Share

Elegi Cinta Raka dan Nana
Elegi Cinta Raka dan Nana
Author: Kanya Kalyana Kamanika

Awal mula

"Bisa gak sih, geser dikit tidurnya? Dah tahu ranjangnya sempit, tidur banyak gaya gitu!" Aku menyemprot Mas Raka, yang lagi gegoleran di ranjang.

"Kamu itu, Na, galaknya melebihi anjing penjaga rumah tetangga!" 

"Biarin! Habisnya situ jahil sih! Suka ambil kesempatan dalam kesempitan. Mentang-mentang lagi ada bapak ibuku di sini." Aku masih saja mengomel panjang lebar kali tinggi kali luas alas kali volume kali, kali, ah entahlah ....

"Yang ngambil kesempatan dalam kesempitan itu siapa? Kan bermesraan dah jadi kesepakatan kita, toh? Orang cuma meluk-meluk dikit, nggandeng tangan, sama nyium kening dikit aja loh, ngamuknya kaya' Kingkong gitu! Memangnya kamu mau, bapak ibumu tahu kondisi kita yang sebenarnya, terus tahu-tahu ibumu kena serangan jantung?" Seperti biasa, Mas Raka memberikan jawaban diplomatis.

Kuhentakkan kakiku ke lantai keras-keras. Menyesal kemudian benar-benar tak ada guna. Seminggu yang lalu, aku sudah resmi menikah dengan lelaki bernama Raka itu. Dan aku sama sekali tidak bisa menolak dijodohkan dengannya. Karena ibuku mengultimatum, akan melakukan mogok makan selama sebulan jika kali ini aku tidak menuruti keinginannya. 

Kok kali ini? Memangnya situ pernah dijodoh-jodohin berapa kali, sih? Asal tau aja ya, Gaes, sejak umurku genap 25 tahun, eh, ngomong-ngomong 25 itu genap apa ganjil sih? Masa bodo, ah ... mo ganjil, mo genap, mo ganjil genap, terserah.

Jadi, sejak umurku 25 tahun itu, ibuku rajin sekali nawar-nawarin aku ke teman-teman, saudara, temannya saudara, dan lain-lain lah. Cuma biro jodoh aja yang belum pernah beliau jajaki. Pokoknya kalau beliau dengar ada laki-laki yang lagi nyari jodoh, beliau langsung maju nomor satu. Padahal aku-nya yang malu.

Kaya' barang dagangan aja, pakai ditawar-tawarin. Padahal Ibuk juga yang dari dulu ngajarin, bahwasanya hidup, mati, jodoh, dan maut itu ada di tangan Allah. Eh, giliran aku ditanya kenapa gak nikah-nikah, terus aku jawab lagi nunggu jodoh dari Allah, beliau juga yang marah-marah. 

Gini amat, yak, jadi anak tunggal. Kelar kuliah, nganggur setahun nyari-nyari lowongan, terus kerja juga baru dapat setahun juga, eh sudah dikejar-kejar disuruh nikah. Lha terus aku harus menikah sama siapa? Jones akutuh, jomlo ngenes. Iya, memang se-ngenes itu. Yang senasib, nangis bareng yuk ....

Yang pertama, aku dijodohin sama juragan sapi di desa sebelah. Namanya Pak Broto, umurnya 39 tahun. Belum terlalu tua sih, tapi dia bau sapi. Hahaha ... ya iyalah bau sapi, orang dia juragan sapi. Kalau juragan jengkol, ya bau jengkol, Markisot!

Yang kedua, aku dijodohin sama anaknya teman sekolah ayahku. Namanya Haryanto, rumahnya Sleman, Yogjakarta. Kalian tahu umur dia berapa? Baru 19 tahun, Gaes, berondong manis. Tentu saja aku tolak, ini mau nikah apa disuruh ngasuh adik, sih? 

Yang ketiga, aku dijodohin sama tetangga sendiri. Jodoh lima langkah, gitu ceritanya. Dia ini duda beranak satu, masih balita. Mas Amri namanya. Ganteng sih, orangnya. Tapi aku gak mau, soalnya aku belum siap momong anak kecil. Mana aku orangnya gak sabaran, emosian, kompor mledug lah istilahnya. Mas Amri itu punya toko kelontong di dekat pasar, jadi kalau dia berangkat kerja, pasti anaknya sama aku kan ya. Mana anaknya nangisan lagi. Nyerah deh aku pokoknya. Mending khusyu' ngejomlo aja dulu. 

Semakin aku khusyu' ngejomlo, semakin panik orang tuaku. Dah kaya' hukum fisika aja kan, Gaes, yang bunyinya gini nih, "Tekanan berbanding lurus dengan gaya. Jika Anda merasa hidup Anda penuh tekanan, mungkin saja karena Anda kebanyakan gaya." Semakin gencar juga orang tuaku mengingatkan aku untuk rajin-rajin go public. Dah kaya' saham aja kan, Gaes. Iya, jadi tiap ada acara keluarga aku harus ikut. Halal bihalal, arisan keluarga, arisan kampung, penimbangan balita di Posyandu, semuanya aku harus ikut.

