Alvian berjalan mengelilingi setiap sudut ruangan Rosseta yang memiliki 3 lantai itu. Spanish Rosseta Restaurant, sangat terkenal dengan kemegahannya. Bahkan tidak jarang acara pernikahan melakukan recepsionis di sini. Rosseta memiliki ballroom yang luas di lantai paling ata, dan juga memiliki beberapa ruangan VIP khusus di lantai 2. Ruangan ini khusus untuk mereka yang ingin makan terpisah dari orang lain dan di lantai dasar adalah ruangan restoran biasa yang dijajaki puluhan meja makan dan kursi. Dekorasi yang bernuansa Spanyol membawa siapa saja hanyut dalam keromantisan. Bahkan alunan-alunan musik Spanyol juga begitu indah terdengar di telinga.
“Hei, kau belum cerita padaku yang tadi. Mengapa kau terlambat?” tanya Erica dari balik meja kasir pada Flowie yang mengantarkan daftar pesanan pelanggan untuk dikalkulasi oleh Erica.
Flowie mendengus sebal, “Jalanan macet sekali tadi, gara-gara ada kecelakaan,” jawabnya datar.
“Ck. Apakah tidak lebih baik jika kau berhenti saja bekerja di Sport Corner? Ini juga demi kebaikanmu. Apa kau tidak lelah bekerja dari pagi hingga siang di Green Store, dan kemudian siang hingga malam kau habiskan di sini? Sedangkan jedah waktu yang kau punya hanya 20 menit. Perjalananmu saja dari sana ke sini sudah menghabiskan 15 menit,” kata Erica menimbang-nimbang.
“Tidak, Erica. Aku masih membutuhkan pekerjaan itu. Setidaknya sampai Tyo tamat sekolah,” jawab Flowie dengan datar.
“Wah! Kau memang kakak yang luar biasa. Apakah Tyo sudah pulang ke rumah?” tanya Erica sambil menghitung beberapa lembar kertas di mesin hitungnya.
“Belum. Aku tidak mengerti apa yang ada dipikiran anak itu,” jawab Flowie dengan mata menerawang membuat Erica merasa kasihan pada sahabatnya itu.
“Ah, sudahlah. Dia hanya sedang mencari jati dirinya. Percayalah, dia akan pulang Flow,” kata Erica kemudian tersenyum. Flowie membalas dengan senyuman kecut.
“Oh yah, lantas kenapa kau bisa bertemu pak Alvian di belakang?” tanya Erica mengalihkan pembicaraan.
“Aku bertemu dengannya di belakang saat mau masuk. Aku tidak tahu dia adalah pak Alvian. Aku menyuruhnya untuk masuk dari pintu depan, karena pintu belakang hanya diperbolehkan untuk karyawan,” jelas Flowie berusaha mengingat kejadian yang tidak lama baru terjadi.
“Kau ini,” kata Erica menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Tapi kenapa dia masih muda? Aku pikir Alvian Sanchez adalah pria tua berumur 50-an atau bahkan 60-an,” kata Flowie.
“Hahaha. Dia tampan sekali bukan? Seluruh karyawan disini mengaguminya. Pria muda yang tampan dan sukses. Pacarnya pasti beruntung sekali mendapatkannya. Coba kau tebak berapa umurnya?” tanya Erica sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Hmm, 40.” tebak Flowie asal-asalan.
“Kau ini! Apa dia setua itu? Dia masih berumur 33 tahun Flowie!!” Erica hanya mencengirkan bibirnya mendengar tebakan Flowie yang asal-asalan.
Flowie hanya terkekeh melihat sahabatnya yang bertampang seperti itu.
“Lalu apakah pak Bobby memarahimu?” tanya Erica kini menghentikan tawa Flowie. Tiba-tiba saja Flowie teringat akan perkataan Bobby tadi.
