"Mom, Dad! Yang benar aja. Masa aku bertunangan sama empat cowok sekaligus, ini sangat gila!" sembur Emily yang langsung berdiri dari duduknya.
Maira menarik lengan putrinya agar gadis itu kembali duduk dikursi, dengan enggan wanita tersebut menurut sambil wajahnya menampilkan riak masam. "Gak gila, hanya aja kami ingin yang terbaik untukmu. Jangan sampai kamu berpacaran dengan lelaki sembarang lagi," balas John. "Lagian kami gak main-main, sejak kamu lahir, kamu sudah memiliki empat tunangan bahkan saat tunanganmu masih di dalam perut. Keluarga kita sudah berjanji kalau akan menjadi besan," terang Maira. Wanita itu berkata sambil mengusap-usap tangan putrinya, berusaha menenangkan Emily yang syok akibat perkataan yang memberitahu jika pertemuan ini adalah pertunangan dia dengan empat lelaki. "Daddy, Mommy, Emily janji! Emily gak akan sembarang pacaran lagi. Tapi Emily mohon, sudahi bercandanya ya, itu sangat menyeramkan," rengek gadis itu. Lelaki paruh baya itu menggelengkan kepala, dia memegang jam tangan yang melingkar di lengannya lalu kembali memandang sang putri. "Sebentar lagi tunanganmu bakal datang, tenang saja. Kamu mengenal mereka kok," lontar sang Ayah. "Sangat mengenal dengan baik malahan," lanjutnya. Emily menggelengkan kepala beberapa kali, ia kembali berdiri yang membuat wanita itu menjadi pusat perhatian. "Enggak, enggak! Aku gak terima. Ini begitu gila, gak masuk akal! Aku gak mau! Aku mau pulang aja," seru wanita itu. Perkataan gadis kecil itu bertepatan pintu terbuka, membuat semua mata tertuju ke arah sana. Perlahan beberapa orang masuk, perempuan tersebut membeliak kala mendapati manusia yang datang begitu dia kenal. "Paman!" pekik Emily tanpa sadar. Matanya masih tertuju pada mereka, yang dibalas tatapan oleh empat pria tersebut lalu orang tua lelaki itu mendekat dan memeluk Emily. "Sayang, kamu sangat cantik, lebih cantik dari sebelumnya," puji Olivia. Putri Maria masih membatu, syok dengan keadaan yang menimpa begitu tiba-tiba. "Lihat! Calon istri kalian begitu cantik, Mama tidak salah memilih bukan. Kalian harus baik sama dia, dan menjaganya," tutur wanita paruh baya tersebut. "Sayangku Mily, tenang saja kami akan menjagamu," ucap Ethan berbisik di telinga gadis kecil itu. Gadis itu tersadar lalu ia memegang kepalanya dan jatuh ke dalam pelukkan Ethan. Membuat semua orang terkejut, Olivia yang melihat adegan tersebut sampai memekik begitu kencang. "Emily ...!" "Ethan! Apa yang kamu lakukan," omel Olivia mendekat dan memegang tubuh Emily. Ibu keempat pria itu sedikit terhuyung dan segera Daniel mengambil alih tubuh Emily dan menggendongnya ala bride style. "Kalian tenang saja, dia hanya pingsan. Mungkin ini terlalu tiba-tiba dan membuat dia terkejut. Kalian lanjutkan acara makan-makannya, biar aku yang mengurus Anne," jelas Daniel dengan tenang. Tatapan matanya memandang wajah sang tunangan lalu menatap orang tua dia dan gadis yang ada dalam pelukkannya. "Ya! Kalian tenang saja, ada kami yang menjaga Vera," tambah Owen menimpali. Para orang tua itu saling memandang lalu menganggukkan kepala, Maria mendekati Daniel dan memegang bahu lelaki jangkung tersebut. "Tolong bantu Tante jaga putri kesayangan Tante ini," pinta Maria yang dibalas anggukan Daniel. Maria menoleh dan melirik para tunangan putrinya, "Kalian