Wanita itu menunduk, menatap boots heels keluaran Gucci yang menempel indah di kedua kaki jenjangnya. Kepalanya masih terasa pening, tapi itu wajar karena semalaman ia mabuk dan hanya tidur kurang dari 3 jam.
Setelah terdiam selama beberapa saat di depan pintu rumah, dia pun berjalan menuju pagar.
Hati boleh terasa mati, tapi selagi masih bernyawa, ia akan tetap melakukan apa yang harus ia lakukan, yaitu memulai hari dengan berangkat ke kampus meski selalu dengan setengah hati.
Baru saja berjalan beberapa langkah, Elline melihat Melvin juga baru keluar dari pagar rumahnya sendiri.
Tanpa sadar, langkahnya melambat ketika ia saling beradu tatap dengan pria itu selama beberapa saat. Tapi kemudian, ia pun langsung membuang muka dan mencoba untuk tidak memedulikan wujud Melvin meskipun sebenarnya ia ingin menangis detik ini juga jika mengingat apa yang terjadi antara dirinya dan Melvin semalam.
Biasanya, jika sama-sama memiliki kelas pagi, ia dan Melvin selalu berangkat ke kampus bersama. Entah menggunakan mobilnya, atau menggunakan mobil Melvin. Sungguh menyebalkan ketika hari ini ia memutuskan tidak mengendarai mobil dan memilih jalan kaki untuk ke stasiun, rupanya pria itu juga tidak mengendarai mobil, sehingga mengakibatkan mereka akan berjalan di jalur yang sama.
Elline berjalan keluar dari blok perumahan dan menyusuri trotoar untuk menuju stasiun kereta bawah tanah yang tak terlalu jauh walaupun diakses dengan berjalan kaki.
Ia tahu kalau Melvin masih berjalan di belakangnya, tapi ia sungguh mencoba untuk tidak peduli. Padahal biasanya, saat berada di dekat Melvin, ia kerap bertindak impulsif dan bersikap sesuka hati seperti apa yang ia inginkan. Sebegitu dekatnya ia dengan pria itu sampai-sampai ia tidak ragu menunjukkan siapa dirinya.
Namun, kali ini ia merasa seperti orang lain. Melvin terasa asing baginya.
"Kau sungguh akan mendiamiku seperti ini?" kata Melvin yang berjalan beberapa meter di belakang Elline dengan suara yang agak keras agar Elline bisa mendengar.
Elline tentu mendengarnya. Namun, ia tetap tidak peduli.
Meskipun ada dobrakan keras dalam dirinya untuk menangis akibat rasa sedih yang sungguh tak henti menggerayangi perasaannya semenjak kejadian di bar semalam, namun ia tak sebodoh itu.
Maksudnya, ia tahu ia telah disakiti, lalu apa yang harus ia lakukan dan ia harapkan sekarang? Haruskah ia berbalik dan berlari memeluk Melvin, lalu mengemis pada pria itu untuk jangan selingkuh darinya lagi dan jangan pernah meninggalkannya? Tentu tidak! Secengeng apapun ia sebagai wanita, ia tidak akan melakukan hal itu.
Ia memang sangat terpukul dan begitu sedih karena disakiti oleh lelaki yang paling ia percaya. Namun, otak dan hatinya tak sedangkal itu. Ia tidak mau menjadi wanita bodoh seperti wanita-wanita yang pernah Melvin kencani.
Elline tahu siapa Melvin, ia paham betul betapa brengseknya pria itu. Kalau diajak bertaruh, ia yakin seribu persen bahwa pasti selama Melvin selingkuh darinya dengan Gloria, dia pasti telah berkali-kali bercinta dengan wanita jalang itu.
Memikirkan hal tersebut membuat hati Elline makin terasa tertusuk-tusuk.
Memangnya siapa yang rela diselingkuhi? Siapa juga yang tidak sakit hati ketika dikhianati oleh orang yang dicintai?
Elline merasa salah mengambil langkah karena telah mencintai Melvin yang merupakan teman dekatnya sendiri. Seharusnya setahun yang lalu ia tidak dengan bodohnya bercinta dengan Melvin. Itu sungguh sebuah kecelakaan. Ia tidak menyangka kalau kejadian itu malah membuatnya jatuh cinta pada Melvin.