“Tidak. Aku juga bingung apa yang sebenarnya terjadi. Karena pak Bobby bilang – “ belum sempat Flowie menjelaskan, Deo -karyawan pria lain di Rosseta mencelahnya-, “Flow, pak Bobby meminta kita berdua untuk mengantarkan makanan ke ruangan VIP 1. Ruangan keluarga Sanchez,”
“Oh, Baiklah," balasnya singkat dengan senyuman dan pergi meninggalkan Erica yang menggerutu.
KLEK
Flowie membuka pintu ruangan VIP 1 dan Deo mendorong gueridon masuk ke dalam ruangan tersebut. Di atas gueridon tersebut terhidang masakan-masakan lezat khas Spanyol. Tampak sebuah meja makan letter U dengan seorang priayang berumur sekitar 50-an duduk di bangku paling ujung -bangku pemimpin biasa orang bilang- dan seorang wanita tua yang berumur hampir sama dengannya duduk di sebelah kirinya. Mereka pasti orangtua Alvian. Ketampanan Alvian tentu saja diwariskan dari kedua orang tuanya yang berdarah Spanyol dan tampan juga cantik ini. Di sebelah wanita tua itu ada wanita muda lain yang sangat cantik. Wajahya seperti boneka, dengan rambut panjang hitam bergelombang yang terurai sampai sepinggang. Dia pasti saudara perempuan Alvian. Tentu saja. Wajahnya mirip dengan Alvian. Mata hijaunya, rambut hitamnya, bahkan sudut-sudut wajahnya. Satu kata untuk keluarga ini yaitu sempurna. Mereka sempurna. Alvian duduk membelakangi pintu masuk. Dia duduk tepat di sebelah kanan ayahnya dengan seorang anak laki-laki duduk di sebelahnya. Dia pasti adalah keponakan Alvian, karena anak itu memanggil Michelle -begitu biasa orang menyapa saudara perempuan Alvian- dengan panggilan mommy.
Terdengar senda gurau di antara mereka. Sungguh itu membuat Flowie yang memandangnya merasa iri. Ia tidak pernah merasakan kehangatan keluarga seperti ini.
Flowie meletakan hidangannya satu per satu di atas meja. Alunan musik Spanyol samar-samar terdengar dari speaker yang diletakan di sudut ruangan. Begitu meletakan piring terakhir di atas meja, tiba-tiba saja Louis -Ayah Alvian- menyapa Flowie.“Maaf nak, Apakah aku boleh tahu nama ayahmu?” tanya Louis yang membuat Flowie sedikit terkejut.
“Maaf. Aku melihat nama belakangmu, Hillebrand. Aku pikir kau- ” Louis ragu-ragu hendak melanjutkan kata-katanya ketika melihat raut wajah Flowie yang berubah muram.
“Ah. Nama ayah saya Nichollas Hillebrand pak,” jawab Flowie dengan senyum berusaha menyembunyikan kemuramannya.
Seketika wajah Louis dan Selestia -isterinya- tampak terkejut.
“Astaga! Sudah kuduga. Kau cantik, mirip sekali dengan ayahmu. Mata hazelmu benar-benar warisan darinya,” kata Louis tiba-tiba tampak bersemangat.
“Anda mengenal ayah saya pak?” tanya Flowie sedikit kaget dan bingung.
“Tentu saja. Dia adalah sahabatku. Aku sangat merindukannya,” kata Louis dengan mata menerawang.
“Benarkah? Dia pasti juga sangat merindukan anda pak,” kata Flowie tersenyum manis, menyembunyikan kesedihan yang terpantul dari sorot matanya.
"Aku juga. Aku juga sangat merindukanmu papa," batin Flowie.
“Bagaimana kabar ibumu, nak?” tanya Selestia mengarahkan pandangannya kepada Flowie.
“Dia sangat baik bu,” jawab Flowie singkat masih dengan senyuman.
“Tolong sampaikan salamku padanya. Kami memang tidak dekat, tapi aku tau dia wanita yang sangat baik dan cantik,” kata Selestia sambil tersenyum hangat kepada Flowie.
