Sambil menumpahkan minuman ke dalam gelasku, Virgie berceloteh, "kamu tahu, hal yang paling menyebalkan dalam long distance relationship?"
"Apa?" tanyaku."Menunggu kabar setiap hari, overthinking setiap hari, ternyata dia sedang bersenang-senang dengan orang lain," ungkap Virgie setengah geram dengan membuat ekspresi wajah yang kesal."Oh, pacar kamu? Memangnya kamu tahu dari mana dia sedang bersama orang lain? Kalau kalian saling percaya dan saling setia satu sama lain, kamu tak perlu repot-repot overthinking setiap hari.""Ah, bodoh amat! Lagipula aku sudah tak mau ambil pusing. Biarkan saja dia lakukan apa yang dia mau. Toh hidupku juga tak bergantung ke dia, aku bisa sendiri.""Ya setidaknya kan kalau memang sudah tak sejalan, kalian bisa selesaikan baik-baik. Memangnya sudah berapa lama kalian LDR-an?""Umm, sepertinya sudah hampir setahun sejak aku pulang ke sini." Virgie menjawab sambil menggaruk-garuk kepala mencoba mengumpulkan kepingan ingatan-ingatannya."Lama juga ya? Kenapa dia tak ke sini saja, supaya kalian bisa bersama-sama lagi. Biar kamu tak lebay seperti ini," jawabku setengah bercanda."Susah, Syd. Orang tuanya tidak akan mengijinkan. Sudahlah biar begini saja dulu, bikin pusing saja. Lagipula di sini aku bisa bebas bergaul dengan siapa saja. Eh tau tidak, aku sebenarnya sedang dekat dengan seseorang.""Hah? Apa aku tidak salah dengar, siapa? Apa aku mengenalnya?"Aku terkejut dengan pernyataan Virgie. Bagaimana bisa seseorang yang sedang menjalani hubungan jarak jauh, justru malah sedang dekat dengan orang lain di tempat lain.
Matanya berkedip-kedip, kebahagiaan memancar dari mata Virgie. "Kau tak kenal. Namanya Liam. Aku bertemu dia di pesta ulang tahun Angie sekitar dua minggu yang lalu. Orangnya keren, cool, ramah pokoknya tipeku banget!""Loh, kok? Memangnya dengan yang LDR sudah selesai? Siapa sih namanya itu?" tanyaku."Oh, iya lupa. Namanya Otis," lontarnya, "belum sih, kita belum putus. Tapi aku tidak mau ambil pusing lagi. Biarkan saja begini dulu, aku pusing memikirkan itu, bisa-bisa aku gila," keluh Virgie."Ya sudah kalau begitu, kan kamu yang menjalani ini. Aku sih tidak mau berkomentar lebih. Yang penting kamu senang, kita semua senang juga kok," jawabku sembari menepuk-nepuk bahunya."Cheers! Untuk masa muda yang dihabiskan dengan orang yang salah, semoga cepat bertemu dengan orang yang tepat!"
Kami berdua mengangkat gelas dan melakukan tos atas ucapan Virgie yang tadi yang sebenarnya terdengar seperti orang yang hopeless.
Dengan cepat aku meneguk minuman yang sudah membuatku setengah melayang itu. Sudah lama sekali aku tidak minum minuman keras yang kadar alkoholnya sekitar empat puluh persen. Virgie terlihat biasa-biasa saja, hanya wajahnya yang memerah. Dia merogoh kantong celana hendak mengambil ponselnya. Aku berdiri dari tempat dudukku dan menyender di tepi balkon. Beberapa kali kulihat Virgie memotretku. Lampu flash dari kameranya sangat menyilaukan.
"Sudah, Vi. Silau! Mataku sakit!"
"Eh, yang ini bagus loh. Gayamu keren sekali. Aku upload ke Instagramku ya? Nanti kuberi caption seakan-akan kamu pacarku," kata Virgie. Matanya berbinar dengan senyum melebar. Dia sedang senang.Dia mengunggah beberapa foto kami bersama dan satu fotoku yang berdiri di samping balkon tadi dengan caption "There is no such a thing as a coincidence. Like, when I met you. My whole life is complete."
"Apa-apaan dia mengupload dengan caption seperti itu? Bisa-bisa orang-orang menganggap kami benar-benar pacaran," gumamku dalam hati.
Sepanjang malam kami mengobrol tentang banyak hal. Tapi kebanyakan lebih ke kehidupan Virgie yang terdengar sangat rumit. Tentang beberapa crushnya yang terlalu bodoh karena menganggap terlalu serius dengan cinta satu malam. Seperti biasa, mabuk atau tidak mabuk aku lebih banyak diam dan mendengarkan celoteh orang-orang. Aku hanya bicara seperlunya saja dan tertawa jika cerita itu lucu atau berekspresi kaget jika ceritanya sangat mencengangkan.
