orisinal The Hunger Games series. Dan menurutku, meski kawanku itu gila, kami sangat diuntungkan. Jake dan Victor boleh saja sudah menonton film-film itu ratusan kali, tetapi cewek-cewek yang lebih suka mengoleksi lima jenis bedak dalam dompet makeup besar mereka harus diperkenalkan dengan koleksi cakram padat berisi isu tentang kemiskinan, kelaparan, penindasan, dan efek perang. Baru setelah itu mereka boleh dilepaskan ke dunia bebas tempat orang-orang beradab diperbolehkan memilih antara bedak dan DVD The Hunger Games.

Jumlah kami tiga belas orang, tetapi begitu percakapan antara dua pria yang keluar dari speaker bluetooth Junko di kisi rak buku teratas terdengar, tidak ada seorang pun yang mengganggu percakapan itu. Semua orang bahkan tampaknya menahan napas mereka. Kami seperti sandera perang yang diancam oleh penawan terkutuk kami agar tidak bergerak sedikit pun. Dan aku menyukai jenis ketenangan dalam konsentrasi ini, begitu mengingatkanku pada cara kerja otakku ketika menghadapi persamaan-persamaan kompleks dalam matematika.

Aku sudah menonton seri pertama ini sebelumnya, tetapi rasanya benar ketika menontonnya lagi dan masih mengingat betul adegan yang akan terjadi. Katniss akan memutuskan menjadi sukarelawan untuk menggantikan Prim, menjadi sukarelawan Distrik 12 bersama Peeta. Dan tiba-tiba saja aku terlena pada plot yang sudah sangat kukenal ini. Terlena sehingga aku merasa aman untuk melamun karena aku tahu apa saja yang akan terjadi selama seri pertama itu.

Kata-kata Edy memberondong masuk dalam keadaan lengahku itu. Kau akan segera pulih, tidak perlu berlama-lama. Gadis itu sudah pergi.

Padahal tidak. Bagaimana Edy bisa berpikir aku benar-benar membiarkan May pergi begitu saja dari kepalaku? Aku menahannya, dan dia aman di sana, tenang dan bahagia.

Victor meneriakkan makian ketika Gale datang dan membuat rusa buruan Katniss melesat kabur. "Untung saja dia Liam Hemsworth, tahu."

Aku tersenyum begitu kembali ke The Hunger Games.

Tapi kemudian kami merasakan getaran yang menuntut itu bersama-sama. Aku dan Victor saling toleh. Dia memeriksa sofa sementara aku menggerayangi kantung celana cargo selututku. Itu panggilan masuk untukku. Victor memicing padaku. Menurutku matanya itu agak sedikit feminin di wajah sangar Victor yang mirip Robin Amerika. 

Aku menunjukkan layar handphone-ku padanya, membiarkan Victor mengeja nama Edy dengan cepat. Victor menanggapiku dengan mengangkat kedua alisnya. Aku pun menyelinap ke pintu kaca yang menghubungkan ruang menonton dengan teras terbuka.

Kesejukan rumpun pohon palem terasa seperti riak berbentuk udara yang memerciki seluruh kulitku yang terekspose. Kerah kemeja putihku yang berkain tipis dan kubuka tiga kancing berkelepak di dada kerempengku. Aku menyentuh balkon batu andesit yang bertekstur kasar dan menyusuri tepiannya sejauh satu rentangan tangan sambil menerima panggilan masuk Edy. Di belakangku ada dua meja yang memiliki dua kursi di sisi meja yang lebih panjang. Meja dan kursi itu berbahan bilah kayu yang ditanam dengan baut ke lantai parket.

Aku memandang ke depan, ke arah bunga-bunga putih kecil berbentuk lonceng yang bergerak mengayun dari dahan pipa hijau muda yang melengkung seperti gagang payung terbalik. Rimbun tanaman berdaun sejajar itu tampak anggun di atas pot beton balkon yang praktis. Di dalam balkon tempatku berdiri terdapat sebuah ruangan kecil terbuka, yang kalau dilihat dari lantai satu akan tampak seperti atap yang menjorok ke luar. Di ruangan itu dibangun sebuah meja dan dua kursi berhadapan yang juga terbuat dari batu andesit.

"Seorang temanku tertarik padamu." Tidak ada salam sapaan. Bukankah memang itu yang akan diucapkan seorang kakak yang akrab dengan adiknya? Akan tetapi, sadarkah dia bahwa kami tidak seperti itu?

"Temanmu? Seorang dosen tertarik padaku?"

