Share

Anak Baik

Nisa adalah anak yang baik, walaupun dia jarang sekali membantu Mamanya mengerjakan pekerjaan rumah. tapi ada satu hal yang perlu kalian ketahui, bahwa sejak SMP, Nisa tidak pernah memberikan baju kotor kepada Mamanya. Selama ini, dia selalu mencuci pakaian yang kotor dengan tanganya sendiri, walaupun masih dengan bantuan mesin cuci.

Saat ini, suasana hati Nisa sedang tidak menentu. Iya, cinta adalah salah satu dari sekian perasaan yang telah menemukan ruang baru di hati Nisa. Ini memang sangat menyenangkan, setelah sekian lama Nisa tidak mengenal apa itu yang dinamakan dengan cinta kecuali dari kedua orang tuanya. Akankah berjalan seperti yang dipikirkan oleh Nisa kisah ini? Atau yang terjadi akan sebaliknya?

****

Pagi hari, setelah bangun dari tidur yang menyenangkan.

Aku sudah siap untuk berangkat sekolah. Tapi sayang, aku harus melewati ritual keluarga yang sangat khas, sarapan pagi. Aku sudah bersama dengan Papa dan Mama di meja makan, menghabiskan sarapan pagi bersama-sama.

Oh iya, aku lupa. Jika ada dari kalian yang bertanya kepadaku mimpi apa aku semalam, maka aku akan menceritakannya sekarang. Tadi malam, tidak banyak mimpi yang aku lakukan, hanya singkat. Saat aku berada di depan gerbang sekolah, tiba-tiba ada segerombolan orang yang menyerangku, entah apa yang mereka inginkan. Kelompok itu melempariku batu-batu kecil dalam jumlah banyak. aku hanya terkene salah satu batu kecil tersebut, dan aku terbangun. Saat itulah ternyata Mama mengetuk pintu dari luar dengan salah satu peralatan masak. Lucu bukan mimpi yang aku alami?

Selesai sarapan, akhirnya aku berangkat sekolah bersama dengan Papa, seperti biasa. Jalanan yang macet masih menjadi sajian utama dipagi hari. Mungkin agak berbeda jika gubernur Ibu Kota diganti dengan orang yang lebih cerdas, sehingga akan melarang kendaraan melintas dipagi hari. Maka, sukses sudah misi itu dari pada menggembor-gemborkan akan memberantas korupsi tapi dia sendiri malah menjadi tuannya.

Hari ini masih dengan matahari yang sama, langit yang sama, serta dengan perasaan yang sama, entah apa aku menyebut rasa itu. Tapi aku sudah bersepakat dengan Tuhan, bahwa kami akan menyebut rasa itu dengan sebutan ‘cinta’.

Setengah jam berada di dalam mobil, berpacu dengan jalanan ramai Ibu Kota, akhirnya kami sampai juga di depan gerbang sekolah. Disana sudah ramai oleh kendaraan yang akan masuk, para pelajar yang mencangklung tas, serta kendaraan yang menurunkan penumpang.

Aku turun dari atas mobil, menatap kaca depan mobil sejenak, lalu baru melangkah.

“Hati-hati, Nisa!” Kalimat yang seperti aku dengar setiap hari setelah turun dari mobil.

Udara pagi masih pekat menyelimuti, tapi suasana telah cerah dengan sinaran matahari. Anak-anak lelaki terlihat bermain bola basket, latihan passing, dan ada yang hanya melihat dari pinggiran lapangan. Aku tidak kenal mereka keseluruhan. Ada yang aku kenal, dan aku atau mereka sesekali bergantian menyapa.

Aku tidak ikut bergabung dengan teman-temanku yang berada di sekitar lapangan. Langsung menuju kelas, kira-kira lima menit aku telah sampai. Di dalam kelas belum banyak anak yang masuk, termasuk juga Zila. Tidak seperti biasanya dia belum berada di dalam kelas ketika aku masuk. Mungkin dia bangun kesiangan hari ini, dan mungkin juga terjebak macet.

Masih sepi, karena saat ini belum terdengar lonceng berbunyi. Aku melangkah menuju tempat duduk seperti biasa. Ini memang hari yang sama dengan hari-hari yang lalu. Entahlah, aku mengeluarkan novel kesayanganku selama ini dari dalam tas, novel karangan Azka Taslimi, masing tentang cinta yang gila.

Akhirnya Zila datang juga setelah aku menantinya. Sebenarnya aku dak menantinya. Tapi karena biasanya dia berada di sampingku, maka akan terasa ganjil jika dia tidak berada sekarang. Dia berjalan cepat-cepat menuju bangku dimana aku sekarang berada. Banar apa yang aku duga, dia bangun kesiangan kali ini.

