Pagi kelabu. Jemarinya yang lentik bergerak mengusap kaca jendela yang terlihat buram karena embun. Terasa dingin dan lembap di kulit. Iris matanya tak lepas dari orang-orang di bawah sana yang tak cukup hanya memakai baju yang berlapis-lapis saja, jaket pun wajib dipakai untuk melindungi diri dari dinginnya yang menusuk. Bagaikan semut-semut kecil di mata Syila, tampak kecil dilihat dari ketinggian.
Mata Syila bergerak lucu memperhatikan bola-bola kapas terjun bebas dari langit kelabu untuk pertama kalinya. Sempat takjub dan berkali-kali bergumam menyatakan kekaguman. Kalau boleh, ia tak akan berpikir dua kali untuk pergi keluar, merasakan langsung butiran salju itu menempel pada kulit. Pasti sensasi dinginnya akan berbeda ketimbang menyentuh bunga es yang menempel pada kulkas.
Sayangnya, orang yang sedari tadi ia tunggu-tunggu, tak mengizinkannya keluar. Beralasan karena Syila baru pertama kali menginjakkan kaki di London, aka
“Hai, Mas Bro!” Fariz merebut gelas kelima dari tangan Raka. Dengan tenaga ekstra yang dimiliki seseorang yang benar-benar mabuk, ia merebut kembali gelas berisi cairan kuning keemasan itu dari Fariz dan menenggak isinya sampai habis.Fariz hanya bisa menggelengkan kepala. “Lo melanggar motto hidup lo. Drunk will not solve the problem. Tapi apa yang gue lihat sekarang!!” pekik Fariz lebay.Kesadarannya belum sepenuhnya hilang, masih bisa ia dengar gerutuan Fariz. Memang apa yang dikatakan Fariz benar adanya. Pantang baginya menyentuh minuman laknat itu, apalagi menenggaknya. Namun, sisi dari dirinya yang lain menyuruhnya untuk melarikan diri ke tempat itu. Berharap rasa sesak di dada bisa terangkat dan membuang penyesalannya yang semakin menggila.“Dunia memang udah jungkir balik,” ucap Fariz dramatis.Raka tak menanggapi kel
Obsesi dan cinta adalah dua hal yang berbeda. Cinta yang tulus adalah cinta yang benar-benar berasal dari hati, bukan ego semata atau nafsu ingin memiliki seperti halnya obsesi. ***Dunia seolah berubah di mata Raka. Hampa dan kosong, sekalipun ia dikelilingi orang-orang terdekat yang menyimpan beribu pertanyaan di kepala mereka mengenai perubahan Raka. Sosoknya tak tersentuh, dingin dan dalam sekejap dapat dengan mudah menyemburkan amarah atas kesalahan sekecil apa pun yang diperbuat karyawannya mengenai urusan kantor. Mungkin jika situasinya bukan seperti sekarang, Raka sanggup mengontrol sifat amarahnya. Namun, tidak dengan hilangnya Syila, pusat dunianya, separuh jiwanya dan alasan ia hidup.Sungguh ironi bukan, ketika kebenaran mulai terkuak, ia dihadapkan pada kondisi yang tak me
Mobil Raka berhenti di depan Restoran Gorgeous. Raka keluar dari mobil, setengah berlari memutar menuju sisi mobil di mana Felisya duduk. Lalu membuka pintu. Felisya menerima uluran tangan Raka dan tersenyum saat Raka membantu Felisya turun.Seorang pelayan berpakaian serba hitam dan putih menyambut kedatangan mereka, lantas mempersilakan mereka masuk dengan ramah. Felisya terperangah. Tangannya membekap mulut saking terkejutnya. Tempat itu benar-benar kosong. Kendati tak seorang tamu pun menempati meja, segerombolan pemain musik berdiri di samping meja yang disinari tiga lilin seraya memainkan lagu klasik penuh penghayatan.“Candle light dinner?” tanya Felisya takjub.Raka mengangguk lantas tersenyum. “Kejutan.”Digiringnya tubuh Felisya ke meja tersebut. Menarik salah satu kursi dan mempersilakan Felisya duduk.“Terima kasih,&