Aku hampir bisa merasakan Edy mengangguk. Suara beratnya seperti tertanam sejauh kiloan meter di balik serat-serat tubuhnya sendiri. Edy adalah jenis laki-laki yang tak pernah berbicara kecuali mengatakan hal-hal manis bernada sopan kepada wanita. Dan kepada laki-laki, mereka harus merasa cukup jika Edy menganggukkan kepalanya karena Edy bahkan tidak sibuk-sibuk melirik para laki-laki yang lewat di dekatnya.

"Ya. Dia mengajakmu minum anggur…"

"Dia ingin kutiduri."

"Tidur denganmu." Aku mendengus. Dan Edy segera menambahkan. "Dosen juga memiliki nafsu hewani, Thomas."

"Tidak perlu disangsikan."

Lebih dari itu, terserah dia dosen atau astronot, akankah dia senang jika tahu bahwa Edy menyampaikan nafsu hewaninya secara blak-blakan padaku? Taruhan, siapa pun dia, dia tak akan senang. Lagipula sejak kapan Edy berpikir May bisa dikucek seperti noda di baju agar menghilang selamanya dari kepalaku? Apalagi dengan menawariku hal-hal yang selalu bisa kudapatkan tanpa bantuannya.

Tino tahu sinyal pesta memancar dari mana saja. Dan walau tubuhku ceking, cewek-cewek cantik ternyata sangat menyukai wajah Belanda-Indonesia-Chinaku ini. Hanya saja, aku tidak pernah memberitahu hal tersebut pada Edy. Dengan kolot dia berpikir bahwa hal-hal yang tidak pernah dia lihat atau dengar sendiri berarti tidak pernah ada di dunia ini.

Tapi Edy harus tahu adik kandungnya ini bukan seorang gigolo.

"Katakan padanya. Persetan."

Bukannya aku tidak tertarik pada, merujuk pada usia Edy yang saat ini menginjak dua puluh delapan tahun (aku berasumsi temannya itu juga seumuran dengannya), wanita-wanita dewasa yang hobi minum alkohol. Aku hanya tidak menginginkan campur tangan Edy. Mungkin dia terlalu rendah hati pada jabatannya sebagai kakakku sehingga dia berpikir aku adalah adik kecil yang malang karena belum juga berhasil melupakan mantan kekasih SMAnya. Tapi aku ingin dia tahu kalau itu seperti kamar Junko, kamar bersuasana dinamis karena terus dia ubah-ubah temanya setiap bulan sehingga membuat teman-temannya selalu penasaran, seharusnya bersifat pribadi dan sentimental. Tidak ada yang boleh menjarahnya tanpa izinku.

Aku mengeluarkan sebatang rokok dari dalam kotak kertas yang kusimpan di celana sebelah kiriku. Melingkupinya dengan satu tangan selagi tanganku yang satunya menjentikkan korek gas.

Satu isapan. Wangi tembakau merembesi dinding tenggorokanku, dengan halus dan lancar menuruni dadaku. Asap putih setipis tirai sifon naik bersulur-sulur. Aku melepaskan satu napas panjang yang melegakan. Getaran lagi. Aku menunduk untuk membaca nama Edy kembali berkedip di layar dan aku mengunci handphone kembali sambil menahan tawa.

Kalau temannya tertarik padaku, apa peduliku pada Edy? Sampai saat ini, aku hidup sebagai manusia bebas yang bertanggung jawab. Dia memang kakakku, tapi sebaiknya dia berpikir dua kali kalau ingin memaksakan kehendaknya padaku.

Sebenarnya, sampai aku berumur tujuh tahun, Edy adalah kakak yang baik. Umur kami terpaut sepuluh tahun dan aku berpikir masa SMA Edy nyaris sempurna karena dia tidak merusaknya seperti teman-temannya yang lain yang mabuk di sembarang tempat atau menyalahgunakan narkotika. Dia tidak pandai dalam mata pelajaran yang menyangkut science dan matematika, tetapi Edy benar-benar berusaha mencari jawabannya untuk tugas rumahku. Entah dia bertanya pada gurunya atau meminta teman-temannya yang pintar untuk mengerjakan tugasku. Dulu aku sangat bangga terhadap kejeniusannya.

Lalu Edy pulang dengan wanita itu saat Mama dan Papa melakukan kunjungan rutin ke Belanda pada waktu bunga-bunga tulip di Keukenhof yang mahsyur sedang bermekaran.

Dulu kupikir malam itu Edy melukainya sehingga dia merintih kesakitan dan aku hanya mendekam di balik selimut di kamarku, tidak percaya kakakku yang jenius sanggup menyiksa seorang wanita. Keesokan harinya, aku tidak turun dari kasur. Aku takut Edy menyakitiku juga.

