Menjelang siang Rasti harus menyusul ibunya pergi ke toko. Toko kue itu memang dijaga oleh keduanya. Sebenarnya Rasti ragu untuk menghampiri ibunya apalagi setelah kejadian ini dan pikirannya dipenuhi hal negatif tentang wanita yang sangat baik di matanya, selama ini.
"Kamu sudah datang?" Bu Mayang mengangkat sedikit kepalanya dan kembali menggulung kue. Rasti menyimpan barang-barang di meja dan ia menemukan ponsel ibunya yang tergeletak di sana. Mata Rasti cukup lama menatap pada layar ponsel itu, rasa penasaran membuat ia termenung ke arahnya. Gadis itu ingin memastikan video apa sebenarnya yang terunduh tadi. "Bu Mayang," panggil pelanggan dari etalase depan. "Ya." Wanita itu segera bangkit dan melepaskan sarung tangannya, menghampiri pembeli dan melayaninya dengan ramah. Memang Bu Mayang terkenal ramah di mata orang-orang apalagi pelanggan. Rasti menunggu hingga ibunya pergi dari sana. Tangannya bergetar meraih ponsel milik ibunya dan memeriksa. Beberapa aplikasi Rasti lihat, sayangnya tidak ada video yang dicari Rasti di dalam ponsel itu. "Di mana ibu menyimpannya?" Rasti bertanya-tanya. Jemarinya terus menggulir hingga membuka aplikasi chat berwarna hijau. Rasti memeriksa dengan cemas, takut ibunya segera kembali. [Mau dimasakkan apa sekarang, Nak?] Pesan ibunya kepada Raihan. Sontak mata Rasti terbuka. Rupanya, ibunya itu sudah berani langsung menjalin komunikasi secara langsung. Alih-alih menemukan video yang dicarinya, Rasti malah menemukan chat ibu pada suaminya yang tak kalah mengejutkan. "Ibu seperhatian itu pada Mas Raihan? Bukankah hal itu seharusnya aku yang lakukan?" Bu Mayang kembali ke tempat adonan kue yang sedang ia buat. Warung mereka menjual kue dan beberapa macam roti. Rasti menelan ludah melihat wanita itu sekarang, ia tampak asik dengan kegiatan mencetak adonan hingga berbentuk cantik. "Ibu," sapa Rasti. "Ya." Bu Mayang menoleh tak acuh. Ia tampak sibuk dengan kegiatannya sekarang. Mengambil pernik berbentuk hati berwarna merah muda untuk membuat hiasan kue bulat berukuran kecil di hadapannya. "Ibu suka berbicara dengan Mas Raihan?" Bu Mayang menoleh pada putrinya itu sebelum memasukkan kue buatannya ke dalam lemari pendingin. Tampak berbeda ukuran dengan yang lain. "Tentu saja, Raihan itu pria yang ramah," jawabnya sembari menatap kue dari belakang kaca lemari pendingin. "Ibu membuatnya dengan gula berkualitas tinggi agar tetap aman dikonsumsi oleh Raihan," ujarnya kemudian. Rasti menatap kue yang dimaksud ibunya, itulah alasannya kenapa kue itu berukuran beda dengan yang lain. Ternyata ibunya membuat khusus untuk sang menantu. "Bukannya seharusnya aku ya, Bu yang melakukan hal-hal seperti itu?" tanya Rasti kemudian. Ia sudah tidak bisa menahan pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal dari perasaannya ini. "Memangnya salah kalau ibu ikut melakukannya?" Mata ibunya malah menatap tidak suka dengan pertanyaan Rasti. Lalu, ia pergi ke depan dan mengacuhkan putrinya lagi. Rasti merasa serba salah. Kecurigaannya pada sang ibu membuat hati wanita itu sakit. Seolah merasa dosa dengan pikirannya sendiri. "Siang, Bu Mayang." "Siang, Pak Salim." "Cerah sekali hari ini." "Kelihatan lebih muda nggak?" tanya Bu Mayang sedikit berbisik, tapi Rasti bisa mendengar dan melihat jelas sikap ibunya yang sedikit manja. "Saya malah tidak pernah melihat Bu mayang