Share

BAB 5. Keputusan Ibu

Mas Gandung menoleh kaget. Aku dan Bapak juga kaget dengan datangnya Ibu yang tiba-tiba

"Kenyataannya memang begitu!" jawab mas Gandung dengan entengnya.

"Bagus kalo gitu!" kata ibuku.

Membuat aku keheranan. Bapak diam saja.

"Jadi Ibu mendukung Mayang berselingkuh?" tanya mas Gandung.

Ibu menatap mas Gandung sinis.

"Menurutmu?" Ibu malah balik bertanya.

Mas Gandung tak menjawab. Mengusap-usap lehernya dengan raut muka sedikit gelisah. Meskipun dia tak tahu dengan sifat ibuku seperti apa.

"Aku akan membantumu!" kata Ibu.

Kulihat ibuku tersenyum. Mas Gandung semakin bingung.

"Apa maksud Ibu?" tanya mas Gandung.

Tersirat jelas kebingungan dan keheranan di wajahnya.

"Sudah lama aku marah dengan Mayang karena menikahi lelaki sepertimu!" kata ibu sambil menatapku.

Aku mengalihkan pandangan ke arah lain. Tak berani membalas tatapan Ibu. Aku mulai merasakan firasat tidak enak. Sepertinya ada hal besar yang akan terjadi hari ini.

"Kupikir sekarang adalah saat yang tepat untuk menghukum Mayang karena menikahimu," kata ibu dengan seringai jahatnya," aku juga akan membantumu dengan menghukumnya, karena berselingkuh darimu!"

Semua perkataan ibuku penuh dengan penekanan. Aku dan bapak saling berpandangan. Kalau aku tak tahu kemana arah pembicaraan ibu. Mungkin bapak sudah tahu. Tapi sekontroversial apapun tindakan ibuku, aku tahu bapak takkan pernah melawannya.

"Bagaimana Ibu akan menghukum Mayang?" tanya mas Gandung penasaran.

Ibuku tertawa kecil. Aku semakin deg-degan.

"Tunggu saja harinya. Akan aku tunjukkan hukuman terkejam seperti apa yang cocok untuk tukang selingkuh seperti istrimu itu!"

"Ibu!!" protesku tidak terima pada ibu. Rasanya sangat terhina ketika ibuku sendiri menyebutku tukang selingkuh. Mataku sudah hampir meluruhkan airmata.

"Kenapa?" tanya ibu menoleh ke arahku.

"Suamimu sendiri yang menuduhmu selingkuh. Bukan Ibu. Bukan pula orang lain," kata ibuku lagi."Bukankah seperti itu, Gandung?"

Mas Gandung terdiam. Tak menjawab. Matanya menatapku. Entah apa yang dipikirkannya. Apa mungkin dia sedikit khawatir dengan ancaman ibuku barusan.

"Untuk sementara Mayang akan tinggal bersama kami. Biar aku dan Bapak yang merawat dia selama sakit," kata ibuku.

"Mayang kan cuma lecet sedikit kepalanya, Bu?" kata mas Gandung seperti tak rela kalau aku dibawa pulang ke rumah orangtuaku. "Untuk apa harus Bapak sama Ibu yang merawatnya? Dia bisa merawat dirinya sendiri. Dua tiga hari juga pasti sudah sembuh!"

Aku menghela napas kasar. Kupikir tadi mas Gandung menunjukkan ketidakrelaannya aku dirawat orangtuaku karena dia sendiri yang ingin merawatku. Ternyata! Hhhh, dasar laki-laki egois dan tak bertanggung jawab, batinku kesal.

"Tidak. Aku akan membawanya pulang ke rumah kami. Itu hukuman awal untuk Mayang," kata ibuku dengan santainya.

"Kamu gimana, Yang?" tanya mas Gandung padaku. Yang, yang kepala Lo peyang kaleee, batinku dongkol.

Aku menatapnya. Mas Gandung pasti berharap aku menolak keputusan ibuku.

"Apapun keputusan Ibu, aku ikut," jawabku sesaat kemudian. Bagaimanapun juga aku tidak akan mampu melawan keputusan ibu disaat seperti ini.

Ada gurat kecewa di wajah mas Gandung mendengar keputusanku.

Namun aku hanya mengalihkan pandangan kembali ke ibu.

Ibu tersenyum kecil. Mungkin lebih tepat dengan sebuah seringaian. Sebuah kebiasaan bila beliau sedang memberi pressure pada seseorang.

"Tapi, Bu...", ucapan mas Gandung menggantung.

Ibu menatapnya. Kali ini sikap ibu lebih tenang. Meski sejujurnya ketenangan ini justru lebih menakutkan bagiku. Karena seperti kata pepatah, air tenang menghanyutkan.

"Kenapa?" tanya ibu singkat.

"Sampai berapa lama Mayang di tempat Ibu?" tanya mas Gandung.