Tetapi, betapa terkejutnya aku ketika wanita itu menghampiriku pagi itu, berdiri di ambang pintu kamarku, menggigit ujung telunjuknya yang berkuku panjang dan mengangkat dagu lancipnya padaku. Dia secantik Marilyn Monroe. Penuh provokasi dengan tatapan yang liar. Dia tidak mengatakan apa pun karena menurutnya itu tidak perlu. Cukup menggeser telunjuk di ujung bibirnya itu ke tengah-tengah hidung kecilnya yang mancung dan bibir lebarnya yang berwarna merah gelap, wanita itu tahu aku akan bungkam seumur hidupku.

Aku membenci bagian diriku yang lemah karena membiarkan semua sandiwara bodoh Edy dan wanita itu terus berlanjut sampai Yuda memiliki seorang adik. Itu adalah salah satu alasanku berkomplot dengan Victor untuk merebut sofa ini. Setiap kali berada di dekat Yuda, satu-satunya hal yang ingin kulakukan adalah membinasakan Edy.

Aku sudah memberi sinyal yang kuat pada Jake dan Victor. Setiap kali mereka menyebut nama Yuda, aku pasti akan mulai mengabaikan mereka. Namun, mereka terlalu baik hati dan ramah untuk menyadari itu. Seperti hari ini dan hari-hari lainnya ketika Yuda menumpang di Fortuner Jake, aku lebih memilih untuk mengendarai motorku sendiri. Dan aku juga tidak akan senang berada di atas satu karpet yang sama dengan Yuda.

Terakhir kali melihat Yuda, kami berada di sebuah aula hotel kecil minimalis di sekitar Jalan Raya Gatot Subroto timur untuk merayakan kelulusan SD kami. Lalu mimpi burukku hadir kembali saat melihat Yuda berada di barisan regu pencatat tugas OSPEK jurusan yang sama denganku. Kehadirannya seolah-olah dimaksudkannya khusus untuk menagih padaku segala hal yang seharusnya menjadi haknya. Bahkan saat Gerald dan Tino memutuskan untuk keluar dari siksaan makhluk tidak hidup yang menamakan dirinya sebagai sketsa bangunan dan pendambaan kuat akan tidur tenang satu malam saja, Yuda masih bertahan bersamaku, Jake, dan Victor di jurusan Arsitektur.

Dan dengan semangat persatuan yang tinggi, Jake dan Victor berusaha mempertahankan ikatan kuat regu OSPEK jurusan kami dulu, yang membuat Yuda tertambat semakin erat padaku. Tuhan sepertinya memang berencana membuatku terjebak dalam dosa kakakku. Dalam dosaku.

Semakin aku berusaha melupakannya, semakin lidahku gatal ingin menanyakan kabar ibunya. Seharusnya adiknya berumur sepuluh atau sebelas tahun sekarang. Apakah wajahnya lebih mirip Edy atau ayah Yuda?

Aku membencinya. Ibu Yuda. Edy. Adik Yuda.

Pengkhianatan yang panas seolah telah meleburkanku dari dalam. Aku berharap tak pernah dihadapkan pada suatu situasi di mana aku diharuskan memilih untuk terus mengkhianati Yuda atau mulai mengkhianati Edy.

Rintik api di ujung rokok tergerus menjadi serpihan abu di atas balkon hitam. Aku hendak berjalan menuju keranjang rotan dekat pintu teras untuk membuang rokokku saat menyadari gorden kamar akuarium Gesa tertutup. Kain yang berwarna seperti tubuh ngengat itu terlihat berat. Tadinya kain itu tersingkap di atas dinding kaca sehingga aku bisa melihat seisi kamar Gesa yang tenang dan rapi. Sekarang, ketebalan kain itu membuatku tidak dapat melihat menembus ke dalam kamarnya.

Apakah dia sudah pulang?

Tadinya aku berniat untuk menahan teman-temanku selama mungkin di sini sampai kiranya Gesa pulang dari… Entahlah dari mana karena aku ingin mendapatkan kesempatan untuk melihatnya secara langsung. Apakah benar wajahnya sehalus itu? Mungkin bibirnya tidak setebal yang kupikirkan setelah melihatnya di hadapanku? Atau ada tahi lalat tanda kecantikan yang hanya akan kasatmata jika diamati dari dekat? Benarkah wajahnya kelihatan ceria tapi kalem?

Kini aku tidak bisa mencari-cari letupan gelembung panas di dalam mata cokelatnya yang bersinar. Tidak bisa merasakan momen seperti tulip putih yang mekar di kampung halaman Papa. Gorden itu menjadi penghalang di antara kami. Aku membayangkan rambutnya bergerak dengan malas di sekitar pundaknya saat dia mondar-mandir di kamarnya, ruang privasinya. Mungkin dia tipe cewek yang menemukan dirinya secara utuh di tengah-tengah kasur empuk queen size-nya setelah melewati cobaan seharian penuh dan yakin bahwa dirinya nyaris saja terbelah menjadi dua setiap kali ada kesempatan.

