Wanita itu menjatuhkan gelas winenya ketika melihat pemandangan menyayat hati yang saat ini terpampang di hadapannya.
Dia mematung dengan jantungnya yang sempat berhenti berdetak selama sedetik sebelum akhirnya berpacu cepat akibat perasaan sedih dan marah yang mendadak tak ayal menggerayangi dirinya dalam sekejap.
Sepasang pria dan wanita yang sedang berciuman mesra itu langsung menoleh ke arahnya begitu mendengar suara pecahan gelas kaca yang ia jatuhkan.
"Elline?" ujar pria itu dengan wajah panik dan langsung menjauh dari wanita di hadapannya.
Elline berjalan mundur dengan perlahan ketika Melvin, pacarnya itu, mendekat ke arahnya. Caranya berjalan mundur dengan langkah yang gontai itu membuatnya hampir jatuh karena beberapa kali bertubrukan dengan orang-orang yang sedang bergoyang ria di atas lantai dansa dengan iringan musik bar yang sangat menggelegar.
"Tidak kusangka, gosip mengenai dirimu dan Gloria yang main di belakangku ternyata memang benar," ujar Elline dengan suaranya yang bergetar hebat. Suaranya itu beradu dengan musik bar yang menggema di seluruh ruangan, namun Melvin masih tetap bisa mendengar apa yang ia ucapkan.
"Elline, dengarkan aku dulu," kata Melvin.
Elline tersenyum pahit dan menggeleng pelan pada pria itu. Ia berbalik dan berjalan menuju pintu keluar bar. Melvin terus memanggil namanya di tengah hiruk pikuk bar di malam yang sudah semakin larut itu.
Meskipun ia mendengar pria itu meneriaki namanya, tapi ia tidak peduli. Ia juga tahu bahwa kini Melvin mengikutinya, tapi tak sedikitpun ia mau berbalik, ia hanya terus berjalan keluar dari bar dengan air mata yang sudah membanjiri kedua pipinya.
"Elline, tunggu," Melvin meraih tangan Elline dan memaksanya untuk berhenti ketika saat ini mereka berada di area parkir bar.
"Dengarkan aku dulu," ucap Melvin.
"Apa yang harus aku dengar darimu?! Kau bercumbu dengan wanita lain dan kau masih berani menarik tanganku dan menyuruhku untuk mendengarkanmu?!" pekik Elline di tengah isak tangisnya seraya menghentakkan pergelangan tangan kanannya yang digenggam oleh pria di hadapannya itu.
Setelah ia berhasil melepas tangannya dari genggaman Melvin, ia pun menatap pria itu dengan kedua matanya yang terus berlinang air mata, lalu berkata dengan nada suaranya yang tinggi dan sangat tak terkontrol, "Berani-beraninya kau selingkuh dengan wanita itu, dasar bajingan! Asal kau tahu, kau adalah lelaki paling brengsek yang pernah aku kenal, Melvin. Kita saling mengenal sejak kita berumur 7 tahun, dan sekarang aku sungguh menyesal karena dengan bodohnya mau berpacaran denganmu."
Tak terima mendengar segala penuturan Elline itu, Melvin pun menyahut dengan tak kalah emosi, "Kau pikir bagaimana perasaanku, hah?! Kau kira selama ini aku tidak menyesal karena memacarimu? Kau hanya wanita gila yang bertingkah seperti komandan dengan selalu mengatur-aturku! Tidakkah kau mau berpikir alasan apa yang membuatku selingkuh darimu? Lihatlah dirimu, Elline, kau kacau."
Dalam sekejap saja, Elline tak ragu melayangkan tamparan keras ke pipi pria di hadapannya itu.
Melvin memegangi pipi kirinya yang saat ini berangsur-angsur memerah akibat tamparan keras dari Elline. Dia tersenyum sinis, lalu berkata dengan sengit, "Kau sakit, Elline. Pantas saja ibumu membawamu bolak-balik klinik kejiwaan. Ternyata kau memang gila."
"Jaga ucapanmu, sialan! Sekali lagi kau buka mulutmu, aku tidak segan-segan membunuhmu!" pekik Elline.
Tak lama kemudian, wanita bergaun merah yang tadi Elline lihat berciuman dengan Melvin, muncul dari dalam bar dan datang menghampiri mereka. Wanita berparas Amerika Latin itu terlihat panik saat menatap Elline. Dia nampak kebingungan dan kesulitan menata kalimat untuk buka suara.
"Elline..."