juga, mohon bantuan kalian untuk menjaga putriku, dia sangat ceroboh. Kalian tau bukan," tutur wanita tersebut yang dibalas anggukan ketiga pria. Daniel membawa sang tunangan pergi meninggalkan ruangan itu, saat melangkah dia diikuti oleh ketiga saudaranya. Langkah begitu tenang dan sesekali melirik Emily dalam gendongan. Lelaki ini memilih membawa gadis tersebut ke hotel yang ada di seberang. Ia lekas membaringkan tubuh Emiky perlahan ke atas ranjang, segera menyelimuti lalu duduk di tepi dan pandangan mata terus tertuju pada wajah pucat gadis tersebut. Keempat pria tersebut kini mengelilingi tempat tidur, tatapan netra memandang tunangan mereka yang terbaring lemah. "Dia pingsan karena kita," gumam Owen pelan. "Ya! Ini memang terlalu tiba-tiba, dan terlalu gila," sahut Michael datar. Perkataan Michael membuat Owen menoleh, mata pria tersebut menatap sejenak sebelum akhirnya kembali alihkan pandangan pada Emily. Ia menghela napas panjang, seolah ada beban yang menekan dada. Dengan gerakan perlahan, ia bersandar ke dinding, tangan bersidekap erat, seolah mencoba menahan segala perasaan yang membeludak. "Kita harus menyelesaikan ini secepatnya! Setidaknya dia harus segera memilih satu diantara kita," lontar Ethan. "Ahh ... kenapa lama sekali, kenapa Mily belum bangun? Kamu gak salah mendiagnosis kan?" cecar Ethan lalu dia membungkuk. Pria tersebut merapikan anak rambut yang menutupi wajah Emily, sedangkan Daniel tidak menghiraukan ucapan saudara kembarnya. Tatapan lelaki itu tetap fokus pada satu perempuan diantara mereka dan perlahan putri Maria membuka mata kala mencium bau minyak kayu putih. "Eughhh ...." Emily mengerang lalu perlahan membuka mata, tatapannya langsung bertabrakan dengan netra biru terang Daniel. Senyuman tipis terukir di bibir lelaki tersebut. "Paman Noah," sapa Emily dengan suara rendah yang dibalas anggukkan pria tersebut. "Kamu cuma menyapa Noah, kami juga ada lho," gerutu Ethan. Mendengar suara lelaki lain, Emily spontan menoleh ke asal suara lalu segera bangkit kala menemukan jika para pria yang ia panggil paman berada di sini semua. "Akhirnya kamu bangun," seru Owen lalu duduk di ranjang. "Sepertinya kamu baru tau soal pertunangan ini," lontar Michael. Putri Maria ini segera mengangguk, dia bergerak cepat mendekati Michael dan memegang lengan pria tersebut. "Iya Paman Mikey, kamu harus bantu aku menolak pertunangan ini! Ini sungguh gila!" balas Emily. Ethan yang melihat hal ini mendekat, tangannya segera menarik lengan Emily yang memegang Michael dan lelaki itu duduk di samping sang perempuan membuat anak kedua Olivia itu mundur selangkah akibat dorongan sang kakak. "Ethan! Kau ...!" Lelaki tersebut hanya melirik malas lalu kembali memandang Emily. "Gadis kecil! Kamu ini. Kalau segampang itu menolak pertunangan ini, kami mungkin sudah sejak dulu menolak dan gak akan membuatmu syok sampai pingsan gini," lontar Ethan. Emily memajukan bibir mendengar balasan Ethan, gadis tersebut menjatuhkan kepalanya ke pundak lelaki itu dan menghela napas panjang. "Ini begitu gila, Paman ...," keluh Emily. "Tenanglah," ucap Daniel memegang bahu Emily. "Apa kamu pusing? Kalau iya, bersandar ke kepala ranjang aja," lanjutnya. "Minumlah air dulu, basahi tenggorokanmu," perintah pria berstatus dokter tersebut. Dia menyodorkan segelas