Matahari menyorot bangunan yang di pandang oleh Emily, dengan tangan memeluk boneka beruang besar. Tatapan ia terpaku pada kediaman yang akan menjadi tempat berteduh bagi dia dan empat tunangannya. Di antara pikiran yang bercabang-cabang, sedangkan Owen begitu cekatan mengangkat koper anak Maria. Lelaki tersebut setelah mengeluarkan barang bawaan sang gadis, memandang perempuan itu dan melangkah mendekat.
"Ver, ayo masuk!" ajak Owen. Suara lelaki itu membuat Emily tersentak, membuat Owen tersenyum kecil lalu tangannya terulur mengusap bahu sang tunangan. "Santai aja, Vera. Kami tidak akan memakanmu," goda pria tersebut. Bibir gadis itu maju seketika, mendengar ucapan Owen yang bagai ejekan. Sebuah dengusan kesal keluar dari hidung, diikuti hentakan kaki penuh amarah. Karena emosi wanita itu memilih meninggalkan Owen yang tangannya sibuk membawa barang bawaan. "Vera, tunggu! bantu bawa barangmu juga lah ...," seru Owen sedikit berteriak. tunangan lelaki itu hanya melirik sekilas ke arah Owen sebelum melanjutkan langkahnya. Setelah sampai di depan pintu besar, Emily menekan bel beberapa kali. Bunyi nyaring yang tak berhenti-henti itu menggema, mengganggu tidur nyenyak seseorang di sana. Dengusan kesal keluar dari pria berambut side-swept hair berwarna hitam gelap dengan mata cokelat tua yang intens dan hidung mancung. "Siapa sih! gak sabaran banget, berisik tau. Tekan bel cukup sekali aja," omel Ethan. Tatapan tajam Emily langsung menusuk Ethan bagai laser yang siap menerjang. Lelaki itu dengan secepat kilat mengubah ekspresi wajah kala seketika, tadinya penuh amarah kini berganti senyuman. "Ternyata kamu, Mily. Ayo masuk," ajak Ethan. Ethan dengan sigap merengkuh tangan Emily, menarik masuk ke kediaman. Owen yang berada dibelakang mereka masih bergelut dengan tumpukkan barang bawaan sang gadis. Melihat kedua manusia memasuki rumah, Pria yang dipanggil Paman Alex oleh Emily ini berteriak kesal. "Ethan! jangan pergi gitu aja. Ayo bantu aku bawa barang-barang ini," perintah Owen. Pria yang dipanggil oleh Owen hanya melirik sekilas lalu dengan gerakan cepat Emily menarik lengan Ethan. menyeret lelaki tersebut, tanpa diberikan pilihan putra pertama Olivia menuruti langkah tiba-tiba wanita yang dia panggil Mily. Owen yang frustasi menghela napas berat, memandang kepergian mereka dan tumpukkan barang bawaan tunangannya. "Paman Han, ayo ajak aku keliling," pinta Emily. Seulas senyum licik muncul di bibir Ethan kala memahami situasi yang mendadak ini. Ia segera menyetujui permintaan Emily, mengikuti langkah gadis tersebut. Lelaki itu mengajak pergi sang tunangan berkeliling, sementara Owen bagai berganti profesi sebagai pelayan. Mengangkut barang bawaan Emily dan membawa ke kamar yang disiapkan untuk wanita tersebut. Setelah melakukan hal ini, dia bergegas pergi ke dapur menyiapkan minuman. "Paman Han gak kerja?" tanya Emily kala mereka duduk di ruang tengah. Kepala Ethan menggeleng sebagai jawaban, lelaki itu berinisiatif menyuapi buah anggur untuk Emily. saat wanita tersebut hendak mengigit, spontan Ethan menarik tangan dan memakannya sendiri. Hal tersebut membuat Emily kesal, apalagi ia memang sedang diliputi emosi membuat gadis ini sangat