Share

Setelah tiga bulan

Aku segera menghentikan langkahku. Siapa tahu akhirnya Ibuk tak tega melihatku meninggalkan rumah, menikah dengan orang asing, lalu tiba-tiba ingin membatalkan pernikahanku. Bisa saja, kan?

"Kamu sudah jadi istri orang loh ya, Nduk, kurangi pecicilanmu!" ujar Ibuk dengan lantangnya, mematahkan harapanku.

Aku langsung meneruskan langkahku. Aku berjalan sambil mencebikkan bibir. Dasar Ibuk! Bisa-bisanya loh, di depan mertua dan keluarga lainnya, bilang kaya' gitu. Kubanting pintu mobil keras-keras. Lalu kami pun berangkat meninggalkan rumahku. Ada sedih yang menyeruak di hatiku. Duh, kaya' apa rasanya tinggal seatap dengan orang lain? 

***

Alhasil, pagi ini aku bangun kesiangan. Kulihat Mas Raka sudah tak ada di kasur. Sayup-sayup terdengar ramai orang mengobrol. Sepertinya mereka bertiga tengah sarapan bersama. Ealah, aku ditinggal. Ya gak apa-apa sih, yang penting jangan dihabisin aja lauknya. Soalnya aku ini tipe orang yang 'wani rekasa ning ra wedi ngelih', alias berani sengsara tapi gak kuat lapar. Haha ....

"Ck ... ck ... ck ... dasar bocah kebluk, jam segini kok bisa-bisanya loh baru bangun." Ibuk mengomeliku, sambil memelototiku tentunya.

Aku hanya nyengir kuda. 

"Mandi dulu sana!" Perintah Ibuk padaku, padahal aku dah siap-siap mau ikut sarapan.

"Iya ... iya ...." Aku menjawab sambil mengelus perutku. Duh kasihan bener cacing-cacing di perutku. Mereka pasti dah pada demo minta kenaikan UMK. 

Ketika aku keluar dari kamar mandi, mereka bertiga sudah tak ada di ruang makan. Syukurlah, aku jadi leluasa sarapan. Paling tidak, gak dikata-katain Ibuk melulu.

Selesai makan dan membereskan meja makan, aku ikut bergabung dengan mereka bertiga di teras. Bapak dan Mas Raka merokok klepas-klepus kaya' sepur. Sementara Ibuk ngemilin kacang kulit di toples. 

"Nanti mau pulang jam berapa, Buk?" tanyaku sopan, sambil ngemilin kacang juga.

"Memangnya kenapa, kamu ngusir Ibuk, yak?" Astaga, ketus banget jawaban ibuku. Jadi terpancing kan aku-nya. 

"Cuma nanya, Buk'e. Astaga, galaknya ...."

Sementara Bapak hanya tersenyum simpul melihat tingkah polahku yang dari orok memang paling sering berdebat sama Ibuk. Iya, kami ini sudah seperti Tom&Jerry aja, bertengkar melulu, tapi kalau gak ketemu saling merindu.

***

"Ngapain, Mas?" tanyaku pada Mas Raka, yang terlihat lagi sibuk mengambil barang-barangnya dari kamarku.

"Pindah kamar lah. Gak dapat untung juga kan sekamar sama kamu," jawab Mas Raka ketus. Loh, kok dia jadi ketus kaya' aku? Ketularan aku jangan-jangan, yak.

"Alhamdulilah, rezeki anak solih." ucapku penuh syukur.

"Na, nanti sore ikut gak?"

"Ke mana?"

"Ke supermarket, beli kebutuhan bulanan."

"Oke."

*** 

Tak terasa, sebulan sudah berlalu. Dan aku masih tersegel dengan rapat, alias masih virgin. Lha wong tidurnya sendiri-sendiri kok, beda kamar. Persis kaya' anak kost. Tidur sendiri-sendiri, mandi sendiri-sendiri, halu sendiri-sendiri, cuma makan doang yang barengan.

"Na ... Nana panjang!" Teriakan Mas Raka terdengar memanggilku.

"Apa!" jawabku sambil mendelik kesal, habisnya dia paling demen manggil aku Nana panjang, kadang malah manggil aku Nana dalam. 

"Bikinin nasi goreng yang pedes dong." 

"Bikin sendiri lah. Ngapain nyuruh-nyuruh." Aku menjawab dengan nada delapan oktaf.

"Please, lah, Na. Aku kelaparan ini loh. Perut dah keroncongan Dari tadi." Mas Raka memasang wajah iba.

Masakin gak ya? Aku sendiri juga lapar sih, sebenarnya. 

"Biasanya pagi-pagi gini Mas Raka kan udah beli sarapan buat kita." Aku mulai menyiapkan bumbu-bumbu yang dibutuhkan. 

"Sekali-kali pingin dimasakin istri boleh, kan?" Mas Raka mulai jahil menggodaku.

"Halah ... gak usah nggombal, Mas. Gombal Mukiyo-mu gak laku." Aku mencebikkan bibirku ke arah Mas Raka.