Harus tebar pesona, siapa tahu di antara mereka ada yang punya saudara laki yang lagi nyari bidadari jarang mandi buat dinikahin. Separah itu orang tuaku memperlakukanku. Ya wajar sih, sebenarnya. Soalnya mereka sadar aku juga gak cantik-cantik amat, otak juga biasa aja. Satu-satunya nilai plus-ku justru ada di perilaku yang a little bit absurd. Pecicilan kata ibuku, tomboi pula. Ibuku menganggap itu adalah kutukan. Untung aku gak dikutuk jadi batu kaya' Sun Go Kong, kan?

Padahal menurutku itu adalah anugerah. Artinya, aku bukanlah cewek murahan, limited edition, susah kalau mau nyari yang kaya' aku. Jarang yang mau, soalnya. Hiks ....

Malahan pernah ibuku bilang gini nih, " Kalau kamu jarang keluar rumah, jarang jalan-jalan, jarang kumpul-kumpul kaya' gitu, terus menurutmu jodohmu turunnya dari jalur apa?" Sebenarnya mau kujawab jalur mandiri kaya' SBMPTN gitu. Tapi takut dijitak, soalnya ibuku kalau ngejitak suka pakai batako sih. 

Jadi, di sinilah aku sekarang, bersama pria ganteng tapi kaku kaya' kanebo kering itu. Kami menikah seminggu yang lalu, ijab kabul doang, gak pakai pesta. Sesuai dengan syarat yang aku ajukan. 

"Mas, mbok nanti malam kamu tidur lantai aja to," Aku merayu Mas Raka, sembari mengedip-ngedipkan sebelah mataku, kaya' orang kelilipan.

"Ogah! Kamu aja yang tidur di lantai. Nyuruh kok seenak wudelmu aja lho!" Mas Raka menggerundel. 

"Masa' sih kita harus tidur seranjang? Nanti kalau terjadi hal-hal yang diinginkan, bagaimana coba? Siapa yang akan tanggung jawab?" 

Tidak ada jawaban dari Mas Raka, ia hanya menimpukku dengan sebuah bantal yang lagi nganggur, sambil bilang gini, "Berisik aja kaya' toa bakul jamu! Bisa diam bentar gak, sih? Aku mau tidur siang sebentar. Mumpung masih libur."

Aku tak menjawab, cuma cengar-cengir aja, sambil mengelus kepalaku yang ditimpuk bantal tadi. Sejurus kemudian, pria ganteng berusia 32 tahun itu telah tertidur pulas. Napasnya naik turun secara teratur.

Lama-lama, aku juga merasakan mataku berat. Ngantuk sekali rasanya. Kenapa sih kalau habis makan siang pasti ngantuk? Daripada habis makan terus ngomel-ngomel, mendingan ngantuk aja, kan' ya, Gaes. Lebih barokah.

Mas Raka tidur menghadap kiri, aku menghadap ke kanan. Ungkur-ungkuran bahasa ghaibnya. Ketika tengah nyenyak-nyenyaknya tidur, aku merasa ada sesuatu yang menempel di bokongku, rasanya berat lagi. Dengan ogah-ogahan, kubuka mataku pelan-pelan.

Aku langsung menyingkirkan kaki Mas Raka dari bokongku. Aduh, Ibuk, bokong anakmu sudah ternoda siang ini. Huhu ....

Pantesan kakinya bisa ditumpangin le bokongku, lha wong tidurnya aja dah bergeser kok, menghadap ke arahku pula. Dasar tukang modus!

Tidur siang membuatku haus. Kubuka pintu kamar pelan-pelan, takut membangunkan Mas Raka. Ada Ibuk yang lagi duduk di ruang makan. 

"Jangan lupa keramas lho ya, Nduk, sebelum salat Ashar nanti!" 

"Memangnya kenapa, Buk?" tanyaku, dengan tampang tak berdosa.

"Lho, bocah iki. Kamu barusan habis kelonan sama suamimu to?

Mendengar ucapan Ibuk, aku langsung tersedak dengan sukses, sampai badanku terguncang-guncang. Duh, sakitnya tenggorokanku.

"Makanya, minum itu duduk, bukan berdiri!" 

Setelah selesai minum, aku segera kembali ke kamar, takut ditanya-tanyain Ibuk lagi. Kulihat Mas Raka ternyata sudah bangun. 

"Na, orang tuamu jadinya menginap berapa hari sih?"

"Katanya sih, cuma sehari. Besok pagi, mereka pulang. Soalnya siangnya mereka ada acara."

