Semua bungkam saat mendengar Daniel berbicara, mereka saling memandang lalu beralih menatap Emily yang terlihat terkejut.
"Ya! Kalian semua pasti lagi ngeprank, bukan! Ya. Prank! Kalian pasti lagi prank aku," seru Emily bersemangat. Nada suara Emily berubah, terlihat wajahnya ceria walau masih ada mimik kecemasan di sana. Ethan melirik jam dipergelangan tangan lalu menghela napas, sedangkan Michael memilih melangkah ke sofa dan mendaratkan bokong di sana. Tangan pria tersebut mengeluarkan handphone, mulai ngetik sesuatu. "Ini memang gak masuk akal, Paman tau kami sulit menerima. Tapi ... ini kenyataan Ily, kita memang sudah bertunangan," jelas Owen. "Gak mungkin, Paman Alex. Kalian pasti sedang bercanda, mana mungkin! Kalian pamanku! Malah berubah status jadi tunanganku." "Masalahnya kalian! Bukan cuma satu orang, otakku gak bisa menerima, sangat gak masuk akal," lanjut Emily. Setelah berkata demikian Emily memandang lelaki yang selalu dia panggil paman denagan pandangan penuh rasa tertekan. Jantung wanita itu berdebar begitu cepat, seluruh pikiran sangat kacau. Ia bergegas turun dari ranjang membuat saudara kembar ini memperhatikannya. "Gak, Gak! Aku butuh udara segar!" Setelah berucap dengan suara sedikit keras tetapi lemah, wanita itu berlari keluar. Meninggalkan keempat lelaki yang tadi mengelilinginya. Ethan hendak mengejar, tetapi di tahan oleh Owen. "Biarkan dia menenangkan pikirannya," kata lelaki tersebut. Daniel yang memandang cemas sejak tadi hanya menghela napas, dia yang tadi spontan bangkit akibat Emily yang tergesa-gesa turun, langsung mendaratkan bokong di ranjang. Helaan terdengar dari keempat lelaki tersebut, sedangkan Michael mengusap wajah gusar. "Aku akan memerintahkan bawahanku untuk menjaga Ily," ucap Michael. Setelah berkata demikian, Owen segera menghempaskan cekalan Michael dan berdecak kesal. Sedangkan pria berstatus chief executive officer atau singkatannya CEO memilih tidak menghiraukan sang adik, ia segera mengetik sesuatu di ponsel dan menelepon bawahan. "Ada operasi darurat, aku serahkan Anne pada kalian. Jangan lupa kasih informasi padaku," seru Daniel setelah menerima sambungan telepon. Para saudaranya hanya mengangguk, mendapatkan tanggapan demikian Daniel segera bergegas pergi. Sedangkan Ethan memilih menjatuhkan diri di ranjang lalu memejamkan mata. Owen dan Michael saling memandang lalu memilih melakukan kerjaan masing-masing. "Jarang aku bisa beristirahat, aku mengandalkanmu, Michael," lontar Owen. Emily sudah berada di dalam taksi, napasnya tersenggal-senggal. Tangan meremas pakaian yang dipakai, dress pilihan sang Ibu, ternyata orang tuanya sangat menyiapkan kejutan begitu mengguncang. "Nona, anda baik-baik saja? Apa perlu ke rumah sakit? Wajah anda sangat pucat," seru supir taksi. Gadis itu menolak lalu memejamkan mata, memerintahkan sang supir untuk membangunkan saat sampai. Saat ditempat tujuan, perempuan ini memandang rumah sederhana di depan mata. "Emily," seru seorang wanita paruh baya. Langkahnya sedikit cepat lalu tangan keriput itu menyentuh jemari sang cucu. Menggenggam begitu lembut dan penuh perasaan, tatapan wanita tersebut tersirat kekhawatiran. "Sayang, kamu kemari kenapa gak bilang-bilang! Kemana orang tuamu," seru sang nenek. Emily tidak menjawab, gadis itu