Setelah berendam air hangat dan menikmati sarapan di kamarnya, Cleo dan Anne bersiap untuk mengunjungi kakek Cleo, Tuan Lewis Addison, di mansionnya.
"Ayo, Anne, kita harus segera berangkat," kata Cleo, berjalan keluar dari kamarnya.
"Iya, sebentar," jawab Anne, menyusul Cleo. "Tapi Cleo, bisakah kau naikkan sedikit kerah crewneck-mu? Nyonya Amartha bisa marah besar kalau melihat lehermu yang penuh tanda itu."
Cleo hanya mengangkat bahu, tidak peduli. "Sudahlah, Anne. Nenekku tidak akan melihatnya," jawab Cleo, santai.
"Justru itu masalahnya! Kalau nenekmu sampai melihatnya, aku yang akan digantung hidup-hidup!" seru Anne, panik. "Ayolah, Cleo, demi aku."
Cleo menghela napas panjang, lalu dengan malas menaikkan sedikit kerah crewneck-nya. "Sudah?" tanya Cleo, dengan nada kesal.
"Naikkan lagi sedikit," pinta Anne, cemas. "Sedikit lagi saja."
Cleo memutar bola matanya, lalu menarik kerahnya hingga hampir menutupi dagunya. "Puas?" tanya Cleo, sinis.
"Sempurna!" jawab Anne, tersenyum lega. "Terima kasih, Cleo. Kau memang sahabat terbaikku."
Cleo hanya mendengus, lalu berjalan menuju lift. Anne mengikutinya dari belakang, masih merasa khawatir.
"Kau yakin nenekmu tidak akan marah?" tanya Anne, ragu.
"Sudah kubilang, nenekku tidak akan melihatnya," jawab Cleo, dengan nada yakin. "Lagipula, nenekku sedang fokus merawat kakekku. Dia tidak punya waktu untuk mengurus hal-hal seperti ini."
"Tapi tetap saja, Cleo. Aku tidak mau mengambil risiko," kata Anne, cemas. "Kau tahu sendiri bagaimana nenekmu itu. Dia bisa sangat kejam kalau sedang marah."
Cleo terdiam sejenak, lalu menghela napas lagi. "Baiklah, Anne," kata Cleo, akhirnya. "Aku janji akan berhati-hati. Aku tidak akan membiarkan nenekku melihat leherku."
Anne tersenyum lega mendengar janji Cleo. "Terima kasih, Cleo," kata Anne, tulus. "Kau memang yang terbaik."
Lift berhenti di lantai dasar, dan pintu terbuka. Cleo dan Anne berjalan keluar dari lift dan menuju gerbang utama mansion.
Keduanya berjalan menuju kediaman kakek Lewis yang berada di tengah-tengah antara kediamannya dan kediaman milik paman Arthur.
Setibanya di mansion kakeknya, Cleo disambut oleh petugas keamanan yang segera membukakan gerbang.
"Selamat pagi, Nona Cleora," sapa kepala pelayan dengan hormat.
“Selamat pagi bibi Marlin” balas Cleo diikuti Anne di belakangnya.
"Siapa yang datang Marlin?" tanya Nyonya Amartha tiba-tiba, dengan nada yang masih jelas terdengar.
Cleo, yang mendengar pertanyaan itu, langsung berjalan cepat menuju ruang tengah dengan wajah cemberut. Anne, yang mengikutinya dari belakang, hanya bisa pasrah dan berdoa agar kerah crewneck Cleo tidak tersingkap.
Sesampainya di ruang tengah, Cleo langsung berdiri di depan neneknya. Nyonya Amartha, yang sedang membaca majalah, mengalihkan pandangannya pada Cleo.
"Ya tuhann cucu kecilku tercinta!" seru Nyonya Amartha, dengan wajah sumringah. Ia meletakkan majalahnya dan bersiap untuk menyambut Cleo.
“Berhenti disana nenek!” ucap Cleo yang hendak menghindari pelukan dan ciuman dari neneknya.
Namun sayangnya tidak bisa, ia kalah cepat dengan sang nenek “Selalu saja seperti ini” gerutunya yang disambut kekehan oleh nenek Amartha.
Cleo masih cemberut, namun ia tidak bisa menyembunyikan rasa senang melihat neneknya. "Nenek!" sapa Cleo, dengan nada sedikit merajuk. "Kenapa Nenek selalu memanggilku 'cucu kecil'? Aku kan sudah besar, lihatlah tubuh seksi ini."