menua," kelakar lelaki yang mungkin seumuran dengan mendiang ayahnya Rasti. "Masih pantas tidak kalau---" Semakin genit saat ia berbisik, sayangnya kali ini Rasti tidak mendengar. "Loh, ibu suka yang muda?" Ceplos Pak Salim. Alis Rasti langsung bertautan. "Usia tidak masalah kan, Bu, yang penting terlihat muda?" "Ingin yang kuat dan gagah." Bisik Bu Mayang lagi lebih jelas menggoda. "Oh! Masih, Bu. Saya masih kuat untuk itu." Pak Salim tertawa. Ia tampak terlihat senang karena setelah sekian lama, baru kali ini wanita yang diincarnya itu seperti memberi lampu hijau. ** Hari masih siang, tepatnya baru pukul 16.00 Bu Mayang sudah meminta Rasti untuk menutup toko. Aneh! Sebagai seorang single parents yang pekerja keras, Bu Mayang pantang pulang sebelum pukul 17.30 bahkan pukul 18.00. Time is money adalah semboyannya selama ini. Tapi, ada apa dengannya akhir-akhir ini? Ia lebih memilih pulang lebih awal demi membuat hidangan makan malam untuk sang menantu. Lengkap dengan pakaian dinas malamnya yang kini berbeda warna lagi Bu Mayang mendekati Raihan yang tengah duduk di ruang tamu. [Aku hubungi lagi nanti.] Raihan segera menutup panggilan dan mengalihkan perhatiannya pada ibu mertua yang saat ini duduk tepat disampingnya. Rasti yang baru saja selesai mencuci piring setelah makan malam melihat ibunya yang duduk hampir rapat dengan sang suami. Jenjang kaki ibunya yang polos putih hampir menempel pada piyama menantunya. Jelas Rasti risih melihat pemandangan itu. "Apa yang sedang kalian lihat?" Rasti ikut mendongak. "Astaghfirullah!" Gadis itu melonjak kaget. "Apa yang sedang kalian lakukan?" Ia berdiri syok dan menatap keduanya. "Ini tidak seperti yang kamu lihat, Sayang." Raihan ikut berdiri dan mencoba menenangkan Rasti. "Apa yang tidak seperti aku lihat? Jelas-jelas kalian melihat artikel seperti itu berduaan!" Napasnya ngos-ngosan. Ia tidak bisa lagi berpikir kalau keduanya tidak memiliki hubungan lebih dari seorang mertua dan menantu. "Kamu lancang, Mas!" Rasti menepis tangan Raihan yang masih mencoba menjelaskan. "Kalian lancang!" Pertama kalinya Rasti melotot pada wanita yang dicintainya itu. "Ibu hanya mengajarinya saja, Rasti." "Apa pantas ibu mengajari hal seperti itu, Bu?" Kali ini rasanya tidak masuk akal. Kenapa ibunya harus mengajarkan Raihan untuk mempelajari adegan-adegan suami-istri seperti itu? "Ibu hanya membantu Rasti, kata ibu kamu pasti malu." Raihan mencoba menenangkan ketegangan diantara keduanya. Namun, hal itu membuat Rasti semakin marah. "Apa kalian pikir aku anak kecil? Bagaimana mungkin ibu bisa mengajari hal itu setelah belasan tahun hanya sendiri dan tidak melakukannya?" Bu Mayang langsung berdiri, pandangannya kaku dan ia pergi begitu saja tanpa kata lagi. Rasti merasa bersalah, perkataannya seperti telah menyinggung hati wanita yang telah membesarkannya itu. Kesendirian belasan tahun dengan kondisi ekonomi yang tidak stabil, bahkan awal-awal ditinggalkan ayahnya, kehidupan mereka terseok-seok hingga ibunya sering terpergok menangis sendiri dan pura-pura tegar di hadapan Rasti. Mungkin itulah salah satu alasan kenapa ibunya lebih memilih hidup menjanda dan fokus membesarkan anak semata wayangnya. "Niat ibu mungkin baik, Sayang." Raihan pun merasa bersalah. Sejak kali menikah dan mengenal Rasti ia tahu kasih sayang keduanya sangat kuat. Rasanya tidak