"Alhamdulilah ...." Mas Raka tak mampu menyembunyikan kelegaannya.

"Tersiksa ya, Mas, tidur jejer aku?" 

"Iya lah, takutnya kalau kamu minta yang iya-iya," ledeknya, sambil menjulurkan lidahnya padaku.

Aku mencebikkan bibirku. Dasar sok pede, siapa juga yang nafsu sama dia.

"Na, tolong ambilin handuk di jemuran dong!" 

"Ogah! Ambil sendiri dong. Demen amat nyuruh-nyuruh anak orang!" 

"Jadi istri itu harus berbakti sama suami loh. Kualat kamu entar!" Idih, dia mengeluarkan ancamananya, seperti biasa. Baru empat hari jadi suami istri, dah bawel banget dia. Nyuruh inilah nyuruh itulah. Dapat gaji juga kagak kan, padahal.

Akhirnya, Mas Raka mengambil sendiri handuknya. Dasar manja! Mentang-mentang anak tunggal, manjanya minta ampun. Setelah dia pergi, kubaringkan lagi tubuhku di kasur. Mumpung masih cuti kan, bebas bermalas-malasan.

Ketika aku bermain ponsel, Mas Raka masuk kamar. Rambutnya basah, wangi menggoda. Handuk yang tadi ia pakai masih disampirkan di leher. Tiba-tiba, ia membuka kaosnya. Rezeki nomplok terpampang di depan mata. Mataku melotot memandang tubuh Mas Raka yang bertelanjang dada. Ada bulu-bulu halus yang tumbuh di sana. Duh, pingin membelai deh rasanya. Aku mulai berkhayal. Dasar nakal! 

"Hentikan Mas!" Aku berteriak panik, ketika dia mau memelorotkan celananya.

"Tinggal merem, kan? Kecuali kalau kamu pingin lihat sih." Astaga, jorok banget kan pikirannya. Pingin aku cuci pake deterjen tuh otak.

Aku memejamkan mata dengan kesal. Repot benar sekamar sama cowok, gak ada privacy. 

"Udah belum, Mas?"

"Udah."

"Whoaaa ...!" Gesrek tuh orang, bawah pakai segitiga pengaman doang, bilangnya udah. Pingin dibumbuin tuh kalik yak.

"Itu bonus buat kamu, Na ...."

"Makan tuh bonus! Dah cepetan pakai celana yang bener!" 

"Na, tadi pas habis habis mandi aku di-ciecie-in sama ibumu loh." Aku ngakak sold out, pasti Ibuk ngirain dia habis ngelonin aku soalnya.

"Kenapa malah ketawa?"

"Soalnya, Nana tadi juga disuruh keramas sama Ibuk." 

"Ibumu kenapa sih, mbahas keramas melulu kayaknya?" Eh, dia gak ngerti-ngerti juga rupanya. Tulalit sih ....

"Soalnya Mas, dikirain Ibuk, kita tadi habis kelonan," ujarku sambil mengedip-ngedipkan sebelah mata.

Mas Raka bergidik, kaya' jijik gitu. Ah, dasar buaya darat, gayanya aja jijik, entar giliran dah keenakan, minta nambah melulu. Ini membahas tentang makan loh yak. Jangan pada ngeres gitu otaknya.

Pukul empat sore aku mandi. Tak lupa keramas juga, biar Ibuk gak banyak cingcong. Biar sandiwaranya semakin meyakinkan. Keluar dari kamar mandi, kulihat Ibuk sedang menggoreng sesuatu di dapur.

"Bikin bakwan, ya, Buk?" Kucomot sepotong bakwan yang sudah digoreng di piring.

"Iya. Buat teman ngeteh sore ini. Kamu nanti harus belajar masak lho ya, Na. Kamu harus pandai-pandai mengenyangkan perut suamimu. Belajar bikin camilan juga, biar gak keseringan beli jajanan di luar. Apalagi kalau nanti sudah punya anak. Harus lebih rajin masak, bikin-bikin kue, biar anak dan suamimu semakin sayang sama kamu."

Aku mendengarkan Ibuk sambil mengunyah bakwan, gak tertarik sama isi ceramah Ibuk. Lha wong dari jaman T-Rex mainan gundu, tiap hari diceramahin hal yang sama kok.

"Na, bikin teh sana! Terus bawa ke teras. Kita duduk-duduk di sana saja. Panas bener ini rumahnya Raka." 

"Siap, Buk!" Aku langsung melaksanakan perintah Ibuk.

Setelah itu, kami duduk bersama di teras. Sambil ngeteh dan nyemilin bakwan buatan ibuku.

"Kalian jangan menunda-nunda punya anak, loh, ya! Kami ini sudah tua, sudah pingin segera nggendong cucu. Bapak ibumu juga gitu to, Nak Raka?"

Waduh ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status