Elline mengangkat tangan kanannya, memotong ucapan wanita itu, "Tidak usah mengatakan apapun, Gloria."
Dia menatap Melvin dan Gloria bergantian, mengintimidasi mereka dengan netra tajamnya yang berair penuh air mata, "Keparat seperti kalian berdua seharusnya berada di neraka."
Setelah mengumpat seperti itu, Elline berbalik dan berjalan meninggalkan area parkir bar. Namun, sebelum ia benar-benar keluar dari area parkir tersebut, ia berhenti tepat di samping mobil putih milik Melvin, kemudian memberikan tendangan berkali-kali pada salah satu sisi mobil itu dengan sangat keras dan penuh emosi sebelum akhirnya beranjak pergi.
"Sialan kau, Elline!"
***
Wanita itu menenggak bir dari botol yang ia pegang. Setelah beberapa kali teguk, dia menghela napas berat dan menghentikan langkahnya.
Kepalanya mendongak ke atas, menatap langit malam kota New York yang sangat gelap tanpa bulan atau satupun bintang. Kerongkongannya terasa panas akibat terlalu banyak mengonsumsi alkohol. Namun, itu tidak masalah. Rasa panas itu setidaknya mampu membuat tubuhnya terasa sedikit tenang meski berkali-kali merasakan hembusan angin musim dingin yang menusuk.
Elline tidak tahu sudah pukul berapa sekarang, tapi yang ia terka, sekarang pasti sudah lewat tengah malam atau mungkin justru sudah pagi.
Trotoar tempatnya berdiri saat ini telah sangat sepi. Hanya dua atau tiga orang yang masih berlalu lalang di sana. Entah ia memang berada di jalan yang biasanya sepi, atau memang sepi karena sudah sangat larut.
Sembari terus menatap langit malam yang mengarungi seisi New York di awal musim dingin ini, Elline kembali menenggak birnya. Sejujurnya, ia tidak terlalu kuat dengan alkohol. Ia yakin, sebentar lagi mungkin ia akan pingsan karena semakin mabuk.
Air mata mulai mengalir dari kedua mata cokelatnya. Dia menangis dalam diam selama beberapa waktu, meratapi nasibnya yang begitu menyedihkan.
Hingga tak lama kemudian, suara tangisnya pun pecah. Dia terduduk di atas trotoar dan terus menangis tersedu-sedu ketika dadanya terasa begitu sesak begitu mengingat Melvin. Tak peduli pada bagaimana pandangan orang lain yang ada di sekitarnya, tapi saat ini dia memang terlihat seperti pemabuk gila.
Melvin adalah temannya sejak kecil. Melvin adalah tetangganya sejak ia dan orangtuanya pindah ke New York saat ia berusia 7 tahun hingga sekarang ia telah berusia 22 tahun. Berapa lama ia mengenal pria itu? Seharusnya ia menjadikannya cukup sebagai sahabat dan teman, kan? Mengapa bisa-bisanya setahun yang lalu ia bercinta dengan sahabatnya sendiri? Mengapa bisa-bisanya ia jatuh cinta pada Melvin dan mengiyakan ketika Melvin mengajaknya untuk menjalin hubungan asmara setelah mereka sempat bercinta waktu itu?
Elline sangat mengenal Melvin, begitu pula sebaliknya. Elline tahu betul siapa Melvin. Pria itu adalah pria paling brengsek yang pernah ia kenal. Wajah dan sifatnya yang disebut-sebut sebagai idaman semua wanita, sesungguhnya hanyalah topeng di balik watak brengseknya yang sebenarnya.
Elline tahu soal itu. Belasan tahun ia mengenal Melvin. Sejak beranjak remaja hingga dewasa pun ia sudah menyaksikan berapa banyak wanita yang dipermainkan oleh Melvin.
Lalu, mengapa dengan bodohnya ia bisa jatuh cinta pada pria seperti itu? Terkutuklah perasaannya karena telah menaruh hati pada lelaki brengsek itu.
Elline sungguh tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Rumahnya berada tepat di sebelah rumah Melvin, di daerah perumahan yang sama di wilayah Manhattan, dan di blok perumahan yang sama pula. Setelah menyaksikan pria itu bercumbu dan selingkuh dengan salah satu temannya di kampus, bagaimana ia harus bersikap jika bertemu dengan pria itu saat keluar dari rumah? Atau bagaimana ia harus bertindak ketika ia berpapasan dengan pria itu di kampus?