Mas Raka tertawa terbahak-bahak. Beberapa menit kemudian, nasi goreng sudah siap disantap.

"Kamu gak ikut sarapan, Na?"

"Enggak. Entar aja deh, habis mandi." jawabku sambil bangkit dari kursi.

"Mau ke mana, Na?" 

"Mau tidur. Mas Raka mau ikut?"

"Idih, ogah!"

Aku tertawa terbahak-bahak melihat gayanya yang centil kayak bencong perempatan.

Keesokan paginya.

"Mas, hari ini aku pulang lambat, ya. Mau kondangan sama teman kantor." Aku berpamitan pada Mas Raka, ketika dia mau berangkat ke bengkel.

"Temanmu cowok apa cewek?" tanyanya menyelidik, dah kaya' detektif aja.

"Cowok sama cewek lah, orang sekantor berangkat semua" kilahku, sambil menyisir rambutku yang panjang tergerai.

Kulirik dia dengan sudut mataku. Loh, dia lagi mengamatiku ternyata. Baru sadar kan, kalau istrimu cantik mempesona?

"Pantesan kamu dandan cantik gitu." Alhamdulilah, ya Allah, dia sadar kalau aku cantik. 

"Ngapain di rumah dandan cantik-cantik, wong ya cuma dianggurin kok, gak diapa-apain juga. Rugilah dandan cantik-cantik." Aku sengaja mancing-mancing gitu.

"Memangnya kamu minta diapain, Na?" Ia menantangku.

"Enggak. Gak pingin diapa-apain. makasih!" jawabku, sambil ngacir ke garasi, mau berangkat ke kantor.

Iya, beginilah rutinitasku sekarang. Senin sampai Sabtu ngantor, di sebuah perusahaan produsen sabun di kota Magelang. Sabtu setengah hari doang ding, lumayan lah, pulang kerja bisa langsung tidur. Minggu, kadang diajak pergi sama Mas Raka. Kalau pas gak kemana-mana, ya tiduran aja di kamar, sambil baca buku. Kadang malah seharian nonton kartun melulu di ruang tengah. Sesantai itu memang.

Kalau Mas Raka, dia sih persis kaya' penganguran. Ke kantor cuma kalau lagi ada perlu aja. Maklum, gitu-gitu dia itu boss. Kalau siang, dia beli makan di luar. Kadang juga pesan online lewat aplikasi. Kalian gak tanya, aku dikasih duit belanja apa kagak? Ya, dikasih lah, buat beli keperluan rumah sama katanya sama buat jajan cilok. Asyik ... gajiku utuh deh, bisa nabung jadinya. 

Pukul 11 malam, aku sampai rumah. Duh, capek bener hari ini, tapi gembira. Karena gak tiap hari kan, kumpul-kumpul sama teman sekantor, foto-foto bareng, terus makan-makan. Jadi, tadi tuh ceritanya, setelah kelar kondangan kami bersepuluh jalan-jalan ke Taman Badaan, sebuah obyek wisata di kotaku. Dah kaya' anak kecil aja kami seharian ini. Naik bianglala, komidi putar, kereta mini, dan lain-lain. Pokoknya seru banget.

Sekali-kali melupakan rutinitas kantor gak apa-apa kalik, yak. Terus pukul empat, kami pindah ke alun-alun. Belum pada mandi semua padahal. Beli gelembung sabun, niupnya bergantian, persis anak TK semua. Cuma kagak pakai seragam aja bedanya.

Pukul tujuh, kami pindah ke lesehan, makan malam di situ bareng-bareng, sambil ngobrol cekikikan. Sumpah, gembira banget hatiku hari ini. Bersyukur banget punya teman pada baik-baik. 

Pukul 10 lewat, kami semua bubar jalan, soalnya ada patroli Satpolpp yang lagi merazia orang cakep. Bisa gawat kan kalau ketangkap? 

Akhirnya, sampai juga di rumah. Pingin cepat-cepat mandi, terus mengorok ria. Baru saja kubuka pintu rumah, terdengar nada empat oktaf dari Mas Raka. "Kondangannya ke planet Mars, ya?"

"Ho oh. Yang nikah alien soalnya," jawabku ngasal, lagi males berdebat soalnya.

Segera kuambil handuk dan baju ganti, keburu gerah badanku. Mas Raka hanya bersedekap memandangiku, entah maksudnya apa.

"Kenapa ngeliatin melulu? Kangen, ya?" tuduhku, risih rasanya diliatin kaya' gitu. Berasa lagi ditelanjangi. Eh, ditelanjangi beneran asyik kalik ya. Haduh, aku mulai ngeres malahan.

Mas Raka mencebikkan bibirnya, meniru gayaku saat merajuk. Tak kuhiraukan lelaki itu. Aku segera masuk ke kamar mandi.

Baru saja mengguyurkan air beberapa gayung, tiba-tiba lampu di kamar mandi mati. Modyar aku. Aku paling takut sama gelap. Iya, aku gak takut berkelahi sama siapapun, aku gak takut sama binatang apapun, tapi aku takut sama gelap. 

