Wajah keempat Pilar terlihat sangat buruk ketika mereka kembali ke penginapan. Bukan hanya karena kelelahan melakukan penyelidikan, tapi juga kesedihan karena ditinggal oleh kedua Pilar sebelumnya yang telah mengajar dan mendidik mereka. Mereka yang mengenal sosok Historian III pun pasti juga sedih.
Padahal, aku yakin mereka belum siap mengemban tugas berat sebagai Pilar Historian. Mereka bahkan hany berbeda 5-7 tahun denganku, masih muda. Mereka pun pasti belum sepenuhnya mempelajari tugas Pilar Historian.Namun, yang lebih menyedihkan adalah posisi Historian IV yang entah akan jatuh ke tangan siapa. Buku catatan sejarah yang dimiliki Historian secara turun-temurun pun menghilang, tidak ada jejaknya. Tapi, kata Kaladin, buku itu pasti masih berkondisi baik. Buku yang disihir oleh Historian I dan Pilar satu-satunya miliknya itu kabarnya tidak bisa dihancurkan oleh sihir apapun, tidak akan rusak meski terendam air, bahkan dijamin masih utuh dan baik-baik saja meski telah melewati hal berat di Dungeon Belzeebub.Perjalanan dari Leymar ke Elsira ditempuh lebih lama dari ketika berangkat. Alasannya, keempat Pilar ini begitu lesu dan lunglai, padahal kuda mereka terlihat prima. Waktu tempuh yang seharusnya hanya 4-5 jam pun menjadi 8 jam. Tubuhku sudah pegal karena berkuda selama itu meski kami berkali-kali beristirahat."Terima kasih, Tuan, Nona." Aku membungkuk pada mereka sampai 90 derajat. Lalu, aku kebali berdiri tegak dan menatap mereka berempat yang masih kehilangan semangat. "Saya percaya, Tuan dan Nona akan mampu menjalani tugas Pilar Historian meski secepat ini. Saya juga percaya, bahwa Tuan Gavril dan kedua Pilar-nya pasti mempercayai kalian. Karena itu, semangat!" Aku mengepalkan tangan kananku ke depan wajahku. Ini gaya yang ditunjukkan di kehidupanku sebelumnya."Padahal, kamu juga kehilangan. Bahkan, kamu kehilangan kedua orang tuamu," ujar Hadeon. Sosok besar bak beruang itu adalah orang yang tidak banyak bicara, namun hatinya sangat lembut dan hangat. "Datanglah ke Tolava jika kamu membutuhkan bantuan. Kami akan dengan senang hati menerimamu."Aku mengangguk sambil tersenyum. "Terima kasih, Tuan.""Jaga dirimu, Aisha." Alaric mengusap puncak kepalaku, membuat tubuhnya sampai miring di atas pelana kudanya. "Sampai jumpa lagi."Aku mengangguk, lalu melambaikan tangan seiring dengan perginya keempat Pilar itu.Padahal, tadi aku menyemangati mereka seakan aku baik-baik saja. Tapi, kini aku benar-benar merasakan kehampaan di hati. Aku sudah kembali ke Elsira, tapi aku merasa seakan desa itu sudah menjadi tempat yang menyedihkan untukku. Aku memang pulang ke rumah, tapi tidak ada lagi yang menyambutku dengan hangat, tidak ada lagi orang yang akan dengan senang hati meemaniku tidur ketika cuaca sedang buruk. Aku sudah benar-benar sendirian.Aku tidak langsung kembali ke rumahku. Aku pergi ke rumah Kepala Desa, Paman Jaden, untuk memberikan kabar buruk ini. Bagi Paman Jaden, Ayah sudah dianggap seperti saudara sendiri. Pasti Paman Jaden akan sangat sedih, apalagi Bibi Juvia. Aku rasanya tak akan sanggup untuk menyampaikan kabar buruk ini. Tapi, mereka harus tahu. Warga desa yang sangat mengagumi dan menghormati Ayah dan Ibu juga harus tahu.Tok. Tok. Tok."Ya?" Itu suara Bibi Juvia. Ia yang membukkan pintu rumahnya sambil menggendong anak pertamanya, Hendrick. "Oh, Aisha. Ada yang bisa aku bantu?" tanyanya, tapi tangannya dengan natural bergerak ke punggungku untuk menarik tubuhku masuk ke dalam rumah. "Duduklah. Kamu mau minum jus, coklat, atau teh?" tanyanya. Sepertinya ia sadar bahwa aku tidak baik-baik saja.Aku menggeleng sambil berusaha tetap tersenyum. "Apakah Pama Jaden ada? Saya juga ingin bicara dengannya," tanyaku."Ada. Sebentar." Bibi Juvia pun membalikkan badannya dan bergegas meninggalkaku untuk pergi ke arah dapur. Sepertinya, Paman Jaden ada di kebun