segera melabuhkan pelukkan pada tubuh wanita tua tersebut. Sang nenek mengerutkan dahi, begitu kebingungan dengan keadaan ini, dia hanya mengusap punggung cucunya untuk menenangkan. "Sayang, ayo masuk! Di sini dingin," ajaknya. Emily mengangguk menuruti sang nenek, wanita yang melahirkan Maria. Saat memasuki kediaman ini, gadis kecil tersebut merasakan kehangatan. Kegelisahan yang dirasa sedikit terasa lega, perempuan paruh baya itu menuntun cucunya untuk duduk di sofa. "Diamlah dulu, Nenek akan membuatkanmu teh hangat. Pakailah baju hangat punya nenek, setidaknya tidak akan membuatmu begitu kedinginan," lontar wanita tua tersebut. putri Maria itu mengangguk, dia tersenyum kecil lalu mengambil sweater dan memakainya di hadapan sang nenek. "Cantik, walaupun baju ini untuk orang tua. Tetapi kamu masih terlihat menawan memakainya," pujinya. Emily tersenyum sampai memperlihatkan gigi, lalu sang nenek segera pamit untuk menyiapkan teh untuknya. Gadis tersebut memperhatikan sekitar ruangan ini, air mata menetes dari kelopak membuat dia segera mengusap dengan kasar. "Ini sungguh gak masuk akal," gumamnya pelan. Gadis berumur dua puluh tiga tahun mendongakkan wajah, berusaha menahan air mata yang hendak terjun. Ia hanya berdiam diri, tetapi pikirannya berkelana saat melihat beberapa bingkai foto terpajang rapi. Memperlihatan diri bersama orang tua dan empat pria yang kini tiba-tiba menjadi tunangan. Pandangannya menerawan saat berhenti di sebuah foto. Dia di dalam gendongan Ethan, sedangkan Owen dan Daniel berada di sampingnya dan Michael terlihat fokus membaca buku. Saat itu, mereka tengah liburan bersama, selalu berteriak memanggil mereka tanpa beban. "Kenapa semua harus berubah," ucapnya lirih. Perasaan wanita itu begitu kacau, begitu jelas terlihat dari riak wajah. Tak lama kemudian sang nenek datang membawakan secangkir teh lalu duduk di samping cucunya. "Sayang, kadang hidup tidak memberikan kita waktu untuk menyiapkan diri. Tenanglah ... ikuti takdir membawamu kemana," kata sang nenek lembut. Emily mengalihkan pandangan ke sang nenek, suara lembut itu menyentuh sisi terdalam hati yang tengah kacau. Ia menggenggam erat cangkir tengah yang diberikan wanita tersebut, merasakan kehangatan yang menjalar ke dada yang dingin karena peristiwa yang menimpah. "Nenek ... nenek tau, nenek bahkan melihat kami tumbuh bersama. Aku memanggil mereka paman, kami bermain bersama. Bahkan menjagaku. Tapi ini ... mereka malah menjadi tunanganku, mereka Nenek! Bukan hanya satu orang. Ini begitu gila!" adu Emily dengan suara gemetar. Air mata yang tadi ditahan kini meluncur bebas, sang nenek dengan lembut mengusap menghapus jejak. Tatapan sulit untuk dibaca, lalu terlihat wanita tua iti menghela napas. "Tenangkan dirimu, jangan pikirkan itu dulu. Kamu butuh ketenangan, nanti baru kita bicarakan lagi," balas sang nenek. Emily hanya mengangguk pelan, tubuhnya bergeming tapi jiwanya terasa hancur. