Di tengah kegelapan, tampak seorang pria berdiri di balkon apartemennya. Pria yang tingginya sekitar 185 cm itu menyandarkan badannya di dinding, melipat kedua tangannya di dada dan melempar pandangannya ke hempasan lautan luas di hadapannya. Dia membiarkan angin laut menyapu pelan rambutnya. Suasana malam di tepi pantai tampak begitu indah dengan lampu kelap-kelipnya. Seketika dia menghela nafas panjang dan memejamkan matanya, merasakan hembusan angin menjelajah seluruh tubuhnya.
Tidak lama dia mengeluarkan ponsel pintar dari dalam sakunya dan jemari-jemarinya tampak sedang mengetik sebuah rangkaian kalimat. Setelah itu, dia melangkah masuk ke dalam kamarnya. Ah. Wajah tampannya kini terlihat jelas di bawah lampu kamarnya. Pria ini, berambut cokelat, bermata cokelat, dan sedikit berewokan. Dia tampak menatap kopernya yang masih terbuka dengan baju-baju yang sudah tersusun di dalamnya. Tidak lama setelah itu, dia menutup kopernya, menurunkannya ke lantai, meraih tas selempangnya dan mulai menyeret kopernya keluar dari kamarnya. "Bisakah aku tidak usah pulang?" tanyanya dalam hati.
===
Alvian melangkahkan kakinya keluar dari kamar mandi dengan balutan handuk di pinggangnya, memperlihatkan dada bidang dengan abs di perutnya yang sempurna. Rambutnya yang masih basah meneteskan beberapa air di pundaknya. Dia melihat ponsel yang tadi ia letakan di atas kasurnya berkedip menunjukan ada suatu pemberitahuan. Alvian segera meraihnya dan memeriksanya. Ternyata ada pesan yang masuk.
‘Al, aku akan sampaidi besok. Jemput aku di airport. Karena aku tidak ingin pulang ke rumah.’
Alvian tersenyum membaca pesan dari sahabatnya -Luke-. Sudah 3 tahun terakhir kali dia berjumpa dengan Luke. Setelah tamat SMA, Alvian dan Luke melanjutkan sekolah mereka di Madrid. Bahkan setelah perkuliahan selesai, mereka tetap tinggal di Madrid. Masing-maing mempunyai Alasan untuk tetap tinggal di negara asing itu.
Luke memilih tetap tinggal karena ingin melarikan diri dari keluarganya yang tidak harmonis. Ayah dan ibunya yang selalu bertengkar setiap saat sangat membuat Luke tidak nyaman. Belum lagi sang ibu yang suka menjodohkannya dengan wanita-wanita pilihan ibunya, dan ini semua karena permainan konyol kakek Luke -Diego Croose-. Pria tua pemilik Ocean Group itu memberi pengumuman yang cukup mengejutkan keluarga besar Croose beberapa tahun silam. Pengumumannya adalah bahwa dia hanya akan mewarisi sahamnya -yang tentu saja adalah saham terbesar- kepada cucunya yang berhasil memberikannya cicit, tidak peduli apakah dia cucu pertama atau cucu paling bungsu. Hal ini membuat Elya ketakutan kalau saja sepupu-sepupu Luke berhasil menikah deluan, maka tamatlah riwayat Luke. Sebenarnya tidak benar-benar tamat, tapi paling tidak saham yang akan dia peroleh tidak sebesar sepupu-sepupunya yang lain. Namun, hal ini benar-benar tidak menarik perhatian Luke dan bahkan kedua sepupu, Gilbert yang berusia 27 dan Andreas yang berusia 29 untuk buru-buru menikah. Hanya para ibu mereka saja yang tergila-gila dengan saham itu. Elya salah satunya. Itu benar-benar membuat Luke mual dan pusing.
Sedangkan Alvian, dia memilih tinggal karena wanita yang sangat dicintainya -Alice Cassandra-. Gadis keturunan Spanyol-Indonesia ini begitu memikatnya hingga ia tak berkutik. Segala sesuatu ia lakukan untuk wanita terindah ini, wanita yang kini meninggalkannya untuk mengejar impian-impiannya. Ya. Alice meninggalkan pria tampan ini.
FLASH BACK
Alice Cassandra adalah junior Alvian saat kuliah di Madrid. Gadis yang berjarak 5 tahun darinya ini sungguh memikat. Di usianya yang baru 16 tahun, dia sudah resmi menjadi seorang mahasiswi. Kenapa tidak? Alice anak yang sangat pintar. Dia meyelesaikan SMP dalam 2 tahun dan SMA 2 tahun. Disamping kepintarannya, dia juga cantik. Benar-benar sempurna. Wajar saja Alvian jatuh cinta pada Alice. Setelah saling mengenal cukup lama, mereka berpacaran.
