Sekuat apa pun dirimu mencoba menghapus kenangan masa lalu, tak akan mampu jika cinta yang melekat belumlah sepenuhnya memudar.
***
Banyak cowok di kelasnya ataupun berbeda jurusan yang diam-diam, bahkan terang-terangan menyukai Syila. Banyak cara yang mereka lakukan untuk menarik perhatian Syila. Namun, mereka harus gigit jari karena Syila selalu menutup diri.
Suatu hari, Resti pernah menjodohkannya dengan seorang cowok dari jurusan kedokteran yang terkenal karena kegantengannya. Ia beranggapan bahwa dengan hadirnya sosok pria di hidup Syila, sakit hati yang ditanggung Syila dapat terobati.
Nyatanya, Syila menolak secara baik-baik. Dia beralasan ingin fokus pada kuliah, tapi alasan yang lebih utama adalah dia belum siap untuk merajut cinta kembali. Ia ingin menyembuhkan luka hatinya dahulu, entah sampai kapan hal itu akan berlangsung.
Resti iba dan ia memutuskan untuk berhenti melakukan perjodohan untuk Syila dan tidak lagi mengungkit masalah tersebut.
Resti dan Syila saat ini sedang duduk di atas rumput taman kampus. Mereka sedang berdiskusi mengenai materi yang akan menjadi bahan kuis nanti siang. Mereka sangat serius sampai akhirnya konsentrasi mereka buyar saat tiga mahasiswi yang duduk tak jauh dari mereka saling berceloteh.
“Eh, tahu nggak bentar lagi senior kita yang paling tampan se-kampus bakalan tunangan.”
“Oh, iya? Raka dan Felisya?”
“Yaiyalah, siapa lagi kalau bukan mereka. Pasangan ter-hits tahun ini.”
“Gue nggak sabar nunggu. Pasti super duper mewah meriah.”
“Beruntungnya Felisya!”
Syila mencengkeram erat pena di tangannya. Mungkin jika Resti tak menggenggam tangan Syila, pena itu akan patah jadi dua bagian. Tubuhnya bergetar hebat. Harusnya, lukanya sudah sembuh, setelah seminggu ini mengalihkan perhatian pada tugas-tugas kuliah. Justru, salah besar. Lukanya kian menganga.
Sepasang kaki jenjang terlihat mata Syila saat pandangannya menunduk. Betapa terkejutnya tatkala angkat kepala, sosok yang barusan menjadi bahan gosip ketiga mahasiswi tadi, sekarang berdiri di hadapannya dengan mengukir senyum sinis.
“Bisa kita bicara, adikku sayang.” Dua kata terakhir ia ucapkan dengan penuh sindiran.
***
Sementara di apartemen milik Raka, Julian dengan penuh kesabaran menunggu Raka membuka pintu.
“Bisa kita bicara?” sergah Julian cepat sesaat Raka membuka pintu apartemen.
Raka dengan enggan mempersilakan Julian masuk. Ia menyuruhnya duduk di sofa. Sementara ia pergi ke dapur mengambil soft drink di kulkas dan menyerahkannya pada Julian. Minuman itu langsung diteguk Julian dalam sekali tenggak.
“Thanks.”
“Apartemen lo gak banyak berubah,” ujar Julian berbasa-basi.
“Langsung saja ada apa lo datang ke sini?” kata Raka dingin.
Julian tahu jika Raka mulai bersikap tak ingin berbasa-basi, maka dia sedang dalam keadaan marah. Namun, ia sama sekali tidak peduli ataupun merasa takut. Baginya sudah biasa menghadapi sikap Raka seperti itu. Malah ia menganggap sedikit mempermainkan Raka akan semakin menarik.
“Gue cuma mau bilang satu hal sama lo.” Julian mulai serius.
“Kalau ini menyangkut Syila, lebih baik lo pergi sekarang juga.”
“Wow ... easy boy,” tukas Julian seraya mengangkat tangan.
“Gue harap apa yang lo singgung waktu di restoran lo adalah hal terakhir yang gue denger.” Raka memperingati.
Julian tertawa sinis. “Gue nggak nyangka lo udah menutup mata hati lo dan mempercayai satu sudut pandang tanpa memberi kesempatan pada sudut pandang yang lain.”
“Apa maksud lo?!” Raka memberikan tatapan menusuk pada Julian.
“Gue cuma ngingetin keadaan lo sekarang.” Julian menjawab santai tanpa terpengaruhi intimidasi Raka.
