Share

Ellipsis
Ellipsis
Penulis: Fahrizon Ilmar Al-Farisy

Psalm I

Jakarta, Februari 2022

Hari itu, di pagi yang sibuk di jalanan ibukota, Zenith menatap kosong hujan badai yang semakin memperparah kemacetan Jakarta. Sepasang mata cokelatnya mengamati lekat-lekat setiap rintik hujan yang turun menerpa.

Air laut menguap, membeku dan bergumul di dalam gulungan awan cumulonimbus, lalu jatuh menjadi butiran-butiran air yang sekarang sebagian di antaranya mengembun di kaca jendela. Perlahan Zenith menggerakkan jari telunjuknya, menempelkannya di kaca dan membiarkan jemari lentiknya menari-nari di atasnya. Seberkas gambar telah terlukis, sebuah manifestasi dari mimpinya yang sederhana.

Sementara di sebelah kanan Zenith, di balik kemudi, Albern memperhatikan setiap gerak tubuh tunangannya. Sepasang mata abu-abunya sesekali menatap Zenith penuh tanda tanya.

"Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiran kamu?"

Sejak keluar dari bandara tidak sepatah pun kata terucap dari bibir mereka. Pertengkaran mereka di telepon beberapa hari yang lalu tampaknya masih menyisakan sedikit ketegangan.

"Tidak ada," jawab Zenith tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan.

"Oh... sepertinya perjalanan kamu kali ini tidak semenyenangkan sebelumnya."

Zenith memicingkan matanya, tidak terima. "Apa menurutmu aku baru saja pulang berlibur?"

"Semestinya... iya. Karena aku juga pernah datang ke sana. Tayan Hilir adalah kota kecil yang indah dan penuh pesona. Tempat di mana kedamaian dan ketentraman bersemayam dalam pelukan Sanggau."

"Semestinya? Apa menurutmu aku bisa berlibur sementara di sana ada sepasang anak kembar yang telah disiksa dan dilecehkan ayah tirinya sedang membutuhkan bantuanku?"

Albern terdiam.

Hening.

"Apa kamu pikir aku dan Nayla tidak membutuhkan kamu?"

"Apa maksudmu?"

"Kamu selalu sibuk dengan pekerjaan kamu. Kamu seperti tidak memiliki waktu untuk kami. Kamu-"

"Cukup, Al!" potong Zenith. "Aku sedang tidak ingin berdebat."

Albern tercenung. Kedua tangannya menggengam erat setang kemudi. Sepasang matanya menatap situasi jalanan di depannya, tapi pikirannya melanglang buana entah ke mana. Dengan suara tertahan ia berkata, "Apa karena kesibukan kamu ini Jonas menceraikan kamu?"

"Apa?! Apa maksudmu melontarkan pertanyaan semacam itu? Kamu boleh menilai sikapku, tapi kamu tidak berhak menghakimi hidupku!" tukasnya emosional. Sepasang matanya yang berkaca-kaca menatap Albern dengan seksama, "Berhenti. Turunkan aku di sini!"

Tak ada jawaban.

"Aku bilang berhenti!"

Tanpa aba-aba lanjutan Albern segera mengerem laju mobilnya. Mobil itu lalu menepi dan berhenti. Ia tidak ingin melihat Zenith lebih marah kepadanya. Dan ketika pintu mobil terbuka, hujan terasa jauh lebih dingin dari biasanya.

***

Usia si kecil Nayla menginjak tujuh tahun. Ia berkulit putih pucat, nyaris transparan dengan garis-garis pembuluh darah berwarna gelap.

Di dalam kamar tidurnya yang berwarna-warni dan berlatar mural Hello Kitty, Nayla bermain boneka Barbie sambil bercengkerama dengan Hani, seorang gadis jawa berusia 20-an tahun yang telah menjadi pengasuhnya selama setahun terakhir.

"Mbak, apa Nay boleh tanya sesuatu?"

Hani tersenyum tipis. "Ya boleh dong, Non. Masa tanya kok ndak boleh. Memangnya Non Nayla mau tanya apa?"

"Hmmmm.... apa Mbak Hani sudah punya anak?"