***
Melvin menoleh ke sebelah kirinya. Beberapa meter dari tempatnya berdiri saat ini, Elline berdiri dalam diam sambil menatap lurus ke depan.
Saat ini mereka sedang berada di stasiun kereta bawah tanah, menunggu kedatangan kereta yang akan membawa mereka ke stasiun terdekat New York University. Mereka berdiri dengan jarak yang membentang sekitar 15 meter.
Cukup jauh memang, tapi ia sudah mencoba berbagai hal untuk menyirnakan jarak berdiri mereka yang terpaut cukup jauh itu. Tiap kali ia mencoba menggeser posisi berdirinya ke arah Elline, Elline turut bergeser menjauh darinya. Hal itu malah membuatnya semakin merasa jengkel dan akhirnya menyerah saja.
Situasi ini sangat tidak biasa baginya. Elline yang ia kenal adalah wanita yang sangat cerewet, berisik, banyak tingkah, dan tidak bisa diam. Namun pagi ini, wanita itu benar-benar diam membisu bagai patung yang diisi nyawa. Bahkan ia lihat kedua mata Elline yang biasanya selalu berbinar-binar bak anak kecil yang berharap diberikan permen, kini menerawang lurus ke depan dan nampak sangat kosong.
Dalam hati, Melvin jelas merasa bersalah. Setidaknya ia sadar bahwa Elline seperti itu karena dirinya. Tapi mau bagaimana lagi? Semuanya sudah terjadi.
Sebulan belakangan, ia baru sadar bahwa ia tidak benar-benar mencintai Elline. Selama ini ia memang sangat menyayangi Elline, namun hanya sebatas sebagai teman yang ia anggap seperti saudaranya sendiri.
Mengenai perasaannya itu, ia merasa ragu dan tidak tega untuk memberitahu Elline. Setahun yang lalu, ia berpacaran dengan Elline setelah insiden mereka tak sengaja bercinta karena mabuk pada malam acara api unggun yang rutin dilaksanakan tiap beberapa bulan sekali oleh perkumpulan mahasiswa di kampus mereka.
Entah apa yang merasukinya, Melvin sendiri merasa sangat heran, mengapa bisa-bisanya waktu itu ia mengajak wanita itu untuk berpacaran?
"Hei, Elline, katakan sesuatu," ujar Melvin seraya menggeser posisi berdirinya mendekat ke arah Elline.
Elline tak menoleh padanya sedikitpun. Wanita itu justru turut bergeser beberapa langkah agar menjauh darinya.
Suasana stasiun kereta bawah tanah yang cukup ramai pagi ini akhirnya membuat orang-orang mulai berdiri di ruang kosong yang membentangkan jarak berdiri antara dirinya dengan Elline, yang mana hal itu membuat posisi berdiri mereka makin berjauhan dan jadi terhalang.
Belasan tahun ia mengenal Elline, ia tidak pernah didiami seperti ini oleh wanita itu. Karena itulah, beberapa menit kemudian, selagi kereta masih belum datang, Melvin pun sudah tidak tahan lagi dengan kebungkaman yang terjadi antara dirinya dan Elline. Tanpa ragu ia pun langsung menghampiri Elline dan berdiri tepat di sebelah wanita itu.
"Katakan sesuatu. Jangan diam saja," ujar Melvin.
Wanita itu menoleh padanya. Ia cukup terkejut ketika melihat adanya bendungan air mata di kedua mata bulat Elline.
"Apa maumu?" kata Elline dengan tajam.
"Jangan bersikap seperti Chaplin. Bicaralah padaku dan bersikaplah seperti biasa."
"Seperti biasa?!" pekik wanita itu.
Melvin bahkan sampai tersentak kaget karena suara Elline benar-benar kencang dan melengking. Orang-orang yang berada di sekitar mereka juga turut terkejut dan langsung menatap ke arah mereka.
"Setelah apa yang kau lakukan padaku, bisa-bisanya kau menyuruhku untuk bersikap seperti biasa?!"
Bersambung .....
