15 tahun kemudian
“Hari ini pak Alvian Sanchez dan keluarganya akan makan malam disini. Dia juga akan melakukan inspeksi sekaliani, jadi tolong berikan pelayanan terbaik kalian. Ini pertama kalinya pak Alvian membawa keluarganya kemari. Jangan sampai kita mengecewakan beliau,” kata Bobby, saat briefing shift siang jam 3 sore dengan seluruh karyawan di Spanish Rosseta Restaurant.
“Baik pak," sahut seluruh karyawan serentak.
“Erica, di mana Flowie?” tanya Bobby yang menyadari bahwa Flowie, salah satu karyawan barunya tidak ada ditengah-tengah mereka.
“Ah, itu- mungkin sedang dalam perjalanan pak," jawab Erica sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.
“Anak itu baru 4 bulan kerja, tapi sudah tidak disiplin,” kata Bobby kesal sambil berkacak pinggang.
Karyawan yang lain hanya menundukan kepala, enggan terlibat dalam kekesalan manager Rosetta ini yang memang terkenal dengan disiplinnya.
“Baiklah. Nanti suruh dia mengahadap saya. Kalian bisa bekerja sekarang. Pak Sanchez dan keluarganya akan tiba pukul 4. Beliau akan melakukan inspeksi terlebih dahulu, setelah itu akan makan malam jam 6,” jelas Bobby.
Semua karyawan langsung bubar menyibukan diri dengan pekerjaan masing-masing. Erica berlari kecil menuju pintu belakang restoran dan mengeluarkan ponsel dari saku rok seragamnya. Tampak ia menekan nomor ponsel yang sudah dihafalnya dan mencoba menghubungi nomor itu, namun tidak ada jawaban.
“Flowie, dimana kau?” gumam Erica cemas.
Berulang-ulang dia kali menekan tombol memanggil, mencoba menghubungi sahabatnya itu. Flowie adalah sahabat Erica? Ya, mereka sudah berteman semenjak SMP. Hanya saja Erica lebih lama bekerja di Rosseta, sedangkan Flowie sudah mengecap beberapa pekerjaan hingga akhirnya dia bekerja disini, Spanish Rosseta Restaurant.
10 menit
15 menitSeorang pria menghentikan mobil Mercedes Benz GLK hitamnya tepat di depan Rosseta, dan menurunkan dua orang tua, seorang wanita dan seorang anak laki-laki yang langsung disambut oleh pelayan Rosseta. Pria ini menatap sekeliling parkiran dan tampaknya tidak ada parkiran yang tersisa.
"Ck, kenapa mereka tidak menyisihkan tempat untukku?" batinnya kesal sambil menginjak pedal gas dan memutar mobilnya ke arah belakang restoran.
Pria itu memakirkan mobilnya dengan sempurna di parkiran belakang dan segera turun. Setelah yakin dia mengunci mobilnya, pria dengan tinggi 185 cm ini berjalan dengan mantap menuju pintu belakang tempat karyawan keluar masuk. Walapun pintu itu bertulisan 'STAFF ONLY', yang artinya hanya karyawan yang boleh masuk, namun siapa yang bisa melarangnya memasuki pintu tersebut? Karena dia sendiri adalah pemilik dari restoran ini.
Benar. Pria ini adalah Alvian Sanchez, pemilik dari Spanish Rosseta Restaurant.
“Maaf, pak. Anda tidak boleh memasukinya!” teriak seorang gadis menghentikan tangan Alvian yang nyaris mendorong pintu masuk tersebut.
Alvian membalikan badannya dan melihat seorang gadis sedang berlari kecil dan berhenti tepat di depannya. Gadis ini tampak baru saja maraton. Dia sedikit membungkuk karena kelelahan, nafasnya tersengal-sengal, dan keringat mengucur pada dahinya.
“Anda mau ke restoran bukan? Masuknya dari depan, pak. Bukankah tulisan itu sudah cukup jelas?” Kata gadis itu tegas sambil mengangkat dagunya menunjuk tulisan 'STAFF ONLY' yang ada di pintu, masih dengan nafas tersengal-sengal.
Alvian hanya menatap datar pada gadis di depannya. Gadis ini sedikit berantakan. Rambut yang berantakan, wajah yang sedikit kusam karena keringat bercampur debu, pakaian yang sudah lusuh, tapi tetap saja itu semua tidak menutupi kecantikannya. Mata hazelnya yang sayup karena kelelahan, hidungnya yang mancung dan bibirnya. Entah mengapa Alvian terpaku menatap bibir itu. Bibir yang sangat sensual. Membuat Alvian tersenyum sekilas.