Nyonya Amartha tertawa kecil mendengar protes Cleo. "Kau ini, sudah besar tapi masih saja merajuk seperti anak kecil," kata Nyonya Amartha, sambil mencubit pipi Cleo dengan gemas.
"Bagi Nenek, kau tetap cucu kecil kesayangan Nenek, tidak peduli seberapa besar pun kau."
"Terserah nenek saja" jawab Cleo, pasrah. "Hm, bagaimana keadaan kakek?"
Nyonya Amartha menghela napas pelan. "Kakekmu masih belum membaik, sayang," jawab Nyonya Amartha, dengan nada sedih. "Tapi Dokter mengatakan, kondisinya sudah mulai ada peningkatan."
Mendengar itu, wajah Cleo langsung berubah menjadi khawatir. "Aku ingin melihat kakek," kata Cleo, dengan nada cemas.
"Tentu saja, sayang," jawab Nyonya Amartha, tersenyum lembut. "Kakekmu pasti senang melihatmu. Ayo, kita ke kamarnya."
Nyonya Amartha berdiri dari kursinya dan menggandeng tangan Cleo. "Anne, tunggu saja di sini ya," kata Cleo, menoleh pada sahabatnya. "Aku tidak akan lama."
Anne mengangguk dan tersenyum. "Baiklah, Cleo. Hati-hati ya."
Anne merasa lega karena tidak perlu ikut masuk ke kamar Tuan Lewis. Ia tidak ingin mengambil risiko bertemu dengan Tuan Lewis dalam kondisi seperti itu.
Nyonya Amartha dan Cleo berjalan menuju kamar Tuan Lewis, meninggalkan Anne di ruang tengah.
Nyonya Amartha menggandeng tangan Cleo, dan mereka mulai berjalan menuju kamar Tuan Lewis. Mereka melewati lorong panjang yang dindingnya dipenuhi dengan foto-foto keluarga dari berbagai generasi.
"Nenek, foto-foto ini sudah lama sekali. Kenapa nenek tidak menggantinya?" tanya Cleo, sambil mengamati setiap foto dengan seksama.
"Tentu saja tidak, sayang," jawab Nyonya Amartha, tersenyum lembut. "Foto-foto ini adalah saksi bisu perjalanan keluarga kita. Setiap foto memiliki cerita dan kenangan tersendiri."
Pandangan Cleo tertuju pada sebuah foto besar yang sangat lengkap. Di sana ada kakek dan neneknya saat muda, ayah dan ibunya, paman Arthur dan bibi Diana, beserta... Nicholas, sepupunya.
"Ini adalah foto lengkap keluarga kita yang terakhir, kan?" tanya Cleo, dengan nada sedikit nostalgia.
"Iya, sayang," jawab Nyonya Amartha, mengangguk. "Foto ini diambil saat Nicholas baru menyelesaikan study nya. Dulu, dia sangat dekat denganmu."
Cleo terdiam sejenak, lalu menatap neneknya dengan tatapan ingin tahu. "Nek," bisik Cleo, pelan. "Di mana kak Nicholas sekarang? Kenapa dia tidak pernah pulang?"
Nyonya Amartha hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis, seolah tidak ingin menjawab pertanyaan itu.
"Nenek tidak ingin menceritakan sesuatu padaku?" tanya Cleo, dengan nada kecewa.
"Bukan begitu, sayang," jawab Nyonya Amartha, menghela napas pelan. "Ini adalah cerita yang panjang dan rumit. Nenek tidak ingin membahasnya sekarang."
Cleo mengerti bahwa neneknya tidak ingin membahas topik itu. Ia pun mengalihkan perhatiannya pada foto-foto lain di sepanjang lorong.
"Nek, lihat foto ini!" seru Cleo, sambil menunjuk sebuah foto yang menampilkan dirinya saat masih kecil bersama kakeknya. "Aku ingat sekali saat ini. Kakek mengajakku memancing di danau."
Nyonya Amartha tersenyum melihat foto itu. "Kakekmu memang sangat menyayangimu, sayang," kata Nyonya Amartha, dengan nada lembut. "Dia selalu berusaha membuatmu bahagia."
"Aku tahu, Nek," jawab Cleo, tersenyum. "Aku juga sangat menyayangi kakek."
