Share

3 – LITTLE STORY OF LUKE AND ALVIAN

Di tengah kegelapan, tampak seorang pria berdiri di balkon apartemennya. Pria yang tingginya sekitar 185 cm itu menyandarkan badannya di dinding, melipat kedua tangannya di dada dan melempar pandangannya ke hempasan lautan luas di hadapannya. Dia membiarkan angin laut menyapu pelan rambutnya. Suasana malam di tepi pantai tampak begitu indah dengan lampu kelap-kelipnya. Seketika dia menghela nafas panjang dan memejamkan matanya, merasakan hembusan angin menjelajah seluruh tubuhnya.

Tidak lama dia mengeluarkan ponsel pintar dari dalam sakunya dan jemari-jemarinya tampak sedang mengetik sebuah rangkaian kalimat. Setelah itu, dia melangkah masuk ke dalam kamarnya. Ah. Wajah tampannya kini terlihat jelas di bawah lampu kamarnya. Pria ini, berambut cokelat, bermata cokelat, dan sedikit berewokan. Dia tampak menatap kopernya yang masih terbuka dengan baju-baju yang sudah tersusun di dalamnya. Tidak lama setelah itu, dia menutup kopernya, menurunkannya ke lantai, meraih tas selempangnya dan mulai menyeret kopernya keluar dari kamarnya. "Bisakah aku tidak usah pulang?" tanyanya dalam hati.

===

Alvian melangkahkan kakinya keluar dari kamar mandi dengan balutan handuk di pinggangnya, memperlihatkan dada bidang dengan abs di perutnya yang sempurna. Rambutnya yang masih basah meneteskan beberapa air di pundaknya. Dia melihat ponsel yang tadi ia letakan di atas kasurnya berkedip menunjukan ada suatu pemberitahuan. Alvian segera meraihnya dan memeriksanya. Ternyata ada pesan yang masuk.

‘Al, aku akan sampaidi besok. Jemput aku di airport. Karena aku tidak ingin pulang ke rumah.’

Alvian tersenyum membaca pesan dari sahabatnya -Luke-. Sudah 3 tahun terakhir kali dia berjumpa dengan Luke. Setelah tamat SMA, Alvian dan Luke melanjutkan sekolah mereka di Madrid. Bahkan setelah perkuliahan selesai, mereka tetap tinggal di Madrid. Masing-maing mempunyai Alasan untuk tetap tinggal di negara asing itu.

Luke memilih tetap tinggal karena ingin melarikan diri dari keluarganya yang tidak harmonis. Ayah dan ibunya yang selalu bertengkar setiap saat sangat membuat Luke tidak nyaman. Belum lagi sang ibu yang suka menjodohkannya dengan wanita-wanita pilihan ibunya, dan ini semua karena permainan konyol kakek Luke -Diego Croose-. Pria tua pemilik Ocean Group itu memberi pengumuman yang cukup mengejutkan keluarga besar Croose beberapa tahun silam. Pengumumannya adalah bahwa dia hanya akan mewarisi sahamnya -yang tentu saja adalah saham terbesar- kepada cucunya yang berhasil memberikannya cicit, tidak peduli apakah dia cucu pertama atau cucu paling bungsu. Hal ini membuat Elya ketakutan kalau saja sepupu-sepupu Luke berhasil menikah deluan, maka tamatlah riwayat Luke. Sebenarnya tidak benar-benar tamat, tapi paling tidak saham yang akan dia peroleh tidak sebesar sepupu-sepupunya yang lain. Namun, hal ini benar-benar tidak menarik perhatian Luke dan bahkan kedua sepupu, Gilbert yang berusia 27 dan Andreas yang berusia 29 untuk buru-buru menikah. Hanya para ibu mereka saja yang tergila-gila dengan saham itu. Elya salah satunya. Itu benar-benar membuat Luke mual dan pusing.