air dan diterima Emily, Owen segera menarik Ethan agar lelaki tersebut ikut berdiri di samping dia. "Berdiri!" perintah Owen dengan nada dan wajah datar. "Kamu ini! Gak sopan banget sama yang lebih tua," omel Ethan. "Ily, kita bakal tinggal serumah, tidak ada penolak!" kata Michael. Mata Emily membulat sempurna mendengar perkataan lelaki tersebut, kala bibirnya hendak bergerak memprotes. Para pria yang lain mulai mengeluarkan suara. "Tidak! Mily harus bersamaku, aku ingin bermain games bersama dia," ucap Ethan. "Vera harus bersamaku, dia akan lebih leluasa karena sering sendiri," sela Owen. "Kalian sangat berisik, kita akan menjaganya bersama. Aku sudah berdiskusi bersama para orang tua." "Agar dia bisa memilih salah satu dari kita, siapa yang membuatnya jatuh hati dan nyaman," lanjut Daniel."Ayo! Jangan kebanyakan melamun, nanti kerasukan Ethan, gawat," seru Michael. Lelaki itu segera menarik tangan Emily, menghindar dari saudara kandung dia. Gadis tersebut memekik kala lengannya ditarik. "Kok, malah aku yang dibawa-bawa. Lah ... adik sialan! kamu kira aku setan, buat Mily kerasukan," omel Ethan kala sadar dari perkataan adiknya. Ethan menuju penuh amarah Michael yang mulai menjauh dari mereka, sedangkan lelaki tersebut hanya melirik sekilas tanpa memelankan lau langkahnya. Owen menggelengkan melihat hal ini, sedangkan Daniel mengepalkan tangan memandang kepergian kakak dan tunangannya. "Paman Mikey, pelan-pelan," pinta Emily. Mendengar perkataan Emily, Michael memelankan laju langkahnya dan menjadi berjalan. Gadis tersebut napas dia terdengar terengah-engah membuat sang CEO memandang dengan tatapan rasa bersalah. "Aku gak suka kamu kaya begitu, ngurung diri. Aku khawati
Gadis bermata cokelat itu tersentak dari lamunan, ingatan tentang kejadian satu jam yang lalu berkelebatan jelas di benak. Membuat napas Emily sedikir sesak, ia mengalihkan tatapan ke pintu, terdengar kembali di telinga ketukan pintu yang tak berhenti. "Mily! kamu kenapa gak keluar-keluar. Mau bertelur di sana," teriak Ethan. "Vera, kamu kenapa? Jangan buat kami khawatir," seru Owen dengan tangan terus mengetuk pintu. "Ily, cepat buka pintunya!" perintah Michael dengan suara tegas namun terdengar nada khawatir. "Anne, kamu gak apa-apa kan? Kata mereka kamu belum keluar sejak tadi, apa aku salah beli merk pembalutnya? Atau apa? Ayo beritahu aku. Kamu jangan kaya gini," tutur Daniel berusaha membujuk dengan nada lembut. "Mily ... cepat buka pintunya! Kalau enggak aku dobrak nih," kata Ethan sekali lagi. Emily menarik napas dan mengembuskan pelan-pelan, mengatur detak jantung yang berkerja tidak n
Daniel langsung menatap kesal sang kakak dan mengembuskan napas, dia memegang tangan Michael yang memegang bahunya begitu kuat. "Okey, okey, Kakak. Lagian aku gak mau sampai Anne menunggu terlalu lama." "Anne, merk seperti biasa bukan. Tunggu aku, aku bakal secepatnya pulang," seru Daniel merebut handphone dari genggaman Michael. "I ... iya Paman Noah," balas Emily. Pria itu segera mematikan sambungan telepon lalu menaruh handphone Owen ke meja makan. Ia segera melangkah pergi meninggalkan Michael yang menunjukkan riak murka. Lelaki tersebut menggerakkan jari dan menyeringai walau tidak terlihat oleh mereka. "Owen, pinjam motormu!" teriak lelaki tersebut. Lelaki bermata biru itu segera mengambil kunci yang tergantung tanpa menunggu jawaban Owen, membuat sang empu menggelengkan kepala. Kini hanya tinggal mereka bertiga, pria berprofesi pilot ini dengan gerakkan cepat mengambil handphone lalu mencengkeram kuat benda tersebut. "Sialan! malah dia matikan, aku aja belum, ngobrol sa
