Share

Flashback

Mulai deh, Ibuk mengeluarkan ceramahnya. Kulirik Mas Raka yang duduk di sampingku. Dia mesam-mesem aja. Pingin kudorong aja dia, soalnya duduknya nyender-nyender ke badanku, agak risih jadinya.

Karena gak ada yang menjawab, Ibuk malah melanjutkan ceramahnya lagi.

"Nanti, kalau misalnya kamu sudah hamil, resign saja dari kerjaanmu, Na. Toh penghasilan suamimu sudah nyukupi to. Kamu di rumah saja mengurus rumah dan anak-anakmu. Iya kan, Nak Raka?"

"Iya, Bu. Saya sih terserah Nana saja."

Ibuk terlihat mengangguk puas. Iya, Ibuk puas, aku yang terhempas. Gimana mau hamil, wong hingga saat ini, segelku masih rapat belum dibuka kok. Piye toh, Buk? Tunggu ya, Buk, nanti kalau sudah siap, sudah nyaman sama Mas Raka, aku tak minta 'jatahku'. Yaelah, istilahnya gitu amat yak. Nafkah batin, maksudnya. 

Tau-tau dah malam aja. Bapak sama Ibuk sudah masuk kamar sebelah, padahal sekarang baru jam setengah sembilan. Dah pada ngantuk rupanya. Aku sama Mas Raka masih nonton TV di ruang tengah, sambil ngemil kuaci.

"Mas, nanti Njenengan tidur di sofa aja po?" Tiba-tiba, aku punya ide cemerlang.

"Wis to, gak usah aneh-aneh. Nanti malah ditanyain macem-macem sama ibumu, malah repot. Kamu ini loh, senengnya nyari masalah." Lah, dia malah ngomel jadinya.

"Nanti kalau Ibuk tanya, tinggal bilang kalau Mas Raka ketiduran di sofa. Gitu aja kok repot loh. Ya, Mas?"

Mas Raka tidak menggubris perkataanku, malah asyik meneruskan makan kuaci. Diam-diam, aku mengambil sebuah bantal sofa, lalu tak timpukin ke punggungnya!"

"Aduh!"

Tak sukurin dia, salah sendiri, diajak ngomong kok malah cuek bebek gitu. Emang enak dikacangin?

"Apa sih, Na? Ribut aja kamu itu!" protesnya, sambil memungut bantal yang tadi aku lemparkan.

"Makanya, kalau ada orang ngomong itu jangan dianggurin. Jangan dipisangin, apalagi dinanasin!" Lho, aku malah kumat. "Pokoknya malam ini Mas Raka tidur di sofa, ya! Please lah, cuma sekali doang kan. Ingat, besok bapak ibuku sudah pada pulang. Mas Raka bisa tidur di kamar sebelah lagi," rayuku, tak lupa memasang wajah memelas biar mengundang simpati.

Yes! Trik-ku berhasil. Mas Raka mengangguk mengiyakan keinginanku. Aku merasa lega, akhirnya malam ini, aku bisa tidur dengan tenang, tanpa takut digerayangi atau menerima tindakan horor lainnya. Aku belum siap pokoknya.

Pukul 10 tepat aku masuk kamar, tanpa berpamitan sama Mas Raka. Ia sedang sibuk menonton sebuah film thriller di channel HBO, kulihat matanya masih segar bugar. Sesampai kamar, aku langsung merebahkan diri di kasur, menarik selimut, dan memeluk guling. Tak sampai semenit, aku sudah tertidur pulas. 

Sekitar pukul 12 malam, hawa dalam kamar kurasakan semakin panas. Mau menyalakan kipas, malas beranjak. Mana mata susah diajak melek. Maka, sambil merem, kubuka kaosku. Aku tidur dengan memakai bra saja, biar agak silir. Toh, aku tidur sendirian aja malam ini. Seperti malam-malam sebelumnya.

Sekitar pukul tiga pagi, aku terjaga. Aku merasa tidak tidur sendirian, ada yang berbaring di sampingku. Jangan-jangan ....

Aku langsung bangun, ingin memastikan jika Mas Raka yang tidur di sampingku. Dan ternyata memang benar dia adanya. Kudekati dia, tidurnya nampak pulas sekali. Kucubit tangannya, agar dia bangun. Benar saja, dia terbangun. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum matanya melotot memandangku.

"Kamu mau mengajak bercinta, Na?" Aku ternganga, bengong mendengar pertanyaanya.

Saat mata Mas Raka memandangi dadaku, baru aku sadar kalau aku hanya memakai bra. Astaga, malunya! Aku syok. Langsung kusambar bantal di kasur untuk menutupi dadaku.