Kini pandangannya beralih ke bagian tas selempangnya. Saku tasnya yang transparan membuat Alvian dapat melihat ID Card di dalamnya. "Flowie Hillebrand," Alvian mengulangi nama itu dalam hatinya.
KLEK
Pintu belakang yang nyaris Alvian masuki tadi terbuka dan tampak Erica keluar dari pintu tersebut. Ia melihat seorang pria membelakanginya dan Flowie berada di hadapan pria tersebut yang tampak kelelahan.
“Flowie! dari mana saja kau?” tanya Erica langsung mengahampiri Flowie dan seketika ia terkejut bukan main melihat sesosok pria yang berdiri di depan Flowie adalah Alvian.
“P-pak Alvian. Selamat sore, pak,” sapa Erica yang gelagapan dan penuh kebingungan sambil menatap Alvian dan Flowie bergantian.
"Alvian?" Flowie mengulangi nama itu dalam benaknya, dia seperti pernah mendengar nama itu. Tapi dimana? Siapa dia?
DEG
Tiba-tiba saja mata hazel Flowie membesar seolah dapat pencerahan atas pertanyaannya sendiri. "Astaga!" jerit Flowie dalam hati. Flowie akhirnya menyadari bahwa pria di depannya adalah Alvian Sanchez, owner dari tempatnya bekerja, dan itu berhasil membuat raut wajah Flowie berubah 180 derajat.
“Ma-maaf, pak. Saya ti-tidak tahu,” lirih Flowie sambil menundukan kepalanya dalam-dalam dan memeras kuat tangannya. Suaranya kini tidak sekeras saat dia menghentikan Alvian tadi.
Alvian hanya menghela nafas berat. Dia sama sekali tidak menunjukan ekspresi apapun. Marah atau senang, tidak sama sekali. Hanya datar. Kini pandangannya beralih kepada Erica.“Apa keluargaku sudah diantar ke ruangan yang kupesankan sebelumnya?” tanya Alvian datar dengan suara baritonnya.
“Sudah, pak. Apakah makanannya mau dihidangkan sekarang?” tanya Erica.
“Hidangkan saja makanan pembukanya dulu. Ini belum jam makan malam mereka,” jawab Alvian sambil melihat jam tangannya.
“Baik, pak. Kalau begitu saya permisi dulu,” ucap Erica cepat.
“Oh iya. Ayo Flowie ikut aku, pak Bobby menyuruhmu menghadapnya," kata Erica sembari menarik lengan Flowie yang melemas.
"Oh Tuhan! Bodohnya aku! Kesialan apa lagi yang akan menimpaku?" batin Flowie masih menunduk, membiarkan tangannya ditarik Erica.
“Apa yang terjadi Flow? Kenapa kau bisa bersama pak Alvian?” tanya Erica berentet saat mereka sudah memasuki ruangan khusus karyawan yang menembus ke bagian dapur restoran itu.
“Hua Erica!! Aku tidak tau kalau dia Alvian Sanchez. Bagaimana ini??” teriak frustasi Flowie sambil mengacak-ngacak rambutnya.
“Wajar saja kau tidak tahu. Terakhir kali dia datang ke sini, sebelum kau bekerja di sini, tapi ada apa sebenarnya, Flow?” tanya Erica masih penasaran.
Kini Flowie tampak acak-acakan.
“Ah sudahlah, nanti saja ceritanya. Sekarang kau ganti saja bajumu dan temui pak Bobby,” sambung Erica lagi sambil mendorong tubuh Flowie ke ruangan loker karyawan wanita.
===
“Maaf pak, tadi saya telat. Saya– ” Flowie berusaha menjelaskan keterlambatannya kepada Bobby di ruangan kerjanya. Kini Flowie sudah menggenakan seragam Rosseta. Flowie menundukan kepalanya karena dia tau, Bobby adalah pimpinan yang cukup tegas dalam hal disiplin.
“Sudahlah Flowie, tidak apa-apa. Pak Alvian sudah menjelaskannya tadi," potong Bobby sebelum Flowie melanjutkan kata-katanya yang membuatnya mendongakkan kepalanya untuk melihat Bobby.
“Pak Alvian?” tanya Flowie kebingungan.
“Iya. Beliau sudah menjelaskannya, bahwa beliau menahan kamu sebentar di pintu belakang untuk ditanyakan beberapa pertanyaan,” jelas Bobby sambil menyusun beberapa kertas ke dalam map.
Flowie mengangakan mulutnya. Ia sungguh bingung.