Sudah 6 tahun mereka berpacaran. Setelah Alice tamat, dia terjun ke dunia kerja. Tapi hanya sebentar, karena dia begitu tergila-gila untuk belajar, dan melanjutkan kuliahnya lagi. Hubungannya dan alvian sudah sangat dekat. Mereka tinggal di satu apartemen di Madrid. Menghabiskan waktu selalu bersama.
“Selamat atas wisudamu sayang,” ucap Alvian memeluk Alice erat pada saat acara wisuda S2 Alice di Madrid
“Terimakasih sayang,” balas Alice masih memeluknya erat.
Alvian mencium pucuk kepala Alice dan melepas pelukannya. Kedua tangannya menangkup pipi Alice dan memandang mata cokelat Alice lekat.
“Kau hebat sayang. Kau lulus dengan gelar Summa Cum Laude. Aku bangga memiliki wanita sepertimu,” kata Alvian dengan senyuman sumringahnya dan kemudian dia mencium bibir Alice sekilas.
“Mana hadiah untuk wisudaku?” tanya Alice manyun masih mengalungkan tangannya di leher Alvian.
“Tentu saja ada. Sebaiknya kau cepat bersiap-siap. Aku ingin mengajakmu makan malam,” jawab Alvian sambil menempelkan dahinya di dahi Alice.
“Baiklah tuan Sanchez-ku,” kata Alice tertawa renyah sambil menggesekan hidungnya ke hidung Alvian.
Malam itu, Alice menggenakan dress hitam polos dan heels silver. Ah, ia sungguh cantik. Pada dasarnya Alice memang gadis yang cantik. Tinggi semampai, rambut cokelatnya yang panjang terurai indah dan kulitnya yang seputih pualam. Pria manapun yang melihatnya pasti akan jatuh hati. Bahkan malam itu, Alvian yang melihatnya juga jatuh hati. Entah sudah berapa kali Alvian jatuh hati padanya.
“Aku mencintaimu Alice,” bisik Alvian di telinga Alice yang tersenyum malu pada saat mereka selesai makan malam.
“Maukah kau menikah denganku, Sayang?” tanya Alvian dengan sebelah tangan mengeluarkan kotak kecil dari saku jas nya.
Kotak itu memperlihatkan sebuah cincin berlian yang sangat memukau. Alice sedikit terkejut dan menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Mata cokelatnya membulat dan senyuman melebar di wajahnya, namun senyumannya perlahan memudar.
“Alvian, apakah kau benar-benar mencintaiku?” tanya Alice mentap mata Alvian dalam-dalam.
Tanpa menunggu jawaban Alvian pun Alice dapat merasakan dari pandangan mata Alvian bahwa Alvian sungguh-sungguh mencintainya.
“Tentu saja, sayang. Apakah aku tampak tidak sungguh-sungguh?” tanya Alvian sambil mengelus pipi Alice dengan sebelah tangannya.
“Jika kau mencintaiku, maukah kau menungguku?” tanya Alice.
Seketika senyum Alvian memudar. “Menunggumu untuk apa sayang?” tanya Alvian.
“Kau tau, Aku masih 24 tahun dan aku masih punya banyak keinginan,” jawab Alice sambil menggenggam tangan Alvian.
“Apa itu? Apakah aku tidak bisa mewujudkannya?” tanya Alvian.
“Alvian, aku mencintaimu. Tapi aku ingin berkarya dengan usiaku yang masih muda. Izinkan aku melanjutkan kuliah di Jerman, dan melakukan beberapa penelitian di beberapa negara. Maukah kau menungguku?” jawab dan tanya Alice yang membuat Alvian diam seribu bahasa.
“Maukah kau menungguku sebentar lagi saja?” tanya Alice memohon dan menatap dalam-dalam mata Alvian.
Alvian tersenyum tipis. “Setelah kita menikah, aku mampu mencukupi kebutuhanmu. Mengapa kau harus mengambil kuliah tinggi-tinggi? Dan jikapun kau ingin, mengapa harus ke Jerman? Kau masih bisa melanjutkan pendidikanmu di sini. Tetaplah bersamaku Alice,” ucap Alvian mempererat genggamannya. Ada sedikit permohonan di selah ucapannya.
“Alvian, bukankah kita selalu bersama selama ini? Kita saling melengkapi, bercinta dan menghabiskan waktu bersama. Kenapa kita harus buru-buru mengikat diri kita dengan penikahan? Tanpa menikahpun kita sudah melengkapi. Jadi, izinkan aku berkarya sebentar saja, ya?” permohonan Alice disampaikan dengan kata-kata yang begitu lembut namun menyayat hati Alvian.
