Perihal hati itu rumit. Tidak perlu dibayangkan, bila tidak sanggup menghadapi.
***
Hujan. Tatapannya tak lepas dari jutaan rintik di luar sana. Benaknya melalang buana tanpa arah tujuan. Setiap kilasan kenangan indah terlintas begitu saja. Bagaikan roll film yang terus berputar tanpa tahu cara menghentikannya. Ada rasa rindu yang menyeruak saat kenangan itu hadir. Akankah terulang kembali?
Dia tersenyum kecut seraya menggeleng. Pemikiran bodoh. Terlalu tinggi khayalannya akan masa depan yang penuh kebahagiaan. Mana mungkin itu akan terjadi setelah apa yang ia torehkan sebelumnya. Sebuah luka yang sangat dalam dan teramat dalam untuk disembuhkan.
"Syil?"
Dia menoleh. Mendapati Resti, sahabatnya menepuk pundaknya penuh simpati. Gadis yang bernama Syila itu, mengembangkan senyum, berusaha menutupi kesedihan. Resti tahu itu akan percuma.
"Eh, kelasnya udah selesai, ya?" Syila mengedarkan pandangan ke pelosok ruang kelas, sudah kosong. Hanya tinggal mereka berdua.
"Udah dari tadi. Kamu sibuk ngelamun terus, sih," canda Resti.
Syila tersenyum masam. Ia sadar jika ia sering melamun saat dosen sedang menerangkan. Rasanya sulit untuk berkonsentrasi, sedang pikirannya pergi ke mana-mana.
Sebagai sahabat yang baik, Resti terkadang sedih melihat kondisi Syila yang mengkhawatirkan. Yang bisa ia lakukan saat ini adalah selalu berada di sisi Syila. Menghiburnya di kala sedih dan berada di garda paling depan untuk membela ketika ada yang berani mencemooh.
"Yuk kita pulang," ajak Resti.
Sekali lagi Syila mengembuskan napas berat, lalu mengiyakan ajakan Resti. Sepanjang koridor Resti terus berceloteh. Menceritakan apa saja yang bisa membuat Syila tertawa. Ia senang sahabatnya tersebut bisa tertawa, walaupun tak sampai ke mata.
Mendadak langkah Syila terhenti, tubuhnya menegang. Resti yang awalnya bingung akan perubahan sikap Syila langsung mengerti penyebabnya. Jauh di hadapan mereka segerombolan mahasiswa senior sedang berkumpul seraya tertawa di depan gerbang kampus. Ada tiga laki-laki dan seorang gadis yang bergelayut manja pada lengan salah satu ketiganya. Sekali lihat, orang-orang pasti berasumsi mereka adalah sepasang kekasih dan faktanya itu memang benar.
Menyadari hal itu, Resti memandang sedih sahabatnya. Tak ada jalan lain untuk menghindar. Hanya jalan itu satu-satunya yang harus mereka lewati agar bisa keluar kampus.
"Kamu yakin, Syil?" tanya Resti khawatir.
"Iya." Syila tersenyum penuh ketegaran.
Terpaksa mereka berdua berjalan melewati gerombolan kakak-kakak senior itu. Syila menunduk, tak kuat bila harus melihat mereka semua. Terutama sepasang kekasih itu yang terang-terangan mengumbar kemesraan di tengah khalayak ramai.
Resti menggenggam erat tangan Syila mencoba memberikan kekuatan, sekaligus memberitahunya bahwa Syila tak perlu cemas, masih ada ia yang akan selalu berada di samping Syila sekarang.
Detak jantung Syila berdegup kencang. Jujur dalam hati ia ingin menghindari sepasang kekasih itu. Rasa sakit, penyesalan dan patah hati selalu muncul layaknya bom waktu. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk meledakkan diri, hingga menjadi serpihan kecil tatkala ia melihat mereka berdua.
"Permisi," kata Resti.