“Baiklah. Saya mau mendampingi pak Alvian untuk inspeksi. Kamu kembali saja bekerja,” lanjut Bobby sambil tersenyum kepada Flowie yang masih membatu.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Alvian berjalan mengelilingi setiap sudut ruangan Rosseta yang memiliki 3 lantai itu. Spanish Rosseta Restaurant, sangat terkenal dengan kemegahannya. Bahkan tidak jarang acara pernikahan melakukan recepsionis di sini. Rosseta memiliki ballroom yang luas di lantai paling ata, dan juga memiliki beberapa ruangan VIP khusus di lantai 2. Ruangan ini khusus untuk mereka yang ingin makan terpisah dari orang lain dan di lantai dasar adalah ruangan restoran biasa yang dijajaki puluhan meja makan dan kursi. Dekorasi yang bernuansa Spanyol membawa siapa saja hanyut dalam keromantisan. Bahkan alunan-alunan musik Spanyol juga begitu indah terdengar di telinga.“Hei, kau belum cerita padaku yang tadi. Mengapa kau terlambat?” tanya Erica dari balik meja kasir pada Flowie yang mengantarkan daftar pesanan pelanggan untuk dikalkulasi oleh Erica.Flowie mendengus seb
Di tengah kegelapan, tampak seorang pria berdiri di balkon apartemennya. Pria yang tingginya sekitar 185 cm itu menyandarkan badannya di dinding, melipat kedua tangannya di dada dan melempar pandangannya ke hempasan lautan luas di hadapannya. Dia membiarkan angin laut menyapu pelan rambutnya. Suasana malam di tepi pantai tampak begitu indah dengan lampu kelap-kelipnya. Seketika dia menghela nafas panjang dan memejamkan matanya, merasakan hembusan angin menjelajah seluruh tubuhnya.Tidak lama dia mengeluarkan ponsel pintar dari dalam sakunya dan jemari-jemarinya tampak sedang mengetik sebuah rangkaian kalimat. Setelah itu, dia melangkah masuk ke dalam kamarnya. Ah. Wajah tampannya kini terlihat jelas di bawah lampu kamarnya. Pria ini, berambut cokelat, bermata cokelat, dan sedikit berewokan. Dia tampak menatap kopernya yang masih terbuka dengan baju-baju yang sudah tersusun di dalamnya. Tidak lama setelah itu, dia menutup kopernya, menurunkannya ke lantai, meraih tas selempang
“Kalian bekerja sangat baik hari ini. Omset kita naik hingga 40% dari biasanya. Kalian boleh pulang dan beristirahat," kata Bobby mengakhiri briefing malam itu.Jam menunujukan pukul 11.30 malam. Flowie dan karyawan lain tampak kelelahan. Bagaimana tidak, di akhir pekan seperti ini, jumlah konsumen meningkat dan seperti yang sudah dijelaskan tadi, Rosetta adalah restoran yang diminati. Ya. Rosetta, satu-satunya Restoran ala Spanyol yang ada di kota ini.“Apa kau besok jadi off Flow?” tanya Erica saat mereka mengambil tas dan barang-barang lainnya di loker.“Ya. Aku akan pergi dengan Tyo," jawab Flowie dengan senyuman sumringahnya.“Enak sekali kau dapat jatah off saat gajian,” lanjut Erica sambil memanyunkan bibirnya yang membuat Flowie tert
SRUTTTTT!!Tyo menyedot habis minuman dingin di gelasnya. Kini yang tersisah hanya beberapa es batu dalam gelasnya. Flowie hanya menatapnya sambil melipat kedua tangannya di dada, dan menyandarkan badannya di kursi. Sebenarnya Flowie sudah makan. Tapi dia tahu kalau Tyo pasti sangat lapar.“Dari mana saja kau selama 2 hari ini? Mengapa HP-mu tidak pernah aktif?” tanya Flowie sedikit marah yang membuat Tyo berhenti menyerumput minumannya dan mengalihkan pandangan ke arahnya.“A-aku menginap di apartemen Edward. HP-ku-” jawab Tyo tidak menuntaskan perkataannya Dia bahkan belum menyiapkan jawaban yang pas mengapa ponselnyanya tidak aktif, karena sudah pasti memang sengaja dinonaktifkan olehnya.Flowie yang sepertinya tau apa yang dipikirkan adiknya hanya berdecak sebal. Dia melemparkan pandangan ke arah lain.“Maaf kak. Aku hanya tidak ingin di rumah,” kata Tyo dengan liri