Hani terkekeh. "Ya belumlah, Non. Wong mbak belum nikah. Memangnya kenapa, Non? Kok tiba-tiba nanyain hal itu?"

Nayla diam. Kemudian ia menyentuh punggung tangan Hani. "Hm... gak papa kok, Mbak. Oya, kalau nanti Mbak Hani sudah menikah terus punya anak, apa Mbak akan tetap bekerja di sini?"

"Ya ndaklah, Non," tegas Hani, "Mbak akan berhenti bekerja. Jadi, Mbak bisa lebih fokus mengurus suami dan anak Mbak nanti."

"Oh..." Riak muka Nayla berubah, seperti ada mendung yang bergelayut di wajahnya. Ia mengerling dan menundukkan kepalanya, "Seandainya Nay jadi anak Mbak Hani, pasti Nay gak akan pernah merasa kesepian kayak gini."

Hani terperangah begitu mendengar celotehan Nayla. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa bersalah. Sangat bersalah. Sehingga lekas dipeluknya tubuh mungil itu dengan sepasang mata yang sudah basah.

***

Di salah satu ruangan di kantor KPAN (Komisi Perlindungan Anak Nasional), Adnan menatap kosong tumpukan laporan yang teronggok di meja kerjanya. Dari ribuan kasus yang diterima lembaganya sampai kuartal kedua tahun ini, baru empat puluh persen yang bisa mereka tangani. Dan kurang dari dua puluh persen di antaranya yang sudah terselesaikan dengan baik. Minimnya kuantitas SDM, kurangnya partisipasi masyarakat dan lambannya proses penegakan hukum membuat banyak kasus masih terkatung-katung menunggu kejelasan dan penyelesaian.

Di atas selembar kertas HVS, Adnan memainkan beberapa helai ubannya yang berjatuhan, memikirkan masalah pekerjaan, juga kesendiriannya. Ia sudah cukup matang, sangat matang malah, tapi belum juga memiliki pasangan. Dan semua itu terjadi karena seseorang, seseorang yang tiba-tiba muncul dalam pikirannya.

Adnan menekan tombol interkomnya. Butuh waktu beberapa saat hingga panggilan itu mendapat respon dari ujung saluran.

"Halo, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Deasy, sekretarisnya.

"Apa Zenith sudah tiba?"

Deasy melihat jam di dinding. "Seharusnya sudah."

"Seharusnya?" tanya Adnan intonatif. "Apa tidak ada di antara kalian yang menjemputnya di bandara?"

"Tidak, Pak," jawab Deasy. "Tadi pagi Pak Paimin sudah mau berangkat ke bandara, tapi kata Bu Zenith sudah ada orang lain yang menjemputnya."

'Albern', pikir Adnan. "Suruh Zenith ke ruanganku begitu dia tiba."

"Baik, Pak. Ada yang lain?"

"Hanya itu," tukas Adnan sambil menutup sambungan interkom.

Adnan menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Dipijatnya pangkal hidungnya pelan-pelan.

Adnan teringat pertemuan pertamanya dengan Zenith dua belas tahun silam. Ketika itu mereka bertemu secara kebetulan dalam sebuah forum yang menjadi cikal bakal berdirinya lembaga yang ia pimpin sekarang. Dan sejak saat itu, tidak pernah sedikit pun ia berhasil mengalihkan bayang-bayang wanita itu dari benaknya. Bahkan setelah Zenith menikah dan bercerai beberapa tahun sesudahnya. Baginya, Zenith adalah misteri yang belum terpecahkan, sebuah kotak pandora yang belum ia temukan kunci untuk membukanya.

Entah mau sampai kapan Adnan menunggu. Zenith adalah alasan kenapa ia masih melajang meski usianya sudah lewat kepala empat. Ia terlalu takut untuk mengungkapkan perasaannya. Ia takut hal itu akan membuat Zenith pergi menjauh. Bukan hanya dari dirnya, tapi juga lembaga yang dipimpinnya. Sebab ia sadar, bukan hanya ia yang membutuhkan Zenith, tapi juga mereka... anak-anak korban perundungan dan pelecehan di seluruh penjuru negeri.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Boster Indo
langsung jatuh cinta sama sosok Zenith ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status