"Mas ... jangan main-main dong! Ini kok lampunya mati sih?" Aku berteriak dari kamar mandi.

Tidak ada sahutan dari Mas Raka. Ke mana sih dia?

"Mas Raka!" Aku memanggilnya lagi. Jangan-jangan dia ngerjain aku nih.

Samar-samar, kudengar langkah orang kaki berjalan mendekat.

"Mas Raka ...  Cepetan bawain lampu dong. Nana takut gelap, Mas."

"Iya, sabar. Tunggu bentar, ya!"

Aku meraba-raba handuk di kapstok, kubalutkan di tubuhku sebatas dada, lalu berdiri, menunggu Mas Raka sambil memejamkan mata. Kutahan air mata yang hampir tumpah dari mataku. Kan malu, kalau sampai ketahuan nangis gara-gara takut gelap. Bisa-bisa, setahun aku di-bully-nya nanti.

"Na, gak ketemu e senternya. Pakai senter yang ada di ponselku aja, ya. Cepetan buka pintu!" perintah Mas Raka, sambil mengetuk pintu kamar mandi.

Aku pun keluar dari kamar mandi, dengan panduan cahaya senter dari ponselnya Mas Raka.

"Cepetan jalannya!"

"Iya ... galak!" jawabku, kumat bawelnya. 

"Nih, bawa dulu ponselku. Sana ganti baju dulu!"

Segera kurebut ponsel Mas Raka, lalu berlari menuju kamar, mengambil baju ganti lagi. Memakainya cepat-cepat, lalu segera menemui Mas Raka yang menungguku di depan kamar.

"Sudah?" Mas Raka mengambil lagi ponselnya dari tanganku, lalu pergi.

"Mas, mau ke mana?" Aku panik, takut ditinggal pergi. Masa' iya, aku di rumah sendirian dalam suasana gelap seperti ini. Ya jelas aku takut lah.

"Ke teras. Ayo kalau mau ikut," ajaknya padaku.

Aku segera mengikutinya ke teras. Di teras pun sama saja gelapnya, tapi paling tidak, hawanya tak sepanas di dalam rumah.

"Mas, kalau listriknya gak nyala-nyala, gimana? Aku tak nginep di rumah temanku saja po?"

"Husss ... kamu ini loh, kalau ngomong suka sembarangan. Entar dikirain temanmu, kamu lagi purik."

"Ya sudahlah, malam Ini temani Nana tidur ya, Mas?"

"Kamu kesambet, Na?"

"Kesambet dari Hongkong? Nana takut gelap, Mas. Please, ya, kita tidur bareng2 malam ini. Nana yakin gak bakalan ngapa-ngapain Mas Raka deh."

Mas Raka nampak tengah berpikir keras. Astagah .... dikasih rezeki kok malah mikir lho.

"Ya, deh. Kali ini aja, ya." Yes! Aku berhasil membujuknya, dia mengabulkan permintaanku. Puja kerang ajaib ....

"Tidur sekarang, yuk, Mas!" ajakku, setelah beberapa kali menguap lebar.

Tanpa menjawab ajakanku, Mas Raka beranjak dari tempat duduknya, masuk rumah. Aku mengekor di belakangnya. Ia lalu membuka pintu kamarnya.

"Gak tidur di kamarku aja, Mas?"

"Ogah. Kalau mau, ya tidur di kamarku."

Aku bisa apa, selain mematuhinya. Maklum, lagi kalah posisi. 

Setelah itu, aku mengambil bantal dan gulingku, dengan diantar Mas Raka lah tentunya.

Jadilah malam itu, kami tidur seranjang, di bawah temaram cahaya ponsel Mas Raka.

***

Tahu-tahu, sudah genap tiga bulan pernikahanku. Kami sudah mulai akrab satu dengan yang lainnya. Sedikit banyak, aku juga sudah tahu hal-hal yang ia sukai maupun yang ia benci. Mas Raka pun sekarang sudah mulai memahami sifatku. Sekarang, ia juga tak sekaku dulu. Malah jahilnya sekarang melebihi aku. Kalah sakti aku jadinya.

Setelah berpikir tujuh hati tujuh malam jungkir-balik, aku memutuskan untuk memberikan hak Mas Raka sebagai suami sahku. Aku siap 'mantap-mantap', Gaes. So, malam ini, dengan keberanian luar biasa, aku pun mendatangi kamar Mas Raka.

"Tumben ke sini, Na. Ada apa?" tanya Mas Raka cuek.

"Mmm ... kan kita dah beberapa bulan menikah, nih, Mas. Memangnya Mas Raka gak pingin apa melajukan Hal yang enggak-enggak sama aku?" Aku mulai pasang aksi. Mancing, Gaes.

"Maksudmu?"

"Mas gak pingin ngajak aku kelonan?"

Loh, Mas Raka malah jadi pucat. Bikin aku bingung malah.

"Na, maafkan aku, ya. Saat Ini, aku belum bisa melakukan itu."

Aku melongo, dong. "Gak apa-apa, Mas, santai saja. Nana cuma nawarin kok, gak maksa juga."

"Maaf, ya, Na ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status