Setelah bicara dengan nada tinggi, wanita itu mulai menangis tersedu-sedu. Melvin menoleh ke sekelilingnya. Ia mendapati semua orang yang ada di area tunggu kedatangan kereta kini menatap ke arahnya dan Elline dengan tatapan yang beragam. Mulai dari tatapan keheranan, tatapan aneh, sampai tatapan sinis. Bahkan sekarang banyak pasang mata yang mengintimidasinya karena wanita yang sedang bersamanya itu kini menangis tersedu-sedu dan tak henti bicara dengan suara melengking. "Dasar pria brengsek! Kau kira aku ini apa, hah?! Kau selingkuh dariku dan mengata-ngataiku semalam. Kau menyebutku sakit, menyebutku gila, lalu kau bersikap seolah kaulah yang menjadi korban! Persetan denganmu! Kau yang gila, dasar bajingan!" Melvin sungguh tak mempermasalahkan umpatan kasar yang terus Elline lontarkan padanya itu. Saat ini ia lebih mempermasalahkan tatapan orang-orang yang tertuju pada mereka. Apalagi di sana banyak maha
Ia adalah mahasiswa di salah satu universitas yang cukup ternama di Amerika Serikat, jadi apapun yang terjadi, ia akan tetap berangkat ke kampus. Banyak orang pintar dan jenius yang mendamba-dambakan ingin menjadi mahasiswa di New York University, sedangkan dirinya hanyalah wanita bodoh yang bahkan tidak pernah benar-benar memahami apa itu Teori Copernicus yang merupakan pelajaran dasar murid sekolah menengah, tapi ia bisa menjadi mahasiswa jurusan Psikologi di NYU karena faktor keberuntungan dan melalui jalur langit, yaitu atas bantuan Tuhan. Ia bisa diterima menjadi mahasiswa NYU melalui rentetan tes yang ia ikuti setelah lulus dari sekolah akhir 2 tahun yang lalu. Awalnya ia hanya coba-coba saja, dan saat mengikuti semua tes pun ia melakukannya secara asal-asalan. Namun, keberuntungan rupanya ada di pihaknya, dan ia pun bisa lolos. Walaupun ia hanya datang ke Gereja untuk berdoa saat natal dan saat ada m
Olivia jelas merasa keheranan melihat sikap Elline hari ini. Pertama-tama, Elline tidak datang saat kelas pagi dan baru tiba saat siang hari. Kedua, Elline berpenampilan seperti zombie. Dan ketiga, karibnya itu terlihat tidak terlalu memedulikan penampilannya yang saat ini dipandang heran oleh sebagian besar orang-orang yang ada di kelas. Olivia paham bahwa ada sesuatu yang salah, sebab ini bukan sikap wajar Elline yang pada hari-hari sebelumnya selalu ia lihat. Elline adalah wanita yang sangat peduli pada penampilan. Yah, walaupun Elline sering bertingkah tidak tahu malu, tapi Olivia paham betul bahwa Elline adalah tipikal orang yang selalu ingin berpenampilan menarik di depan banyak orang. Jadi, ketika melihat Elline tak peduli pada betapa berantakannya penampilannya siang ini, jelas Olivia bertanya-tanya, apa yang terjadi? "Ada apa denganmu?" tanya Olivia. Dia menarik kursi yang didudukinya untuk mendeka
Sudah hampir 15 menit wanita itu sesenggukan dan bersikap seolah menjadi wanita yang paling merana di dunia ini. Olivia menghela napas. Ia meminum kopinya dan menatap Elline yang duduk di sebelahnya dengan tatapan iba. Sekitar 30 menit yang lalu, begitu kelas mata kuliah Komunikasi telah selesai, Elline dan Olivia pergi dari kampus dan mampir ke kedai kopi. Elline membeli vanilla latte, sementara membeli mochaccino. Dan sekarang, mereka berdua sedang duduk di salah satu bangku taman di Central Park yang terletak di tengah-tengah gedung-gedung tinggi di Manhattan. Olivia mengizinkan Elline untuk bercerita mengenai bagaimana jalan cerita masalahnya dengan Melvin. Ia mengizinkan Elline kembali bercerita karena ia pikir mungkin saja Elline sudah merasa lebih tenang dan tidak akan menangis lagi karena tadi sudah menangis meraung-raung di kelas sebelum mata kuliah mereka dimulai. 