Sambil terus mengamati foto-foto keluarga dan berbincang-bincang, Cleo dan Nyonya Amartha akhirnya sampai di depan kamar Tuan Lewis.
Nyonya Amartha membuka pintu kamar Tuan Lewis, dan Cleo langsung berhamburan masuk. Ia berlari menuju ranjang dan memeluk kakeknya yang sedang bersandar dengan lemah.
"Kakek!" seru Cleo, dengan nada cemas.
"Bagaimana keadaan Kakek?"
Tuan Lewis tersenyum lemah dan membalas pelukan Cleo. "Cucuku sayang, Kakek baik-baik saja," jawab Tuan Lewis, dengan suara serak. "Hanya sedikit lelah."
"Lelah? Kakek harus banyak istirahat," kata Cleo, khawatir. "Jangan terlalu banyak bekerja."
"Kakek tidak bekerja, sayang," jawab Tuan Lewis, terkekeh pelan. "Kakek hanya menikmati masa pensiun."
Nyonya Amartha tersenyum melihat interaksi antara Cleo dan Tuan Lewis. Ia tahu bahwa Cleo adalah penyemangat utama bagi suaminya.
"Sudah-sudah, jangan terlalu erat memeluk Kakekmu, Cleo," kata Nyonya Amartha, mengingatkan. "Kakekmu butuh istirahat."
Cleo melepaskan pelukannya dan duduk di tepi ranjang. "Kakek, aku punya cerita yang menyenangkan!" kata Cleo, dengan semangat.
"Kemarin, aku bertemu dengan seorang desainer terkenal di Paris!"
"Benarkah?" tanya Tuan Lewis, tertarik. "Siapa namanya?"
"Jean Pierre Dubois," jawab Cleo, bangga. "Dia sangat terkesan dengan penampilanku dan menawariku kontrak eksklusif!"
Tuan Lewis terdiam sejenak, lalu menghela napas pelan. "Cleo," kata Tuan Lewis, dengan nada serius. "Kakek ingin bicara sesuatu yang penting."
Cleo menatap kakeknya dengan tatapan bingung. "Ada apa, Kek?" tanya Cleo, cemas.
"Kakek ingin kau berhenti dari dunia modeling," kata Tuan Lewis, tegas. "Kakek tidak suka kau terlalu sibuk dan jauh dari rumah."
Wajah Cleo langsung berubah menjadi kesal. "Kakek, pembicaraan ini lagi? Ayolah jawabanku akan tetap sama, tidak!" protes Cleo. "Aku suka pekerjaanku, dan aku tidak mau berhenti!"
"Tapi Kakek khawatir denganmu, sayang," jawab Tuan Lewis, dengan nada memohon. "Dunia modeling itu keras, dan Kakek tidak ingin kau terluka."
"Aku bisa menjaga diriku sendiri, Kek," kata Cleo, bersikeras. "Aku bukan anak kecil lagi."
Tuan Lewis tiba-tiba memegangi dadanya dan meringis kesakitan. "Aduh," rintih Tuan Lewis, dengan nada lemah. "Dadaku sakit sekali."
Cleo panik melihat kakeknya kesakitan. "Kakek!" seru Cleo, khawatir.
Nyonya Amartha segera mendekat dan memeriksa keadaan Tuan Lewis. "Lewis, kau kenapa?" tanya Nyonya Amartha, cemas.
"Dadaku sakit sekali, Amartha," jawab Tuan Lewis, dengan nada lemah. "Sepertinya aku butuh dokter."
Cleo segera menekan tombol intercom di samping ranjang. "Halo, tolong panggil Dokter Calum sekarang!" perintah Cleo, dengan nada panik.
Nyonya Amartha menatap Cleo dengan tatapan khawatir. "Cleo, tolong ambilkan obat Kakek di laci meja sebelah sana," pinta Nyonya Amartha, menunjuk ke arah meja di sudut ruangan.
Cleo segera berlari menuju meja dan membuka laci. Ia mencari-cari obat kakeknya dengan cemas.
Saat Cleo sudah keluar dari kamar, Nyonya Amartha menatap Tuan Lewis dengan tatapan tajam. "Kau ini benar-benar ya, Lewis," kata Nyonya Amartha, dengan nada kesal.
"Kenapa kau selalu menggunakan cara ini untuk mendapatkan apa yang kau inginkan?"