Raka menunjuk wajah Julian. “Jangan pernah urusi hal yang bukan urusan lo, Ian. Walaupun lo sahabat gue sekalipun. Lo nggak punya hak untuk ikut campur masalah gue. Gue menghormati persahabatan kita atau ....”
“Atau persahabatan kita akan putus? ... ck,” potong Julian cepat seraya menggeleng dramatis.
Julian menyesap minumannya lalu menatap Raka tajam. “Dengar baik-baik! Gue cuma mau bilang, mata nggak bisa berbohong sebanyak apa pun kebohongan itu. Ingat itu baik-baik.”
“Oh iya, satu hal lagi. Gue nggak nyesel soal ucapan gue menyinggung Syila di pertemuan keluarga kalian. Karena gue yakin apa yang gue bilang itu benar,” lanjutnya sambil menyesap tetes terakhir sodanya. Lantas meletakkannya di meja.
“Gue permisi.” Julian bangkit, menghampiri pintu apartemen Raka.
Lantas ia pergi menyisakan Raka yang duduk mematung. Ia mengerang, mengusap wajah frustrasi. Rasa-rasanya ia mengalami dejavu ketika perkataan Julian menari-nari di kepala.
“Seribu kali pun kamu membohongiku aku tetap akan tahu. Karena mata tidak bisa berbohong.”
Raka melangkah lebar menuju kamarnya. Buru-buru ia menggeledah setiap tempat. Akhirnya barang yang ia cari ketemu. Tersimpan di dalam kotak yang diletakkan di dalam laci lemari. Sebuah saputangan berwarna biru laut dengan sulaman tangan di pinggir. Bertuliskan Raka A. Rahardian.
Raka menggenggam erat saputangan itu penuh emosi. Ingatannya berjalan ke masa lalu yang penuh akan kenangan bahagia sebelum bencana besar datang.
***
Raka berdiri di depan sebuah rumah mewah bergaya klasik dengan perasaan campur aduk. Antara gelisah, marah, kecewa, dan rindu melebur jadi satu. Menunggu adalah hal yang paling ia benci, sekaligus paling menegangkan.
Seorang gadis yang dua minggu ini membuat Raka rindu setengah mati karena tak bertemu, sekaligus orang yang ditunggu-tunggunya sedari tadi, akhirnya membukakan pintu. Betapa terkejutnya ia mendapati sosok Raka memberikan sorot tatapan mata tajam. Spontan Syila menunduk.
Segera Raka menarik pergelangan tangan gadis itu dan membawanya ke taman samping rumah. Raka melepasnya dan menatap tajam Syila yang masih menunduk. Raka mengembuskan napas frustrasi. Diangkatnya dagu sang gadis, memaksanya untuk balas menatap mata Raka.
“Kenapa kamu tidak membalas pesan dan teleponku? Kamu sengaja menghindariku?” tanya Raka gusar.
Gadis itu bergeming, membuat Raka kehabisan stok kesabaran.
“Jawab, Syila!”
“A ... aku tidak menghindari Kakak,” jawab Syila terbata-bata.
Raka menatap intens kedalaman mata Syila. Mencari kejujuran di sana. Lalu pandangannya tertuju pada leher Syila.
“Kamu tidak memakai liontinnya?''
Wajah Syila pucat pasi. Sebisa mungkin menghindari kontak mata. Tubuh Syila pun mendadak menegang. Tangannya saling bertautan bergerak gelisah. “Li ... liontinnya ... aku lupa memakainya mungkin aku taruh di nakas,” katanya ragu.
“Aku tahu kamu bohong, Syil. Jawab yang sejujurnya,” ucap Raka tak sabar.
“Maaf, Kak. Aku nggak sengaja menghilangkan liontin pemberian Kakak pas jam pelajaran olahraga. Aku udah cari liontin itu tapi nggak ketemu,” keluh Syila terdengar menyedihkan.
Raka menghela napas. Mengontrol luapan emosinya supaya tak melampaui batas. “Lalu kenapa kamu menghindariku dua minggu ini?” tanya Raka lembut.
“Bukan aku mau menghindari Kakak. Aku hanya takut Kakak marah dan dua minggu ini, aku membuatkan ini untuk Kakak.”
Syila menyodorkan kotak kecil dari saku celananya kepada Raka dengan ragu-ragu. Raka menerimanya dengan dahi mengernyit. Ia langsung membuka kotak itu. Sebuah saputangan biru laut dengan sulaman tangan di pinggirnya, bertuliskan Raka A. Rahardian. Raka menatap tak percaya pada Syila.
“Kamu membuatnya untukku?”
Syila mengangguk dan tersenyum lebar. Raka membawa tubuh Syila dalam dekapan, sesekali mencium puncak kepala Syila dengan sayang.
