Share

1/1. Raka Arya Rahardian

Perihal hati itu rumit. Tidak perlu dibayangkan, bila tidak sanggup menghadapi.

***

Hujan. Tatapannya tak lepas dari jutaan rintik di luar sana. Benaknya melalang buana tanpa arah tujuan. Setiap kilasan kenangan indah terlintas begitu saja. Bagaikan roll film yang terus berputar tanpa tahu cara menghentikannya. Ada rasa rindu yang menyeruak saat kenangan itu hadir. Akankah terulang kembali?

Dia tersenyum kecut seraya menggeleng. Pemikiran bodoh. Terlalu tinggi khayalannya akan masa depan yang penuh kebahagiaan. Mana mungkin itu akan terjadi setelah apa yang ia torehkan sebelumnya. Sebuah luka yang sangat dalam dan teramat dalam untuk disembuhkan.

"Syil?"

Dia menoleh. Mendapati Resti, sahabatnya menepuk pundaknya penuh simpati. Gadis yang bernama Syila itu, mengembangkan senyum, berusaha menutupi kesedihan. Resti tahu itu akan percuma.

"Eh, kelasnya udah selesai, ya?" Syila mengedarkan pandangan ke pelosok ruang kelas, sudah kosong. Hanya tinggal mereka berdua.

"Udah dari tadi. Kamu sibuk ngelamun terus, sih," canda Resti.

Syila tersenyum masam. Ia sadar jika ia sering melamun saat dosen sedang menerangkan. Rasanya sulit untuk berkonsentrasi, sedang pikirannya pergi ke mana-mana. 

Sebagai sahabat yang baik, Resti terkadang sedih melihat kondisi Syila yang mengkhawatirkan. Yang bisa ia lakukan saat ini adalah selalu berada di sisi Syila. Menghiburnya di kala sedih dan berada di garda paling depan untuk membela ketika ada yang berani mencemooh.

"Yuk kita pulang," ajak Resti.

Sekali lagi Syila mengembuskan napas berat, lalu mengiyakan ajakan Resti. Sepanjang koridor Resti terus berceloteh. Menceritakan apa saja yang bisa membuat Syila tertawa. Ia senang sahabatnya tersebut bisa tertawa, walaupun tak sampai ke mata.

Mendadak langkah Syila terhenti, tubuhnya menegang. Resti yang awalnya bingung akan perubahan sikap Syila langsung mengerti penyebabnya. Jauh di hadapan mereka segerombolan mahasiswa senior sedang berkumpul seraya tertawa di depan gerbang kampus. Ada tiga laki-laki dan seorang gadis yang bergelayut manja pada lengan salah satu ketiganya. Sekali lihat, orang-orang pasti berasumsi mereka adalah sepasang kekasih dan faktanya itu memang benar.

Menyadari hal itu, Resti memandang sedih sahabatnya. Tak ada jalan lain untuk menghindar. Hanya jalan itu satu-satunya yang harus mereka lewati agar bisa keluar kampus.

"Kamu yakin, Syil?" tanya Resti khawatir.

"Iya." Syila tersenyum penuh ketegaran.

Terpaksa mereka berdua berjalan melewati gerombolan kakak-kakak senior itu. Syila menunduk, tak kuat bila harus melihat mereka semua. Terutama sepasang kekasih itu yang terang-terangan mengumbar kemesraan di tengah khalayak ramai.

Resti menggenggam erat tangan Syila mencoba memberikan kekuatan, sekaligus memberitahunya bahwa Syila tak perlu cemas, masih ada ia yang akan selalu berada di samping Syila sekarang.

Detak jantung Syila berdegup kencang. Jujur dalam hati ia ingin menghindari sepasang kekasih itu. Rasa sakit, penyesalan dan patah hati selalu muncul layaknya bom waktu. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk meledakkan diri, hingga menjadi serpihan kecil tatkala ia melihat mereka berdua.

"Permisi," kata Resti.

Syila tahu dirinya dipandangi begitu intens ketika ia dan Resti melewati mereka. Dan ia tahu bahwa pandangan itu lebih ke arah jijik dan benci. Sudah biasa ia mendapatkan pandangan seperti itu sehingga ia mati-matian membangun tembok pertahanan diri yang sangat tinggi. Dengan memasang wajah sedatar mungkin, setidaknya ia mampu menyembunyikan rasa sakit di hati. Tak peduli pandangan orang yang mengira bahwa apa yang ia tunjukkan malah membuatnya terlihat tak punya hati. Namun, semua itu salah besar.

Suara itu menghentikan langkah Syila yang berjarak hanya dua meter dari tempat mereka berdiri. Suara yang sangat ia rindukan di setiap malam dalam doa, sekaligus suara yang makin membuat lubang kian melebar di hatinya. Suara itu milik Raka Arya Rahardian.

"Kupikir setelah aku menyuruh seseorang untuk tidak menampakkan dirinya lagi di hadapanku, dia akan mengerti dan melakukannya. Tapi ternyata aku salah dan aku semakin muak."

Meskipun Syila menunduk, Resti tahu kalau sahabatnya itu menyembunyikan luka di matanya. Bahkan tanpa Syila sadari, tubuhnya bergetar menahan pilu yang teramat.

"Sayang, sudahlah. Percuma saja berbicara pada perempuan yang tak punya hati dan manipulatif seperti dia. Setiap perkataannya adalah racun," ucap Felisya, gadis yang bergelayut manja pada lengan Raka, kini melempar tatapan sinis pada punggung Syila.

"Kamu benar. Sampai aku dengan bodohnya percaya begitu saja padanya."

Ucapan Raka tak ayal membuat kedua temannya tergelak.

