"Tuan, Duke. Apa ada sesuatu yang mengganggu tuan?" tanya Kesatria Lion. Sejak malam itu, Duke Charles suka menghabiskan waktu malamnya di atas balkom. Di balkom inilah, sebagai saksi, Duchess Sofia melihat ke arah luar gerbang untuk melihat Duke Charles dan menyambut dengan senyuman. Sudah lima tahun lamanya, Duke Charles merasa kesepian, meskipun ada Nyonya Kimberly, tapi tak membuat Duke Charles tersenyum.
Duke Charles menghembuskan nafasnya melalui mulutnya, terlihat sebuah asap keluar dari mulutnya, kedua tangannya menggenggam erat pagar pembatas itu. "Kenapa aku baru menyadarinya? kenapa aku baru mengakuinya? setelah semuanya berubah dan tak tersisa."Duke Charles memukul pagar balkom itu dengan kasar, pikirannya berkalut dalam bayangan istrinya, istri yang ia abaikan. Sekalipun wanita itu tertawa di depannya, menyambutnya, kadang dia menangis karena ucapannya, ia tidak menoleh ataupun menghiburnya. Selama satu tahun dia hidup dengan wanita itu, wanita yang selalu tersenyum, menyukai apa yang ia sukai, menolak apa yang tidak ia sukai."Sofia, Sofia." Kedua tangannya berpindah, bersendekap di dadanya."Tuan, Duke. Di luar dingin, tidak baik untuk kesehatan tuan.""Dingin, kedinginan ini tak berarti apa-apa untuk ku, Lion. Aku dulu bersikap dingin, tapi sikap ku perlahan di hangatkan oleh kedatangan wanita dari kedua orang tua ku.""Nyonya Duchess sudah tenang di sana Tuan Duke."Tuan Duke."Mata Duke Charles menyipit seraya memutar tubuhnya menghadap Kesatria Lion. "Cukup! sekali lagi kamu mengatakannya, aku akan mengirimkan mu ke wilayah Western.""Tapi sampai kapan Tuan Duke seperti ini? menyiksa diri sendiri. Masih ada Nyonya Kimberly, tuan.""Jangan samakan Sofia dengan Kimberly, Kesatria Lion!" tatapannya membunuh dan menekan. Hatinya begitu sensitif dengan kalimat perbedaan itu."Tuan, Duke!"Tiba-tiba seseorang mengetuk di luar pintu. "Masuklah!" teriak Duke Charles, tatapannya tetap dalam posisi membunuh pada kesatria di depannya."Ada apa?" tanya Duke Charles."Maaf mengganggu waktu Tuan Duke. Di luar ada utusan istana yang ingin bertemu dengan Tuan," ujarnya.Duke Charles mengangguk, dia melewati pelayan itu di ekori Kesatria Lion."Saya datang kesini bermaksud menyampaikan undangan dari Baginda, Tuan Duke."Duke Charles mengambil sebuah undangan dari tangan sang Kesatria utusan istana."Saya permisi Tuan, Duke."Duke Charles tak menyahut, dia membolak-balikkan undangan itu, undangan yang tak penting untuknya. Dulu, ia lebih menyukai pesta, ruang kerja dan istana, ya menurutnya sangat nyaman berbicara dalam bisnis, namun hidupnya berbalik, ia tidak suka dengan pesta, ruang kerja dan bisnis. Dia lebih suka menyendiri dan melamun, memikirkan seseorang yang telah menjadi berlian di hatinya.Berlian, nama yang indah sekaligus harus di jaga dengan baik, tetapi tidak dengan dirinya yang tak bisa menjaga berlian itu dengan baik, hingga berlian itu pergi meninggalkannya.Duke Charles memberikannya pada Kesatria Lion, tangannya terlalu malas memegang undangan itu."Duke!" Seru seseorang dari arah pintu, wanita itu tersenyum seraya menatapnya. Perlahan