Share

2/1. Kepingan Masa Lalu

Sekuat apa pun dirimu mencoba  menghapus kenangan masa lalu, tak akan mampu jika cinta yang melekat belumlah sepenuhnya memudar.

***

Seminggu setelah kejadian itu, Syila berusaha mengubur segala rasa sakit hatinya dengan menyibukkan diri dengan aktivitas perkuliahan dan pekerjaannya sebagai pelayan di Restoran Gorgeous. Di samping itu, Resti juga selalu berada di dekat Syila. Ia harus memastikan kalau sahabatnya itu tak lagi sedih. Seperti membicarakan hal-hal umum lainnya atau mencoba menjadi mak comblang bagi Syila.

Banyak cowok di kelasnya ataupun berbeda jurusan yang diam-diam, bahkan terang-terangan menyukai Syila. Banyak cara yang mereka lakukan untuk menarik perhatian Syila. Namun, mereka harus gigit jari karena Syila selalu menutup diri.

Suatu hari, Resti pernah menjodohkannya dengan seorang cowok dari jurusan kedokteran yang terkenal karena kegantengannya. Ia beranggapan bahwa dengan hadirnya sosok pria di hidup Syila, sakit hati yang ditanggung Syila dapat terobati.

Nyatanya, Syila menolak secara baik-baik. Dia beralasan ingin fokus pada kuliah, tapi alasan yang lebih utama adalah dia belum siap untuk merajut cinta kembali. Ia ingin menyembuhkan luka hatinya dahulu, entah sampai  kapan hal itu akan berlangsung.

Resti iba dan ia memutuskan untuk berhenti melakukan perjodohan untuk Syila dan tidak lagi mengungkit masalah tersebut.

Resti dan Syila saat ini sedang duduk di atas rumput taman kampus. Mereka sedang berdiskusi mengenai materi yang akan menjadi bahan kuis nanti siang. Mereka sangat serius sampai akhirnya konsentrasi mereka buyar saat tiga mahasiswi yang duduk tak jauh dari mereka saling berceloteh.

“Eh, tahu nggak bentar lagi senior kita yang paling tampan se-kampus bakalan tunangan.”

“Oh, iya? Raka dan Felisya?”

“Yaiyalah, siapa lagi kalau bukan mereka. Pasangan ter-hits tahun ini.”

“Gue nggak sabar nunggu. Pasti super duper mewah meriah.”

“Beruntungnya Felisya!”

Syila mencengkeram erat pena di tangannya. Mungkin jika Resti tak menggenggam tangan Syila, pena itu akan patah jadi dua bagian. Tubuhnya bergetar hebat. Harusnya, lukanya sudah sembuh, setelah seminggu ini mengalihkan perhatian pada tugas-tugas kuliah. Justru, salah besar. Lukanya kian menganga. 

Sepasang kaki jenjang terlihat mata Syila saat pandangannya menunduk. Betapa terkejutnya tatkala angkat kepala, sosok yang barusan menjadi bahan gosip ketiga mahasiswi tadi, sekarang berdiri di hadapannya dengan mengukir senyum sinis.

“Bisa kita bicara, adikku sayang.” Dua kata terakhir ia ucapkan dengan penuh sindiran.

***

Sementara di apartemen milik Raka, Julian dengan penuh kesabaran menunggu Raka membuka pintu.

“Bisa kita bicara?” sergah Julian cepat sesaat Raka membuka pintu apartemen.

Raka dengan enggan mempersilakan Julian masuk. Ia menyuruhnya duduk di sofa. Sementara ia pergi ke dapur mengambil soft drink di kulkas dan menyerahkannya pada Julian. Minuman itu langsung diteguk Julian dalam sekali tenggak.

Thanks.”

“Apartemen lo gak banyak berubah,” ujar Julian berbasa-basi.

“Langsung saja ada apa lo datang ke sini?” kata Raka dingin.

Julian tahu jika Raka mulai bersikap tak ingin berbasa-basi, maka dia sedang dalam keadaan marah. Namun, ia sama sekali tidak peduli ataupun merasa takut. Baginya sudah biasa menghadapi sikap Raka seperti itu. Malah ia menganggap sedikit mempermainkan Raka akan semakin menarik.

“Gue cuma mau bilang satu hal sama lo.” Julian mulai serius.

“Kalau ini menyangkut Syila, lebih baik lo pergi sekarang  juga.”

“Wow ... easy boy,” tukas Julian seraya mengangkat tangan.

“Gue harap apa yang lo singgung waktu di restoran lo adalah hal terakhir yang gue denger.” Raka memperingati.

Julian tertawa sinis. “Gue nggak nyangka lo udah menutup mata hati lo dan mempercayai satu sudut pandang tanpa memberi kesempatan pada sudut pandang yang lain.”

“Apa maksud lo?!” Raka memberikan tatapan menusuk pada Julian.

“Gue cuma ngingetin keadaan lo sekarang.” Julian menjawab santai tanpa terpengaruhi intimidasi Raka.

Raka menunjuk wajah Julian. “Jangan pernah urusi hal yang bukan urusan lo, Ian. Walaupun lo sahabat gue sekalipun. Lo nggak punya hak untuk ikut campur masalah gue. Gue menghormati persahabatan kita atau ....”

“Atau persahabatan kita akan putus? ... ck,” potong Julian cepat seraya menggeleng dramatis.

Julian menyesap minumannya lalu menatap Raka tajam. “Dengar baik-baik! Gue cuma mau bilang, mata nggak bisa berbohong sebanyak apa pun kebohongan itu. Ingat itu baik-baik.”