“Seribu kali pun kamu membohongiku, aku akan tetap tahu. Karena matamu tidak bisa berbohong.”
“Kok bisa?” tanya Syila penasaran.
“Karena mata adalah jendela hati. Di mana semua isi hati seseorang bisa terbaca lewat matanya. Apalagi mata kamu sangat mudah sekali dibaca. Jadi, jangan coba-coba membohongiku, mengerti?” tandas Raka seraya memegangi bahu Syila.
Syila mengangguk. Raka mengernyit saat ia menggenggam tangan Syila, terasa kasar. Dilihatnya tangan Syila penuh luka.
“Kenapa ini?!” pekik Raka tertahankan.
“Oh, ini. Luka akibat aku menyulam,” tukas Syila enteng.
Raka menatap cemas Syila. Ia mengelus jemari Syila perlahan, seolah jika ia tak melakukannya secara halus, Syila-nya akan merasakan kesakitan. Dan ia tak menginginkan itu terjadi pada Syila. Sekecil apa pun luka yang diperoleh Syila.
“Jangan melakukan hal yang berbahaya lagi. Aku tidak ingin kamu terluka, oke. Sekalipun kamu melakukannya untukku,” tegas Raka.
Syila mengangguk. “Maaf.”
“Syil, aku sayang sama kamu. Jangan buat aku khawatir lagi.”
***
Raka meremas rambut, frustrasi. Tatapan nanarnya jatuh pada saputangan yang ia genggam erat. Lalu ia berjalan keluar kamar menuju dapur dengan kegusaran menyerang. Sekali lagi ia pandangi saputangan itu penuh amarah. Sebelum detik berikutnya berpindah tempat, jatuh teronggok di dasar tempat sampah.
***
TV plasma 21 inch itu menayangkan acara komedi di channel lokal. Kendatipun volume suara lumayan keras, telinga Syila seolah kedap suara. Matanya mungkin menyorot penuh ke layar TV, tetapi tidak dengan pikirannya. Sebelumnya kekhawatiran diam-diam menyelusup. Menunggu dengan tak sabar kedatangan Raka. Harusnya ia bertanya lebih spesifik Raka kembali pada jam berapa. Kalau ia tahu kan ia tak secemas ini dan lagi jika ia bisa menghubungi Raka minimal lewat telepon, sayangnya ia tak tahu nomornya. "Sedang melamun?" Syila terlonjak dari duduknya, adrenalinnya meningkat drastis seirama dentuman jantungnya yang bekerja ekstra. "Kak Raka!" sahutnya cepat bercampur kesal. Raka tertawa kecil. Ia duduk di samping Syila dan memandangnya dengan hangat. Usapannya pada kepala Syila melenyapkan kerisauan Syila terhadapnya. "Kakak ke mana saja? Aku sendirian di sini. Menunggu Kak Raka yang tidak datang-datang membuatku gelisah." ketus Syila. "Merindukanku, heh?" Raka terkekeh. Reaksi salah tin
Syila terbangun dari tidurnya. Mengerjap beberapa kali selagi ia mengumpulkan nyawa. Dalam detik berikutnya matanya melotot, serampangan ia bangun dan terduduk dengan mata menelusuri tubuh yang mendengkur halus di sampingnya. Ia tak mempercayai apa yang ia lihat. Namun, tak ada keraguan untuk menyimpulkan bahwa ini nyata. Raka bukan mimpi belaka. Semburat merah muncul di pipinya mengingat ia memeluk Raka dalam tidur. Saking sibuknya Syila dengan pergolakan batinnya tentang sosok Raka yang terasa seperti bayangan semu, ia tak menyadari jika Raka telah bangun. Kini Raka memandangnya penuh minat. Untuk pertama kalinya ia bisa tidur sepulas ini dalam kurun waktu dua tahun dan hal pertama yang ia lihat saat membuka mata adalah disambut wajah cantik pujaan hatinya. Hatinya langsung dibanjiri perasaan kebahagiaan. Ingatkan ia untuk membuat sebuah janji seumur hidup, karena ia akan melakukan apa saja demi melihat Syila, hal pertama kali yang ia lihat ketika membuka mata dari tidurnya. "Pagi
