Share

Hasil penyelidikan

"lha kok malah nanya aku. Ngomong-ngomong, kamu sendiri pinginnya gimana? Mau lanjut apa mau stop?"

Sumpah aku pusing, mau menjawab apa. Masak iya sih, mau stop begitu saja? Entar Bapak sama Ibuk gimana dong? Bisa-bisa dikutuk jadi batu beneran aku. 

"Keluar yuk, Na. Daripada bengong aja di rumah." Aji membuyarkan lamunkanku.

"Yuk lah. Tunggu ya, aku pamit sama Mas Raka."

Setelah minta izin, kami pun berangkat. Aji mengajakku ke pusat perbelanjaan. Di sana, ia membelikanku beberapa potong pakaian. Duh, senengnya. Berasa lagi dapat lotre deh. Setelah makan siang bersama, Aji mengantarku pulang.

Sesampainya di rumah, Mas Raka sudah menyambutku dengan muka masam. "Lama bener sih, perginya?"

"Maaf, Mas, tadi saya ngajak Nana shopping sebentar. Gak apa-apa, kan?"

Mas Raka hanya membalas dengan tersenyum kecut-kecut asem gimana gitulah. Setelah Aji pulang, Aku segera mencoba baju baruku. Bolak-balik ngaca, ampe cerminnya bosan. 

"Nana!" Suara Mas Raka memanggilku.

"Apa?" jawabku sambil membuka pintu kamar.

"Idih, kaya' anak TK aja, nyobain baju baru gak dilepas-lepas."

"Biarin. Namanya juga hadiah dari someone special, kan." Dengan cueknya aku membalas ledekan Mas Raka. Kulirik dia dari cermin, wajahnya ditekuk 17, rupanya ia merasa kesal dengan jawaban yang kuberikan tadi.

Mas Raka menatapku dengan tatapan tajam. Entah apa maksud tatapannya itu.

"Apa lihat-lihat!" Aku merasa risih juga kan ditatap seperti itu. 

"Gak jadi, lah." Mas Raka membalikkan badan, meninggalkan kamarku. Ah, bodo amat.

Tumben amat sepanjang hari Ini rumah sepi aja. Bisanya aja ada ulah Mas Raka yang bikin senewen. Karena penasaran, aku memberanikan diri mengetuk pintu kamarnya.

"Mas Raka ...."Kupanggil namanya dengan merdu. Padahal semerdu-merduanya suaraku, ya gak merdu juga sih.

Tak ada jawaban. Jadi, kuputuskan untuk membuka pintu kamarnya saja.

"Idih, ada orang manggil-manggil, gak ngejawab, malah asyik main ponsel gitu. Gak sopan banget sih jadi orang," omelku pada Mas Raka, sementara yang diomelin berlagak budeg, cuek-cuek aja.

Ia hanya melirikku sedetik. Ok, fine. Karena kesal, kubaringkan tubuhku di sampingnya. Bukan berarti aku lagi mancing-mancing, loh, ya. Kesepian banget soalnya, gak ada teman ngobrol.

"Gak usah mancing-mancing. Entar nyesel, loh." Tiba-tiba Mas Raka bicara, tanpa mengalihkan pandangan pada ponselnya.

"Gak usah nakut-nakutin. Nana tuh cuma butuh teman ngobrol, sepi banget nih rumah, dah kaya' kuburan aja. Lagipula, Nana yakin, Mas Raka gak bakalan ngapa-ngapain, Nana."

"Yakin, Na?" Oh my God, tahu-tahu Mas Raka dah menindih tubuhku, dan mengunci kedua tanganku. Aku gelapapan dong. Takut juga sih. Jangan tanya jantung deh deg-degannya kayak apa.

"Kok merem, Na? Katanya gak takut sama aku? Katanya aku gak berbahaya?"

Aku diam aja. Gak takut sih, lebih pada menikmati sensasi aja. Hihi ....

Cup.

Tahu-tahu, Mas Raka dah mencium pili kananku. Alamak ....

"Aku gemas sama kamu, Na," ujarnya pada saat aku masih melongo. Ia sudah melepaskan tindihannya. Dan kini berbaring di sampingku.

Pipiku rasanya panas sekali. Kuraba bekas kecupan Mas Raka tadi, duh, rasanya pingin dikecup lagi deh. Yang sebelah satunya gitu, biar seimbang. 

"Mas Raka dulu pernah pacaran?" tanyaku, berusaha mencairkan suasana. Napasku rasanya masih tersengal-sengal.

Ia tak segera menjawab, tapi malah melamun. 

"Iya. Pernah." 

"Berapa jumlah mantanmu, Mas?" 

"Satu."

"Berapa?"

"Satu, Nana. Astaga ..." Mas Raka mulai ngamuk.

"Siapa namanya?"

"Sudah, gak usah nanya-nanya lagi. Tak cium nanti kamu," ancamnya, sambil menutupi wajahnya dengan bantal.

Sepertinya, ia enggan membicarakan sang mantan. Terlalu banyak kenangan pahit, kalik ya. Atau sebaliknya? Pasti sad ending lah, wong buktinya mereka gak lanjut nikah kok. 