“Nisa, kamu sudah sampai?” Dia bertanya setelah duduk di sampingku.

“Dari sebelum Belanda datang aku sudah sampai duluan”, jawabku dengan tidak melihatnya, masih melihat buku yang aku pegang.

“Hari ini memang hari yang buruk. Masak aku harus bangun kesiangan, dan sialnya lagi jalanana macet bukan main”, dia berceloteh sendiri. Tidak sendiri, sebenarnya kalimat untuk ingin dia ungkapkan kepadaku. Dalam hati aku langsung menyahut “Inikan memang sudah kebiasaan lama masyarakat Ibu Kota”.

Lonceng tanda masuk sudah berbunyi, pelajaran pertama dimulai. Matematika.

Pak Roto sudah masuk, dan memulai pelajaran. Rumus-rumus yang membuat jenuh semua murid SMA mulai terpampang di papan tulis. Aku paham pelajaran ini, tapi aku tidak tertarik untuk memperdalamnya. Melihat, menulis, semua tulisan yang ada di papan tulis.

Akhirnya pelajaran pertama dan kedua selesai juga. Lonceng tanda istirahat sudah berbunyi kesekian kalinya sepanjang tahun ini.

Aku melangkah menuju kantin, seperti biasa. Tanpa banyak tanya, Zila mengikutiku dari belakang, lalu menyejajari langkahku setelah sampai di luar kelas. Suasana ramai oleh para pelajar yang ingin melakukan kebebasan ketika istirahat.

Sampai kanti, seperti biasa, memesan dua porsi makanan. Satu soto tidak pakai spesial, dan juga batagor. Ini kesekian kalinya aku berada di kantin ini, dan makan bersama dengan Zila. Jarang sekali kami makan selain di kantin ini, kantinya Bang Ali.

“Apa kabar kamu, Nis … “, Zila memecah keheningan bangku makan kami yang dari tadi tidak ada pembicaraan. Aku lebih banyak hanya melamun.

“Eh, apa maksudmu, Zil … Aku baik-baik saja. Mungkin kamu tuh yang perlu ke dokter”, aku membalas dengan nada jengkel.

“Bukan itu yang aku masuk. Tadi malam aku mendapatkan laporan bahwa kamu kebanyakan melamun sejak dua hari yang lalu. Apakah benar seperti itu?” Aku tidak langsung menjawab, masih bingung dengan pertanyaan Zila. Lalu, tidak lama kemudian baru aku menjawab.

“Laporan? Enak saja aku kebanyakan melamun. Kamu mungkin yang terlalu banyak melamu. Aku? Tidak, aku biasa-biasa saja”. Aku menjawab dengan nada paling jengkel yang ada di dunia, khususnya daerah Asia Tenggara.

Percakapan kami berhenti, pesanan kami telah datang. Dan, sudah waktunya bergantian mengomentari masakan Bang Ali hari ini.

Hari ini kantin tidak seperti hari-hari biasa. Maksudku hari ini terlalu ramai untuk ukuran kantin yang Bang Ali jaga. Meskipun hari-hari yang lalu juga ramai, tapi hari ini ramainya tidak seperti biasa. Ada sebuah badut yang ikut makan disini, atau setidaknya badut itu beraksi, bergaya makan disalah satu meja kantin.

Jaman memang sudah modern. Badut itu terlihat memgang sebuah kamera dengan merk yang sudah terkenal. Entah penghasilan badut itu tambah berapa jika dia membawa kamera tersebut. Sesekali dia bergaya memotret siswa yang sedang lewat. Aku tidak terlalu memerhatikanya, aku terlalu asyik makan makanan yang aku pesan. Biarkan badut itu menjalani pekerjaanya sendiri.

Makanan kami sudah habis disantap. Badut itu juga sudah dari tadi pergi. Sejenak sebelum pergi, badut itu mengunjungi tempat aku dan Zila berada. Sepertinya mengajak salaman. Tanpa ragu Zila mengulurkan tangan terlebih dahulu kepadanya. Aku juga mengikuti langkah tangan Zila, besalaman. Dan, akhirnya kami kembali ke dalam kelas, melanjutkan pelajaran terahir hari ini sebelum pulang.

****

Pulang sekolah, seperti hari-hari yang sudah lalu. Melihat Mama bekerja sendirian di dapur, dan juga menunggu Papa yang belum pulang dari kerja.

Di depan televisi, aku menghabiskan makan siang sendirian. Aku juga tidak begitu memerhatikan layar televisi, hanya sesekali melihat dan kembali mengabaikan.