kakinya melangkah, menghampiri Duke Charles. Setelah menikah dengan Duke Charles, ia menghilangkan sikap formalnya."Undangan apa itu, Duke?""Sesuatu yang tidak penting." Duke Charles menjauh, ia tidak berniat bersitatap dengan Kimberly."Apa Duke akan kesana?""Aku tidak berniat kesana,"Wajah Kimberly sangat kesal, bertahun-tahun Duke Charles berubah hanya karena seorang wanita yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya. Hanya sebentar, wanita itu telah mampu mengobrak-abrik hati Duke Charles. "Seandainya, Duke tidak kesana. Semua orang akan merasakan seorang ayah tiba-tiba berubah pada putranya."Duke Charles menghentikan langkahnya, perkataan Kimberly ada benarnya, demi wanita itu, ia merendahkan dirinya. Bahkan sebelumnya, ia tak pernah merendahkan pada istri sebelumnya."Kamu mencintai ku, bukan mencintainya, buktinya aku dan kamu memiliki seorang putra."Duke Charles tak berkutik, ia memang mencintai Kimberly, tapi kejadian itu membuatnya tak bisa lepas dari rasa bersalah. Betapa bahagianya, ia melihat binar di mata Sofia saat mengatakan dirinya hamil, tapi ia malah mengecewakannya."Kamu hanya merasa bersalah padanya, sudah cukup! kejadian itu bukan sepenuhnya salah mu."Bolehkah aku jujur, bolehkah aku mengatakannya, aku mencintainya.Duke Charles kembali melanjutkan langkahnya, ia terlalu penakut untuk mengatakannya.Duke Charles menyilangkan kedua tangannya di dadanya, matanya tertuju pada satu arah, melihat perapian yang sedang menyala. Duke Charles merasakan sentuhan di bahu kanannya, perlahan lehernya berputar menatap sosok yang ia rindukan. "Duchess,"Matanya mengembang, dada kembang kempis merasakan sesak. Wanita itu tersenyum, lalu memakaikan sebuah pakaian tebal. "Salju semakin deras, Duke semakin kedinginan kan.""Tuan, Duke."Duke Charles terhenyak, ia melihat sekelilingnya, tidak ada bayangan Sofia. Jadi tadi, hanyalah bayangan semu."Ada apa Tuan?"Duke Charles tertawa, ini bukan perasaan bersalah. Melainkan perasaan kecil yang semakin tumbuh. Duke Charles menunduk dengan bahu gemetar."Tuan!"Kesatria Lion semakin panik, "Apa ada sesuatu yang mengganggu Tuan?""Ini bukan perasaan bersalah, ini murni perasaan yang semakin tumbuh dari hari ke hari. Kamu tahu Lion, saat itu aku bermaksud mengakhiri hubungan ku dengan Kimberly, aku ingin mengakhiri, karena aku tahu, aku sudah memiliki cin
Keesokan harinya...."Ibu, aku sudah siap," ujar anak kecil berambut pirang. Syal yang melekat di lehernya dan pakaian hangat yang menyelimuti tubuh kecilnya."Aku juga sudah selesai, Bu," ujar seorang anak laki-laki.Sofia tersenyum melihat kedua anaknya, matanya kembali beralih melihat keluar, salju turun lumayan deras, ia sudah menolak agar putra dan putrinya tidak ikut, apalagi cuaca dingin seperti ini, namun kedua anaknya tetap keukeh ingin ikut ia pun menyuruh sang anak memakai pakaian tebal dan syal sebelum keluar, dan kedua anak itu pun menuruti permintaannya. "Baiklah, ayo kita berangkat Ingat! mainnya jangan terlalu jauh, kalian harus melekat pada ibu asuh." Nasehat Sofia seraya menggenggam kedua tangan anaknya yang memakai pelindung tangan. Sofia membantu Alice memasuki kereta lebih dulu, lalu di susul oleh Wiliams setelah itu dirinya.Dua Kereta kuda itu melaju meninggalkan sebuah rumah berlantai dua di kelilingi perkebunan yang lumayan jauh dari keramaian kota. Satu keret