"Rumahku, rumah Mayang juga. Itu berarti dia akan berada dirumahnya sendiri. Mau berapa lama, bukan aku yang menentukan. Mayang sendiri yang akan memutuskan," jawab ibu masih dengan senyumannya.

Aku hanya menunduk terdiam. Bagaimanapun juga aku sudah tahu arah pembicaraan ibuku yang hendak memisahkan hubunganku dengan mas Gandung. Selama aku di rumah ibu nanti, akupun tahu pasti tetap ibu yang mengambil keputusan. Apakah aku masih bisa kembali atau tidak ke rumahku sendiri setelah ini. Rumah yang selama ini aku huni bersama mas Gandung.

"Mau berapa lama kau tinggal di rumah Ibu?" tanya mas Gandung kepadaku.

"Entahlah, Mas. Mungkin sampai sembuh lukaku," jawabku lirih. Ketika urusan ini sudah ditangani ibu. Aku bukan lagi pembuat keputusan meskipun itu menyangkut hidupku sendiri.

"Nanti kalo Mayang sudah sembuh, mungkin Mayang bisa kembali lagi ke rumah kalian lagi," kata bapak setelah beberapa lama tidak ikut nimbrung pembicaraan.

Aku tahu bapak hanya berusaha menenangkan mas Gandung. Karena aku yakin bapak pun sebenarnya sudah tahu rencana ibu.

Mas Gandung menatapku lama.

Aku melengos. Tak ingin membalas tatapannya. Entah kenapa, kurasa ada yang berubah setelah kejadian di Pak RT kemaren. Kalau sebelumnya aku selalu berusaha mempertahankan perkawinanku dengannya. Kuanggap kecemburuannya yang membabi buta adalah bukti cintanya padaku. Namun kali ini rasanya aku akan mengikuti keputusan ibuku dulu.

"Terserah kalian sajalah!" kata mas Gandung pada akhirnya.

Mungkin mas Gandung sadar, di ruangan ini tak ada satupun yang berpihak padanya. Selama ini dia selalu berhasil membuatku melawan orang tuaku. Tapi kali ini dia melihatku berpihak pada mereka.

"Bagus, itu! Sudah seharusnya kamu bersikap kooperatif seperti ini," kata ibuku sambil menghela nafas panjang.

"Aku harap kamu gak berlama-lama di sana!" kata mas Gandung menatapku.

Aku hanya diam. Tak ingin menjawab apapun padanya. Entah kenapa dalam sekejap saja, rasa yang kupertahankan selama ini seperti menguap begitu saja. Mungkin juga karena dia sudah terlalu banyak mempermalukan aku selama ini. Mungkin juga aku yang sudah lelah didera tuduhan perselingkuhan yang berulang-ulang. Aku menghela nafas kasar. Menelan ludah untuk sekedar membasahi tenggorokan yang setengah kering.

"Gak usah khawatirkan Mayang, mulai sekarang pikirkan saja untuk mengurus dirimu sendiri selama Mayang tinggal bersama kami," kata ibuku menatap mas Gandung.

"Tapi apa yang akan Ibu lakukan pada Mayang setelah sembuh nanti?" tanya mas Gandung." Bukankah Ibu bilang, Ibu akan menghukumnya?"

Aku sedikit terkejut dengan pertanyaan mas Gandung.

Ibuku yang semula tenangpun kulihat menjadi gusar dengan pertanyaan mas Gandung.

"Tentu saja aku akan melakukannya," jawab ibuku sinis.

"Apakah Ibu akan menyakitinya?"

"Tentu saja, aku akan memberikan hukuman yang menyakitkan," jawab ibu masih ketus.

Aku menunduk. Meremas jari. Jelas sudah bagiku hukuman apa yang ibu maksud.

"Apa saya boleh tahu, hukuman seperti apa yang akan Ibu berikan pada Mayang?" tanya mas Gandung.

Aku menghela nafas panjang. Mas Gandung memang tak begitu mengenal ibuku. Semenjak pernikahanku yang tak dihadiri ibuku. Sejak itu pula aku dan mas Gandung tak pernah bertemu dengan ibuku. Hanya bapak yang menghadiri pernikahanku dan menjadi waliku.

Kali ini kulihat wajah ibuku benar-benar gusar.

"Sudahlah, Bu! Nanti saja membahasnya. Kasihan Mayang!" Bapak mencoba menenangkan ibu.

Ibu menoleh ke bapak. Lalu ke arahku. Terakhir menatap mas Gandung dengan tatapan nyalang.

Pelan pelan ibuku berjalan mendekati mas Gandung. Berhenti sejenak di dekatnya. Sedikit membungkukkan badan dan membisikkan sesuatu di dekat telinga laki-laki itu.

"Tta..tapi, Bu?" Mas Gandung terperanjat. Menatap ibu tak percaya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status