Elline tak tahu patah hati akan terasa semenyakitkan ini. Ia sangat memercayai Melvin. Akibat trauma masa kecil yang pernah ia alami, ia tidak pernah menaruh kepercayaan penuh pada pria lain selain Melvin. Ia menganggap Melvin sebagai pelindungnya, orang kepercayaannya, dan segala-galanya. Tapi lihatlah sekarang. Pria itu justru menyakitinya.
***
Bersambung....
Wanita itu menunduk, menatap boots heels keluaran Gucci yang menempel indah di kedua kaki jenjangnya. Kepalanya masih terasa pening, tapi itu wajar karena semalaman ia mabuk dan hanya tidur kurang dari 3 jam. Setelah terdiam selama beberapa saat di depan pintu rumah, dia pun berjalan menuju pagar. Hati boleh terasa mati, tapi selagi masih bernyawa, ia akan tetap melakukan apa yang harus ia lakukan, yaitu memulai hari dengan berangkat ke kampus meski selalu dengan setengah hati. Baru saja berjalan beberapa langkah, Elline melihat Melvin juga baru keluar dari pagar rumahnya sendiri. Tanpa sadar, langkahnya melambat ketika ia saling beradu tatap dengan pria itu selama beberapa saat. Tapi kemudian, ia pun langsung membuang muka dan mencoba untuk tidak memedulikan wujud Melvin meskipun sebenarnya ia ingin menangis detik ini juga jika mengingat apa yang terjadi antara dirinya dan Melvin semal
Setelah bicara dengan nada tinggi, wanita itu mulai menangis tersedu-sedu. Melvin menoleh ke sekelilingnya. Ia mendapati semua orang yang ada di area tunggu kedatangan kereta kini menatap ke arahnya dan Elline dengan tatapan yang beragam. Mulai dari tatapan keheranan, tatapan aneh, sampai tatapan sinis. Bahkan sekarang banyak pasang mata yang mengintimidasinya karena wanita yang sedang bersamanya itu kini menangis tersedu-sedu dan tak henti bicara dengan suara melengking. "Dasar pria brengsek! Kau kira aku ini apa, hah?! Kau selingkuh dariku dan mengata-ngataiku semalam. Kau menyebutku sakit, menyebutku gila, lalu kau bersikap seolah kaulah yang menjadi korban! Persetan denganmu! Kau yang gila, dasar bajingan!" Melvin sungguh tak mempermasalahkan umpatan kasar yang terus Elline lontarkan padanya itu. Saat ini ia lebih mempermasalahkan tatapan orang-orang yang tertuju pada mereka. Apalagi di sana banyak maha
Ia adalah mahasiswa di salah satu universitas yang cukup ternama di Amerika Serikat, jadi apapun yang terjadi, ia akan tetap berangkat ke kampus. Banyak orang pintar dan jenius yang mendamba-dambakan ingin menjadi mahasiswa di New York University, sedangkan dirinya hanyalah wanita bodoh yang bahkan tidak pernah benar-benar memahami apa itu Teori Copernicus yang merupakan pelajaran dasar murid sekolah menengah, tapi ia bisa menjadi mahasiswa jurusan Psikologi di NYU karena faktor keberuntungan dan melalui jalur langit, yaitu atas bantuan Tuhan. Ia bisa diterima menjadi mahasiswa NYU melalui rentetan tes yang ia ikuti setelah lulus dari sekolah akhir 2 tahun yang lalu. Awalnya ia hanya coba-coba saja, dan saat mengikuti semua tes pun ia melakukannya secara asal-asalan. Namun, keberuntungan rupanya ada di pihaknya, dan ia pun bisa lolos. Walaupun ia hanya datang ke Gereja untuk berdoa saat natal dan saat ada m
Olivia jelas merasa keheranan melihat sikap Elline hari ini. Pertama-tama, Elline tidak datang saat kelas pagi dan baru tiba saat siang hari. Kedua, Elline berpenampilan seperti zombie. Dan ketiga, karibnya itu terlihat tidak terlalu memedulikan penampilannya yang saat ini dipandang heran oleh sebagian besar orang-orang yang ada di kelas. Olivia paham bahwa ada sesuatu yang salah, sebab ini bukan sikap wajar Elline yang pada hari-hari sebelumnya selalu ia lihat. Elline adalah wanita yang sangat peduli pada penampilan. Yah, walaupun Elline sering bertingkah tidak tahu malu, tapi Olivia paham betul bahwa Elline adalah tipikal orang yang selalu ingin berpenampilan menarik di depan banyak orang. Jadi, ketika melihat Elline tak peduli pada betapa berantakannya penampilannya siang ini, jelas Olivia bertanya-tanya, apa yang terjadi? "Ada apa denganmu?" tanya Olivia. Dia menarik kursi yang didudukinya untuk mendeka
Sudah hampir 15 menit wanita itu sesenggukan dan bersikap seolah menjadi wanita yang paling merana di dunia ini. Olivia menghela napas. Ia meminum kopinya dan menatap Elline yang duduk di sebelahnya dengan tatapan iba. Sekitar 30 menit yang lalu, begitu kelas mata kuliah Komunikasi telah selesai, Elline dan Olivia pergi dari kampus dan mampir ke kedai kopi. Elline membeli vanilla latte, sementara membeli mochaccino. Dan sekarang, mereka berdua sedang duduk di salah satu bangku taman di Central Park yang terletak di tengah-tengah gedung-gedung tinggi di Manhattan. Olivia mengizinkan Elline untuk bercerita mengenai bagaimana jalan cerita masalahnya dengan Melvin. Ia mengizinkan Elline kembali bercerita karena ia pikir mungkin saja Elline sudah merasa lebih tenang dan tidak akan menangis lagi karena tadi sudah menangis meraung-raung di kelas sebelum mata kuliah mereka dimulai. 
