Share

Tiga

Wajah keempat Pilar terlihat sangat buruk ketika mereka kembali ke penginapan. Bukan hanya karena kelelahan melakukan penyelidikan, tapi juga kesedihan karena ditinggal oleh kedua Pilar sebelumnya yang telah mengajar dan mendidik mereka. Mereka yang mengenal sosok Historian III pun pasti juga sedih.

Padahal, aku yakin mereka belum siap mengemban tugas berat sebagai Pilar Historian. Mereka bahkan hany berbeda 5-7 tahun denganku, masih muda. Mereka pun pasti belum sepenuhnya mempelajari tugas Pilar Historian.

Namun, yang lebih menyedihkan adalah posisi Historian IV yang entah akan jatuh ke tangan siapa. Buku catatan sejarah yang dimiliki Historian secara turun-temurun pun menghilang, tidak ada jejaknya. Tapi, kata Kaladin, buku itu pasti masih berkondisi baik. Buku yang disihir oleh Historian I dan Pilar satu-satunya miliknya itu kabarnya tidak bisa dihancurkan oleh sihir apapun, tidak akan rusak meski terendam air, bahkan dijamin masih utuh dan baik-baik saja meski telah melewati hal berat di Dungeon Belzeebub.

Perjalanan dari Leymar ke Elsira ditempuh lebih lama dari ketika berangkat. Alasannya, keempat Pilar ini begitu lesu dan lunglai, padahal kuda mereka terlihat prima. Waktu tempuh yang seharusnya hanya 4-5 jam pun menjadi 8 jam. Tubuhku sudah pegal karena berkuda selama itu meski kami berkali-kali beristirahat.

"Terima kasih, Tuan, Nona." Aku membungkuk pada mereka sampai 90 derajat. Lalu, aku kebali berdiri tegak dan menatap mereka berempat yang masih kehilangan semangat. "Saya percaya, Tuan dan Nona akan mampu menjalani tugas Pilar Historian meski secepat ini. Saya juga percaya, bahwa Tuan Gavril dan kedua Pilar-nya pasti mempercayai kalian. Karena itu, semangat!" Aku mengepalkan tangan kananku ke depan wajahku. Ini gaya yang ditunjukkan di kehidupanku sebelumnya.

"Padahal, kamu juga kehilangan. Bahkan, kamu kehilangan kedua orang tuamu," ujar Hadeon. Sosok besar bak beruang itu adalah orang yang tidak banyak bicara, namun hatinya sangat lembut dan hangat. "Datanglah ke Tolava jika kamu membutuhkan bantuan. Kami akan dengan senang hati menerimamu."

Aku mengangguk sambil tersenyum. "Terima kasih, Tuan."

"Jaga dirimu, Aisha." Alaric mengusap puncak kepalaku, membuat tubuhnya sampai miring di atas pelana kudanya. "Sampai jumpa lagi."

Aku mengangguk, lalu melambaikan tangan seiring dengan perginya keempat Pilar itu.

Padahal, tadi aku menyemangati mereka seakan aku baik-baik saja. Tapi, kini aku benar-benar merasakan kehampaan di hati. Aku sudah kembali ke Elsira, tapi aku merasa seakan desa itu sudah menjadi tempat yang menyedihkan untukku. Aku memang pulang ke rumah, tapi tidak ada lagi yang menyambutku dengan hangat, tidak ada lagi orang yang akan dengan senang hati meemaniku tidur ketika cuaca sedang buruk. Aku sudah benar-benar sendirian.

Aku tidak langsung kembali ke rumahku. Aku pergi ke rumah Kepala Desa, Paman Jaden, untuk memberikan kabar buruk ini. Bagi Paman Jaden, Ayah sudah dianggap seperti saudara sendiri. Pasti Paman Jaden akan sangat sedih, apalagi Bibi Juvia. Aku rasanya tak akan sanggup untuk menyampaikan kabar buruk ini. Tapi, mereka harus tahu. Warga desa yang sangat mengagumi dan menghormati Ayah dan Ibu juga harus tahu.

Tok. Tok. Tok.

"Ya?" Itu suara Bibi Juvia. Ia yang membukkan pintu rumahnya sambil menggendong anak pertamanya, Hendrick. "Oh, Aisha. Ada yang bisa aku bantu?" tanyanya, tapi tangannya dengan natural bergerak ke punggungku untuk menarik tubuhku masuk ke dalam rumah. "Duduklah. Kamu mau minum jus, coklat, atau teh?" tanyanya. Sepertinya ia sadar bahwa aku tidak baik-baik saja.

Aku menggeleng sambil berusaha tetap tersenyum. "Apakah Pama Jaden ada? Saya juga ingin bicara dengannya," tanyaku.