Sedangkan Alvian, dia memilih tinggal karena wanita yang sangat dicintainya -Alice Cassandra-. Gadis keturunan Spanyol-Indonesia ini begitu memikatnya hingga ia tak berkutik. Segala sesuatu ia lakukan untuk wanita terindah ini, wanita yang kini meninggalkannya untuk mengejar impian-impiannya. Ya. Alice meninggalkan pria tampan ini.

FLASH BACK

Alice Cassandra adalah junior Alvian saat kuliah di Madrid. Gadis yang berjarak 5 tahun darinya ini sungguh memikat. Di usianya yang baru 16 tahun, dia sudah resmi menjadi seorang mahasiswi. Kenapa tidak? Alice anak yang sangat pintar. Dia meyelesaikan SMP dalam 2 tahun dan SMA 2 tahun. Disamping kepintarannya, dia juga cantik. Benar-benar sempurna. Wajar saja Alvian jatuh cinta pada Alice. Setelah saling mengenal cukup lama, mereka berpacaran.

Sudah 6 tahun mereka berpacaran. Setelah Alice tamat, dia terjun ke dunia kerja. Tapi hanya sebentar, karena dia begitu tergila-gila untuk belajar, dan melanjutkan kuliahnya lagi. Hubungannya dan alvian sudah sangat dekat. Mereka tinggal di satu apartemen di Madrid. Menghabiskan waktu selalu bersama.

“Selamat atas wisudamu sayang,” ucap Alvian memeluk Alice erat pada saat acara wisuda S2 Alice di Madrid

“Terimakasih sayang,” balas Alice masih memeluknya erat.

Alvian mencium pucuk kepala Alice dan melepas pelukannya. Kedua tangannya menangkup pipi Alice dan memandang mata cokelat Alice lekat.

“Kau hebat sayang. Kau lulus dengan gelar Summa Cum Laude. Aku bangga memiliki wanita sepertimu,” kata Alvian dengan senyuman sumringahnya dan kemudian dia mencium bibir Alice sekilas.

“Mana hadiah untuk wisudaku?” tanya Alice manyun masih mengalungkan tangannya di leher Alvian.

“Tentu saja ada. Sebaiknya kau cepat bersiap-siap. Aku ingin mengajakmu makan malam,” jawab Alvian sambil menempelkan dahinya di dahi Alice.

“Baiklah tuan Sanchez-ku,” kata Alice tertawa renyah sambil menggesekan hidungnya ke hidung Alvian.

Malam itu, Alice menggenakan dress hitam polos dan heels silver. Ah, ia sungguh cantik. Pada dasarnya Alice memang gadis yang cantik. Tinggi semampai, rambut cokelatnya yang panjang terurai indah dan kulitnya yang seputih pualam. Pria manapun yang melihatnya pasti akan jatuh hati. Bahkan malam itu, Alvian yang melihatnya juga jatuh hati. Entah sudah berapa kali Alvian jatuh hati padanya.

“Aku mencintaimu Alice,” bisik Alvian di telinga Alice yang tersenyum malu pada saat mereka selesai makan malam.

“Maukah kau menikah denganku, Sayang?” tanya Alvian dengan sebelah tangan mengeluarkan kotak kecil dari saku jas nya.

Kotak itu memperlihatkan sebuah cincin berlian yang sangat memukau. Alice sedikit terkejut dan menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Mata cokelatnya membulat dan senyuman melebar di wajahnya, namun senyumannya perlahan memudar.

“Alvian, apakah kau benar-benar mencintaiku?” tanya Alice mentap mata Alvian dalam-dalam.

Tanpa menunggu jawaban Alvian pun Alice dapat merasakan dari pandangan mata Alvian bahwa Alvian sungguh-sungguh mencintainya.

“Tentu saja, sayang. Apakah aku tampak tidak sungguh-sungguh?” tanya Alvian sambil mengelus pipi Alice dengan sebelah tangannya.

“Jika kau mencintaiku, maukah kau menungguku?” tanya Alice.

Seketika senyum Alvian memudar. “Menunggumu untuk apa sayang?” tanya Alvian.