“Baik bu,” ucap Flowie.
“Oh yah nak, ini kartu namaku. Telpon aku jika kau perlu sesuatu,” kata Louis memberikan selembar kartu nama pada Flowie.
“Terima kasih, pak. Saya tidak akan merepotkan anda,” kata Flowie sambil menerima kartu nama itu dengan kedua tangannya.
“Ah. Jangan panggil aku ‘pak’, jika hanya kita-kita saja disini. Panggil aku ‘om’. Bagaimanapun, ayahmu sudah kuanggap saudaraku sendiri,” kata Louis sambil menepuk-nepuk pundak Flowie dengan lembut.
“Tapi –" Flowie hendak menyanggah, namun dipotong oleh Louis
“Tidak apa-apa. Jangan sunkan,” potong Louis cepat.
“Baiklah Om. Terima kasih,” kata Flowie pasrah dengan senyumannya.
Kemudian Flowie melangkah keluar. Sedangkan Deo sudah keluar dari tadi mendorong gueridon meninggalkan Flowie begitu siap meletakan semua hidangan. Sedari tadi juga Alvian menatap Flowie dengan tatapan yang susah diartikan. Dingin namun bitu lekat.
“Kalian mengenal keluarganya?” tanya Alvian ketika selesai memasukan sesuap makanan ke mulutnya.
“Tentu saja. Papa, Nichollas, dan Alberto adalah teman dekat semenjak SMA,” jawab Louis.
“Lantas kenapa papa tidak bertanya alamatnya jika merindukan teman papa itu?” kini Michelle bertanya pada papanya.
Louis meletakan pisau dan garpunya dan menghela nafas panjang. “Nichollas sudah meninggal 15 tahun yang lalu. Bahkan saat dia meninggal, aku sedang di Madrid. Aku benar-benar menyesal tidak bisa menemuinya untuk yang terakhir kali. Kehidupan Anna dan anak-anaknya pasti sangat berat setelah kepergian Nichollas. Bahkan putrinya kini harus bekerja sebagai pelayan,” jawab Louis dengan pandangan menerawang.
Seketika Alvian menghentikan irisan pisaunya dan menatap Louis dingin, sedangkan Michelle hanya berdecak kasihan. Alvian bisa merasakan sorotan kesedihan di mata papanya.
"Anna. Annabellin Swarez, apakah kau baik-baik saja?" batin Louis.
Di tengah kegelapan, tampak seorang pria berdiri di balkon apartemennya. Pria yang tingginya sekitar 185 cm itu menyandarkan badannya di dinding, melipat kedua tangannya di dada dan melempar pandangannya ke hempasan lautan luas di hadapannya. Dia membiarkan angin laut menyapu pelan rambutnya. Suasana malam di tepi pantai tampak begitu indah dengan lampu kelap-kelipnya. Seketika dia menghela nafas panjang dan memejamkan matanya, merasakan hembusan angin menjelajah seluruh tubuhnya.Tidak lama dia mengeluarkan ponsel pintar dari dalam sakunya dan jemari-jemarinya tampak sedang mengetik sebuah rangkaian kalimat. Setelah itu, dia melangkah masuk ke dalam kamarnya. Ah. Wajah tampannya kini terlihat jelas di bawah lampu kamarnya. Pria ini, berambut cokelat, bermata cokelat, dan sedikit berewokan. Dia tampak menatap kopernya yang masih terbuka dengan baju-baju yang sudah tersusun di dalamnya. Tidak lama setelah itu, dia menutup kopernya, menurunkannya ke lantai, meraih tas selempang