enak, setelah kehadirannya, mereka sering kali salah paham dan ketegangan kerap terjadi. "Entahlah, Mas!" Rasti meninggalkan suaminya sendiri. Ia ingin menenangkan diri dan berpikir dingin. Memisahkan diri dan menghindar dari Raihan. Pria yang jadi suaminya itu mengerti, memberi ruang dan waktu untuk Rasti sendiri. Ia pun keluar dan memikirkan semuanya. Sebenarnya ia tidak memikirkannya lebih dalam, Raihan tidak pernah berpikir hal yang aneh. Ia sangat sibuk dengan urusan kantor yang tengah mengalami goncangan dari pihak rival. Samar-samar dari kamar keduanya terdengar suara tangisan. Raihan semakin bingung. Bagaimana mungkin ia yang menjadi penyebab keributan diantara ibu dan anak ini? Bersambung ...."Bagaimana?" Bu Nawang menyambut antusias kedatangan putranya yang baru pulang dari Bali. Ia sudah tahu kalau Bagus akan melamar Mayang lagi di sana untuk menjadikannya istri."Di tolak, Bu.""Apa? Ditolak? Si Mayang menolak anak ibu yang kaya raya ini?" Wanita tua itu tidak terima. "Apa dia sudah gila, beraninya menolak anakku? Si Mayang harus tahu banyak mengantri untuk menjadi istrimu, Bagus."Pak Bagus berjalan gontai menuju sofa dan menjatuhkan tubuhnya di sana. Setelah mendengar penolakan kejam itu, Pak Bagus tidak lagi berani dekat-dekat dengan Mayang, ia insicure pada dirinya sendiri."Apa alasan dia menolakmu? Apa dia meminta agar semua hartamu di alihkan atas namanya?" Bu Nawang masih tidak percaya ada yang menolak keinginannya."Mayang bilang, Bagus bukan lagi tipe pria idamannya, Bu.""Dia tidak suka sama pria gendut, perut buncit dan berleher pendek ini." Pak Bagus melanjutkan dengan nelangsa."Apa? Dia berani mengatakan itu pada anak semata wayangku?" Bu Nawang mulai mem
"Hanya 2 tas saja, Bu. Nggak bisa lebih!" Rasti sudah mewanti-wanti ibunya untuk tidak membawa banyak barang, seperti saat mereka pergi ke kampung Raihan, sebelumnya."Iya. Kamu udah bilang 4 kali sama ibu, Rasti," jawab Bu Mayang tidak menoleh. Ia terlalu sibuk dengan packingan bajunya. Menyiasati bagaimana cara semua barang bawaannya masuk ke dalam 2 tas seperti yang dikatakan putrinya itu."Ini, dia pasti butuh dan lupa membawanya. Ini juga harus aku bawa, Bu Widia akan marah besar, jika aku tidak membawanya." Wanita itu berpikir untuk memasukkannya pada kemasan yang lebih kecil. Hingga pukul 23.00 wanita itu masih sibuk mengepak barang-barang yang akan dibawa pergi.Di rumahnya sudah sepi, suara Raihan dan Rasti pun tidak lagi terdengar. "Apa mereka udah tidur?" Bu Mayang menyelinap ke bawah kursi ruang tamunya. Perlahan ia berjongkok dan memicingkan sebelah mata. Mengintip dari lubang kancing yang menembus ke kamar anak menantunya."Arg!" Bu Mayang terkaget sampat terbentur kursi
Rasti masuk ke dalam ruangan persidangan sesaat sebelum sidang di mulai. Raihan sudah duduk di sana bersama pengacaranya. Ia menoleh pada gadis itu yang hanya menunduk sambil berjalan hingga sampai ke tempat duduknya.Hakim memasuki ruangan sidang. Berkas perkara mulai dibacakan. Berkas tuntutan dari Rasti kosong. Ia tidak menuliskan apapun. Di matanya tidak ada kekurangan untuk suaminya itu.Rasti diminta untuk berdiri dan menjelaskan perasaannya secara langsung. Ia diberi kesempatan oleh hakim untuk mengungkapkan sendiri alasan dari penuntutannya. "Raihan adalah pria yang sangat baik. Itu alasan kenapa saya tidak menuliskan satu pun kekurangannya. Tapi, ada sesuatu yang tidak bisa saya ungkapkan pada halayak ramai mengenai gugatan perceraian ini. Saya dan Raihan sama-sama tahu alasannya. Saya sungguh minta, maaf," ucap Rasti menunduk. Tubuhnya terasa bergetar, ia bahkan meneteskan air mata di sana. Raihan yang tahu beratnya perasaan istrinya saat ini, sontak berdiri. Berkali-kali,