"Jadi, hubungan terakhir kamu kenapa bisa putus? Bukannya kalian sudah pacaran tiga tahun lebih, ya?" tanyanya.
"Iya, sudah tiga tahun lebih jalan empat tahun. Aku tak tahu pasti karena apa, tapi yang jelas aku sudah bukan tipenya lagi," ujarku, "padahal sebenarnya aku sudah merencanakan ingin menikahinya, ibuku juga sudah kenal dekat dengannya. Tapi, begitulah manusia. Kadang mereka hanya sedang penasaran saja."
"Umm, aku sih ingin no comment tapi, menurutku kadang selera orang itu berubah saat bertemu orang baru yang kelihatannya sangat 'wow' yang membuat kita terkesima dengan semua talent atau look yang beyond dari seseorang yang sudah biasa bersama kita bertahun-tahun," lontar Virgie panjang lebar.
"Maybe, tergantung orangnya sih mau atau tidak," sambungku."Tapi benar, kan? Kadang orang itu merasa tidak puas dengan apa yang sudah dia punya. Apalagi pas di masa-masa jenuh, banyak orang-orang yang jadi gampang tergoda dengan yang lain yang lebih dari pasangannya," celotehnya. Matanya membara dengan kepercayaan tinggi."Ya sudah iya, Miss know it all!" candaku karena sebenarnya aku sedang tidak mood membahas soal hal yang sudah ku tinggalkan jauh di masa lalu.Waktu menunjukkan pukul 4:17."Syd, ayo masuk. Sepertinya minuman ini sudah mempengaruhi mataku." Matanya terlihat sayu, entah karena mabuk atau memang sudah mengantuk.Aku mengiyakan ajakan Virgie dan kembali ke dalam untuk segera mengistirahatkan badan yang sudah terasa lelah dan kepala yang mulai pusing. Kami berjalan menuju ke tempat tidur yang jaraknya hanya sekitar empat meter dari balkon. Kuhempaskan tubuhku berbaring di tempat tidur tidak lupa meletakkan kacamataku di meja lampu.
Sama-samar aku melihat Virgie mengganti bajunya. Dia membuka kaos oblong putih yang dikenakannya tadi dengan sweater abu-abu oversized. Aku mengalihkan mataku ke sudut ruangan lain karena aku malu.
"Aku tahu kamu rabun jadi aku tidak khawatir ganti baju di depanmu." Dia berkata seolah-olah tahu kalau aku sedang berusaha untuk mengabaikan pemandangan yang seharusnya tidak kulihat itu.
"Tidurlah, aku sudah sangat mengantuk. Energiku untuk hari sudah terkuras oleh minuman itu," kataku kemudian menghela nafas panjang.
Virgie melepas ikatan rambutnya dan beranjak ke atas tempat tidur. Aku meraih bantal guling dari bawah kakinya karena dia tidak memakainya. Ku putar badanku ke arah kanan karena entah kenapa aku merasa pusing dan mual jika menghadap ke kiri. Mungkin ini efek sudah terlalu banyak minum. Sambil memejamkan mata aku sembari membenarkan posisi tidurku agar tidak terlalu ke tepi.
Aku yang sudah setengah tertidur tiba-tiba terkejut karena wajah Virgie sudah sangat dekat dengan wajahku. Nafasnya yang hangat bercampur bau alkohol yang tajam terasa menusuk di indera penciumanku.
"Syd, kamu sudah tidur?"
Aku membuka mataku dengan niat hendak menjawab pertanyaan Virgie. Tiba-tiba saja Virgie menciumku. Tangannya yang halus membelai pipiku dengan sangat lembut.
"Ya Tuhan, apa ini?" gumamku dalam hati, bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
"Vi, ja-jangan …. "
Aku bisa merasakan dentuman jantungku terasa sangat kencang. Tanganku gemetar. Aku tidak bisa menolak. Aku yang sudah terbawa suasana pun menyambut ciumannya. Ia mencondongkan badannya lebih dekat sembari menciumku dengan penuh gairah. Aku pun merangkul tubuh mungilnya itu dengan sangat erat sambil mengecup lembut lehernya sampai aku bisa merasakan aroma hangat tubuhnya yang menyerupai aroma citrus bercampur vanilla dan patchouli.
"Dulu aku pernah menyukaimu, Vi," ucapku dengan tiba-tiba melepaskan ciuman Virgie yang begitu lekat dengan bibirku.
"Hah? Serius? Sejak kapan, Sydney?" Virgie penasaran, matanya membesar. Dia terheran-heran dengan pengakuanku tadi.
"Sekitar enam tahun yang lalu waktu kamu masih dengan Julian."