Tuan Lewis terkekeh pelan dan mengedipkan sebelah matanya pada Nyonya Amartha. "Aku sedang berusaha, Amartha," jawab Tuan Lewis, dengan nada santai. "Aku hanya tidak ingin cucu kesayanganku terluka."
"Tapi kau tidak boleh membohonginya seperti ini, Lewis," kata Nyonya Amartha, memperingatkan. "Kalau Cleo sampai tahu, dia pasti akan sangat marah."
"Tenang saja, Amartha," jawab Tuan Lewis, percaya diri. "Dia tidak akan tahu. Katakan pada Aaron untuk memperpanjang sandiwara ini. Aku ingin Cleo berhenti dari dunia modeling."
Nyonya Amartha menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa mengubah pikiran suaminya.
Di perusahaan Dominic, suasana terasa sangat tegang. Dominic tengah dalam suasana hati yang buruk, setidaknya itu yang dipikirkan oleh para bawahannya. Setiap langkah dan ucapan mereka terasa serba salah di mata Dominic.
Dominic memarahi siapapun yang membawa kesalahan padanya, sekecil apapun itu. Bahkan, kesalahan kecil yang biasanya ia abaikan, kini menjadi bahan omelan panjang lebar. Para karyawan hanya bisa menunduk dan menerima semua amarah Dominic tanpa berani membantah.
Setelah keluar dari ruangan Dominic, para karyawan berbisik-bisik satu sama lain. Mereka saling berbagi keluh kesah dan mencoba mencari tahu apa yang membuat Dominic begitu marah.
"Ada apa dengan Pak Dominic hari ini?" bisik seorang karyawan pada rekannya. "Sepertinya dia sedang tidak baik."
"Entahlah," jawab rekannya, mengangkat bahu. "Mungkin ada masalah pribadi yang sedang dia hadapi."
"Semoga saja dia segera membaik," kata karyawan itu, khawatir. "Kalau tidak, kita semua bisa jadi korban amarahnya."
Tidak lama kemudian, Dominic memanggil Luca untuk masuk ke ruangannya. Luca, yang sudah terbiasa dengan suasana hati Dominic yang berubah-ubah, masuk dengan tenang.
"Apakah kau sudah menemukannya?"
Luca mengangguk. "Laporan lengkapnya akan sampai pada Anda malam ini, Tuan," jawab Luca, dengan nada hormat. "Kami sedang mengumpulkan semua informasi yang Anda butuhkan."
Dominic mengangguk puas. "Bagus," kata Dominic, singkat. Ia lalu mengusir Luca dengan kode tangannya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi.
Luca mengerti isyarat itu dan segera keluar dari ruangan Dominic. Ia tahu bahwa Dominic sedang tidak ingin diganggu.
Setelah Luca pergi, Dominic menyandarkan dirinya di kursi dan memejamkan matanya. Ia merasa lelah dan frustrasi. Ia sangat ingin segera menemukan orang yang semalam berbagi ranjang dan keringat yang sama dengannya
“Sial”
Wajah cantik itu benar-benar menghancurkan fokusnya hari ini. Tidak seharusnya ia memikirkan wanita itu.
Kemudian dominic berdiri, berjalan menuju pintu ruangannya dengan dasi yang ia longgarkan.
“Siapkan mobil.” Perintahnya pada Luca yang langsung sigap mengikuti tuannya
Setelah kembali dari kediaman kakeknya, Cleo benar-benar kesal. Ia merasa dipermainkan dan dibohongi oleh kakeknya sendiri.
Bahkan, ia sampai tidak ingin mengunjungi kakeknya lagi. Menurutnya, kakeknya benar-benar buruk dalam berakting.
"Aku tidak percaya Kakek bisa berbohong seperti itu," gerutu Cleo, sepanjang perjalanan pulang. "Aku benar-benar kecewa."
"Sudahlah, Cleo," kata Anne, mencoba menenangkan. "Mungkin Kakekmu punya alasan sendiri. Jangan terlalu marah."
"Alasan apa?" tanya Cleo, sinis. "Alasan untuk mengatur hidupku? Aku sudah dewasa, Anne. Aku bisa menentukan jalan hidupku sendiri."
"Aku tahu, Cleo," jawab Anne, menghela napas. "Tapi Kakekmu hanya ingin yang terbaik untukmu. Dia menyayangimu."
"Kalau dia menyayangiku, dia seharusnya membiarkanku bahagia dengan pilihanku," kata Cleo, bersikeras. "Aku tidak mau lagi mengunjungi Kakek untuk sementara waktu."