“Kau tau, Aku masih 24 tahun dan aku masih punya banyak keinginan,” jawab Alice sambil menggenggam tangan Alvian.

“Apa itu? Apakah aku tidak bisa mewujudkannya?” tanya Alvian.

“Alvian, aku mencintaimu. Tapi aku ingin berkarya dengan usiaku yang masih muda. Izinkan aku melanjutkan kuliah di Jerman, dan melakukan beberapa penelitian di beberapa negara. Maukah kau menungguku?” jawab dan tanya Alice yang membuat Alvian diam seribu bahasa.

“Maukah kau menungguku sebentar lagi saja?” tanya Alice memohon dan menatap dalam-dalam mata Alvian.

Alvian tersenyum tipis. “Setelah kita menikah, aku mampu mencukupi kebutuhanmu. Mengapa kau harus mengambil kuliah tinggi-tinggi? Dan jikapun kau ingin, mengapa harus ke Jerman? Kau masih bisa melanjutkan pendidikanmu di sini. Tetaplah bersamaku Alice,” ucap Alvian mempererat genggamannya. Ada sedikit permohonan di selah ucapannya.

“Alvian, bukankah kita selalu bersama selama ini? Kita saling melengkapi, bercinta dan menghabiskan waktu bersama. Kenapa kita harus buru-buru mengikat diri kita dengan penikahan? Tanpa menikahpun kita sudah melengkapi. Jadi, izinkan aku berkarya sebentar saja, ya?” permohonan Alice disampaikan dengan kata-kata yang begitu lembut namun menyayat hati Alvian.

Apa ini? Sebuah penolakan? Penundaan? Ah. Kekecewaan meliputi Alvian saat itu. Gadis yang sudah dicintainya lebih dari 6 tahun, memilih untuk melanjutkan pendidikannya ketimbang menikah dengannya. Seketika hati Alvian seperti teriris. Sakit dan perih. Alice, kau adalah wanita yang pintar dan cantik, tapi kau juga berhati dingin.

“Baiklah. Jika itu mau mu, aku akan menunggumu,” ucap Alvian tersenyum kecut menyembunyikan kekecewaannya sambil mengelus pipi Alice.

“Terimakasih sayang. Kau sungguh pengertian,” kata Alice mencium tangan Alvian.

Pengertian? Tentu saja. Alvian mencintai Alice. Tapi apakah Alice benar-benar mencintainya? Mengapa dia lebih memilih melanjutkan pendidikan ketimbang menikahi Alvian, pengusaha muda yang kaya raya? Ah, Alice. Kau membuat semuanya menjadi rumit.

Alvian menatap sekeliling apartemennya sepi. Hanya ada jejak-jejak dan bayangan Alice yang tertinggal. Alice baru saja meninggalkannya 3 hari, namun Alvian sungguh merindukannya.

Tiba-tiba saja suara ponselnya membangunkan Alvian dari lamunan panjangnya. Alvian melihat nomor yang menghubunginya dan ia tersenyum tipis.

“Ya pa?” sahut Alvian saat mengangkat ponselnya.

“Apa kabarmu nak? Aku dengar Alice sudah pergi ke Jerman untuk melanjutkan study-nya? Benarkah?” tanya Louis dari seberang.

“Ya pa. Itu benar,” jawab Alvian singkat sambil menghembuskan nafas berat.

“Lalu apa yang kau lakukan di Madrid? Pulanglah nak. Keluargamu di sini. Verdant Group membutuhkanmu," ajak Louis.

Alvian memijat batang hidungnya dengan ringan sambil memejamkan mata. Semua terasa lelah dan menyedihkan. Dulu dia lebih memilih tinggal dengan wanita kesayangannya dari pada memimpin verdant Group, perusahaan ayahnya, namun balasan Alice sungguh membuatnya berantakan.

“Baiklah pa. Aku akan pulang besok,” jawabnya dengan suara rendah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
hellomysillyone
semangat trs nulisnya kk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status