mudah tersinggung. "Dasar! Kalau mau buah ya ambil sendiri, masa mau disuapi. Emang kamu masih kecil," ledek Ethan. Ledakan emosi menguasai otak Emily, dengan gerakan cepat dan penuh amarah. Ia bangkit dari duduk dan menjepit hidung Ethan dengan dua jari membuat pria tersebut terpekik. "Kamu menyebalkan, Paman! sama aja kaya Paman Alex," sembur Emily penuh amarah. pria yang diserang Emily ini memajukan bibir, ia sangat kesal. Ingin sekali membalas, tetapi melihat mimik wajah sang perempuan yang berbeda ia urungkan. Hidung lelaki itu memerah, menunjukkan betapa kuat jepitan Emily. Putra pertama Olivia ini menggosok pelan, karena masih terasa nyeri. Melihat adegan tersebut, Owen berusaha menyembunyikan senyuman geli yang hampir berubah menjadi tawa lepas. saudara pria tersebut segera mendekati Emily dan menyodorkan segelas jus alpukat dingin. "Minumlah, kamu pasti haus bukan," ucap Owen dengan nada datar. Emily spontan mendongak mendengar suara Owen, netranya segera bertemu dengan tatapan pria tinggi seratus delapan puluh tiga centimeter ini yang berprofesi pilot tersebut. Gadis tersebut segera mengambil gelas berisi jus dan meneguk perlahan. Rasa dingin langsung menyapa tenggorokan tunangan kedua lelaki ini. "Enak, Paman Alex. Makasih udah buatkan aku jus ini," kata perempuan bermata cokelat tua ini. Owen hanya mengangguk pelan sebagai jawaban lalu ikut duduk di samping Emily. "Begitu cepat berubah muka, udah kaya bunglon aja," gerutu Ethan. Wajah Emily berkerut kesal mendengar ucapan Ethan, ia melotot tajam ke arah lelaki tersebut sebelum dia memalingkan wajah. Gadis ini kembali meneguk jus dingin buatan Owen, setelah minum Emily lewat sudut mata memperhatikan putra ketiga Olivia yang mengusap keringat di dahi lalu Ethan masih mengusap hidung berwarna merah akibat cubitannya. Tanpa sadar senyuman kecil terbit di bibir kala menyaksikan dua pria besar tengah sibuk dengan cara masing-masing. "Paman Mikey sama Paman Noah bekerja?" tanya gadis itu sambil menaikkan alis memandang keduanya. "Ada kami kenapa kamu menanyakan mereka," kata Ethan dengan bibir dimajukan. "Aku cuma bertanya, Paman Han. Kamu itu begitu cemburuan," balas Emily. Owen memandang Emily sesaat lalu menyandarkan tubuh ke sofa sambil memejamkan mata. "Michael lagi sibuk di kantor, katanya baru bisa pulang larut malam, gak perlu tunggu dia. Daniel mengusahakan pulang secepatnya," balas lelaki itu. Mendapati jawaban Owen, gadis itu menggerakkan kepala ke atas dan kebawah lalu tangan memainkan sedotan. Sorot matanya melembut lalu mengambil jeruk di atas meja dan mengusap dengan telaten, selesai melakukan hal ini ia menyodorkan buah tersebut ke mulut putra ketiga Olivia. "Buka mulutmu Paman Alex, ini sebagai balasan karena membuatkanku jus alpukat," perintah Emily. Lelaki itu melirik Emily sebentar lalu menuruti perkataan wanita tersebut. "Aku cuma masih gak percaya, kalian tunanganku. Dan kita bakal tinggal bersama, lagian aku bukan merindukan mereka. Hanya ... penasaran saja," lanjut gadis itu. Ethan melipat tangan di dada, masih merengut. "Kamu tuh bukan cuma sekadar penasaran, kamu itu kepo." Emily menoleh cepat, matanya menyipit. "Dan kamu bukan cuma sekadar