belakang rumah mereka yang terhubung dengan rumah ini melalui pintu dapur.Tiba-tiba saja aku merasa jantungku berdetak keras sampai membuatku merasa mual dan pusing. Nafasku pun terasa lebih berat. Sudah begitu, rasanya seperti ada yang membakar perut dan dadaku. Sungguh, rasanya sangat tidak nyaman. Aku merasa seperti bisa pingsan kapan saja. Tapi, aku harus bertahan sampai urusanku selesai. Aku tidak akan bisa tenang kalau tertunda.Sepertinya, aku mengalami demam, kemungkinan karena aku berkuda sambil berhujan-hujana kemarin, dan kurang istirahat."Aisha."Aku mengangkat kepalaku ketika Paman Jaden memanggil dengan nada cemas. Ia bergegas menghampiriku, sementara Bibi Juvia pergi ke dapur sambil membawa Hendrick -- sepertinya untuk membuat minuman."Ada apa, Aisha? Kenapa kamu pucat?" Ia menyentuh keningku tiba-tiba. "Tubuhmu juga panas. Kamu kenapa?" Ia benar-benar terlihat panik.Aku sudah menurunkan tangannya dari keningku dan menggenggamnya. "Ayah dan Ibu menghilang tanpa jejak, begitu juga dengan Historian III dan Pilar-nya, juga semua paskan yang pergi ke Leymar." Aku langsung mengatakan tanpa basa-basi."Apa?!" serunya. "Ba-Bagaimana kamu bisa tahu? Ada ap sebenarnya? Kenapa kamu bicara seperti itu?" Meski terlihat seperti marah, sebenarnya Paman Jaden hanya ingin menyangkal kebenaran.Aku tidak menangis, entah kenapa. Padahal, aku sangat sedih atas kepergian Aya dan Ibu. "Kemarin malam, saya pergi ke Leymar untuk menyusul Ayah dan Ibu setelah bermimpi buruk. Saya bertemu dengan Calon Pilar Historian selanjutnya dan pergi ke sana bersama-sama. Begitu kami sampai di sana, Ayah, Ibu, Historian III, kedua Pilar-nya, maupun pasukan yang datang untuk mebantu, semua menghilang tanpa jejak. Calon Pilar sudah menyelidiki, dan benar bahwa semua hilang seakan lenyap tak bersisa." Aku pun berhasil menyelesaikan ceritaku, meski aku tidak bisa jujur bahwa aku telah meramalkan masa depan."Tidak mungkin ... " Paman Jaden hanya mampu menundukkan kepalanya. "Tom ... " Ia benar-benar menyayangi Ayah."Aisha." Aku menoleh ketika Bibi Juvia mendekat. Ia duduk di sebelahku sambil memangku Hendrick. Lalu, ia menarik tubuhku dan memelukku, tak peduli anaknya akan merasa terjepit atau tak nyaman. "Kami turut sedih. Kamu boleh menangis sekarang, Aisha. Melihatmu menahan diri seperti ini, kami merasa sangat bersalah. Maafkan kami yang tidak bisa ada di sisimu sejak awal, Aisha. Maafkan kami." Suaranya yang hangat dan lembut itu tak hanya membelai telingaku, tapi juha hatiku.Mataku memanas, dadaku rasanya seperti ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum tak kasat mata, sangat menyakitkan. Tanpa aku sadari, tanganku tiba-tiba saja sudah memeluk pinggang Bibi Juvia. Dan, perlahan aku merasakan pipiku basah oleh air mata yang mengalir turun dari pelupuk mataku."Ayah ... Ibu ... " Aku yang tak pernah merengek sejak terlahir di dunia ini, juga aku yang tak pernah menangis sejak terakhir ketika lahir, kini semua emosi yang tertahan pun tumpah ruah untuk pertama kalinya. "Kenapa ... Kenapa Aisha ditinggal? Aisha takut sendirian ... Ayah ... Ibu ... "Sepertinya, tangisku akan mengundang warga Elsira. Aku yang terkenal bersikap sangat dewasa, tidak pernah merengek seperti anak seumuranku, tidak pernah juga menangis meski terjatuh keras, kini menangis. Warga Elsira pasti sangat kebingungan dan bertanya-tanya nantinya. Tapi, aku menyerahkan sisanya pada Paman Jaden dan Bibi Juvia. Karena, setelah menangis dalam pelukan Bibi Juvia itu, aku tidak ingat apapun lagi.Ya, aku pingsan.Ketika aku membuka mata, ternyata aku berada di dalam kamar yang asing, terbaring di atas kasur yang tentu saja tidak seperti kasur yang aku kenal. Aroma ruangan ini pun sangat berbeda. Aku tahu bahwa aku masih ada di rumah Paman Jaden saat itu. Jadi, setelah merasa lebih baik, aku pun berpamitan pergi