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan napasnya melambat, walau hati masih berdetak kacau. Sang nenek tak berkata lagi, hanya menggenggam tangan cucunya, memberikan kekuatan tanpa kata. Beberapa saat berlalu dalam hening. Hanya suara detik jam di dinding dan rintik hujan di luar jendela yang terdengar. Emily menarik selimut tipis di sofa dan membaringkan diri di pangkuan sang nenek, seperti saat kecil dulu ketika dia menangis karena mimpi buruk. "Nenek...," gumamnya lirih. "Hmm?" "Kalau aku kabur terus, apa itu salah?" Sang nenek tersenyum samar dan mengelus kepala Emily. "Bukan kabur namanya, kalau kamu sedang mencari tempat untuk menyembuhkan diri. Tapi jangan bersembunyi terlalu lama, Sayang. Jawaban dari semua ini hanya akan kamu temukan kalau kamu hadapi, bukan hindari." Emily tidak menjawab, hanya memejamkan mata lebih rapat dan bersandar pada wanita paruh baya tersebut. Ia tertidur—walau tidak nyenyak, tapi cukup untuk mengistirahatkan tubuh yang lelah. Sedangkan di tempat lain, Michael mengembuskan napas lega kala mengetahui keberadaan sang tunangan. "Gadis kecil itu, sudah dua puluh tiga tahun. Masih saja suka kabur saat menemukan masalah," ucap Michael."Besok aku bakal berangkat, aku bakal jalanin cabang rumah sakit di luar negeri," ungkap Daniel. Emily langsung bangkit mendengar perkataan lelaki itu, ia memandang Daniel dengan tatapan sulit diartikan. "Apa ini gara-gara aku? Paman Noah mau ke sana," tuturnya dengan nada lemah.Ucapannya sedikit gemetar menandakan kesedihan dan rasa bersalah, sedangkan Daniel menghela napas lalu menggelengkan kepala apalagi mendapati tatapan Michael bagai mau menelan dia."Gak, kamu jangan berpikir gitu. Aku memang rencana mau ke sana," balas Daniel berusaha tenang."Semangat! Kamu pasti bisa, aku dukung kamu. Kalau ada apa-apa bisa bilang ke aku, aku bakal berusaha bantu kamu," lontar kakak keduanya.Senyum tipis terukir di bibir Daniel kala mendengar ucapan sang kakak, ia menganggukkan kepala untuk mengiyakan perkataan Michael."Ya! Aku bakal menagih janjimu ini, kamu harus membantuku," sambut Daniel.Emily terdiam, wanita itu syok dengan berita yang di dengar sekaligus. Semua membawa kesedihan,
Michael mendengar ucapan sang ibu langsung menatap tajam wanita itu, sedangkan Emily segera menggenggam jemari kekasihnya. Ethan melihat keadaan demikian segera mencolek putranya dan menggerakkan kepala pelan memberikan kode pada Logan. "Papa kenapa? Kepalanya sakit goyang-goyang terus," lontar Logan dengan nada polos.Ethan mendelik mendengar ucapan putranya, membuat semua menoleh menatap kedua lelaki berbeda usia tersebut. "Iya, Papamu itu sakit kepala. Pengen di cekik sama kami," kelakar Emily. Wanita itu berusaha mencairkan suasana, melihat hal tersebut Daniel memahami jika perempuan yang berjarak beberapa bangku ini merasa tak nyaman. "Ayo makan! Emangnya kita cuma bakal lihatin makanan di meja aja," celetuk pria tersebut. "Oh iya, ayo makan! Ini semua pesanan Tante lho, Niel. Coba, cobain deh, enak lho. Tempat yang pertama Tante sama Om ingin rekomendasikan sama kalian kalau lagi kumpul-kumpul gini selain suasana yang enak ini, makanannya juga top," ujar Maria."Sayang mau