menyebalkan, kamu itu nyebelin banget!" "Sudah, sudah," sela Owen melerat dua makhluk di kediaman ini. "Belum juga seharian kalian bersama, sudah mau berubah jadi tom dan jerry saja," gerutu lelaki tersebut. "Dia yang mulai," tunjuk Ethan, menunjuk Emily. "Dia yang mancing," balas Emily cepat, tak mau kalah. Owen menatap keduanya silih berganti, lalu geleng kepala. "Apa aku harus sediakan peluit dan papan skor di rumah ini nanti?" "Aku sih setuju," Ethan menyahut cepat. Putra ketiga Olivia itu menghela napas melihat kedua manusia berbeda jenis ini, lelaki tersebut memijat kening yang berdenyut. Sedangkan Ethan dan Emily saling melemparkan tatapan dan menyeringai. "Besok aku bakal berangkat, aku bakal jalanin cabang rumah sakit di luar negeri," ungkap Daniel. Emily langsung bangkit mendengar perkataan lelaki itu, ia memandang Daniel dengan tatapan sulit diartikan. "Apa ini gara-gara aku? Paman Noah mau ke sana," tuturnya dengan nada lemah.Ucapannya sedikit gemetar menandakan kesedihan dan rasa bersalah, sedangkan Daniel menghela napas lalu menggelengkan kepala apalagi mendapati tatapan Michael bagai mau menelan dia."Gak, kamu jangan berpikir gitu. Aku memang rencana mau ke sana," balas Daniel berusaha tenang."Semangat! Kamu pasti bisa, aku dukung kamu. Kalau ada apa-apa bisa bilang ke aku, aku bakal berusaha bantu kamu," lontar kakak keduanya.Senyum tipis terukir di bibir Daniel kala mendengar ucapan sang kakak, ia menganggukkan kepala untuk mengiyakan perkataan Michael."Ya! Aku bakal menagih janjimu ini, kamu harus membantuku," sambut Daniel.Emily terdiam, wanita itu syok dengan berita yang di dengar sekaligus. Semua membawa kesedihan,
Michael mendengar ucapan sang ibu langsung menatap tajam wanita itu, sedangkan Emily segera menggenggam jemari kekasihnya. Ethan melihat keadaan demikian segera mencolek putranya dan menggerakkan kepala pelan memberikan kode pada Logan. "Papa kenapa? Kepalanya sakit goyang-goyang terus," lontar Logan dengan nada polos.Ethan mendelik mendengar ucapan putranya, membuat semua menoleh menatap kedua lelaki berbeda usia tersebut. "Iya, Papamu itu sakit kepala. Pengen di cekik sama kami," kelakar Emily. Wanita itu berusaha mencairkan suasana, melihat hal tersebut Daniel memahami jika perempuan yang berjarak beberapa bangku ini merasa tak nyaman. "Ayo makan! Emangnya kita cuma bakal lihatin makanan di meja aja," celetuk pria tersebut. "Oh iya, ayo makan! Ini semua pesanan Tante lho, Niel. Coba, cobain deh, enak lho. Tempat yang pertama Tante sama Om ingin rekomendasikan sama kalian kalau lagi kumpul-kumpul gini selain suasana yang enak ini, makanannya juga top," ujar Maria."Sayang mau
Mendengar suara Olivia, mereka semua menoleh. Bahkan Emily dan Michael juga ikut menatap asal suara, saat tatapan mata menemukan keberadaan wanita itu, sepasang kekasih ini saling melemparkan pandangan. "Ayo!" ajak Michael menggenggam tangan Emily. Perempuan itu mengangguk, mereka langsung melangkah bersamaan. Logan yang mendengar perkataan neneknya dengan polos menunjukkan keberadaan sang Paman dan Emily. "Di sana Grandma," seru lelaki tersebut.Olivia langsung mengikuti arah jari mungil Logan yang menunjuk keberadaan sang putra dan calon menantu, terlihat Emily, Michael sedang berjalan mendekat. "Ada apa, Mah? Bukannya belum waktunya kan, masih ada waktu sesuai jadwal yang Mama, Papa, tentukan," lontar Michael.Wanita paruh baya itu langsung mendelik mendengar perkataan Michael yang tak mau dicecar duluan, pria tersebut langsung pada intinya. Padahal ia belum sempat mengeluarkan suara untuk berbicara. "Ya, ya, ya! Masih ada waktu. Udah ayo masuk!" balas Olivia.Emily menggeleng