“Kalian bekerja sangat baik hari ini. Omset kita naik hingga 40% dari biasanya. Kalian boleh pulang dan beristirahat," kata Bobby mengakhiri briefing malam itu.Jam menunujukan pukul 11.30 malam. Flowie dan karyawan lain tampak kelelahan. Bagaimana tidak, di akhir pekan seperti ini, jumlah konsumen meningkat dan seperti yang sudah dijelaskan tadi, Rosetta adalah restoran yang diminati. Ya. Rosetta, satu-satunya Restoran ala Spanyol yang ada di kota ini.“Apa kau besok jadi off Flow?” tanya Erica saat mereka mengambil tas dan barang-barang lainnya di loker.“Ya. Aku akan pergi dengan Tyo," jawab Flowie dengan senyuman sumringahnya.“Enak sekali kau dapat jatah off saat gajian,” lanjut Erica sambil memanyunkan bibirnya yang membuat Flowie tert
SRUTTTTT!!Tyo menyedot habis minuman dingin di gelasnya. Kini yang tersisah hanya beberapa es batu dalam gelasnya. Flowie hanya menatapnya sambil melipat kedua tangannya di dada, dan menyandarkan badannya di kursi. Sebenarnya Flowie sudah makan. Tapi dia tahu kalau Tyo pasti sangat lapar.“Dari mana saja kau selama 2 hari ini? Mengapa HP-mu tidak pernah aktif?” tanya Flowie sedikit marah yang membuat Tyo berhenti menyerumput minumannya dan mengalihkan pandangan ke arahnya.“A-aku menginap di apartemen Edward. HP-ku-” jawab Tyo tidak menuntaskan perkataannya Dia bahkan belum menyiapkan jawaban yang pas mengapa ponselnyanya tidak aktif, karena sudah pasti memang sengaja dinonaktifkan olehnya.Flowie yang sepertinya tau apa yang dipikirkan adiknya hanya berdecak sebal. Dia melemparkan pandangan ke arah lain.“Maaf kak. Aku hanya tidak ingin di rumah,” kata Tyo dengan liri
Setelah melakukan perjalanan yang ditempuh 10 menit, Flowie dan Tyo tiba di mal terdekat. Tyo melepas kemeja sekolahnya, kini dia hanya menggenakan baju dalamnya yang berwarna hitam. Baju hitam ketat yang membentuk otot-ototnya tubuhnya membuatnya terlihat keren. Tentu saja Tyo keren. Dia memiliki mata yang sama dengan Flowie, hanya rambutnya saja yang cokelat tua kehitam-hitaman, seperti Anna, ibu mereka. Kulitnya yang putih dan tinggi badannya yang 180 melengkapi ketampananya. Flowie yang tingginya hanya 160 tampak hanya sebahunya. “Kau mau beli sepatu apa?” tanya Flowie kepada Tyo sambil melangkah menuju mal di hadapan mereka. “Sepatu basket kak, Tapi kenapa kita tidak beli di Sport Corner tempat kau bekerja saja kak?” tanya Tyo kepada Flowie sambil melihat kanan kiri untuk melihat mobil yang lalu lalang saat mereka hendak menyeberang. “Apa kau ingin memerasku? Barang-barang di Sport Corner itu mahal semua. Harga sepasang sepatunya saja sama dengan 1 bulan gajiku,” kata Flowie m
HUP! Luke bertelut dan menangkap tubuh Flowie dalam pelukannya. Flowie yang dari tadi memejamkan mata karena takut, membuka matanya perlahan dan melihat sesosok Luke yang menggeram. Pemandangan itu kontan membuatnya meloncat dari pelukan Luke. “Ma- Maaf pak,” kata Flowie sambil menunduk dalam-dalam kini berdiri menghadap Luke yang tampak kesal. Luke berdiri dari lantai, dan menatap Flowie tajam. Flowie memberanikan diri mendongakan wajahnya untuk melihat pria yang ada di hadapannya. Luke tampak sedang menepuk-nepuk celana dan bajunya seolah-olah dia baru saja disiram dengan debu. "Dia?" tanya Flowie dalam hati. Seketika mata hazel Flowie melotot dan kembali menunduk. "Astaga. Dia adalah pria yang kemarin," batin Flowie dalam hati. “Terim akasih sudah menolong saya,” ucap Flowie berusaha menenangkan debaran jantungnya. “Apakah kau bodoh?” tanya Luke yang spontan membuat Flowie mengangkat kepalanya untuk melihat pria itu. “Apa?” tanya Flowie kaget. “Kejadian kemarin sore dan se