Mendengar suara Olivia, mereka semua menoleh. Bahkan Emily dan Michael juga ikut menatap asal suara, saat tatapan mata menemukan keberadaan wanita itu, sepasang kekasih ini saling melemparkan pandangan. "Ayo!" ajak Michael menggenggam tangan Emily. Perempuan itu mengangguk, mereka langsung melangkah bersamaan. Logan yang mendengar perkataan neneknya dengan polos menunjukkan keberadaan sang Paman dan Emily. "Di sana Grandma," seru lelaki tersebut.Olivia langsung mengikuti arah jari mungil Logan yang menunjuk keberadaan sang putra dan calon menantu, terlihat Emily, Michael sedang berjalan mendekat. "Ada apa, Mah? Bukannya belum waktunya kan, masih ada waktu sesuai jadwal yang Mama, Papa, tentukan," lontar Michael.Wanita paruh baya itu langsung mendelik mendengar perkataan Michael yang tak mau dicecar duluan, pria tersebut langsung pada intinya. Padahal ia belum sempat mengeluarkan suara untuk berbicara. "Ya, ya, ya! Masih ada waktu. Udah ayo masuk!" balas Olivia.Emily menggeleng
Emily keluar dari kendaraan roda empat, tangannya digandeng oleh Michael. Saat keluar dari mobil, gaun hitam terterpa cahaya malam dan lampu. Potongan halter neck menonjolkan bahu jenjangnya. Sementara tali tipis di belakang leher memperlihatkan punggung perempuan tersebut. Lapisan kain jatuh asimetris bergerak mengikuti langkah dia, menciptakan siluet dramatis seolah ia tengah menari disetiap hentakan. Pandangan matanya menatap gedung yang akan ia masuki, begitu indah memanjakan mata. Sedangkan Michael lelaki netranya menangkap beberapa pria yang lewat melirik sang kekasih. Dengan gerakkan cepat dia membuka jas dan memakaikan pada Emily. "Kenapa," kata Emily spontan. Lelaki itu hanya diam tidak langsung menjawab ucapan sang kekasih, tangannya segera melingkar ke pinggang Emily membuat Emily mengerutkan dahi. "Agar semua tau kamu milikku," jawab Michael simple. Michael kala berkata demikian, mata berkeliaran dengan tatapan dingin ke sekitar. Membuat Emily ikut melihat dan mengula
"Mily!" suara seseorang dan pintu terbuka membuat sepasang sejoli ini terperanjak, aksi mereka segera terhenti. Mata Emily langsung melotot. "Ekhemm, sorry bos," seru Ethan segera membalikkan badan. Senyuman geli terukir di bibir Ethan, sedangkan Emily yang tadi terkejut langsung melompat turun dari gendongan Michael, ia segera bersembunyi di dada sang kekasih. ia seperti anak kucing yang terkejut. "Kamu ini udah kaya gak punya tangan buat ngetuk aja! Ganggu tau," cecar Michael. Ethan hanya mengedikkan bahu mendengar teguran sang adik. "Lagian kalian ini benar-benar ya, lagi masa mabuk-mabuknya. Kamu buat pengaruh buruk banget buat Emily, lihat ... gadis polosku sampai seganas ini bikin tanda di leher kamu," jawab Ethan semakin senang menggoda Emily. Michael mendengus keras, ia meraih bahu Ethan dan mendorongnya pelan ke arah pintu. "Keluar. Sekarang." Nada su
Seminggu berlalu sejak pembicaraan Emily dan Daniel, mereka bersikap seperti biasa. Masih tinggal bersama, apalagi semua sibuk mengurus Logan. Pria kecil itu begitu manja dengan perempuan satu-satunya di kediaman ini, bahkan Michael melihat kedekatan kedua manusia tersebut merasa cemburu. "Auntie," panggil Logan berlari ke arah Emily. Gadis tersebut yang tengah berjalan menuju dapur sedikit terkejut, apalagi mendengar teriakan dan pelukkan pria kecil itu. "Auntie ...," serunya kembali. Logan memeluk kaki Emily, sambil mendongak memandang wajah perempuan tersebut. "Jongkok Auntie, Auntie juga harus peluk Logan. Logan kangen Auntie," ujar anak kecil tersebut. Emily tersenyum, wanita itu segera menuruti perkataan lelaki kecil ini. Berjongkok mensejajarkan tinggi dengan calon keponakannya. "Logannya Auntie udah pulang." Putra Ethan ini menganggukkan kepala deng