“Oh iya, satu hal lagi. Gue nggak nyesel soal ucapan gue menyinggung Syila di pertemuan keluarga kalian. Karena gue yakin apa yang gue bilang itu benar,”  lanjutnya sambil menyesap tetes terakhir sodanya. Lantas meletakkannya di meja.

“Gue permisi.” Julian bangkit, menghampiri pintu apartemen Raka.

Lantas ia pergi menyisakan Raka yang duduk mematung. Ia mengerang, mengusap wajah frustrasi. Rasa-rasanya ia mengalami dejavu ketika perkataan Julian menari-nari di kepala.

“Seribu kali pun kamu membohongiku aku tetap akan tahu. Karena mata tidak bisa berbohong.”

Raka melangkah lebar menuju  kamarnya. Buru-buru ia menggeledah setiap tempat. Akhirnya barang yang ia cari ketemu. Tersimpan di dalam kotak yang diletakkan di dalam laci lemari. Sebuah saputangan berwarna biru laut dengan sulaman tangan di pinggir. Bertuliskan Raka A. Rahardian.

Raka menggenggam erat saputangan itu penuh emosi. Ingatannya berjalan ke masa lalu yang penuh akan kenangan bahagia sebelum bencana besar datang.

***

Raka berdiri di depan sebuah rumah mewah bergaya klasik dengan perasaan campur aduk. Antara gelisah, marah, kecewa, dan rindu melebur jadi satu. Menunggu adalah hal yang paling ia benci, sekaligus paling menegangkan.

Seorang gadis yang dua minggu ini membuat Raka rindu setengah mati karena tak bertemu, sekaligus orang yang ditunggu-tunggunya sedari tadi, akhirnya membukakan pintu. Betapa terkejutnya ia mendapati sosok Raka memberikan sorot tatapan mata tajam. Spontan Syila menunduk.

Segera Raka menarik pergelangan tangan gadis itu dan membawanya ke taman samping rumah. Raka melepasnya dan menatap tajam Syila yang masih menunduk. Raka mengembuskan napas frustrasi. Diangkatnya dagu sang gadis, memaksanya untuk balas menatap mata Raka.

“Kenapa kamu tidak membalas pesan dan teleponku? Kamu sengaja menghindariku?” tanya Raka gusar.

Gadis itu bergeming, membuat Raka kehabisan stok kesabaran.

“Jawab, Syila!”

“A ... aku tidak menghindari Kakak,” jawab Syila terbata-bata.

Raka menatap intens kedalaman mata Syila. Mencari kejujuran di sana. Lalu pandangannya tertuju pada leher Syila.

“Kamu tidak memakai liontinnya?''

Wajah Syila pucat pasi. Sebisa mungkin menghindari kontak mata. Tubuh Syila pun mendadak menegang. Tangannya saling bertautan bergerak gelisah. “Li ... liontinnya ... aku lupa memakainya mungkin aku taruh di nakas,” katanya ragu.

“Aku tahu kamu bohong, Syil. Jawab yang sejujurnya,” ucap Raka tak sabar.

“Maaf, Kak. Aku nggak sengaja menghilangkan liontin pemberian Kakak pas jam pelajaran olahraga. Aku udah cari liontin itu tapi nggak ketemu,” keluh Syila terdengar menyedihkan.

Raka menghela napas. Mengontrol luapan emosinya supaya tak melampaui batas. “Lalu kenapa kamu menghindariku dua minggu ini?” tanya Raka lembut.

“Bukan aku mau menghindari Kakak. Aku hanya takut Kakak marah dan dua minggu ini, aku membuatkan ini untuk Kakak.”

Syila menyodorkan kotak kecil dari saku celananya kepada Raka dengan ragu-ragu. Raka menerimanya dengan dahi mengernyit. Ia langsung membuka kotak itu. Sebuah saputangan biru laut dengan sulaman tangan di pinggirnya, bertuliskan Raka A. Rahardian. Raka menatap tak percaya pada Syila.

“Kamu membuatnya untukku?”

Syila mengangguk dan tersenyum lebar. Raka membawa tubuh Syila dalam dekapan, sesekali mencium puncak kepala Syila dengan sayang.

“Seribu kali pun kamu membohongiku, aku akan tetap tahu. Karena matamu tidak bisa berbohong.”

“Kok bisa?” tanya Syila penasaran.

“Karena mata adalah jendela hati. Di mana semua isi hati seseorang bisa terbaca lewat matanya. Apalagi mata kamu sangat mudah sekali dibaca. Jadi, jangan coba-coba membohongiku, mengerti?” tandas Raka seraya memegangi bahu Syila.

Syila mengangguk. Raka mengernyit saat ia menggenggam tangan Syila, terasa kasar. Dilihatnya tangan Syila penuh luka.

“Kenapa ini?!” pekik Raka tertahankan.

“Oh, ini. Luka akibat aku menyulam,” tukas Syila enteng.

Raka menatap cemas Syila. Ia mengelus jemari Syila perlahan, seolah jika ia tak melakukannya secara halus, Syila-nya akan merasakan kesakitan. Dan ia tak menginginkan itu terjadi pada Syila. Sekecil apa pun luka yang diperoleh Syila.

“Jangan melakukan hal yang berbahaya lagi. Aku tidak ingin kamu terluka, oke. Sekalipun kamu melakukannya untukku,” tegas Raka.

Syila mengangguk. “Maaf.”

“Syil, aku sayang sama kamu. Jangan buat aku khawatir lagi.” 

***

Raka meremas rambut, frustrasi. Tatapan nanarnya jatuh pada saputangan yang ia genggam erat. Lalu ia berjalan keluar kamar menuju dapur dengan kegusaran menyerang. Sekali lagi ia pandangi saputangan itu penuh amarah. Sebelum detik berikutnya berpindah tempat,  jatuh teronggok di dasar tempat sampah.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status