"Mas Raka, merem! Gak merem aku tendang sampai jungkir balik!" Kuancam Mas Raka, sembari mengambil kaosku yang kutaruh di kasur, lalu memakainya secepat kilat. Entah seperti apa warna wajahku, kepiting rebus lewat kalik, Saking malunya. Mimpi apa aku semalam, Gusti ....

Seperti biasa, Mas Raka hanya senyam-senyum, cengar-cengir melihat aku salah tingkah.

"Kenapa tidur sini, sih? Kan sudah janji mau tidur di sofa!" Seperti biasa, aku menyalahkannya. 

Yang disalahkan kalem-kalem aja. "Kali ini bukan salahku loh, ya. Tadinya aku tidur di sofa. Tapi entah jam berapa tadi, bapakmu nyuruh aku pindah ke kamar. Masa' iya, aku berani nolak? Nanti malah bapakmu curiga to?"

Owalah, Bapak, lihat ini loh anakmu kisinan, malu yang amat sangat, gara-gara menantumu Bapak suruh pindah ke kamar. Nasib ... nasib ....

Melihatku bengong, Mas Raka malah menyuruhku tidur lagi. Ia sendiri bolak-balik menguap lebar, lalu klipuk, tidur lagi.

Aku masih belum bisa menerima kenyataan, dan kini hilang sudah rasa kantukku. Aku hanya duduk diam di ranjang mengamati Mas Raka yang sudah tertidur pulas. Dalam keremangan lampu tidur, terlihat wajahnya yang tampan. Benar kata Ibuk, seharusnya aku bersyukur mendapatkan suami seganteng dan sebaik dia. Mapan lagi. 

Masih kuingat, seminggu yang lalu, saat kedua orang tuanya Mas Raka berkunjung ke rumahku. Niatnya sih hanya silaturahmi, tapi begitu tahu bapakku punya anak perempuan yang masih jomlo gak laku-laku, mereka langsung berinisiatif menjodohkan aku dengan anak mereka yang bernama Raka, umurmya 32 tahun.

"Anakku ganteng, kan, Mbak Nana?" Pak Basori, menunjukkan sebuah foto sang anak di ponselnya.

Kuamati foto itu baik-baik. Iya sih, memang ganteng. Tapi wajahnya terkesan dingin, angkuh, seram kaya' kuburan. "Iya, Pak, memang ganteng kok."

"Dia juga sudah mapan, loh, Mbak. Punya percetakan di Blabak. Karyawannya empat. Punya bengkel motor juga di dekat pasar Blabak." Pak Basori masih saja memuju-muji anaknya. Wajar sih menurutku, wong anak sendiri to, bukan anak orang lain. Bukan anakconda juga.

Ketika mereka tengah asyik mengobrol, aku pun menyelinap masuk ke kamar. Males lah ngobrol sama orang tua, roaming! Mendingan di kamar, muter lagu sambil berkhayal yang iya-iya aja.

Sejam kemudian, mereka pamit. Aku ikut mengantarkan mereka ke depan. Soalnya bapakku sudah ngasih kode, dengan pelototan matanya yang setajam kampak. Sejak hari itu, sikap Bapak dan Ibuk sepertinya jadi berubah padaku. Makan diambilin, dibikinin camilan-camilan kesukaan, gak boleh cuci piring, gak boleh nyemplung sumur, eh, gak boleh capek-capek lah pokoknya.

Aku jadi curiga kan, pasti ada udang di balik bakwan. Eh, ternyata benar dugaanku. Sore itu, aku dipanggil Bapak dan Ibuk. Di mataku wajah mereka tampak begitu bengis, seperti tokoh-tokoh antagonis di sinetron ikan terbang itu.

"Duduk, Nana!" Bapak memerintahkanku untuk duduk di ruang tengah. Duh, aku mulai deg-degan. 

"Ada apa sih, Pak? Kaya' mau nyidang maling ayam aja, deh."

"Sudah diam, itu bapakmu mau bicara. Dengarkan baik-baik, ya!" Kali ini Ibuk yang bicara, dengan nada agak tinggi, tapi belum setinggi harapanmu padanya sih. Ciee ....

Aku langsung diam, jantung berdebar-debar, gelisah, takut, dah kaya' maling motor ketangkap massa aja.

"Nduk, kemarin Bapak sama Ibuk sudah memutuskan sesuatu untukmu. Bapak dan Ibuk tidak mau mendengar alasan apapun darimu, pokoknya kamu harus menerima keputusan Bapak dan Ibuk." Belum-belum aja Bapak dah mulai ngancem-ngancem gitu. Aku tambah dagdigdug.

"Keputusan apa sih, Pak? Memangnya Bapak mau nyoret Nana dari daftar KK ya?" tanyaku ngawur, daripada gak nanya kan, ya. Lha katanya malu bertanya sesat di jalan to.

Mereka tidak menghiraukan pertanyaan ngawurku, justru malah melotot bersama. Lalu, setelah berdehem.l gak jelas beberapa kali, Bapak mulai bicara. 