meski Paman Jaden dan Bibi Juvia tidak mengizinkanku. Aku ingin pulang ke rumah meski tidak ada Ayah dan Ibu di sana.Sampai di rumah, tentu saja rasanya sangat hampa, sampai rasanya tidak berani menginjakkan kaki untuk masuk ke dalam rumah. Tapi, berkat menangis kemarin, aku sudah merasa lebih baik dan sudah bisa menerima kenyataan bahwa aku telah menjadi anak yatim piatu. Lagipula, aku juga tetap harus kembali ke rumah ini. Aku harus merapikan barang-barang Ayah dan Ibu, lalu bersiap-siap untuk pergi.Pergi? Benar.Ketika berjalan pulang dari rumah Paman Jaden, banyak penduduk yang menyapaku dan berusaha untuk menghiburku. Tentu saja aku sangat berterima kasih, karena berkat kebiakan
Gunung Corova adaah gunung salju yang cukup berbahaya. Selain karena cuaca yang sering tak tentu, juga monster-monster yang hidup di sana. Monster-monster itu pun kerap turun ke Elsira untuk mencari makan, tak aneh jika ada satu-dua orang yang tewas. Meski begitu, kata Ayah dan Ibu, sejak mereka tinggal di sana, monster-monster tidak lagi datang ke desa. Itu karena mereka rutin melakukan pembasmian untuk menekan jumlah populasi monster. Hal inilah yang membuatku tak takut meski bertemu monster, seperti saat ini.Monster yang ada di gunung ini mayoritas adalah monster-monster yang hidup berkelompok, mulai dari furian goblin alias goblin berbulu, rubah salju eisbergh, hingga fenrir. Tapi, biasanya fenrir tidak suka manusia, sehingga mereka memilih hidup jauh di puncah gunung atau di sisi lain gunung yang jauh dari pemukiman. Goblin berbulu adalah monster yang wajar ditemui dan dihadapi di gunung ini. Tapi, bisa-bisanya aku malah bertemu seekor fenrir putih bermata merah.
Kami -- aku, Ash, dan kudaku -- pun berhasil turun dari Gunung Corava tepat sebelum badai salju ekstrem terjadi. Bukan hanya aku, tapi Ash dan kudaku juga terliht tegang ketika kami bergegas menuruni gunung dengan badai mengejar kami dari belakang.Dua tahun lalu, Ayah pernah mengajakku untuk berkemah di Hutan Neathy ini selama tiga malam. Ayah mengajarkanku cara untuk bertaha hidup di alam. Ayah juga mengajarkanku tentang banyak hal, seperti monster apa saja yang hidup di hutan ini, kelemahan mereka, dan lainnya. Karena itu, aku tidak begitu cemas. Aku yakin aku akan mampu keluar dari hutan ini, meski harus ditempuh bermalam-malam lamanya.Kata Ayah, hutan ini sering dipakai oleh tentara-tentara Kerajaan Zatadia untuk berlatih sekaligus melakukan pembasmian di panas ketika populasi monster sedang meningkat. Tapi, tak kusangka bahwa aku akan berkemah dengan mereka seperti ini. "Wah, Nona pasti akan menjadi Beast Tamer yang hebat!" sanjung seorang perwira bernama Theodhore.Ya, aku me
Segerombol lelaki berwajah mengerikan itu anehnya tidak membuatku takut. Mereka memang berwajah mengerikan, tapi entah kenapa mereka malah terlihat menyedihkan di mataku. Dan, hal itu terbukti benar.Mereka menarikku tiba-tiba, bahkan kudaku dan Ash sampai diambil alih oleh lainnya. Mereka membawaku pergi, bukan ke jalan sempit dan gelap yang merupakan tempat paling cocok untuk melakukan kejahatan, melainkan ke jalan utama dan jalan besar yang ramai oleh orang-orang. Anehnya, tidak ada yang curiga ataupun menghentikan mereka. Dan, kami pun tiba di depan sebuah bangunan besar dan tinggi dengan papan nama bertuliskan 'Silver Flagon Guild, Inn & Tavern'. "Mohon bantuannya!!"Tiba-tiba saja mereka membungkuk dalam setelah menyuruhku duduk di sebuah kursi di restoran bangunan guild itu. Jujur, aku merasa sangat tidak nyaman dengan sikap mereka yang memperlakukanku seperti ini. Orang-orang di restoran ini pun memperhatikanku. Jujur, aku tidak mau mencari perhatian. Karena, jika orang-orang