Untuk mengalihkan perhatiannya dari kekesalan terhadap kakeknya, Cleo mengajak Anne untuk pergi makan malam di sebuah restoran mewah. Ia berharap suasana yang berbeda bisa membuatnya merasa lebih baik.
"Ayo, Anne," ajak Cleo, dengan nada sedikit bersemangat.
“Terserah kau saja.” Balas Anne lelah.
Sesampainya di restoran, Cleo dan Anne disambut dengan ramah oleh para pelayan. Mereka diantar menuju sebuah ruangan private yang terletak di bagian belakang restoran.
Saat mereka memasuki ruangan private tersebut, Cleo terkejut melihat pria yang memenuhi pikirannya sepanjang hari bersama dengan asistennya sedang duduk di salah satu meja. Pria itu tampak serius berbicara dengan asistennya.
"Oh, sial," gumam Cleo, pelan. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan pria itu lagi, apalagi di tempat seperti ini.
"Ada apa, Cleo?" tanya Anne, bingung. "Kenapa kau tiba-tiba berhenti?"
Cleo menunjuk ke arah meja Dominic dengan dagunya. "Lihat itu," bisik Cleo, pelan. "Pria yang bersamaku semalam ada di sana."
Anne mengikuti arah pandang Cleo dan terkejut melihat Dominic. "Ya Tuhan, Cleo," kata Anne, dengan nada khawatir. "Apa yang akan kau lakukan?"
Cleo terdiam sejenak, merasa terpaku di tempatnya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Sebagian dirinya ingin menghampiri pria itu dan menanyakan namanya, tetapi sebagian lagi merasa takut dan malu.
"Aku... aku tidak tahu," jawab Cleo, dengan nada bingung. "Mungkin sebaiknya kita pergi saja."
"Kau yakin?" tanya Anne, ragu. "Kau tidak ingin menyapanya?"
Cleo menggelengkan kepalanya. "Tidak," jawab Cleo, tegas. "Aku tidak ingin membuat masalah."
“Tidak, jangan pergi! Kurasa seharusnya kita bersikap biasa saja.” Lanjutnya lagi.
Cleo menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah maju. Ia berjalan melewati meja Dominic dengan kepala tegak, berusaha untuk tidak melihat ke arahnya.
Namun, saat ia melewati meja itu, matanya tidak sengaja bertemu dengan mata Dominic. Pria itu juga sedang menatapnya, dengan tatapan yang sulit diartikan.
Jantung Cleo berdegup kencang. Ia merasa seperti tersihir oleh tatapan pria itu. Ia ingin sekali berhenti dan berbicara dengannya, tetapi ia tidak berani.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Cleo terus berjalan. Ia melewati Dominic dengan tatapan yang membekas di benaknya.
Dominic menatap kepergian Cleo dengan tatapan penuh minat.
"Luca," kata Dominic, dengan nada pelan. “Aku ingin datanya sudah ada dalam satu jam kedepan”
Luca mengangguk. "Tentu, Tuan," jawab Luca, dengan nada hormat. "Akan saya lakukan secepatnya."
Dominic tersenyum tipis. Ia tahu bahwa ia akan segera mendapatkan semua informasi yang ia butuhkan tentang Cleo.
Sementara itu, Cleo dan Anne sudah duduk di meja mereka. Cleo masih merasa gugup dan salah tingkah.
"Kau baik-baik saja, Cleo?" tanya Anne, khawatir. "Kau terlihat pucat."
"Aku baik-baik saja," jawab Cleo, dengan nada gugup. "Hanya sedikit terkejut."
"Kau yakin?" tanya Anne, tidak percaya.
Cleo mengangguk. "Sungguh," jawab Cleo, meyakinkan. "Sudahlah, lupakan saja. Mari kita nikmati makan malam kita."
Cleo mencoba untuk bersikap biasa, tetapi ia tidak bisa menghilangkan bayangan Dominic dari pikirannya. Ia tahu bahwa ia tidak akan bisa melupakan pria itu begitu saja.
Saat Cleo berbalik, mata mereka bertemu. Tatapan mereka terkunci satu sama lain, penuh dengan rasa penasaran, tantangan, dan... mungkin, sedikit ketertarikan.
Tanpa sepatah kata pun terucap, Cleo memalingkan wajahnya menghindari tatapan pria tersebut.