"Nduk, kami berempat sudah memutuskan bahwa kamu dan Raka harus menikah secepatnya. Tidak boleh menolak." Bapak bicara dengan nada sangat tegas.

Aku melongo. Tubuh lemas seketika. Keringat dingin mulai mengalir. Aku berharap pingsan di tempat. Tapi kok malah gak pingsan-pingsan ....

"Kok gitu, sih? Kok gak nanya-nanya pendapat Nana dulu, sih? Ini tidak adil namanya, Pak." Aku mencoba memprotes keputusan sepihak mereka. Kenal kagak, masa' tau-tau dinikahin sih? 

"Gayamu, Na. Kalau ditanya ya palingan kamu akan menjawab belum siap to. Keburu kiamat gak nikah-nikah kamu, Na. Sudah, pokoknya kamu harus mau. Kalau berani menolak, Ibuk mau mogok makan sebulan, biarin nanti masuk UGD. Ibuk sudah capek nyariin jodoh buat kamu!" Waduh, Ibuk mengeluarkan senjata pamungkasnya untuk menekankku.

"Tapi Nana gak kenal sama Mas Raka, Buk!" 

"Ya nanti kenalan lah, ngobrol-ngobrol dulu. Kebetulan, dua hari lagi mereka akan ke sini, melamarmu secara resmi."

"Hah?" Aku melongo. Syok session two. Gak nyangka, Bapak sama Ibuk sudah bergerak secepat itu.

"Awas kalau pas mereka ke sini, kamu berani berulah, bersikap absurd dan sebagainya." Kali ini, Bapak yang mengancamku. Sepertinya, beliau sudah paham sekali dengan kelakuanku selama ini.

Aku langsung angkat kaki dari ruang tengah. Masuk ke kamar terus nangis sesenggukan. Mampuslah aku kali ini. Padahal akutuh sebenarnya belum mau menikah. Masih 27 tahun ini, pinginnya tuh nikah umur 30 tahun. Biar puas main-main, nongkrong-nongkrong, sama cari duit dulu. Nikah buru-buru buat apa sih?

Capek nangis, aku mandi, terus ke dapur bikin mi kuah instan dua bungkus sekalian. Kukasih irisan kol, cabai rawit 6 biji, telur dua biji, sama sosis 2 lonjor. Porsi jumbo, mantap lah pokoknya.

"Kamu kesambet apa, Na? Apa ya habis bikin mi kuah sebanyak itu? Porsimu itu ngalah-ngalahin tukang macul loh yak!" protes Ibuk padaku, sambil berkacak pinggang menatapku dengan sadis.

"Biarin!" jawabku sadis, masih merasa diperlakukan tidak adil dengan keputusan sepihak mereka.

Mendengar jawabanku, Ibuk hanya geleng-geleng kepala, lalu meninggalkan aku sendirian di dapur. Kelar makan, aku tiduran di kamar, sambil baca novel di sebuah platform favoritku. Alhasil, aku ketiduran, karena kekenyangan. Porsinya emang gila-gilaan sih.

Dua hari kemudian, keluarga Mas Raka datang. Mereka secara resmi telah melamarku. Dan berjanji akan mengurus semua persyaratan yang akan diajukan ke KUA secepatnya.

Waduh, secepatnya? Kulirik lelaki ganteng yang bernama Raka itu. Wajahnya tak kalah tegang denganku, pasrah menerima perjodohan kami tanpa banyak perlawanan. 

Dua minggu kemudian, kami sudah melakukan ijab kabul di rumahku, dengan dihadiri keluarga terdekat saja, tanpa resepsi juga. Alhamdulilah, soalnya aku paling gak suka make-up tebal, apalagi berdiri, dipajang seharian. 

Ajaib kan, tahu-tahu dah sah aja. Padahal aku belum sempat ngobrol banyak sama Mas Raka. Lha wong tiap mau ngobrol sama dia, pasti Bapak atau Ibuk malah nimbrung kok, lalu mendominasi pembicaraan. Selalu seperti itu. Sepertinya, mereka khawatir jika setelah ngobrol denganku, Mas Raka jadi ilfeel sama lalu, mundur dari perjodohan. Memangnya aku sepecicilan apa sih, sampai segitunya Bapak Ibuk memperlakukanku.

Sorenya, aku langsung diboyong ke rumah Mas Raka. Di sebuah perumahan di pinggir Kota Magelang. Kulirik Bapak dan Ibuk, astaga, sedikitpun tidak ada kesedihan di wajah mereka. Setelah berpamitan dengan kedua orang tuaku dan kedua orang tua kami, kami langsung berangkat.

"Nduk!" Ibu menghentikan langkahku. Asyik, Ibuk pasti mau mencegah aku pergi nih. 

Tapi ternyata ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status