Langkah Luke terhenti saat menuju mobil yang terpakir di depan rumahnya. Dia melihat sebuah mobil hitam melaju ke arahnya. Itu adalah mobil ayah Luke, Alberto Croose.“Kau sudah pulang?” tanya Alberto dengan senyuman kaku kepada anaknya.“Hallo, pa. Aku baru saja sampai,” jawab Luke juga dengan senyuman yang tidak kalah kaku.Apa-apan ini? Apakah ini adalah sambutan dari Ayah dan anak setelah tidak jumpa cukup lama? Tidak ada pelukan ataupun senyuman mengembang? Astaga!“Kau sudah melihat mama?” tanya Alberto lagi.“Hmm,” jawab luke dengan sedikit anggukan kecil.“Baguslah. Dia sangat merindukanmu,” kata Alberto sambil menghela nafas.Seketika keheningan terjadi di antara mereka.“Kau mau kemana? Kau tidak menginap disini?” tanya Alberto yang memperhatikan kunci mobil yang dipegang Luke.“Ah. Maaf pa, aku tidur di apartemen Alvian dan aku sudah ada janji makan malam dengannya,” jawab Luke.“Oh begitu,” ujar Alberto pelan. Ada tersirat sedikit kekecewaan di wajah Alberto.“Aku pergi du
Flowie berlari sekencang-kencangnya. Ia menyesal mengapa hari ini menggunakan sepatu flat bukannya sepatu kets. Dia tidak bisa berlari lebih cepat karena merasa kakinya mulai lecet akibat kebanyakan berjalan seharian ini. Belum lagi rok hitam yang digunakannya. Walaupun itu bukan rok sepan, melainkan rok kembang yang sama sekali tidak menghambat menghambat langkahnya, tetapi tetap saja terpaan angin di rok ini membuat larinya semakin berat. Sesekali Flowie menoleh ke belakang, pria itu masih mengejarnya. "Hua! kenapa taman ini begitu luas?" batin Flowie saat berlari ke arah berlawanan dengan arah dia memasuki taman tadi. Dia tidak terlalu tahu daerah di sini, yang ada dibenaknya hanyalah kabur karena dia perlu keluar. Dia perlu berlindung. Seandainya ada polisi yang lalu lalang, dia pasti akan berteriak minta tolong. Flowie terus berlari tak memperdulikan sakit yang diakibatkan lecet di kedua kakinya. Kini dia berhasil keluar dari taman itu dan masih berlari mengikuti jalan. Jalan
Luke sedang melakukan ciuman panas dengan seorang wanita di ruangan kerjanya. Dia baru saja kembali bekerja di perusahaan ini kurang lebih seminggu yang lalu setelah Alberto memintanya bergabung. Selama ia bekerja di perusahaan ini, entah sudah berapa wanita datang ke ruangannya. Luke membelai pipi wanita itu lembut dan kemudian belaian itu berubah menjadi cengkraman. Seketika juga Luke menghentikan ciumannya, dan menatap mata wanita tersebut dengan jarak yang sangat dekat. “Berapa yang telah dibayar ibuku padamu, huh? Aku akan membayar dua kali lipat dan enyalah dari hadapanku untuk selama-lamanya!” desis Luke ketus. Wanita itu berbusana long dress hitam dengan belahan sampai ke paha. Dress itu memiliki bagian dada yang berbentuk V dan mengekspos keindahan yang tersembunyi di baliknya. Kulitnya yang putih begitu kontras dengan pakaiannya. Kesempurnaannya semakin kental dengan rambut pendeknya yang kecokelatan dan mata abu-abunya yang menyala. Ia lebih terlihat seperti bintang film