3 Tahun Kemudian
"Sayang, undangan untuk teman-teman kampus sudah kamu sebar'kan?" tanya Raka pada Rena saat keduanya tengah menikmati makan malam di sebuah cafe di bilangan di pusat kota Surabaya.
"Sudah semua, Sayang. Persiapan sudah sembilan puluh lima persen. Tinggal kita saja," sahut Rena sambil tersenyum lebar. Matanya kembali melirik cincin berlian pemberian Raka;lelaki yang hampir lima tahun ini menjadi pacarnya.
"Sepulang dari sini, kita mampir ke rumah ya? Udah kamu hias belum? Aku udah beli furniture yang kamu pesan itu. Udah dikirim dan sudah sesuai dengan kehendak Tuan Putri, bukan?" tanya Raka dengan senyuman hangatnya.
"Udah, Sayang ... Nanti saja ke sananya. Lagian pamali, belum menikah sudah menempati rumah baru. Kejutan pokoknya. Kamu pasti suka. Oh iya, mulai besok kita sudah tidak boleh ketemu, kata Mama. Aku dipingit," uja
Ini sudah botol minuman keras kesepuluh yang dihabiskan oleh Raka. Lelaki itu bagaikan orang gila yang kehilangan arah, saat ditinggalkan begitu saja oleh calon mempelai pengantinnya, tepat di hari bahagia mereka. Luka pedih itu semakin menganga. Luka akan kekecewaan pada wanita di masa lalu, kini ia dapatkan di masa depan. Lucunya lagi, kejadian itu sama persis saat dia menjadi pahlawan kesiangan untuk Siwi;wanita yang pernah menjadi istrinya.Katakan ini karma, tetapi ini terlalu kejam untuk seorang Raka yang sudah berusaha melupakan kelamnya masa lalu. Tangan kekarnya yang berurat tebal, masih memegang ujung botol kesebelas dan bersiap memasukkannya kembali ke dalam mulut."Jangan diteruskan, Bos! Nanti bisa berakhir di rumah sakit. Tolong, Bos!" Tangan kekarnya dicekal oleh Dion. Asistennya itu tidak tega melihat Raka yang menggenggam minuman keras bagaikan orang kesurupan."Jangan urusi aku! Aku tidak akan pernah mati
Siwi baru saja selesai memasukkan dua puluh kilogram singkong dan dua puluh kilogram jagung ke dalam karung besar. Subuh nanti, selesai salat, dia berencana akan mengantarkannya ke pasar di kota. Kakek Usman sedang tidak sehat, dari kemarin diare. Siwi tidak tega jika membiarkan kakek tua yang telah sangat baik padanya dan juga gadis kecilnya, melakukan pekerjaan berat, disaat kurang sehat."Kamu yakin mau mengantarkan ke pasar?" suara tua itu membuat Siwi menoleh. Kakek Usman masih setengah berbaring di ranjang kayunya yang sudah lapuk."Iya. Kasian Uda Jainal kalau kita tidak mengantar pesanannya. Udah Jainal sudah menjadi langganan terbaik Kakek'kan?" Siwi tersenyum. Lalu beranjak keluar rumah melalui pintu belakang. Maklumlah, namanya di kampung. Di dalam hutan pula. Tidak ada kamar mandi yang berada di satu ruangan. Kamar mandi pasti terpisah dari rumah utama.Awal-awal tinggal bersam
Edwin masih memperhatikan ibu dan anak yang masih mengantre di depan kasir apotek. Dia mengulum senyum dari balik rak madu, tempat ia bertabrakan dengan gadis kecil tadi."Wajahnya mirip dengan Raka saat kecil. Jika mereka disandingkan, pasti banyak orang yang akan mengatakan bahwa mereka adalah ayah dan anak," gumam Edwin dalam hati.Gadis kecil itu menoleh kembali padanya sambil melambaikan tangan. Edwin membalas lambaian tangan dengan senyuman hangat. Dengan gerakan cepat, Edwin mengambil ponselnya, lalu memotret Ayumi tanpa diketahui oleh ibunya. Edwin mengarahkan kamera ponsel pada gadis kecil itu dan di depan sana, Ayumi tersenyum dengan sangat manis. Edwin sampai terpana, seakan ia melihat Raka saat seusia Ayumi."Resep atas nama Tuan Raka Hidayat," seru petugas apotek. Edwin menghampiri panggilan yang ditujukan untuknya. Siwi yang mendengar nama yang tidak asing baginya, menjadi sangat ketakutan. Ia menoleh k
Edwin mengangkat kepalanya dengan perasaan putus asa. Wajahnya sudah babak belur dipukuli oleh Teja;ayah dari Siwi. Lelaki itu mengusap sudut bibirnya yang berdarah dengan punggung tangan. Walau sangat pedih dan menyedihkan, tetapi ia tidak bisa protes apapun. Dia berhak mendapatkan semua ini karena sudah menjadi orang tua yang tidak becus mengurus anak lelakinya.Teja masih terengah-engah dengan wajah penuh keringat. Tangan kanan dan kiri yang ia pakai untuk memukul Edwin terasa kebas dan juga berdenyut. Jika saja membunuh itu boleh, maka dia sudah pasti membunuh lelaki yang seumuran dengannya ini."Kenapa kalian lakukan ini pada Siwi? Kenapa?!" bentak Teja lagi dengan suara bergetar."S-saya benar-benar tidak tahu, Teja. Saya berkata jujur. Saya pasti sudah datang kemari jika tahu Raka menikahi Siwi." Edwin kembali mengiba dengan suara yang begitu payah. Tidak mudah mengeluarkan kalimat, disaat bibirnya terluka.