Emily menggerakkan jemarinya, memilin-milin pakaian. Ia baru saja selesai membersihkan diri, tetapi belum ada keberaniaan untuk keluar. Pikirannya masih melayang pada kejadian tadi. Mengingat semua pria disini mengetahui kedatangan tamu bulanannya, yang membuat ters dipikirkan adalah mereka mengetahui kecerobohan dia sampai melupakan jadwal menstruasi. "Ah ... malunya," gumamnya pelan.Wanita itu memukul kepalanya, umpatan kasar lolos dari bibir. Ceroboh! kata tersebut ada dalam benak, bagaimana ia bisa melupakan jadwal menstruasi sendiri. Akibat hal ini, salah satu pria di kediaman kini harus membeli pembalut. Sebuah perintah atau permintaan yang jarang dituruti lelaki karena malu. Kembali ke situasi sejam yang lalu, Michael tiba di dekat kamar Emily. Langkahnya terhenti saat melihat adik dan sang kakak berdiri di ambang pintu tengah bertengkar, ia segera menegur mereka lalu pandangan teralihkan pada noda darah segar di celana Emily. Perciuman yang tajam menghirup aroma anyir dara
Emily bersandar di pintu setelah memasuki kamar, ia meremas dadanya yang terasa berdetak begitu kencang. Bagai bunyi detakan tersebut bisa menghancurkan pendengaran, jantungnya sama sekali tak tenang setelah perlakuan Daniel yang tiba-tiba. Pelukkan lelaki itu begitu hangat dan nyaman, suara begitu serak menggoda dan permintaan pria itu. "Aku kenapa," gumamnya pelan. "Gak biasanya juga Paman Noah begini," lanjutnya kembali. "Dia ... dia ... sangat berbeda tetapi juga sama." Gadis itu memegang pipinya yang terasa memanas, tingkah Daniel membuat Emily panas dingin. Padahal belum satu hari dia di kediaman ini dan baru beberapa menit ia bersama pria tersebut. Tetapi sepertinya, hidup perempuan ini akan berubah drastis. Ketukan pelan terdengar di pintu kamarnya. Emily langsung menoleh, suara lembut menyusul dari balik pintu.“Mily… boleh aku masuk?”Suara lelaki terdengar si balik pintu, membuat Emily yang berada di sana sedikit terperanjak. Dia spontan berbalik, lalu panggilan Ethan
Malam kiat larut, menyisakan beberapa bintang dan bulan sabit di langit untuk menerangi bumi. Lampu di kediaman mulai redup, hanya cahaya temaram dari dapur dan ruang tengah. Ethan tertidur pulas di soda dengan remote televisi yang masih dipegang. Sementara Owen memilih ke kamar untuk mengistirahatkan tubuh dan Michael di ruang kerja menyelesaikan beberapa laporan yang dikirimkan asistenmya. Emily tengah mengerjakan tubuh, ia duduk di serbang sofa dengan mata sesekali melirik pintu utama dan televisi. Hati tak tenang kala melihat jam sudah menunjuk pukul sebelas malam, tetapi salah satu tunangan belum terlihat batamg hidungnya. Suara mesin mobil terdengar pelan dari depan rumah, kala mengetahui hal ini Emily segera bangkit dan membuka pintu sebelum bel sempat ditekan. Di baliknya, berdiri seorang pria tinggi dalam jas dokter yang sedikit kusut. Rambutnya agak basah oleh embun malam, dan wajahnya menunjukkan kelelahan luar biasa.“Paman Noah,” gumam Emily pelan.Daniel mengangkat wa