Duke Charles menatap istrinya wajah istrinya yang merah padam. Matanya pun beralih melihat kedua bocah yang mana membuat hatinya bergetar, satu tatapannya menatap mata Alice, mata itu mengingatkan dirinya di wanita masa lalunya. "Yang Mulia Duke, aku tidak suka dengan kedua anak ini yang tidak memiliki sopan santun." Kata Kimberly seraya mengepalkan tangannya. Tidak ada yang boleh merendahkan dirinya, cukup dulu ia di rendahkan karena para bangsawan mengatakan 'dirinya orang ketiga'."Aku akan memberikan hukuman pada mu."Orang-orang yang menonton adegan itu pun merasa kasihan, tidak akan ada yang berani mencegah keputusan Duke Charles, sekalipun tidak, jika sudah mengatakan iya, maka harus iya. Bahkan Kaisar pun yang memegang kekuasaan tertinggi, tidak mau mengusik Duke Charles. Karena sang Kaisar hanya menumpang atas keberhasilan yang Duke Charles berikan selama ini, tanpa Duke Charles kedudukan itu tak bisa di duduki."Tunggu, nyonya. Jangan menyentuh adik ku," Mata Wiliams memerah
"Hey, tunggu!" teriak anak kecil yang menebus orang-orang yang berlalu lalang."Tuan muda jangan berlari-lari, nanti jatuh." Tegur sang ibu asuh yang mengikutinya dari belakang, dan benar saja, anak kecil itu tersandung dan jatuh tersungkur ke tanah."Tuan muda!" teriaknya panik.Alice dan Williams menghentikan langkahnya yang tergesa-gesa. Serempak keduanya menoleh dan merasa tak enak hati. Bukan niatnya membuat, anak itu jatuh."Kak, kasihan dia."Alice melepaskan tangan Williams, dia berlari menghampiri Aaron yang sudah berdiri dengan di bantu oleh pelayannya, tangan pelayan itu membersihkan tanah yang menempel di pakaiannya."Kamu tidak apa-apa?" tanya Alice dengan wajah khawatir. Dia merasa bersalah meninggalkan Aaron."Sudah! biarkan saja," ujar Aaron dingin pada pelayan itu.Alice dan Williams tercengang, dugaannya salah. Aaron bukan anak bangsawan yang manja seperti yang mereka pikirkan."Maaf kami terburu-buru untuk menemui, Ibu." Alice meraih tangan anak laki-laki di depann
"Ibu!" Pekik Wiliams yang merasa aneh.Ada apa dengan Ibu? kenapa aku merasa ibu ketakutan? apa ibu memiliki hubungan dengan Duke Charles? Aku harus mencari tahu batin Williams."Alice, cepat bawakan ibu air minum." Titah Williams pada sang adik.Aaron menunduk, ia takut salah berbicara dan menyebabkan ibu dari teman barunya shok, tapi ia salah bicara apa? ia hanya menyebutkan nama ayahnya pikir Aaron.Sofia meremas kertas yang ia gambar tadi, hasilnya rancangan itu belum selesai. Matanya menyiratkan kebencian pada Aaron. Anak itu mengingatkan kekejaman Duke Charles padanya.Dia anak Duke Charles dan kekasihnya, saat itu aku juga hamil dan Duke Charles malah,,, ah aku membencinya sampai ke tulang-tulang ku."Ini, ibu. Minumlah," Wiliams memberikan Air yang Alice sodorkan ke arah sang ibu.glekDalam sekali teguk, air putih itu tandas tanpa tersisa. Amarahnya mulai menguasai dirinya, ia tidak bisa mengontrolnya lebih lama lagi."Williams, Alice, kalian keluar dari ruangan ibu, sekaligu