Emily keluar dari kendaraan roda empat, tangannya digandeng oleh Michael. Saat keluar dari mobil, gaun hitam terterpa cahaya malam dan lampu. Potongan halter neck menonjolkan bahu jenjangnya. Sementara tali tipis di belakang leher memperlihatkan punggung perempuan tersebut. Lapisan kain jatuh asimetris bergerak mengikuti langkah dia, menciptakan siluet dramatis seolah ia tengah menari disetiap hentakan. Pandangan matanya menatap gedung yang akan ia masuki, begitu indah memanjakan mata. Sedangkan Michael lelaki netranya menangkap beberapa pria yang lewat melirik sang kekasih. Dengan gerakkan cepat dia membuka jas dan memakaikan pada Emily. "Kenapa," kata Emily spontan. Lelaki itu hanya diam tidak langsung menjawab ucapan sang kekasih, tangannya segera melingkar ke pinggang Emily membuat Emily mengerutkan dahi. "Agar semua tau kamu milikku," jawab Michael simple. Michael kala berkata demikian, mata berkeliaran dengan tatapan dingin ke sekitar. Membuat Emily ikut melihat dan mengula
"Mily!" suara seseorang dan pintu terbuka membuat sepasang sejoli ini terperanjak, aksi mereka segera terhenti. Mata Emily langsung melotot. "Ekhemm, sorry bos," seru Ethan segera membalikkan badan. Senyuman geli terukir di bibir Ethan, sedangkan Emily yang tadi terkejut langsung melompat turun dari gendongan Michael, ia segera bersembunyi di dada sang kekasih. ia seperti anak kucing yang terkejut. "Kamu ini udah kaya gak punya tangan buat ngetuk aja! Ganggu tau," cecar Michael. Ethan hanya mengedikkan bahu mendengar teguran sang adik. "Lagian kalian ini benar-benar ya, lagi masa mabuk-mabuknya. Kamu buat pengaruh buruk banget buat Emily, lihat ... gadis polosku sampai seganas ini bikin tanda di leher kamu," jawab Ethan semakin senang menggoda Emily. Michael mendengus keras, ia meraih bahu Ethan dan mendorongnya pelan ke arah pintu. "Keluar. Sekarang." Nada su
Seminggu berlalu sejak pembicaraan Emily dan Daniel, mereka bersikap seperti biasa. Masih tinggal bersama, apalagi semua sibuk mengurus Logan. Pria kecil itu begitu manja dengan perempuan satu-satunya di kediaman ini, bahkan Michael melihat kedekatan kedua manusia tersebut merasa cemburu. "Auntie," panggil Logan berlari ke arah Emily. Gadis tersebut yang tengah berjalan menuju dapur sedikit terkejut, apalagi mendengar teriakan dan pelukkan pria kecil itu. "Auntie ...," serunya kembali. Logan memeluk kaki Emily, sambil mendongak memandang wajah perempuan tersebut. "Jongkok Auntie, Auntie juga harus peluk Logan. Logan kangen Auntie," ujar anak kecil tersebut. Emily tersenyum, wanita itu segera menuruti perkataan lelaki kecil ini. Berjongkok mensejajarkan tinggi dengan calon keponakannya. "Logannya Auntie udah pulang." Putra Ethan ini menganggukkan kepala deng