Mulai saat ini aku harus mulai rajin belajar, karene beberapa hari lagi aku akan menjalani ujian akhir semester. Bonusnya, aku akan pulang kampung, atau aku akan berlibur ke sebuah desa asal mula keluargaku. Sebenarnya aku sering kesana, tapi tidak untuk akhir-akhir ini. aku ingat, terakhir kali aku berkunjung kesana ketika aku masih kelas 1 SMP. Sudah lama sekali. Aku sudah merindukan tempat itu lagi sekarang ini. Entah bagaimana dengan orang tuaku. Mereka rindu atau tidak dengan orang tuanya. Aku juga menyangka mereka rindu pulang kampung.

Selesai makan, acara selanjutnya seperti biasa, tiduran di dalam kamar. Kali ini aku tidak membaca buku, tapi aku membuka hpku terlebih dahulu. Bukan untuk bermain game, tapi aku langsung membuka media sosial. Kalian pasti sudah tahu bukan, apa yang akan aku lakukan?

Aku membuka kembali pesan yang masuk, karena ada beberapa pesan yang masuk. Salah satunya dari Zila, bosan aku melihatnya. Entahlah, aku tidak bisa mengerti dengan baik arti sesungguhnya dari persahabatan.

Aku membaca percakapanku tadi malam dengan Faisal, yang hanya mengucapkan selamat malam. Aku juga membalasnya tadi malam dengan selamat malam kembali. Namun sampai sekarang, akun dia belum aktif juga. Itu artinya, dia juga belum membalas kembali percakapan denganku.

Aku mulai berpikir kemana-mana, menggabungkan dengan artikel-artikel yang aku baca, serta menambahnya dengan gula agar bertambah manis lagi. Salah satunya peristiwa hari ini. Faisal belum aktif akunya sampai saat ini, itu artinya ada Sesutu yang sedang dia kerjakan selain membuka hp. Aku juga menggabungkan dengan kemungkinan-kemungkinan yang lain. Mungkin dia minder dengan jawaban yang aku berikan tadi malam. Atau mudahnya dia tidak siap membaca jawaban yang aku berikan.

Aku tertawa sendirian di dalam kamar membayangkan kemungkinan-kemungkinan tadi. Lalu aku mulai menutup hp, dan membaringkan tubuh. Tidur.

Aku saat ini sudah tertidur pulas di dalam kamar. Apakah kalian mendengar suara dengkuran napasku saat ini? Maka jika mendengar, telinga kalian akan peka.

****

“Apakah kamu sudah tahu, Nisa?” Papa bertanya kepadaku yang masih melihat layar televisi. Papa sudah pulang kira-kira satu jam yang lalu, makan bersama, lalu berada di depan televisi saat ini dengan Mama.

Aku melihat papa dengan ekspresi bingung. “Emangnya ada apa, Pa?” Aku balas bertanya kepada Papa. Malam ini hanya ditemani dua cangkir kopi, dan satu gelas teh hangat.

“Satu atau dua hari yang lalu ada bencana alam, kota Pacitan”, Papa mulai menjelaskan kepadaku dengan sesekali melihat Mama yang juga terlihat mendengarkan. “Kota itu terkena banjir bandang, dan juga lumpur tebal. Kasihan sekali mereka yang ada di sana. Papa mempunyai rencana untuk membantu mereka”.

Aku tahu itu. Beberapa hari yang lalu aku melihat berita itu dari televisi. Memang kasihan juga orang yang terkena. Tapi, setelah melihat tayangan tersebut hatiku tidak tersentuh sama sekali, atau mungkin aku kurang peka. Lalu, bagaimana jika rakyat Indonesia semua seperti aku yang kurang peka ini? Untung ada Papa yang peka sekali dengan masalah yang dihadapi orang lain.

Malam ini, kami sekeluarga bersepekat untuk mengirimkan bantuang yang berupa uang. Namun tidak semudah yang dibayangkan. Tidak ada jalur yang bisa member kami jalan, dan kami harus berpikir lagi.

“Bagaimana kalau kita menyalurkan bantuan lewat rekening televisi yang aku tahu itu, Pa?” Aku memberikan usul, tentu rekening yang aku lihat dari salah satu televisi dua hari yang lalu.

“Tidak, Nisa. Terlalu besar potongan yang mereka inginkan. Sebagian dari mereka membuka rekening itu hanya sebagai bisinis belaka. Papa tidak setuju dengan usulanmu kali ini, Nisa”. Papa menjelaskan kepadaku dengan tatapam yang menyejukkan.

Aku baru tahu, ternyata ada saja yang harus dipotong dari sebuah bantuan. Kenapa harus dipotong? Alasan mereka yang sangat pasti yaitu sebagai biaya administrasi. Padahal apakah demikian juga alasanya?

Akhirnya, malam itu diakhiri dengan keputusan Papa yang mempunyai keluarga di kota Pacitan. Papa tahu berita banjir ini karena Papa mendengarkanya dari teman, teman yang berasal dari sana, merantau ke Ibu Kota.