Syila tahu dirinya dipandangi begitu intens ketika ia dan Resti melewati mereka. Dan ia tahu bahwa pandangan itu lebih ke arah jijik dan benci. Sudah biasa ia mendapatkan pandangan seperti itu sehingga ia mati-matian membangun tembok pertahanan diri yang sangat tinggi. Dengan memasang wajah sedatar mungkin, setidaknya ia mampu menyembunyikan rasa sakit di hati. Tak peduli pandangan orang yang mengira bahwa apa yang ia tunjukkan malah membuatnya terlihat tak punya hati. Namun, semua itu salah besar.
Suara itu menghentikan langkah Syila yang berjarak hanya dua meter dari tempat mereka berdiri. Suara yang sangat ia rindukan di setiap malam dalam doa, sekaligus suara yang makin membuat lubang kian melebar di hatinya. Suara itu milik Raka Arya Rahardian.
"Kupikir setelah aku menyuruh seseorang untuk tidak menampakkan dirinya lagi di hadapanku, dia akan mengerti dan melakukannya. Tapi ternyata aku salah dan aku semakin muak."
Meskipun Syila menunduk, Resti tahu kalau sahabatnya itu menyembunyikan luka di matanya. Bahkan tanpa Syila sadari, tubuhnya bergetar menahan pilu yang teramat.
"Sayang, sudahlah. Percuma saja berbicara pada perempuan yang tak punya hati dan manipulatif seperti dia. Setiap perkataannya adalah racun," ucap Felisya, gadis yang bergelayut manja pada lengan Raka, kini melempar tatapan sinis pada punggung Syila.
"Kamu benar. Sampai aku dengan bodohnya percaya begitu saja padanya."
Ucapan Raka tak ayal membuat kedua temannya tergelak.
Syila mengembuskan napas mencoba mengurangi rasa sakit di hati. Namun, itu percuma saja. Malah rasa sakitnya semakin menusuk sampai air mata mulai menggenang di sudut mata. Ia tak kuat lagi, bahkan untuk melangkah pun rasanya sukar, tetapi dia harus pergi sesegera mungkin, sebelum rasa sakitnya semakin perih. Sebelum air mata yang untuk kesekian kali kembali menetes lagi.
Resti paham dengan keadaan Syila. Kemudian dengan lembut dihelanya tubuh Syila untuk melangkah keluar gerbang kampus. Di sampingnya, Resti berusaha menjaganya. Diremasnya bahu Syila penuh empati.
Tiga puluh menit waktu yang dibutuhkan mereka untuk sampai ke kos-kosan dengan menaiki angkutan umum. Selama itu pulalah Syila menenangkan diri, menatap kosong bulir demi bulir air hujan yang berjatuhan dari atas langit kelabu. Tetap saja usahanya sia-sia. Terasa sangat menyesakkan sekali pun ia telah menekan sebisa mungkin kepedihan.
Sesampainya di kos, Syila meletakkan tas di sofa, lalu melepas sepatu. Resti mengikutinya, lalu turut bergabung duduk di samping Syila. Mereka berdua memang tinggal bersama sejak mereka mengucap janji persahabatan satu setengah tahun lalu. Selain untuk menghemat pengeluaran, biaya kos pun akan terasa jauh lebih ringan jika ditanggung bersama.
"Kamu nggak apa-apa, Syil?" tanya Resti cemas.
Syila yang sedang memejam dan bersandar pada kepala sofa, membuka mata menatap Resti.
"Aku nggak apa-apa kok, Res," katanya sambil tersenyum lemah.
"Bohong! Sampai kapan kamu seperti ini terus, Syil. Membohongi semua orang dan menganggap seolah kamu peran antagonis yang menghancurkan hidup orang lain. Berhentilah bersikap seperti itu," kata Resti penuh emosi.
"Lalu apa yang harus kulakukan, Res? Apa?! Sejak awal aku bukan siapa-siapa. Aku pantas mendapatkannya," sergah Syila.
Resti menggeleng pelan. Ia menolak pernyataan Syila karena yang Syila ucapkan semua itu tak sepenuhnya benar. Ditatapnya mata sahabatnya yang terlihat sangat menderita lantaran harus menanggung beban kebencian orang-orang yang perempuan itu sayangi.