"Wa-waktu itu kan kamu masih dengan Niki, bagaimana bisa kamu menyukaiku?" Virgie keheranan. Dia memutar matanya melirik ke langit-langit kamar dan berpikir.
"Iya, entah kenapa aku sangat senang jika berada di dekatmu. Tapi tidak ada sedikitpun rasa ingin memilikimu. Waktu itu aku tetap setia dengan Nikita."
"Wow, Syd …," kata Virgie sambil kembali melayangkan ciuman mesra ke bibirku. Kurasakan bibirnya yang mungil dan basah mengecap setiap sudut bibirku.
"Vi, aku rasa ini bukan sesuatu yang benar ...."
"Kenapa, Syd? Kamu tidak nyaman dengan ini?" Virgie kembali mengecup bibirku, seakan tidak perduli dengan ucapanku.
Entah apa yang tersirat di benak Virgie subuh itu. Aku ingat dulu pernah sekali dia menggenggam erat tanganku sambil menatapku tajam seolah berkata 'Aku menginginkanmu' empat tahun yang lalu saat sedang minum di bar bersama Damon. Tapi aku menganggap itu hanya hal biasa karena kami sudah sangat lama bersahabat dekat. Tapi, itu bukan pandangan mata yang biasa.Aku sungguh tidak berdaya menolak apapun yang sedang terjadi sekarang. Bibirku beradu dengan lincah dengan bibirnya. Sesekali tanganku nakal menggerayangi tubuh indahnya itu. Aku melirik ke arah Athena yang tertidur pulas seperti bayi baru lahir."Jangan khawatir, dia tidak akan bangun walaupun ada gempa." Virgie memalingkan wajahku ke arahnya dan menatapku begitu dalam.
Kami tenggelam dalam rasa yang seharusnya ku hindari. Rasa yang membuatku bertanya-tanya, rasa yang merasuk yang membuat libidoku semakin memuncak. Gairahku kian meningkat sampai membuat otakku mengirimkan sinyal melalui saraf tulang belakang hingga ke organ-organ yang lain.
Kami lepas kendali.
Tok … tok … tok …. Terdengar bunyi ketukan pintu. "Sydney, Virgie, Athena! Bangun, ini aku!" Pekikan suara Damon terdengar dari balik pintu. Dengan mata yang masih terasa sangat berat untuk dibuka aku berusaha meraih kacamataku dari atas meja samping tempat tidur. Ku tatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 10:25. Aku masih setengah sadar, masih terasa setengah pusing karena masih ada sisa pengaruh minuman semalam. Athena masih tergeletak pulas di sofa seperti tak ada yang dia khawatirkan. Tiba-tiba aku tersadar ternyata masih setengah telanjang dan bergegas keluar dari selimut mencari bajuku yang sudah berserakan di lantai. "Bisa gawat kalau Damon melihat ini." Aku panik setengah mati, seakan seluruh aliran darahku memompa lebih cepat sampai di pembuluh darahku. Sementara itu sambil berpakaian, aku mencoba memb
Siang ini jam dinding berwarna perak yang dipajang di atas pintu dapur terasa begitu lambat berdetak. Ku rasa ini adalah hari terpanjang dalam hidupku. Aku mencoba memikirkan kalimat lain selain 'cepatlah jam empat'. Entah kenapa aku merasa sangat tidak bersemangat untuk beraktivitas. Aku menghabiskan tiga jam berikutnya dengan membuat pesanan seperti biasa. Sebenarnya tidak ada yang berbeda, hanya saja aku mungkin merasa agak jenuh dengan keseharianku, atau mungkin aku hanya sedang merasa kesepian saja. "Sydney, tolong kau gantikan aku sebentar. Aku ada urusan mendadak jadi aku harus pergi. Tolong kau awasi mereka, ya!" Dengan terburu-buru Pak Daniel mengambil jaketnya dan berlalu ke arah pintu depan kafe. Aku hanya mengangguk mengiyakan permintaannya itu. "Wah, ada apa ya pak Daniel tiba-tiba pergi begitu saja? Tidak biasanya dia seperti itu," kata Andrew yang sedang m
"Jadi sebenarnya sedang apa kau di sini? Atau kau bekerja di sini juga?" tanyaku. "Hmm, sayang sekali tidak. Aku hanya mampir untuk makan siang bersama beberapa staf kantor untuk merayakan promosi kenaikan jabatan temanku," jelas Abby. "Oh, kupikir kau bekerja di sini juga." "Sekarang aku bekerja sebagai intern di Suns Medical Center." "Wow, jadi sekarang kamu ... " "Iya, Syd. Aku sementara membangun karirku sebagai seorang dokter. Impianku selama ini," ucapnya dengan penuh harap, matanya berbinar. "Selamat ya. Tidak sia-sia orang tuamu menerbangkanmu jauh samping ke New York. Aku bangga padamu, Abigail."