"Ada. Sebentar." Bibi Juvia pun membalikkan badannya dan bergegas meninggalkaku untuk pergi ke arah dapur. Sepertinya, Paman Jaden ada di kebun belakang rumah mereka yang terhubung dengan rumah ini melalui pintu dapur.

Tiba-tiba saja aku merasa jantungku berdetak keras sampai membuatku merasa mual dan pusing. Nafasku pun terasa lebih berat. Sudah begitu, rasanya seperti ada yang membakar perut dan dadaku. Sungguh, rasanya sangat tidak nyaman. Aku merasa seperti bisa pingsan kapan saja. Tapi, aku harus bertahan sampai urusanku selesai. Aku tidak akan bisa tenang kalau tertunda.

Sepertinya, aku mengalami demam, kemungkinan karena aku berkuda sambil berhujan-hujana kemarin, dan kurang istirahat.

"Aisha."

Aku mengangkat kepalaku ketika Paman Jaden memanggil dengan nada cemas. Ia bergegas menghampiriku, sementara Bibi Juvia pergi ke dapur sambil membawa Hendrick -- sepertinya untuk membuat minuman.

"Ada apa, Aisha? Kenapa kamu pucat?" Ia menyentuh keningku tiba-tiba. "Tubuhmu juga panas. Kamu kenapa?" Ia benar-benar terlihat panik.

Aku sudah menurunkan tangannya dari keningku dan menggenggamnya. "Ayah dan Ibu menghilang tanpa jejak, begitu juga dengan Historian III dan Pilar-nya, juga semua paskan yang pergi ke Leymar." Aku langsung mengatakan tanpa basa-basi.

"Apa?!" serunya. "Ba-Bagaimana kamu bisa tahu? Ada ap sebenarnya? Kenapa kamu bicara seperti itu?" Meski terlihat seperti marah, sebenarnya Paman Jaden hanya ingin menyangkal kebenaran.

Aku tidak menangis, entah kenapa. Padahal, aku sangat sedih atas kepergian Aya dan Ibu. "Kemarin malam, saya pergi ke Leymar untuk menyusul Ayah dan Ibu setelah bermimpi buruk. Saya bertemu dengan Calon Pilar Historian selanjutnya dan pergi ke sana bersama-sama. Begitu kami sampai di sana, Ayah, Ibu, Historian III, kedua Pilar-nya, maupun pasukan yang datang untuk mebantu, semua menghilang tanpa jejak. Calon Pilar sudah menyelidiki, dan benar bahwa semua hilang seakan lenyap tak bersisa." Aku pun berhasil menyelesaikan ceritaku, meski aku tidak bisa jujur bahwa aku telah meramalkan masa depan.

"Tidak mungkin ... " Paman Jaden hanya mampu menundukkan kepalanya. "Tom ... " Ia benar-benar menyayangi Ayah.

"Aisha." Aku menoleh ketika Bibi Juvia mendekat. Ia duduk di sebelahku sambil memangku Hendrick. Lalu, ia menarik tubuhku dan memelukku, tak peduli anaknya akan merasa terjepit atau tak nyaman. "Kami turut sedih. Kamu boleh menangis sekarang, Aisha. Melihatmu menahan diri seperti ini, kami merasa sangat bersalah. Maafkan kami yang tidak bisa ada di sisimu sejak awal, Aisha. Maafkan kami." Suaranya yang hangat dan lembut itu tak hanya membelai telingaku, tapi juha hatiku.

Mataku memanas, dadaku rasanya seperti ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum tak kasat mata, sangat menyakitkan. Tanpa aku sadari, tanganku tiba-tiba saja sudah memeluk pinggang Bibi Juvia. Dan, perlahan aku merasakan pipiku basah oleh air mata yang mengalir turun dari pelupuk mataku.

"Ayah ... Ibu ... " Aku yang tak pernah merengek sejak terlahir di dunia ini, juga aku yang tak pernah menangis sejak terakhir ketika lahir, kini semua emosi yang tertahan pun tumpah ruah untuk pertama kalinya. "Kenapa ... Kenapa Aisha ditinggal? Aisha takut sendirian ... Ayah ... Ibu ... "

Sepertinya, tangisku akan mengundang warga Elsira. Aku yang terkenal bersikap sangat dewasa, tidak pernah merengek seperti anak seumuranku, tidak pernah juga menangis meski terjatuh keras, kini menangis. Warga Elsira pasti sangat kebingungan dan bertanya-tanya nantinya. Tapi, aku menyerahkan sisanya pada Paman Jaden dan Bibi Juvia. Karena, setelah menangis dalam pelukan Bibi Juvia itu, aku tidak ingat apapun lagi.

Ya, aku pingsan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status