Syila menatap Resti dengan sinar mata meredup, lalu berkata lirih, "Katakan apa yang harus kulakukan, Res?"
"Aku tak bisa melakukan apa-apa selain terus seperti ini. Menanggung semuanya. Aku pantas mendapatkannya. Aku sudah bertekad untuk terus seperti ini," lanjutnya penuh luka.
"Kumohon berhentilah. Kamu sudah menyakiti dirimu sendiri." Tanpa nyana, buliran bening membasahi pipi Resti.
Syila menggeleng pelan. "Aku tidak bisa dan tak akan pernah bisa. Biarkan seperti ini," lanjutnya putus asa.
"Tapi kamu punya hak untuk bahagia, Syil. Seharusnya bukan kamu yang menanggung semua ini," tandas Resti.
Setetes demi tetes likuid bening jatuh membasahi pipi Syila. Dengan kasar ia mengusapnya. Padahal ia sudah berjanji pada dirinya untuk tidak menangis lagi. Namun, ia sudah mengingkarinya untuk yang ke ribuan kali.
"Aku tak butuh kebahagiaan. Yang aku butuhkan hanyalah orang-orang yang kusayangi bisa bahagia dan tersenyum itu sudah sangat cukup untukku."
"Kamu perempuan baik yang tak pantas menanggung itu semua." Resti memeluk tubuh rapuh Syila. Ikut menangis, kala linangan air mata Syila menderas tanpa mampu dibendung. Ia bisa merasakan beban yang teramat berat ditanggung Syila.
"Kamu tahu, aku kagum sama kamu. Kamu perempuan yang sangat kuat dan tegar." Resti menampilkan senyum teduhnya.
"Aku tahu."
Mereka menertawakan kesedihan mereka yang begitu dramatis. Resti melepas pelukan sambil tersenyum. Lalu mereka saling menghapus air mata di pipi keduanya.
"Kamu tahu, aku akan ada di sampingmu. Selalu," tandas Resti serius.
Syila tersenyum. "Aku tahu."
Dulu, ia tak punya alasan untuk melanjutkan hidup. Kesendirian tanpa ada orang-orang terkasih, menyebabkan ia menyerah dan menganggap hidup tak berarti lagi. Namun, kini Restilah penyemangatnya. Beruntung, ia memiliki sahabat seperti Resti yang selalu menjadi penopang di kala sedih, maupun susah mendera. Tak ada alasan lain selain bangkit dari keterpurukan, sekalipun masa lalunya kembali muncul ke permukaan.
Berusaha tetap tegar dan menghargai hidup. Mensyukuri setiap waktu yang diberikan Tuhan karena ia tahu masih banyak manusia yang lebih kekurangan darinya di luar sana. Maka, dengan begitu ia akan tahu rencana Tuhan di balik sebuah cobaan, pasti ada hikmah yang dapat dipetik sebagai pelajaran hidup nantinya.
"Siap untuk bekerja?" tanya Resti.
"Always, boss!" jawab Syila bersemangat sambil memberi hormat pada Resti.
"You know i'm not you're boss. But i'm you're best friend."
Mereka tertawa sejenak melupakan kesedihan yang sempat mendera. Berharap, esok hari tak perlu lagi merasakan kesedihan. Namun, pada kenyataannya mereka sama sekali tak tahu akan hari esok, maupun di masa mendatang. Kebahagiaan atau justru kepedihankah.