Setelah melakukan perjalanan yang ditempuh 10 menit, Flowie dan Tyo tiba di mal terdekat. Tyo melepas kemeja sekolahnya, kini dia hanya menggenakan baju dalamnya yang berwarna hitam. Baju hitam ketat yang membentuk otot-ototnya tubuhnya membuatnya terlihat keren. Tentu saja Tyo keren. Dia memiliki mata yang sama dengan Flowie, hanya rambutnya saja yang cokelat tua kehitam-hitaman, seperti Anna, ibu mereka. Kulitnya yang putih dan tinggi badannya yang 180 melengkapi ketampananya. Flowie yang tingginya hanya 160 tampak hanya sebahunya. “Kau mau beli sepatu apa?” tanya Flowie kepada Tyo sambil melangkah menuju mal di hadapan mereka. “Sepatu basket kak, Tapi kenapa kita tidak beli di Sport Corner tempat kau bekerja saja kak?” tanya Tyo kepada Flowie sambil melihat kanan kiri untuk melihat mobil yang lalu lalang saat mereka hendak menyeberang. “Apa kau ingin memerasku? Barang-barang di Sport Corner itu mahal semua. Harga sepasang sepatunya saja sama dengan 1 bulan gajiku,” kata Flowie m
HUP! Luke bertelut dan menangkap tubuh Flowie dalam pelukannya. Flowie yang dari tadi memejamkan mata karena takut, membuka matanya perlahan dan melihat sesosok Luke yang menggeram. Pemandangan itu kontan membuatnya meloncat dari pelukan Luke. “Ma- Maaf pak,” kata Flowie sambil menunduk dalam-dalam kini berdiri menghadap Luke yang tampak kesal. Luke berdiri dari lantai, dan menatap Flowie tajam. Flowie memberanikan diri mendongakan wajahnya untuk melihat pria yang ada di hadapannya. Luke tampak sedang menepuk-nepuk celana dan bajunya seolah-olah dia baru saja disiram dengan debu. "Dia?" tanya Flowie dalam hati. Seketika mata hazel Flowie melotot dan kembali menunduk. "Astaga. Dia adalah pria yang kemarin," batin Flowie dalam hati. “Terim akasih sudah menolong saya,” ucap Flowie berusaha menenangkan debaran jantungnya. “Apakah kau bodoh?” tanya Luke yang spontan membuat Flowie mengangkat kepalanya untuk melihat pria itu. “Apa?” tanya Flowie kaget. “Kejadian kemarin sore dan se
Langkah Luke terhenti saat menuju mobil yang terpakir di depan rumahnya. Dia melihat sebuah mobil hitam melaju ke arahnya. Itu adalah mobil ayah Luke, Alberto Croose.“Kau sudah pulang?” tanya Alberto dengan senyuman kaku kepada anaknya.“Hallo, pa. Aku baru saja sampai,” jawab Luke juga dengan senyuman yang tidak kalah kaku.Apa-apan ini? Apakah ini adalah sambutan dari Ayah dan anak setelah tidak jumpa cukup lama? Tidak ada pelukan ataupun senyuman mengembang? Astaga!“Kau sudah melihat mama?” tanya Alberto lagi.“Hmm,” jawab luke dengan sedikit anggukan kecil.“Baguslah. Dia sangat merindukanmu,” kata Alberto sambil menghela nafas.Seketika keheningan terjadi di antara mereka.“Kau mau kemana? Kau tidak menginap disini?” tanya Alberto yang memperhatikan kunci mobil yang dipegang Luke.“Ah. Maaf pa, aku tidur di apartemen Alvian dan aku sudah ada janji makan malam dengannya,” jawab Luke.“Oh begitu,” ujar Alberto pelan. Ada tersirat sedikit kekecewaan di wajah Alberto.“Aku pergi du
Flowie berlari sekencang-kencangnya. Ia menyesal mengapa hari ini menggunakan sepatu flat bukannya sepatu kets. Dia tidak bisa berlari lebih cepat karena merasa kakinya mulai lecet akibat kebanyakan berjalan seharian ini. Belum lagi rok hitam yang digunakannya. Walaupun itu bukan rok sepan, melainkan rok kembang yang sama sekali tidak menghambat menghambat langkahnya, tetapi tetap saja terpaan angin di rok ini membuat larinya semakin berat. Sesekali Flowie menoleh ke belakang, pria itu masih mengejarnya. "Hua! kenapa taman ini begitu luas?" batin Flowie saat berlari ke arah berlawanan dengan arah dia memasuki taman tadi. Dia tidak terlalu tahu daerah di sini, yang ada dibenaknya hanyalah kabur karena dia perlu keluar. Dia perlu berlindung. Seandainya ada polisi yang lalu lalang, dia pasti akan berteriak minta tolong. Flowie terus berlari tak memperdulikan sakit yang diakibatkan lecet di kedua kakinya. Kini dia berhasil keluar dari taman itu dan masih berlari mengikuti jalan. Jalan