Pak Bagus duduk di samping ranjang ibunya. Ia tidak ingin kecolongan lagi, mungkin saja orang itu kembali. Sejak kejadian tadi malam, ia bahkan tidak bisa memejamkan mata. Menatap wajah ibunya yang sudah menua. Wanita di hadapannya bukanlah ibu yang sempurna, tapi apa yang dilakukannya adalah sebuah cara siaga untuk melindungi diri dan anaknya. Setelah melihat fakta sesungguhnya, mungkin puluhan tahun ini, apa yang ibunya lakukan tidak semua atas kehendaknya sendiri."Bu." Bagus menggenggam tangan ibunya. Ia mengelusnya sembari mengenang masa-masa yang telah lalu. Ibunya memang berwatak keras, tapi di mata Pak Bagus tidak ada orang sebaik ibunya, seburuk apapun wanita itu memperlakukannya. Ia bisa hidup hingga saat ini semua karena jasa-jasanya yang tidak akan mungkin terbalas. Apalagi mereka hidup berdua sejak dulu. Melihat ibunya kerja keras untuk menghidupinya, Pak Bagus tidak pernah melihat wajah ayahnya sendiri, hingga kini."Bangunlah, Bu. Kita masih bisa memperbaiki keadaan ini
"Argh! Sial!" Dara menumpahkan emosinya. Ia tahu pengacara itu mengkhianatinya."Pecat Haikal, sekarang! Jadikan, dia gelandangan!" pekiknya lagi saat Zaki mengunjunginya. Kemudian, menceritakan kalau pengacara yang datang kemarin adalah pengacara ayahnya. "Anak bodoh! Kamu memang tol*l!"Zaki hanya diam saat dimaki ibunya, ia menyadari kebodohannya."Lalu, bagaimana dengan nenek tua itu. Apakah dia sudah mati?"Zaki masih diam. Mata Dara bergerak mengintai."Bukankah kamu telah menghabiskan waktu dengan sia-sia, Zaki?" tanyanya emosi.Anak lelaki itu sudah kecanduan. Minumannya adalah alkohol, dan ia tidak bisa melepaskan game online di tangannya. Zaki lupa akan tugas-tugasnya dari sang ibu."Benar-benar, kamu!" Dara menendang meja di depannya, pemisah antara mereka. Zaki sampai berdiri kaget. "Cari pengacara lain, sekarang! Aku harus keluar dari sini!"Zaki segera pergi. Ia yang tidak punya relasi dan hanya menghabiskan hidupnya untuk dunia game, bingung. Uangnya yang banyak itu, ti
Raihan dan Rasti pulang ke rumah, malam hari. Bu Mayang tidak banyak bertanya tentang kedatangan mereka yang terlambat. Ia seperti lelah setelah perjalanan jauh. Rasti mendapati ibunya dengan mata mengantuk dan langsung kembali ke kamar setelah membuka pintu."Ibu, sudah tidur lagi," ucap pelan Rasti sembari menutup kembali pintu kamar ibunya yang ia baru saja dibuka. Memastikan.Raihan mengangguk. Mereka duduk sebentar di meja tamu. Rasti mengambil air minum untuk suaminya itu. Pria itu seperti ingin menyampaikan sesuatu."Sidang perceraian kita akan digelar, 6 hari lagi." Raihan mulai membuka pembicaraan. Suaranya kecil dan nyaris hilang. Ia sama sekali tidak ingin duduk di depan meja hijau itu.Rasti terdiam. Sebenarnya, ia selalu mengingat hari itu, di setiap detiknya. Apalagi setelah masa-masa kebahagiaan bersama Raihan dan keluarganya. Wanita mana yang ingin melepaskan keberuntungan itu?"Aku ingin kamu mempertimbangkannya kembali, Rasti. Kita bisa hadapi masalah ibu sama-sama."