Apa ini? Sebuah penolakan? Penundaan? Ah. Kekecewaan meliputi Alvian saat itu. Gadis yang sudah dicintainya lebih dari 6 tahun, memilih untuk melanjutkan pendidikannya ketimbang menikah dengannya. Seketika hati Alvian seperti teriris. Sakit dan perih. Alice, kau adalah wanita yang pintar dan cantik, tapi kau juga berhati dingin.
“Baiklah. Jika itu mau mu, aku akan menunggumu,” ucap Alvian tersenyum kecut menyembunyikan kekecewaannya sambil mengelus pipi Alice.
“Terimakasih sayang. Kau sungguh pengertian,” kata Alice mencium tangan Alvian.
Pengertian? Tentu saja. Alvian mencintai Alice. Tapi apakah Alice benar-benar mencintainya? Mengapa dia lebih memilih melanjutkan pendidikan ketimbang menikahi Alvian, pengusaha muda yang kaya raya? Ah, Alice. Kau membuat semuanya menjadi rumit.Alvian menatap sekeliling apartemennya sepi. Hanya ada jejak-jejak dan bayangan Alice yang tertinggal. Alice baru saja meninggalkannya 3 hari, namun Alvian sungguh merindukannya.
Tiba-tiba saja suara ponselnya membangunkan Alvian dari lamunan panjangnya. Alvian melihat nomor yang menghubunginya dan ia tersenyum tipis.“Ya pa?” sahut Alvian saat mengangkat ponselnya.
“Apa kabarmu nak? Aku dengar Alice sudah pergi ke Jerman untuk melanjutkan study-nya? Benarkah?” tanya Louis dari seberang.
“Ya pa. Itu benar,” jawab Alvian singkat sambil menghembuskan nafas berat.
“Lalu apa yang kau lakukan di Madrid? Pulanglah nak. Keluargamu di sini. Verdant Group membutuhkanmu," ajak Louis.
Alvian memijat batang hidungnya dengan ringan sambil memejamkan mata. Semua terasa lelah dan menyedihkan. Dulu dia lebih memilih tinggal dengan wanita kesayangannya dari pada memimpin verdant Group, perusahaan ayahnya, namun balasan Alice sungguh membuatnya berantakan.
“Baiklah pa. Aku akan pulang besok,” jawabnya dengan suara rendah.
DEGAlvian mematung. Ia sungguh tidak percaya akan apa yang ia lihat. Wanita yang sudah memporak porandakan hatinya kini berdiri di hadapannya. Bukankah Alice meninggalkannya demi cita-citanya? Bukankah Alvian merasa begitu sakit? Namun mengapa ia masih merasakan getaran yang sama saat seperti pertama sekali ia bertemu wanita ini bertahun-tahun yang lalu? Getaran yang membuatnya ingin menarik gadis ini ke dalam pelukannya.“Alice,” gumam Alvian dengan suara yang tidak kalah serak. Sepertinya sesuatu sedang tersangkut pada tenggorokannya.Luke yang tersadar lebih dahulu, menarik tangan Flowie dengan lembut dan melangkah keluar, meninggalkan mereka tanpa kata-kata pamitan. Luke hanya tidak ingin mengganggu momen yang menurutnya sangat pas untuk saling menyerukan kerinduan mereka.“Apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanya Alvian memecah keheningan.“Aku merindukanmu. Apakah aku masih berhak berada di sisimu?” tanya Alice dengan mata berkaca-kaca.Alice menunggu dengan harapan Alvian m
“Maaf, apakah ini apartemennya Alvian Sanchez?” tanya wanita tersebut dengan sedikit ragu-ragu.“Benar. Silakan masuk,” kata Flowie mempersilakan masuk.Wanita itu menatapnya bingung. Ia menyeret kopernya memasuki apartemen Alvian.“Maaf, tapi kau siapa?” tanya wanita itu saat Flowie sudah menutup pintunya.“A-aku. Aku teman Alvian,” jawab Flowie terbata.Tunggu dulu. Mengapa ia harus terbata dan mengapa ia yang harus ditanya?Wanita itu menatap Flowie penuh selidik. Ia menatap Flowie dari bawah hingga ke atas. Flowie hanya menggenakan dress berwarna dark green dan flat shoes saat ini. Uhm, sepertinya ia lupa menata rambutnya yang hanya dikucir ekor kuda saat ini.“Dimana Alvian?” tanya wanita itu sedikit kesal.“Dia sedang keluar. Mungkin sebentar lagi kembali,” jawab Flowie mengikuti jawaban bibi Gissel padanya tadi.“Kau tinggal di sini? Siapa kau sebenarnya? Teman one night stand nya?” tanya wanita itu lagi yang membuat Flowie membulatkan matanya terkejut.“Tidak. Aku tidak tingga