Jalanku adalah menujumu. Bahagia dan kepedihanmu adalah bahagia dan kepedihanku. ***Pagi ini teramat buruk bagi Karin sepanjang ia berada di London atau bahkan mungkin dalam hidupnya. Di samping badannya yang dipaksa tidur semalaman di sofa panjang yang menimbulkan pegal dan sakit, insomnia dan hipotermia juga turut menyerangnya.Satu-satunya ranjang di kamar itu dikuasai sepenuhnya oleh dua sejoli yang sedang dimabuk romantika. Terkutuklah dengan yang namanya cinta. Rasanya ia ingin menghancurkan sesuatu sampai hancur sehancur-hancurnya. Itu salah satu perwujudan dari kegerahan hatinya yang bertentangan dengan suhu udara kota London yang minus di bawah nol derajat.Kau iri kan? Karin mengernyitkan dahi mendengar kata hatinya. Apa mungkin ia merasa iri melihat Syila dan Raka tidur saling berpelukan? Lantas cemburu karena kebalikan dengan kisah perjalanan cintanya yang berliku dan berakhir tragis? Tidak! Tidak! Mungkin itu efek dari insomnia."Berhenti berpikiran yang tidak-tidak Kar
"Tidak ada yang akan menyakitimu lagi. Aku janji ini terakhir kalinya kamu menderita." Kehangatan rengkuhan itu membungkus Syila dalam kedamaian. Menciptakan rasa aman. Melindunginya dari ketakutan. Namun, lambat laun rengkuhan itu terurai, jarak pun tercipta. Kepanikan tak ayal melingkupi Syila tatkala bayangan Raka menjauh. Senyuman itu terkembang untuk Syila hingga akhirnya tenggelam dalam kegelapan. "Tidak! Jangan pergi!" teriak Syila. Tangannya menggapai-gapai udara kosong. Tangisnya pecah, gagal menarik tangan itu yang tak tampak lagi. Kegelapan pun perlahan semakin menelannya. Syila tersentak. Terduduk dalam ranjangnya dalam keadaan napas tersengal. Peluhnya bercucuran membingkai wajahnya yang memancarkan ketakutan. Matanya nyalang menatap ke sekeliling. Cahaya temaram berasal dari lampu tidur di nakas samping ranjang yang menemaninya. Dia Sendirian. Ia mengusap peluhnya di dahi lantas terisak pelan. Tidak ada rengkuhan. Tidak pula dengan adanya sosok Raka. "Jadi, itu hanya
Saat tangan ini merengkuhmu, saat itu pula kepingan hati yang telah lama menghilang, kembali dalam genggaman. Melengkapi hati yang telah lama mati sejak aku melepasmu pergi. ***"Akhirnya aku menemukanmu." Rengkuhannya pada Syila kian mengerat. Tubuh Syila pun bergetar. Jantungnya tak beraturan bergemuruh. Mengalun di antara sunyi senyap. Setetes cairan hangat mengalir. Begitu pula suara tangisnya yang tertahan."Jangan menangis." Lembut suara itu, namun makin membuat Syila sulit mengontrol tangis.Pundak Syila diputar lembut. Syila tak sanggup mengangkat kepala, menolak jika ilusinya memang benar adanya. Karena benaknya terus saja meneriaki kata tak mungkin berulang kali.Namun, saat jemari itu menghapus jejak air matanya. Tangan itu pulalah yang perlahan mengangkat dagu Syila. Kedua matanya mencoba mengerjap, meniadakan kekaburan. Ia terhenyak tatkala senyuman itu tertarik untuknya. Keyakinannya akan sosok di depannya belumlah sepenuhnya terkumpul. Tangannya bergerak mengusap pipi
Telapak tangannya terjulur. Merasakan dinginnya sekaligus kelembutan salju yang berjatuhan di telapak tangan. Senyumnya mengembang, walau tak selebar dulu. Sweater yang ia kenakan tak membantu sama sekali untuk mengusir rasa dingin, padahal sejak kemarin ia tak merasakan dingin seekstrem ini. Mungkin kekacauan pikirannya dan bahaya yang menghadang mematikan saraf kulitnya.Keterpaksaan untuk menelan kepahitan hidup membuatnya nyaris menyerah. Kalaupun ia tetap bangkit, untuk siapa ia harus berjuang. Ia sendirian. Semua orang meninggalkannya. Kecuali, Resti. Bagaimana ia bisa melupakannya. Kesadarannya itu memunculkan kerinduan untuknya. Pasti sahabatnya itu sangat khawatir dan tentunya akan berusaha mencarinya.Syila mendesah. Tangannya menyentuh dinginnya birai pembatas balkon, lantas menatap langit abu-abu. Mendadak ia bersin. Tangannya mengusap hidungnya yang terasa gatal. Syila mendesah. Kenapa baru sekarang ia terserang flu.Dulu, flu sesuatu hal yang sangat tak disukai Syila dan