Restoran Gorgeous adalah restoran terkenal nan mewah dengan mengusung tema bernuansa Eropa. Begitu pula dengan masakan yang disuguhkan keseluruhannya ala-ala Barat. Di sanalah Syila dan Resti bekerja sebagai seorang waitress.Saat ini mereka sedang berada di loker untuk mengganti pakaian dengan seragam dan bersiap untuk memulai bekerja. Namun, sebelum mereka mulai bekerja, seluruh pelayan dan asisten chef dikumpulkan untuk melakukan breafing yang akan dipimpin langsung oleh Chef Julian—anak dari pemilik Restoran Gorgeous."Malam ini kita kedatangan tamu yang sangat istimewa. Mereka menginginkan sebuah makan malam yang elegan dan spesial. Saya harap kita semua bisa melakukannya dengan baik. Menyajikan masakan yang lezat dan bukan hanya itu saja, saya berharap pelayanannya juga dapat memuaskan mereka. Okay, semuanya selamat bekerja!""Yes, Chef!!!" Jawab mereka serempak.Mereka membubarkan diri k
Sekuat apa pun dirimu mencoba menghapus kenangan masa lalu, tak akan mampu jika cinta yang melekat belumlah sepenuhnya memudar. ***Seminggu setelah kejadian itu, Syila berusaha mengubur segala rasa sakit hatinya dengan menyibukkan diri dengan aktivitas perkuliahan dan pekerjaannya sebagai pelayan di Restoran Gorgeous. Di sampingitu, Resti juga selalu berada di dekat Syila. Ia harus memastikan kalau sahabatnya itu tak lagi sedih. Seperti membicarakan hal-hal umum lainnya atau mencoba menjadi mak comblang bagi Syila.Banyak cowok di kelasnya ataupun berbeda jurusan yang diam-diam, bahkan terang-terangan menyukai Syila. Banyak cara yang mereka lakukan untuk menarik perhatian Syila. Namun, mereka harus gigit jari karena Syila selalu menutup diri.Suatu hari, Resti pernah menjodohkannya dengan s
Syila menatap nanar kertas undangan berwarna silver di tangannya. Belum dibaca pun ia sudah tahu isi dari undangan itu. Tubuhnya mulai bergetar. Dia harus kuat! Kuat! Seperti mantra yang akan memberikan kekuatan baginya.Felisya tersenyum sinis penuh kemenangan. Ya, impiannya sudah tercapai sekarang. Menyingkirkan yang menghalangi jalannya dan mendapatkan apa yang ia impikan selama ini.“Sebenarnya aku tidak ingin mengundangmu, tapi setelah kupikir-pikir ... kamu sepertinya pantas untuk ikut merasakan kebahagiaanku. Ya, walaupun kamu bukan lagi anggota keluargaku, setidaknya kamu pernah menjadi bagian dari keluarga Harahap.” Perkataan Felisya tak luput dari sindiran yang menyakitkan.“Selamat Kak, aku turut berbahagia. Aku pasti akan datang.”Felisya tersenyum mengejek. “Hmm ... ternyata kamu masih punya muka, ya? Aku heran setelah sebelumnya menc
Sepanjang perjalanan, Felisya dan Raka terus berbicara dan sesekali tertawa bersama. Syila yang duduk di jok belakang mobil memandangi keakraban mereka. Sama sekali tidak mengajaknya ikut dalam perbincangan. Sepertinya ia cuma dijadikan obat nyamuk.Tak apalah. Asalkan kakaknya bisa tersenyum bahagia dia juga turut bahagia. Ya, walaupun hubungan mereka tak seperti dulu setidaknya kakaknya tak sebenci saat di rumah sakit.Felisya juga mulai mengajaknya bicara, meski tak sesering dulu. Menurut Syila itu sudah kemajuan yang baik untuk hubungannya dengan Felisya.Tak terasa mobil telah sampai di parkiran sebuah taman hiburan. Raka langsung membantu Felisya keluar dari mobil. Syila juga turut keluar sambil membawa kruk. Setelah mengantri membeli tiket, berbagai wahana langsung tertangkap mata, ketika mereka memasuki taman hiburan itu.Felisya terlonjak senang. “Aku mau naik r
Hidup dalam bayang-bayang masa lalu, mungkin terasa menyakitkan hingga untuk bernapas pun sulit. Namun, sanggupkah untuk mengelak, sementara hidup harus terus berjalan?***"Syil."Resti menyenggol lengan Syila cukup keras hingga pekerjaannya menata kursi terganggu dengan kehadiran Resti di sampingnya. Ia melempar ekspresi kesal, sedangkan Resti nyengir lebar."Dari tadi Chef Julian ngeliatin kamu terus," goda Resti sambil memainkan alisnya naik turun.Benar saja saat pandangan Syila menangkap sosok itu, pria itu sedang mengamatinya dengan menyilangkan kedua tangan di dada. Rasanya Syila mulai jengah."Apaan, sih Res," ucap Syila sebal. Kembali ia melanjutkan pekerjaannya menata kursi."Baru kali ini lho, aku lihat Chef Julian mandangin cewek seintens itu." Resti masih belum menyerah untuk terus menggoda.