Raihan dan Rasti sampai tidak lama setelah dihubungi ayahnya. Jaraknya saat itu memang tidak terlalu jauh."Rasti!" panggil Pak Bagus. Rupanya pria itu pun baru saja sampai ke Rumah Sakit."Ada apa, yah?" tanya Raihan saat Rasti hanya menengok saat namanya dipanggil, namun tidak mengucapkan satu kata pun.Pak Bagus menceritakan semua yang dikatakan oleh suster melalui telepon, sebelumnya. Rasti mendengarkan dengan seksama."Aku tidak tahu apa golongan darahku sendiri," jawab Rasti. Ia bahkan tidak pernah memikirkan itu. Ibunya pun belum pernah membawanya ke fasilitas kesehatan untuk memeriksa."Kalau begitu kita bisa cek dulu," ucap Raihan, menatap, meyakinkan persetujuan dari Rasti. Ia tidak ingin istrinya itu merasa terpaksa. Kalaupun Rasti tidak mau, ia akan tetap mendukung dan membelanya dari ayah mertua. "Kamu bersedia?" tanya Raihan memastikan.Pak Bagus pun tidak memaksa, ia paham betul perasaan Rasti saat ini. Siapa yang tidak akan berpikir, jika berada di posisi Rasti?"Ya."
Haris tidak punya waktu untuk kembali dan mencari penutup wajahnya. Ia tahu betul dua orang tadi mencarinya. Ia harus pergi sejauh mungkin, sekarang. Bersembunyi untuk sementara.Motornya kembali dipacu, ia menarik maksimal stang gas. meninggalkan kekecewaannya terhadap wanita yang dicintai. Mata petugas polisi lalu lintas langsung tertuju, menghubungi teman-temannya dan mengejar, mengepung.Mata Haris menoleh, "Sial!" Ia menyadari kalau dirinya dikejar. Matanya tak lagi sempat melirik kanan kiri, ia hanya fokus memacu kendaraannya ke depan. Kondisi tubuhnya belum benar-benar sehat, tapi ia tidak hiraukan itu. Lolos dan bebas, hanya itu yang ada di pikirannya.Mata Haris melotot, pasukan polisi sudah bersiap menjegal di depan sana. Berkeliling, mengepung. Bersiap melepaskan tembakan saat dia menyerobot garda terdepan. "Berhenti! Serahkan dirimu secara baik-baik!" Suara petugas terdengar menggema dari pengeras suara. Tapi, Haris tidak bisa berhenti. Ia tidak akan mungkin bisa lepas se
"Pak, Mas Haris sudah siuman. Mela memanggil bapaknya yang tengah duduk di luar ruangan. "Apa?""Mas Haris siuman." "Benarkah?" Keduanya langsung masuk, Haris yang tertidur selama dua hari setelah mengalami panas tinggi akhirnya membuka mata."Syukurlah, Nak. Kamu sudah siuman." Pria tua itu mendekati Haris dan melihatnya dengan senang.Haris melihat satu persatu dari dua orang asing yang pertama ia lihat setelah siuman. Dan, ini yang kedua kalinya ia hampir kehilangan nyawa, dua orang itu masih setia menemani.Mata Haris menyapu sekeliling, ruangan putih bersih dan harum. Berbeda dengan ruangan pertama saat ia terbangun, sebuah langit-langit yang rendah dengan dinding kayu yang cukup dekat dengan tubuhnya. "Di mana ini?" tanyanya lemah."Di Rumah Sakit, Nak.""Rumah Sakit?" Haris sontak bangun."Tenanglah! Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, perawatanmu sudah dibayar oleh seseorang. Kamu mendapatkan pengobatan yang sangat bagus hingga lukamu begitu cepat pulih." Jelas bapak tu