Kesatria Lion tercengang, baru kali ini dia terasa di intimidasi oleh seorang anak kecil. Matanya tajam seakan menghunuskan pedang ke arah lehernya. "Ehem, ada perlu apa? Yang Mulia Duke tidak bisa bertemu dengan sembarangan orang.""Oh begitu?" Wiliams menaikkan salah satu alisnya dan tersenyum simpul. "Jangan menyesalinya sebelum menanyakannya. Aku pastikan, Yang Mulia Duke akan menyesal."Dengan jurus cepat, Kesatria Lion menghunuskan pedang ke leher Williams. "Beraninya, anak kecil seperti dirimu mengancam Tuan, Duke."Wiliams dengan tenang menyingkirkan pedang yang menojong ke lehernya, jari telunjuknya terluka. Kesatria Lion semakin kagum dengan anak seusianya yang tak takut dengan darah. "Sofia, apa Kesatria mengenal nama orang itu?"Tangan Kesatria Lion bergetar, pedang itu perlahan turun. "Siapa kamu, hah?!" Kesatria Lion langsung menarik tangan anak kecil itu ke lantai atas."Yang Mulia Duke," Laki-laki gagah yang tengah fokus itu langsung mengangkat wajahnya. Salah satu al
Aaron berdiri seraya memejamkan matanya melihat kereta yang keluar begitu saja dari gerbang kediaman Duke. Rasa penasaran menyeruak di hatinya, ia begitu ingin tahu ada apa dengan Wiliams. Sewaktu datang ke sini, wajahnya biasa-biasa saja, ya dia meyakini wajah patung es itu, seperti ayahnya."Aaron!" Duke Charles menuruni anak tangga itu tergesa-gesa, ia mencari keberadaan putranya."Iya, Ayah." Sahut Aaron seraya memutar tubuhnya karena menerima panggilan sang ayah. "Ada apa Ayah?" tanya Aaron. Lagi-lagi ia di buat keheranan melihat wajah sang ayah, tadi temannya dan sekarang ayahnya. Apa jangan-jangan ayahnya melakukan sesuatu pada Wiliams."Ayah, apa ayah bertemu dengan Wiliams?""Dimana dia?" tegas Duke Charles, ia ingin menanyakan keberadaan anak itu. Pikirannya linglung, ia sangat yakin anak itu ada hubungannya dengan Sofia."Sebenarnya ada apa Ayah?"Bukannya menjawab, Duke Charles malah menanyakan hal lainnya. "Kamu tahu di mana rumahnya.""Mana aku tahu, Ayah. Aku saja be
Tidak sampai di depan pintu perbatasan,Sofia menyingkapi gorden di sampingnya, mulutnya menganga melihat beberapa pengawal. "Apa itu pengawal dari kediaman Duke? aku harus melindungi kedua anak ku, ya harus." Gumam Sofia."Berhenti, kami ingin memeriksa sesuatu." Sofia semakin menegang, ia merapalkan seluruh doanya agar salah satu pengawal itu mengurungkan niatnya."Nia, kamu keluar cegah mereka, aku akan melakukan sesuatu agar mereka tidak mengenali ku," ucap Sofia yang di angguki oleh pelayan Nia. Wanita itu turun mencegah salah satu pengawal, kemudiaan berbicara dengan sang pengawal seraya melirik ke dalam kereta."Pelayan Nia," Sofia turun seraya menutupi sebagian wajahnya dengan sapu tangan. "Ada apa ya?"Sang pengawal itu pun menatap aneh ke arah wajah Sofia, dahinya di penuhi bintik-bintik merah. "Ada apa dengan wajah nona?""Saya terkena penyakit menular," ujarnya seraya melirik pelayan Nia yang malah melongo. Dia mengkedipkan salah satu matanya dengan samar-samar."Ah, benar