Aku salut dengan kepribadian Papa yang selalu ingin membantu orang lain. Suatu saat, aku ingin sekali mendapatkan seseorang yang seperti Papa. Atau setidaknya mempunyai karakter peduli seperti Papa.

Aku beranjak dari ruang tengah, menuju kamar. Papa dan Mama juga sudah meninggalkan tempat kami berkumpul tadi. Papa juga terlihat sangat lelah, ngantuk.

Mata ini belum juga mengantuk. Bermain game? Tidak, saat ini aku tidak ingin bermain game, bosan. Namun aku juga masih memegang hp. Membuka media sosial lagi, ingin mengetahui perkembangan terkini dari seseorang.

Aku langsung membuka gambar pesan, ada beberapa pesan yang masuk. aku tidak membuka semua pesan yang masuk, karena kemungkinan besar isinya aku sudah mengetahuinya. Aku hanya konsentrasi pada salah satu pesan yang masuk. Siapa? Tentunya kalian sudah tahu semua, bukan?

Aku menahan napas, lalu menarik napas dalam-dalam, seperti atlet balap lari akan memulai start. Kalian tidak akan tertawa, bukan? Setelah itu, aku langsung membuka pesan yang aku maksud. Ini adalah kedua kalinya aku akan membaca pesan dari orang yang aku rasa spesial.

Aneh sekali. Pesan itu berisi gambar-gambarku tadi siang di kantin. Aku kembali kelur dari pesan itu, memastikan kalau yang mengirim pesan adalah Faisa. Benar. Yang mengirim pesan adalah Faisal. Aku kembali membuka pesan itu.

Di dalam pesan itu terdapat setidaknya ada sepuluh gambar, atau lebih. Aku yang sedang makan, melamun, berbicara, bahkan aku yang sedang tersenyum dengan Zila ada disana. Aku melihat poto mulai dari yang pertama sampai yang terakhir, mengamatinya. Bukan potoku yang aku bingungkan, tapi adalah bagaimana cara dia mendapatkan poto tersebut.

Aku terus menggeser kebawah layar hp, tidak ada kata-kata yang diikut sertakan. Tidak. Ada beberapa patah kata yang ada dibawah gambar.

“Semoga kamu senang melihatnya, Nisa manis … “.

Aku termangu beberapa saat setelah membaca pesan tersebut. Aneh. Baru pertama kali ada anak laki-laki yang bilang aku manis. Aku bingung juga seperti malam yang lalu. Aku bingung harus membalas apa lagi. Masak aku harus membalas “Aku senang, Faisal manis … “. Tidak, aku tidak akan membalas dengan kalimat itu. Tapi apa? Apakah kalian punya ide cemerlang?

Tuhan, bisakah Kau memberiku ide saat ini umtuk menemukan sebuah kata yang pas? Percuma, Tuhan tidak menjawab. Atau aku yang tidak bisa mendengar jawaban yang Dia berikan.

Akhirnya aku memutuskan menjawab pesan singkat itu dengan kalimat yang sangat singkat pula.

“Iya, terima kasih. Aku senang dengan poto ini”

Hanya itu yang aku kirimkan. Dengan menambah satu emoji kecil setelahnya, gambar kepala berwarna kuning yang sedang tersenyum. Mungkin kalian semua sering menggunakan emoji itu, tapi tidak dengan aku. Baru kali ini aku menggunakan untuk seorang laki-laki.

Aku berpikir sejenak. Oh iya, aku baru mengerti. Mungkin Faisal tadi siang yang berubah menjadi badut. Iya, tidak salah lagi. Tapi segitunya kah dia ingin mendapatakan potoku? Mamang, sampai saat ini aku jarang sekali mengunggah poto di media sosial, tidak seperti kalian yang mengunggah poto setiap hari, walaupun hasil dari editan yang kesekian kalinya. Aku juga merasa belum pernah poto bersama Zila, padahal dia teman dekatku sampai saat ini.

Itu artinya, yang bersalam denganku tadi siang adalah … Aku tersenyum sendiri di dalam kamar, membayangkan kemungkinan-kemunki-nan yang akan terjadi. Aku melihat tangan kanan, lalu meletakkanya di dahi, agar dahiku terkena sisa-sisa sentuhan tadi siang.

Malam semakin sunyi. Tidak ada hewan malam yang berbunyi. Atau setidaknya aku belum pernah mendengar hewan malam sejak aku berada di Ibu Kota. Aku tertidur dengan tangan masih di dahi. Mataku terpejam dengan bekas lamunan masih berada di sasana.

Selamat malam dunia, aku akan menemuimu lagi besok pagi. Aku akan menemuimu dengan cinta yang telah Tuhan berikan kepadaku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status