“Mama?” Flowie membuka sedikit pintu kamar Anna dan mendapati Anna yang sedang duduk termenung memegang rajutanAnna hanya menoleh sesaat lalu membuang muka dan melanjutkan rahutannya. Sedangkan Flowie melangkahkan kakinya masuk dan menutup pintu kamar dengan sempurna sebelum ia mengambil posisi duduk di sebelah Anna.“Aku kangen sekali dengan mama,” kata Flowie sambil memeluk Anna dari belakang dan menyenderkan kepalanya di bahu Anna.Anna hanya menghela napas dan kemudian melanjutkan aktivitasnya.“Apa yang sedang mama buat? Baju hangat? Apa ini untuk Hans, ma?” tanya Flowie berusaha memecah kecanggungan karena ia tahu Anna senang membuatkan Hans baju hangan sarung tangan bahkan topi dari wool.“Hm,” gumam Anna singkat.“Apakah mama marah karena aku sama Luke akan menikah?” tanya Flowie yang membuat Anna menghentikan rajutannya dan menoleh ke arah Flowie.“Apa kau benar-benar ingin menikah dengannya?” tanya Anna.“Hm. Aku mencintainya ma,” jawab Flowie apa adanya.Anna sekali lagi m
“Aku tidak punya tujuan hidup ataupun impian. Aku tidak dicintai orangtuaku hingga aku memutuskan untuk pindah ke Madrid. Aku menghabiskan hari-hariku dengan bersenang-senang di sana dan aku sungguh tidak mau memikirkan persoalan kedua orangtuaku. Hingga aku pulang dan bertemu denganmu, aku kembali merasa hidup dan memiliki rencana masa depan denganmu,” Luke menatap lekat kedua mata hazel Flowie yang sudah dibanjiri air mata.“Namun belakangan, aku memahami satu hal. Ibumu tidak bersalah. Bahkan dia dan papa adalah korban permainan kotor mama dan nenekku dan mengetahuinya membuatku sangat sakit. Aku adalah rencana kotor itu, Flow. Aku adalah rencana kotor mama untuk memisahkan papa dan ibumu saat itu,” Luke terisak berusaha menekan rasa sakit di dadanya.Flowie menutup mulutnya tidak percaya, air mata tidak henti keluar dari mata cantiknya.“Sebelum kecelakaan, aku baru mengetahui bahwa kau adalah anak dari Mrs. Annabelline, dan aku merasa sangat sesak, Flow. Aku sudah sangat jatuh ci
Sepanjang makan malam mereka membicarakan hal-hal yang Flowie tidak mengerti, namun entah mengapa Flowie merasa Luke tidak terlalu menyukai pertemuan ini. Padahal sikap keluarganya tidak seburuk yang Flowie bayangkan, mengingat betapa mengerikannya Elya.“Jadi kalian sudah memutuskan tanggalnya?” tanya Diego tiba-tiba kepada Luke dan Flowie.“Dua minggu dari sekarang,” jawab Luke mantap yang membuat Flowie menoleh kearah Luke dengan tatapan tidak mengerti.“Kenapa cepat sekali, Luke?” tanya Alberto.“Kami sudah memutuskannya, pa. Jangan dipikirkan lagi. Aku akan mengurus semuanya.” jawab Luke kemudian mengelap lembut bibirnya dengan napkin.Flowie yang tidak mengerti apapun yang mereka bicarakan hanya diam saja dan kemudian ia meraih gelas berisi wine dan meneguknya cukup banyak. Entah mengapa wine ini sungguh terasa nikmat di tenggorokan Flowie.“Baiklah. Siapkan pesta yang besar untuk mereka Alberto,” kata Diego.“Baiklah pa,” kata Alberto mengangguk setuju.“Tidak perlu, kek. Aku s
Flowie mengerjapkan matanya berkali-kali. Hal pertama yang ia dapat adalah wajah Luke yang tampak sibuk dengan sesuatu di i-padnya. “Uhmm,” Flowie berdeham pelan. Tenggorokannya terasa begitu kering. Sudah berapa lama ia tidur? Bukankah sebelumnya ia tertidur di pesawat? Lalu kenapa ia sekarang tidur di paha Luke? Dan kenapa mereka berada dalam mobil? “Kau sudah bangun, sayang?” tanya Luke ketika menyadari Flowie yang sudah terbangun. “Kita di mana? Di mana Hans?” tanya Flowie sambil mengucek matanya. “Hans tertidur di kursi belakang. Kita sedang dalam perjalanan menuju apartemen,” jawab Luke sambil mengelus rambut cokelat Flowie. Mendengar kata apartemen, membuat Flowie tiba-tiba bangkit dari rebahannya dan menatap Luke tidak setuju. “Tidak, Luke. Aku tidak mau kembali ke apartemenmu!” Flowie menggeleng kuat. Luke menarik Flowie ke dalam pelukannya. “Ssst! Tenanglah, sayang. Aku tidak akan membawamu ke situ, kita sedang di Swiss, kita akan ke apartemenku yang ada di Swiss maks