Keesokan harinya, sebuah mobil Range Rover hitam terparkir tak jauh dari gerbang kos-kosan. Kedatangannya menarik perhatian penghuni kos lainnya yang sebagian besar wanita. Bisik-bisik mulai terdengar saat pemilik mobil itu keluar.Seorang pria blasteran, berkemeja biru dongker, memakai celana jeans dan kacamata hitam bertengger di hidungnya yang mancung. Menambah kadar kemaskulinan sang lelaki hingga membuatnya menjadi dambaan kaum hawa. Apalagi garis rahang yang membingkai wajah serta cambang yang membuat siapa pun yang melihatnya tak akan mampu menahan decakan kekaguman.Saat lelaki itu membuka kacamata hitamnya, tak terelakkan lagi teriakan demi teriakan tertahan dari gadis-gadis yang sengaja mencuri kesempatan menarik perhatian si lelaki. Sayangnya, ia tak mengindahkan.Yang ia pedulikan adalah sesosok tubuh mungil keluar dari gerbang. Rambutnya yang tergerai mempercantik penampilannya yang hanya memakai
Teramat dalam luka yang tertoreh, hingga kepercayaan pun sukar 'tuk tergenggam.***Sepasang kekasih itu melangkah penuh percaya diri. Tak peduli jika mereka menjadi pusat perhatian semua orang. Kemesraan yang mereka ciptakan, membuat semua orang diam-diam merasa iri. Secara keduanya memiliki fisik yang sempurna. Cantik dan tampan. Wajar jika mereka semua merasa iri melihatnya. Seolah keduanya memang sengaja diciptakan sebagai sepasang kekasih yang sempurna.Keduanya sudah terbiasa mendapatkan tatapan itu selama satu tahun hubungan mereka berlangsung. Berjalan bersama di tempat umum, saling berpegangan tangan tanpa niatan untuk melepaskan adalah momen romantis yang sering mereka tunjukkan di depan umum.Pandangan iri dari orang-orang itu terputus, tatkala sepasang kekasih itu masuk ke sebuah toko perhiasan. Langsung saja mereka disambut oleh seorang wanita cantik."Hai, Felisya.
Sudah sepuluh menit Resti berdiri di depan kamar Syila. Berkali-kali ia mengetuk pintu kamarnya. Namun, tak ada respons. Semenjak kepulangan Syila, Resti merasa ada yang tidak beres dengan Syila. Ia ingin bertanya pada Syila apa yang sudah terjadi padanya. Namun, pertanyaannya tak sempat ia ucapkan. Pasalnya, Syila langsung mengurung diri dan tak mau keluar.Lamat-lamat ia mendengar suara tangisan tertahan dari dalam. Resti menghentikan aksi mengetuk pintu. Ia sadar jika Syila butuh waktu untuk menyendiri dan sekarang bukan waktunya ia untuk bertanya. Mungkin nanti jika Syila sudah merasa tenang."Bagaimana?" tanya Julian.Semenjak ia mengikuti taksi yang membawa Syila pergi dari Cafe Orchid, rasa khawatir terus melanda Julian. Ia takut jika Syila kenapa-kenapa makanya ia terus mengikuti taksi itu. Julian sangat lega ternyata Syila pulang ke kos-kosannya dan sekarang ia menyusul Resti karena ia tak sabar menunggu di luar. Hanya untuk