Aku mengenal Junko selama enam bulan belakangan, sejak Jake jatuh cinta pada pandangan pertama di Nastah O! pada Junko, salah satu tempat nongkrong kami di kota Denpasar yang terletak sekitar enam ratus meter jauhnya dari Patung Catur Muka. Selama enam bulan itu, peranku tidak terlalu banyak untuk Jake. Victor, yang merupakan anak dari sekretaris pribadi ayah Jake yang merupakan seorang aristokrat, adalah satu-satunya pihak yang paling banyak berkorban. Kalau aku hadir di tengah-tengah acara kecil nongkrong bersama kami—biasanya hanya ada aku, Jake, Victor, Junko, Rain, dan Beatrice—maka Victor hadir di setiap kencan Junko dan Jake. Dia mengantar Jake menjemput Junko (terkadang Junko yang perkasa lebih memilih berangkat sendiri dengan Chevrolet besarnya) dan membawa mereka ke tempat kencan yang telah ditentukan lalu Victor akan menunggu dengan sabar di parkiran. Seringnya, dia akan menghubungiku saat sedang menunggu. Dan kami hanya akan membiarkan telepon itu tetap terhubung walau dia menonton siaran di Netflix di handphone-nya dan aku mengerjakan tugas, membaca buku-buku tentang arsitek atau iseng menurunkan beberapa persamaan matematika.

Junko tidak menunjukkan sikap tertarik yang kentara pada Jake, tetapi dia tidak pernah menolak kebaikan hati Jake. Dan dia sebenarnya cenderung membela Jake untuk hal-hal ringan seperti debat politik yang terkadang tiba-tiba begitu saja terlempar ke meja nongkrong kami seperti dadu ular tangga. Aku menyukai sifat cuek dan mandiri Junko. Dia sangat cocok menjadi Lady Johnson. Dia berwibawa, tegas, teratur, cerdas, dan menawan. Itu secara tidak langsung memberiku sebuah batasan untuk tidak mengganggu atau menggoda teman-temannya. Karena aku menghormatinya. Aku ingin disukai Junko, mungkin menjadi seperti kakak kelas keren yang selalu dimintainya pendapat untuk hal-hal sepele sekalipun.

Umur kami sama, tetapi Junko masih kelas dua belas sementara aku sudah semester tiga di jurusan arsitektur. Itulah sebabnya tak peduli dia selalu membelot ketika aku menyuruhnya memanggilku dengan sebutan Kak Thomas, dia jadi kelihatan seperti adik perempuan yang manis dan lucu bagiku. Sejak enam bulan kenal dengannya dan sekitar empat bulan menjadi lebih akrab dan akhirnya dua bulan menjadi sangat akrab, Junko baru kali ini bersedia mengundangku—teman-teman Jake dan Victor lainnya hanya beruntung tidak sengaja diajak juga kemari—bermain ke rumahnya yang banyak mengadaptasi gaya scandinavian.

Dan ketika mengetahui bahwa Junko yang rupawan ini memiliki seorang kakak yang juga sama rupawannya, aku menjadi semakin yakin bahwa aku memang mungkin saja tercipta untuk menjadi kakaknya. Kakak iparnya.

Aku menertawakan gagasan itu sambil melangkah masuk kembali ke dalam ruang tamu. Apa aku benar-benar berpikir untuk memacari Gesa atau aku sebenarnya hanya ingin bersenang-senang saja dengannya?

Bayangan May di kepalaku merajuk dan ketika kukatakan padanya bahwa aku masih tetap lebih memilih gadis pendaki gunung yang membuatku jatuh cinta setengah mati saat SMA daripada kakak kandung Junko Edrei yang secantik bunga lonceng putih di balkon rumahnya, bayangan May dalam kepalaku tersenyum, merasa posisinya kembali aman.

Begitu mendengar derit pintu terbuka, teman-temanku langsung meraung marah menyebutku tidak setia kawan dan lainnya. Namun, mataku hanya tertuju pada Yuda. Tahukah dia terhadapnya, aku memang tidak setia kawan?

Komen (6)
goodnovel comment avatar
puspa maharani
loh ada mbanya juga wkwkwk hi
goodnovel comment avatar
puspa maharani
tergempurkan ke sini juga ya? wkwkwk pasukannya dibawa semua
goodnovel comment avatar
puspa maharani
We bisa juga ya nulis kayak gini wkwkwk padet sih. Ini bahasanya formal gini gimana coba dijelasin?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status