Edwin dengan setia mendengarkan ocehan Raka yang masih asik menatap ponselnya, dengan memanggil nama 'Siwi'. Tidak ada yang bisa ia lakukan saat ini, karena Raka tidak memberikan ponsel itu kembali ke tangannya. Padahal Edwin ingin sekali mengirimkan foto itu pada Dion, kemudian meminta lelaki itu untuk mencari informasi perihal wanita yang berkali-kali dipanggil 'Siwi' oleh anaknya.Edwin duduk di kursi, sedangkan Raka duduk di bawah. Rambut gondrong yang tumbuh sangat lebat dan tak terurus milik Raka, dengan sangat pelan dan hati-hati ia sisir hingga rapi. Setelahnya ia kuncir tinggi bak ekor kuda. Hormon Raka memang seperti itu, jika ia dalam keadaan mood tidak baik, maka rambut dan jampangnya akan mudah tumbuh dengan subur."Kita mandi ya, Ka? Nanti Papa ajak Siwi ke sini. Kamu mau?" rayu Edwin sambil berbisik. Raka yang tengah mematung menatap ponsel papanya, seketika menoleh dan sorot mata kosong itu bagaikan penuh harap."Siwi ya?" katanya lagi mema
"Siapa ya? Ada apa ini?" Kek Usman muncul dari balik tubuh Edwin. Lelaki tua itu menautkan alisnya, memandang heran dua orang tamu di depan rumahnya. Edwin tersenyum, begitu pun Dion. Mereka memberikan jalan pada kakek tua agar bisa masuk ke dalam rumahnya yang sangat sederhana."Masuklah,," ujar Kek Usman dengan suara rentanya. Siwi masih belum sadar dari keterkejutannya, malah mematung di ruangan depan yang biasanya dijadikan tempatnya bermain bermain bersama Ayumi. Hanya ada tikar tua tergelar di sana sebagai alas duduk."Jangan, sungkan. Ayo masuk." Kek Usman berjalan ke belakang untuk mencuci tangan. Edwin dan Dion sudah duduk di atas tikar masih dengan mulut terkunci."Siwi, kamu belum pernah lihat orang kota ya? Ampe bengong gitu. Ayo, buatkan minum. Teh saja." Perintah Kek Usman membuat Siwi tersadar, lalu dengan gerakan cepat menarik tangan Ayumi ikut ke belakang bersamanya untuk membuatkan minum. Kepalanya masih
Malam ini jauh berbeda dari malam-malam sebelumnya. Kehadiran Ayumi, Siwi, dan juga Kek Usman di rumah Edwin, menjadi kebahagiaan sendiri untuknya. Suasana lebih semarak dan ramai. Walau kontrakan mereka tidak terlalu besar, tetapi Ayumi terlihat senang. Gadis cantik itu berlarian ke sana-kemari sambil memegang roti yang tadi sempat dibeli Edwin di jalan.Siwi membuatkan teh untuk Kek Usman dan juga Edwin. Wanita itu bergelut di dapur dengan gerakan sangat canggung, karena Raka tidak berhenti mengamatinya dari ruang tengah. Lelaki itu duduk diam saja tanpa bicara, tetapi bola matanya bergerak sesuai dengan gerakan tubuh Siwi."Ayumi, tidak berlarian di dalam rumah, nanti jatuh," seru Siwi sambil membawa nampan."Iya, Bun. Rumah Papa Lata besal, Ayumi senang." Gadis kecil itu memperlihatkan seringai cantiknya. Siwi hanya bisa menghela napas, lalu berjalan melewati Raka."Biar saya bantu." Raka merebut
Siwi tersentak kaget saat merasakan berat di atas perutnya. Biasanya kepala Ayumi yang berada di sana, tetapi tidak terlalu berat. Ia juga tak yakin ini adalah kepala putrinya, karena tidak mungkin kepala bentuknya panjang saat tanpa sengaja ia meraba atas perutnya. Berbulu, bukan rambut. Berarti ini bukan kepala Ayumi.Dengan wajah amat kaku, Siwi sedikit menunduk untuk melihat benda apa yang ada di atas perutnya."Aaaaaargh! Pergi! Pergi!" Siwi berteriak histeris sambil melemparkan tangan Raka dari atas perutnya. Ayumi pun tersentak bangun. Kek Usman dan Edwin yang tengah berada di teras menikmati kopi pagi, berlarian masuk ke dalam rumah. Siwi memeluk lututnya, menyembunyikan wajahnya pada kakinya dengan tubuh gemetar.Raka masih mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, karena tidak paham dengan apa yang terjadi."Pergi ... jangan siksa saya ... tolong ... toloong!" pekik Siwi dengan begitu menyedihk