Selama aku hidup 10 tahun sebaai Aisha di dunia bernama Telluris ini, sudah dua kali aku jatuh pingsan. Pertama, saat aku kembali dari Leymar. Aku pingsan karena kelelahan di rumah Paman Jaden. Sekarang yang kedua, aku pingsan pasti karena kelelahan perjalanan dari Elsira untuk mengejar keempat Pilar Historian. Sepertinya, aku tidak bisa kelelahan dan memaksakan diri ketika otakku terus dipakai untuk berpikir keras. Sejak ramaan itu, aku merasa aku tidak memiliki waktu untuk beristirahat, baik mengistirahatkan fisik maupun pikiranku.Tapi, memang harapan tidak seindah kenyataan."Sebagai bayaran atas sihir yang besar, kamu pun mendapatkan efek samping dari sihir yang kamu miliki. Bisa dikatakan, jantungmu rusak," jelas Kaladin.Aku tertawa hambar. "Ternyata, tidak ada bedanya," gumamku lirih sambil menggaruk tengkuk karena canggung. "Yah, mau bagaimana lagi.""Kamu baik-baik saja, Aisha?" tanya Nymeria. Aku yakin pertanyaannya bukan untuk keadaan fisikku. Bukan hanya dia, yang lain pu
Selama dua malam perjalanan laut, aku pun mengenal keempat Pilar dengan sangat baik. Entah kenapa, aku yang di kehidupan sebelumnya sulit sekali berteman, kali ini aku merasa bahwa hubunganku dengan mereka akan baik, terlepas status kami adalah Historian dan Pilar-nya. Alaric ternyata adalah Pangeran I dari Kerjaan Sevelstan. Kalau saja dia tidak terpilih menjadi Pilar Historian, dia akan dinobatkan sebagai Putra Mahkota dan nantinya akan menjadi raja kerjaan itu. Meski begitu, Al -- begitu aku memanggilnya -- mengaku bahwa dia bersyukur tidak harus melakukan perebutan takhta yang mengerikan. Katanya, perebutan takhta keluarganya secara turun-temurun sangatlah kejam dan mengerikan. Tapi, aku sangat yakin bahwa dia akan menjai raja yang bijak dan baik yang bisa mengubah tradisi perebutan takhta yang kejam itu. Jika aku mati nanti, statusnya sebagai Mantan Pilar Hisotorian Mahkota yang melambangkan kebijakan akan memperkuat posisinya. Para bangsawan akan mendukungnya. Apalagi dia adala
Rasanya seperti sudah berbulan-bulan tidak tidur di kasur, padahal baru beberapa hari berlalu sejak aku meninggalkan rumah penuh kenangan di Elsira dan tiba di Talova. Untunglah, aku diperbolehkan beristirahat lebih dulu hari itu. Tentu saja aku butuh istirahat. Perjalanan dari Elsira ke Pulau Suci Talova ini bukanlah perjalanan yang ringan untukku. Ketika aku bangun, ternyata matahari belum sepenuhnya terbit. Aku pun berkesempatan melihat pemandangan yang tak bisa kulihat di Elsira, yaitu matahari terbit. Di duniaku sebelumnya, Bali adalah salah satu tempat favorit orang-orang Indonesia untuk melihat matahari terbit di pantai. Tapi, tentu saja, aku lebih suka melihat pemandangan matahari terbit dari puncak gunung pada buku travelling yang aku baca. Setidaknya, di dunia ini aku akan menjadikan kamar Historian ini menjadi tempat favorit untuk melihat matahari terbit.Tok. Tok. Tok."Permisi, Nona. Saya masuk -- Oh!" Pelayan berseragam putih hitam khas budaya Eropa jaman dulu itu membe
Menurut catatan di dalam buku Historia, baik yang ditulis oleh Historian I, II, maupun Historian III, semua mempercayai bahwa bencana alam besar yang terjadi di Telluris akan menimbulkan retakan di langit dan menjadikan Dunia Manusia ini berada dalam kondisi terlemah, sehingga Bangsa Iblis yang dahulu adalah Bangsa Malaikat yang terbuang ke Dunia Bawah dapat masuk ke Dunia Manusia. Historian, Pilar, maupun Saintess adalah orang-orang pilihan Tuhan yang dipinjami kekuatan Bangsa Malaikat demi melindungi Dunia Manusia dari Bangsa Iblis yang serakah demi membalaskan dendam kebencian mereka terhadpa Tuhan yang telah mengusir mereka. Telah lama dipercaya bahwa ada tiga bangsa yang hidup atas kehendak Tuhan, yaitu Bangsa Manusia, Bangsa Malaikat, dan Bangsa Iblis. Historian, orang pilihan Tuhan dan Bangsa Malaikat, memiliki kemampuan untuk bisa merasakan keberadaan Bangsa Iblis dan Bangsa Malaikat, serta membedakannya dengan Bangsa Manusia. Bangsa Iblis dan Bangsa Malaikat yang turun ke Du