Wanita itu melempar pena miliknya sembarangan ke atas meja. Ia benar-benar jenuh. Kepalanya yang sudah sakit, makin terasa sakit dan pening karena sejak tadi terus menatap buku tebal yang ada di hadapannya. Elline beranjak dari meja belajarnya yang terletak di salah satu sisi kamar, kemudian langsung membaringkan tubuhnya di atas kasur. Ia menenggelamkan wajahnya ke bantal empuk di kasurnya itu. Setelah terdiam cukup lama dalam keheningan malam yang cukup menusuk, air matanya mulai menetes tanpa ia sadari. Hingga beberapa menit kemudian, ketika ia mengangkat sedikit kepalanya dari bantal, ia melihat bantal itu sudah basah karena air matanya yang sejak tadi mengalir bebas dari kedua matanya yang sangat sayu malam ini. Elline tidak tahu sejak kapan ia mengidap hypophrenia atau kondisi dimana seseorang bisa menangis secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas. Diam merenung dengan pikiran kos
Mobil yang Elline tumpangi itu tiba di depan sebuah rumah bergaya khas Amerika tanpa pagar. Elline memandangi rumah itu dan melihat bahwa pesta yang Daniel adakan nampak sudah lumayan ramai. "Ayo, masuk," ajak Daniel yang duduk di kursi kemudi di sebelah Elline. Pria berambut pirang itu melepas seat beltnya dan melanjutkan, "Yang lain sudah menunggumu sejak tadi." Elline pun membuka pintu di sampingnya dan turun dari mobil Daniel. Ia kemudian berjalan beriringan dengan Daniel masuk ke rumah itu. "Wow, apa orang tuamu sungguh mengizinkan orang sebanyak ini mengadakan pesta di sini?" tanya Elline begitu Daniel membuka pintu rumah. Ia melihat banyak sekali teman-temannya yang lain sudah berkumpul dan minum-minum di berbagai ruangan di dalam rumah Daniel itu. "Ayah dan ibuku sedang pergi ke Las Vegas dan baru pulang besok siang. Kau tenang saja, mereka mengira ini perayaan tahunan kampus,"
Elline melempar gumpalan tissue yang ada di tangannya ke arah Daniel ketika pria itu meledeknya soal Melvin. Ia benar-benar sedang berada dalam suasana hati yang sangat buruk malam ini. Ia pikir pesta di rumah Daniel akan berlangsung menyenangkan dan bisa membuatnya melupakan segala masalah yang sedang membebani pikirannya sejak kemarin setelah ia memeregoki Melvin berciuman dengan Gloria. Tapi ternyata tidak. Memang menyenangkan bagi sebagian besar orang yang hadir di pesta itu, tapi tidak dengan Elline. Rasanya menyebalkan sekali tiap kali mendengar teman-temannya terus menerus membahas soal Melvin dan Gloria tanpa henti. "Diam kalian! Sialan sekali!" omel Elline. Gadis cantik itu memang sedang marah dan jengkel, tapi justru itulah hal lucu yang membuat para pemuda yang ada di gazebo terkekeh melihatnya. Elline mendengus dan memberikan lirikan sinis pada semua tem