Di belahan bumi lain, kegundahan tercipta di antara kesunyian dan hawa dingin yang menusuk. Pergerakan detak jarum jam semakin menjadi-jadi ditambah, suara sandal bulu milik Syila terseret, memecah keheningan yang menyelubung. Mondar-mandir ke sana kemari tanpa ada tanda-tanda kelelahan.Bibir bawahnya ia gigit, bergantian dengan kuku ibu jari. Menatap keluar kaca jendela dengan cemas, sesekali melirik pintu apartemen, mengharapkan Alfa cepat kembali. Sejak Alfa meninggalkan pertengkaran kecil di antara mereka dua jam yang lalu, Syila dihantam kerisauan karena Alfa tak kunjung kembali. Rasa bersalah pun merayap memenuhi sisi hati Syila.“Kapan menjenguk Tante Risa?” Hanya itu yang ditanyakan Syila pada Alfa, mengingat sudah tiga hari berlalu dari janji awal Alfa yang mengatakan hanya dua hari di London. Namun, sampai sekarang Alfa belum menepati janji.Sudah barang tentu, Syila menagih janj
Dendam dan rasa sakit hanya akan membutakan mata dan akal sehat, sementara kenyataan yang sebenarnya terselubung rapat. Padahal hanya butuh sedikit kelapangan hati maka kebenaran itu akan tersingkap. ***Dari tempatnya berdiri, tatapannya menghunjam tepat di kedua manik mata Syila yang kini memancarkan ketakutan. Tanpa sadar ponsel yang masih menempel pada telinga, ia cengkeram kuat. Sayup-sayup suara Felisya di seberang yang sibuk berteriak memanggil Alfa bercampur isak, tak sanggup mengalihkan Syila dari keterkejutannya dari Alfa.Alfa berderap. Napas Syila tersekat, belum sempat ia menghindar, Alfa sudah berdiri di depannya. Merampas ponsel yang masih terhubung, lantas memeriksa. Kerutan-kerutan di dahinya muncul lalu ia mendongak, menatap Syila dengan dingin. Refleks Syila mundur,
“Sadarkah kamu dia tidak akan menginginkanmu lagi setelah kejadian itu. Masihkah ia menginginkan dirimu yang ternoda? Jangan bermimpi. Kamu hanya akan menghancurkan kebahagiaan orang yang sebelumnya menyayangimu jika kau tetap mengharapkannya.”Tangan Syila yang ia gunakan untuk menggedor pintu berubah menjadi kaku dan terjatuh lunglai di sisi tubuhnya. Ucapan Alfa berhasil menohok hatinya akan kenyataan yang sesungguhnya. Alfa benar. Lelaki yang ia cintai bahkan sangat membencinya. Meninggalkannya dengan luka yang sulit tersembuhkan. Ia pun telah menorehkan kekecewaan pada orang-orang terkasih. Tak mungkin baginya untuk membuat luka lagi dan menyakiti kakaknya. Dia berhak bahagia. Karena ia bukan siapa-siapa dan ia sendirian. Tubuhnya beringsut lalu jatuh menimpa dinginnya lantai. Ia menyandarkan tubuhnya yang lemah ke pintu. Terisak pelan dan memukul dada berkali-kali, berupaya melenyapkan rasa sakit serta sesak. Bahkan untuk men
Mungkin telah ribuan kali raga menampik perasaan cinta lantaran pekhianatan mematikan sebagian hati, tetapi cinta tak akan mudah lenyap jika rasa itu masih bersemayam walau hanya berupa titik kecil. ***Butiran salju melayang di udara. Menemani pejalan kaki di West End menjalani aktivitas mereka. Sekalipun dingin menjalar di seluruh tubuh, sedikit pun tak menyurutkan kegiatan mereka di siang hari itu. Namun, berbeda dengan seorang gadis bertopi rajut, mengenakan mantel bulu dan sepatu boot yang berdiri di salah satu coffee shop sedang memegangi gelas kertas berisi kopi. Ia tampak tak nyaman dengan suhu udara di bawah nol derajat. Karena memang ia tak terbiasa berada di negara yang memiliki empat musim tersebut.Uap putih keluar dari mulut be
“Can be faster again, please?!” geram Raka pada sopir taksi yang mengantarkan mereka langsung dari bandara ke tempat tujuan.“I'm sorry, but this is already the maximum speed.” “Shit!” umpat Raka.Julian memukul kepala Raka. Bosan dengan kegelisahan yang dialami Raka yang menurut Julian sangat berlebihan. Bahkan kalau boleh dengan senang hati ia akan menendang pantat Raka saat itu juga, karena tidak tahan dengan ketidaksabaran pria bodoh itu lantaran ingin cepat-cepat bertemu dengan Syila.“Lo—”“Apa?” potong Julian cepat sambil balas menatap mata Raka yang tajam.“Lo harus sabar. Syila akan baik-baik saja. Aku jamin.”“Tahu dari mana dia akan baik-baik saja?” Raka menghunuskan tatap