Sungguh hari yang sangat melelahkan. Itu seperti menguras delapan puluh lima persen energi yang ada dalam tubuhku. Akhirnya tiba juga waktu pergantian shift. Tak ada yang namanya jam loyalitas untuk hari ini, pokoknya aku ingin segera pulang dan merebahkan badanku di sofa. Aku ingin bersantai melepas kepenatan yang menempel di kepalaku sedari pagi. Mungkin menonton tv ditemani secangkir coklat panas adalah ide yang baik. Waktu menunjukkan sudah jam empat kurang lima menit. Saatnya melepaskan apron dan mengemasi barang-barang di loker. "Hey kalian berdua! Ayo pulang! Atau kalian ingin menambah jam kerja?" kataku sembari membasuh wajah dengan air yang mengalir
Sial! Kenapa tidak ada satupun ide yang muncul di kepalaku? Sudah jam dua belas lebih dua puluh menit dan aku hanya duduk membaca artikel-artikel orang lain tanpa mendapat ide untuk artikel halamanku sendiri. Selain menjadi barista di Genuine, aku juga berprofesi sebagai part-time writer di salah satu majalah elektronik ternama Thoughtstetic. Majalah ini adalah majalah milenial yang berisi artikel-artikel tentang permasalahan-permasalahan anak muda masa kini yang membahas soal cinta, tips-tips hubungan, hidup ataupun pembahasan mengenai astrologi. Sebenarnya pekerjaan ini menghasilkan gaji yang lebih besar daripada bekerja sebagai barista. Selain itu jam kerj
"Vi, kamu duduk dulu nanti aku ambilkan kain basah untuk mengompres pipimu, ya," ucapku sembari merebahkan tubuh Virgie di sofa. Virgie mengangguk kemudian memejamkan matanya. Dalam benak aku berpikir, kenapa ada lelaki yang tega memperlakukan wanitanya seperti tadi? Aku selalu mengingat perkataan ibuku saat aku membela gadis kecil bernama 'Anne' teman masa kecilku, ketika dia didorong hingga jatuh hanya karena tidak sengaja menginjak kaki salah seorang anak lelaki berandal yang sedang berdiri di lorong depan kelasku. "Sydney, mommy sangat bangga padamu. Perlakukanlah wanita seperti kau memperlakukan mommy." Sambil meraih handuk kecil dari laci kamar mandi aku tersenyum mengingat kejadian itu. Aku melangkah ke arah dapur untuk membasahi handuk itu dengan air dingin, kemudian diperas airnya hingga agak mengering, kemudian kembali ke arah sofa
Sungguh ini membuatku penat. Entah kenapa sudah beberapa hari ini aku sangat sulit untuk berkonsentrasi. Padahal ide-ide itu sudah dicatat dalam jurnalku. Entahlah, mungkin aku memang sedang perlu mengistirahatkan otakku dulu untuk sementara. Atau mungkin aku butuh liburan. Aku bergerak mendekati kaca jendela. Kuraih kacamata yang ada di samping tv kemudian pandanganku berkelana jauh ke luar jalanan yang sudah ramai dengan orang-orang yang sedang melaksanakan aktivitasnya masing-masing. Sambil menguap aku berpikir, sepertinya aku butuh minum kopi. Ku seret kedua kakiku menuju ke dapur yang letaknya hanya bersebelahan dari posisiku yang tadi. Kuraih bungkusan biji kopi dari dalam lemari penyimpanan kemudian memasukkannya ke alat penggiling kopi. Kuambil sedikit sesuai takaran yang pas kemudian menyalakan mesin kopi semi otomatis yang kubeli satu set dengan penggilingnya dari hasil gaji pertamaku yang ada di s
"Jangan, baby … please!" ujar Virgie sambil membuka seluruh pakaian yang masih melekat di badannya itu. Ia kemudian membuka lebar kedua kakinya lalu langsung menarik paksa kepalaku ke arah bagian yang diinginkannya untuk ku nikmati. "Mmmppf … terus, jangan berhenti. Aahhhhh!" Erangan Virgie semakin terdengar nyaring saat aku membenamkan wajahku di tengah selangkangannya. Cairan hangat yang sedikit lengket menyelimuti seluruh bagian mulutku bahkan sampai ke hidung. Terasa begitu erat Virgie mencengkram kepalaku sambil sesekali menjambak rambutku. Tubuhnya menggelinjang hebat saat lidahku menyesap bagian kecil yang menonjol di sana. Sesekali terdengar ia memanggil namaku yang disertai dengan erangan-erangan yang makin membuatku lupa bahwa ia adalah sahabatku. Setelah bermain sekitar beberapa menit, Virgie yang tak henti-hentinya mengel