Syila mengembuskan napas mencoba mengurangi rasa sakit di hati. Namun, itu percuma saja. Malah rasa sakitnya semakin menusuk sampai air mata mulai menggenang di sudut mata. Ia tak kuat lagi, bahkan untuk melangkah pun rasanya sukar, tetapi dia harus pergi sesegera mungkin, sebelum rasa sakitnya semakin perih. Sebelum air mata yang untuk kesekian kali kembali menetes lagi.

Resti paham dengan keadaan Syila. Kemudian dengan lembut dihelanya tubuh Syila untuk melangkah keluar gerbang kampus. Di sampingnya, Resti berusaha menjaganya. Diremasnya bahu Syila penuh empati.

Tiga puluh menit waktu yang dibutuhkan mereka untuk sampai ke kos-kosan dengan menaiki angkutan umum. Selama itu pulalah Syila menenangkan diri, menatap kosong bulir demi bulir air hujan yang berjatuhan dari atas langit kelabu. Tetap saja usahanya sia-sia. Terasa sangat menyesakkan sekali pun ia telah menekan sebisa mungkin kepedihan.

Sesampainya di kos, Syila meletakkan tas di sofa, lalu melepas sepatu. Resti mengikutinya, lalu turut bergabung duduk di samping Syila. Mereka berdua memang tinggal bersama sejak mereka mengucap janji persahabatan satu setengah tahun lalu. Selain untuk menghemat pengeluaran, biaya kos pun akan terasa jauh lebih ringan jika ditanggung bersama. 

"Kamu nggak apa-apa, Syil?" tanya Resti cemas.

Syila yang sedang memejam dan bersandar pada kepala sofa, membuka mata menatap Resti.

"Aku nggak apa-apa kok, Res," katanya sambil tersenyum lemah.

"Bohong! Sampai kapan kamu seperti ini terus, Syil. Membohongi semua orang dan menganggap seolah kamu peran antagonis yang menghancurkan hidup orang lain. Berhentilah bersikap seperti itu," kata Resti penuh emosi.

"Lalu apa yang harus kulakukan, Res? Apa?! Sejak awal aku bukan siapa-siapa. Aku pantas mendapatkannya," sergah Syila.

Resti menggeleng pelan. Ia menolak pernyataan Syila karena yang Syila ucapkan semua itu tak sepenuhnya benar. Ditatapnya mata sahabatnya yang terlihat sangat menderita lantaran harus menanggung beban kebencian orang-orang yang perempuan itu sayangi.

Syila menatap Resti dengan sinar mata meredup, lalu berkata lirih, "Katakan apa yang harus kulakukan, Res?" 

"Aku tak bisa melakukan apa-apa selain terus seperti ini. Menanggung semuanya. Aku pantas mendapatkannya. Aku sudah bertekad untuk terus seperti ini," lanjutnya penuh luka.

"Kumohon berhentilah. Kamu sudah menyakiti dirimu sendiri." Tanpa nyana, buliran bening membasahi pipi Resti.

Syila menggeleng pelan. "Aku tidak bisa dan tak akan pernah bisa. Biarkan seperti ini," lanjutnya putus asa.

"Tapi kamu punya hak untuk bahagia, Syil. Seharusnya bukan kamu yang menanggung semua ini," tandas Resti.

Setetes demi tetes likuid bening jatuh membasahi pipi Syila. Dengan kasar ia mengusapnya. Padahal ia sudah berjanji pada dirinya untuk tidak menangis lagi. Namun, ia sudah mengingkarinya untuk yang ke ribuan kali.

"Aku tak butuh kebahagiaan. Yang aku butuhkan hanyalah orang-orang yang kusayangi bisa bahagia dan tersenyum itu sudah sangat cukup untukku."

"Kamu perempuan baik yang tak pantas menanggung itu semua." Resti memeluk tubuh rapuh Syila. Ikut menangis, kala linangan air mata Syila menderas tanpa mampu dibendung. Ia bisa merasakan beban yang teramat berat ditanggung Syila.

"Kamu tahu, aku kagum sama kamu. Kamu perempuan yang sangat kuat dan tegar." Resti menampilkan senyum teduhnya.

"Aku tahu."

Mereka menertawakan kesedihan mereka yang begitu dramatis. Resti melepas pelukan sambil tersenyum. Lalu mereka saling menghapus air mata di pipi keduanya.

"Kamu tahu, aku akan ada di sampingmu. Selalu," tandas Resti serius.

Syila tersenyum. "Aku tahu." 

Dulu, ia tak punya alasan untuk melanjutkan hidup. Kesendirian tanpa ada orang-orang terkasih, menyebabkan ia menyerah dan menganggap hidup tak berarti lagi. Namun, kini Restilah penyemangatnya. Beruntung, ia memiliki sahabat seperti Resti yang selalu menjadi penopang di kala sedih, maupun susah mendera. Tak ada alasan lain selain bangkit dari keterpurukan, sekalipun masa lalunya kembali muncul ke permukaan.

Berusaha tetap tegar dan menghargai hidup. Mensyukuri setiap waktu yang diberikan Tuhan karena ia tahu masih banyak manusia yang lebih kekurangan darinya di luar sana. Maka, dengan begitu ia akan tahu rencana Tuhan di balik sebuah cobaan, pasti ada hikmah yang dapat dipetik sebagai pelajaran hidup nantinya.

"Siap untuk bekerja?" tanya Resti.

"Always, boss!" jawab Syila bersemangat sambil memberi hormat pada Resti.

"You know i'm not you're boss. But i'm you're best friend."

Mereka tertawa sejenak melupakan kesedihan yang sempat mendera. Berharap, esok hari tak perlu lagi merasakan kesedihan. Namun, pada kenyataannya mereka sama sekali tak tahu akan hari esok, maupun di masa mendatang. Kebahagiaan atau justru kepedihankah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status