"Mas Raka dam makan siang belum? Nana tadi goreng nugget sama sosis loh. Masih ada tuh, di meja makan." Aku mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

"Gak lapar," jawabnya singkat.

Duh, nih orang jutek aja ngejawabnya. Jadi gemas deh, eyke. 

"Na ... " Mas Raka tiba-tiba memanggilku.

"Apa?"

"Kamu dulu pernah pacaran sama Aji, ya?" Aku sempat terkejut mendengar pertanyaannya. Tumben-tumbenan nanyain Aji.

"Enggak. Memangnya kenapa?"

"Kok kayaknya kalian dekat sekali?"

"Kan dah kubilang to, kami ini tetanggaan. Dari jaman ingusan kami ini main bareng. Pas SMA pun tetap akrab, walaupun sekolahnya beda. Kami benar-benar gak pernah menjalin kontak, sejak dia kuliah di luar kota, sampai kemarin itulah."

"Dia masih bujang, Na?"

"Ho oh."

"Beneran?"

"Ngakunya sih, gitu."

"Hati-hati, Na. Jangan mudah percaya sama siapapun."

"Hah? Kok bilang gitu, sih?"

"Aku cuma memperingatkan kamu, Na. Gak ada maksud lain. Pokoknya, sama cowok tuh harus hati-hati."

"Termasuk sama Mas Raka juga?"

Ia mendelikkan matanya. Lalu tiba-tiba menindihku kembali, mengunci tubuhku rapat-rapat. Lalu, secepat kilat mengecup pipiku lagi. Astaga, aku melumer jadinya. Kupejamkan mataku rapat-rapat, untuk menutupi kemaluanku, eh, rasa maluku. Siapa tahu, dia jadi pingin melakukan yang lebih dari kecupan gitu.

Setelah itu, ia segera bangkit dari ranjang, meninggalkanku yang masih terbengong-bengong. Ambyar seketika deh angan-anganku. Duh, mau dong dimesrai lagi. Jiwa gatalku meronta-ronta. Oke, fix, lain kali bakalan kugoda lagi dia. 

Malam pun tiba. 

"Na, makan di luar, yuk. Mumpung cuaca cerah nih."

"Tumben. Biasanya juga belinya dibungkus, terus dimakan berdua di rumah."

"Mau, gak? Bawel aja jadi orang."

"Iya. Bentar, Nana ganti baju dulu, ya."

"Jangan lama-lama dandannya. Gak usah keganjenan jadi cewek!"

Aku segera ganti baju, menyisir rambutku, sama menyapukan bedak dan lipstik tipis-tipis. Semua kulakukan dalam waktu beberapa menit saja. Soalnya, kalau Mas Raka bilang semenit, berarti ya harus semenit. Kalau dia bilang cepat, berarti ya memang harus cepat. Dia mudah marah soalnya. Cuma sama burung-burung peliharaannya doang, dia gak pernah marah. 

Baru aja mau buka pagar, datanglah Aji dengan motornya. Aku melirik Mas Raka, bingung kan aku jadinya.

"Ya udah, kamu di rumah aja, Na, temani temanmu." Alhamdulilah, aku lega mendengar komentar Mas Raka kali ini.

Setelah Mas Raka berangkat, aku pun mengobrol dengan Aji di teras.

"Sorry, Na. Aku merusak acaramu," ucap Aji. Rupanya dia merasa bersalah juga.

"Gak apa-apa, cuma mau beli makan kok. Toh, Mas Raka juga dah mengizinkan aku menemuimu. Emang ada apa sih, Ji?"

Kulihat Aji menghela napas panjang, sebelum memulai ceritanya.

"Namanya Renata, Na."

"Hah?" Aku bingung dong, tiba-tiba aja Aji menyebutkan sebuah nama yang gak kukenal sama sekali.

"Nama mantan suamimu tuh, yang bikin dia gagal move on selama bertahun-tahun." Kemudian Aji pun menceritakan hasil penyelidikannya padaku.

Aku manggut-manggut mendengar penjelasan dari Aji. Oh ... pantesan, kaku gitu. Gagal move on ternyata. 

"Kurasa, suamimu masih mencintai Renata, Na. Makanya dia belum bisa menerimamu."

Dalam hatiku, aku membenarkan ucapan Aji. Trus gimana dong. Masak iya gak jelas kayak gini terus-terusan? Lha Sementara kedua orang tua dah pada minta dibikinin cucu. Eh, ternyata penabur benihnya malah belum move on-move on. Dodol emang.

"Sedih, Na?" tanya Raka kemudian.

"Enggak, sih. Cuma bingung aja. Aku harus gimana coba."

"Simple aja, Na. Kalau memang kamu gak cinta sama Raka, ya stop aja. Buat apa hubungan kalian diteruskan? Mending kalau hubungannya jelas. Lha Ini, absurd gini."

Aku kaget dong mendengar ucapan Aji barusan. Memang ada benarnya sih, tapi ya gak langsung sefrontal itu lah. Masak iya langsung minta cerai? Entar orang tua kami pada heboh dong. Bisa-bisa pingsan berjamaah.

"Jujur aja, Na. Kamu cinta sama Raka gak, sih?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status