Wanita itu melempar pena miliknya sembarangan ke atas meja. Ia benar-benar jenuh. Kepalanya yang sudah sakit, makin terasa sakit dan pening karena sejak tadi terus menatap buku tebal yang ada di hadapannya. Elline beranjak dari meja belajarnya yang terletak di salah satu sisi kamar, kemudian langsung membaringkan tubuhnya di atas kasur. Ia menenggelamkan wajahnya ke bantal empuk di kasurnya itu. Setelah terdiam cukup lama dalam keheningan malam yang cukup menusuk, air matanya mulai menetes tanpa ia sadari. Hingga beberapa menit kemudian, ketika ia mengangkat sedikit kepalanya dari bantal, ia melihat bantal itu sudah basah karena air matanya yang sejak tadi mengalir bebas dari kedua matanya yang sangat sayu malam ini. Elline tidak tahu sejak kapan ia mengidap hypophrenia atau kondisi dimana seseorang bisa menangis secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas. Diam merenung dengan pikiran kos
Mobil yang Elline tumpangi itu tiba di depan sebuah rumah bergaya khas Amerika tanpa pagar. Elline memandangi rumah itu dan melihat bahwa pesta yang Daniel adakan nampak sudah lumayan ramai. "Ayo, masuk," ajak Daniel yang duduk di kursi kemudi di sebelah Elline. Pria berambut pirang itu melepas seat beltnya dan melanjutkan, "Yang lain sudah menunggumu sejak tadi." Elline pun membuka pintu di sampingnya dan turun dari mobil Daniel. Ia kemudian berjalan beriringan dengan Daniel masuk ke rumah itu. "Wow, apa orang tuamu sungguh mengizinkan orang sebanyak ini mengadakan pesta di sini?" tanya Elline begitu Daniel membuka pintu rumah. Ia melihat banyak sekali teman-temannya yang lain sudah berkumpul dan minum-minum di berbagai ruangan di dalam rumah Daniel itu. "Ayah dan ibuku sedang pergi ke Las Vegas dan baru pulang besok siang. Kau tenang saja, mereka mengira ini perayaan tahunan kampus,"
Elline melempar gumpalan tissue yang ada di tangannya ke arah Daniel ketika pria itu meledeknya soal Melvin. Ia benar-benar sedang berada dalam suasana hati yang sangat buruk malam ini. Ia pikir pesta di rumah Daniel akan berlangsung menyenangkan dan bisa membuatnya melupakan segala masalah yang sedang membebani pikirannya sejak kemarin setelah ia memeregoki Melvin berciuman dengan Gloria. Tapi ternyata tidak. Memang menyenangkan bagi sebagian besar orang yang hadir di pesta itu, tapi tidak dengan Elline. Rasanya menyebalkan sekali tiap kali mendengar teman-temannya terus menerus membahas soal Melvin dan Gloria tanpa henti. "Diam kalian! Sialan sekali!" omel Elline. Gadis cantik itu memang sedang marah dan jengkel, tapi justru itulah hal lucu yang membuat para pemuda yang ada di gazebo terkekeh melihatnya. Elline mendengus dan memberikan lirikan sinis pada semua tem
Dua gelas bir harusnya sudah cukup parah untuk memengaruhi kesadarannya. Namun, alih-alih berhenti minum-minum, gadis berambut pirang sebahu itu justru mengambil sebotol bir dari atas meja dan menenggaknya tanpa peduli bahwa lambung dan seluruh organ di dalam tubuhnya mungkin sudah tak sinkron dengan segala indra dan pikirannya. Semua orang yang ada di gazebo hanya tertawa geli memandangi Elline yang sudah mabuk itu makin tak terkontrol. Sebagian yang sudah mabuk berat bergeming dan melanjutkan candu mereka pada bir dan wiski yang tersuguh di hadapan mereka, sedangkan sebagian lagi yang memilih untuk tetap pada kesadaran normal, asyik menontoni Elline yang menangis tersedu-sedu sambil meracau panjang lebar di tengah kesadarannya yang berada di ambang benang tipis karena mabuk. "Maksudku, memangnya aku ini apa, huh? Katakan... apa kurangnya aku? Apa aku seburuk itu? Ini tidak adil... benar, kan? Sungguh, aku