Beberapa hari sebelumnya.
“Kita mau ke kondangan ya, Ma?” tanya Tasya pada sang ibu yang tengah mengikat rambutnya.
“Iya, betul. Ke rumah Eyang, Asya mau ikut?”
“Ikut-ikut-ikut. Sama papa?”
“Hm ... papa cuma antar. Nanti nyusul. Soalnya ada yang harus diurus.” Nadya meletakkan sisir di meja.
Dipandangnya seraut wajah cantik bocah di hadapannya. Lalu dengan girang, bocah itu berlari keluar.
Senyum di bibir Nadya memudar. ‘Lihat bocah itu. Dia hanya tahu senang tanpa tahu tempat itu masih sangat ingin kuhindari bahkan setelah sekian tahun berlalu.’ Nadya menghela napas dalam.
Pandangannya beralih pada lipstik di atas meja. Diraihnya satu dan meletakkannya kembali setelah mengoleskan sebagai sentuhan terakhir riasan naturalnya pagi ini. Lalu menatap sekali lagi pantulan wajah wanita berusia dua puluh sembilan di cermin.
Cantik. Nadya tahu itu.
Detik berikutnya, terdengar suara ketukan disusul pintu terbuka.
“Sudah?” tanya seseorang seiring langkah mendekat.
“Sudah, Mas.” Nadya bergegas bangkit. Diraihnya tas di meja. Dan bersiap melangkah.
Namun, alih-alih membawa istrinya keluar, Pramono justru meraih pinggangnya. Kedua tangan dia lingkarkan di pundak.
Senyumnya mengembang. Dipandangnya wajah ayu Nadya lekat sebelum mendaratkan sebuah kecupan di dahi.
Nadya bisa melihat kedua bola mata laki-laki itu bergerak ke kanan dan kiri, memandangi kedua matanya bergantian.
“Masya Allah, cantik sekali istriku.” Kali ini sebuah kecupan mendarat di bibir. Pramono melumatnya rakus.
Tak ingin riasannya berantakan, Nadya menarik wajah ke belakang. “Stop! Nanti riasannya berantakan.”
Pramono terkekeh sebelum menenggelamkan wajahnya ke ceruk leher Nadya.
“Bisakah kita tetap tinggal, rasanya nggak mau pergi,” keluhnya, “kamu godaan berat, Nadya.”
Nadya mendelik lalu mencebik. “Bukan godaan, tapi, investasi. Nanti, deh, ya. Kita pulang cepat. Nggak enak ditunggu saudara, ‘kan? Katanya mau ada tamu?”
Pramono mengangguk. Alih-alih menjawab, dia justru menatap lekat istrinya dengan sorot sendu. “Terus ini gimana?” tanyanya.
Nadya memicingkan mata. “Ini apa?”
“Ini!”
“Apa?” Nadya benar-benar kebingungan.
Pramono meraih tangan kiri istrinya dan ...
Satu cubitan gemas dia terima di pinggang. Pramono mengaduh dan tergelak.
***
Hanya butuh sepuluh menit untuk sampai di rumah Minarti. Suasana masih lengang karena besan baru akan tiba jam sepuluh nanti.
“Pram mau ada tamu, Bu, nggak bisa nunggu dari awal. Tapi Pram janji akan langsung ke sini begitu acara selesai,” ucap Pramono pada mertuanya.
“Tapi kenapa pas sekali waktunya?”
“Acaranya dadakan. Dia sudah di Boyolali waktu bilang mau bertemu.”
“Ya sudah. Jangan lupa besan datang jam 10 ya?”
Pramono mengangguk. Dengan langkah panjang dia kembali meninggalkan aula diikuti Nadya di belakangnya.
“Mas janji nggak lama,” Pramono berucap seiring langkah kembali menuju mobilnya. Di belakangnya, Nadya mengangguk samar.
Tepat sebelum memasuki mobil, Pramono mendaratkan sebuah kecupan di dahi istrinya. “Jangan terlalu cemas. Ada ibu. Mas janji akan cepat kembali.”
Nadya kembali mengangguk. Dia baru berbalik setelah memastikan mobil suaminya menghilang di balik tikungan.
Masalahnya jelas bukan itu. Nadya memang tak terlalu suka menghadiri acara formal tanpa suaminya. Ini, lebih dari itu.
Setiba di halaman rumah Minarti, Nadya menyusul duduk tak jauh dari ibunya. Belum banyak tamu yang datang, membuat Nadya leluasa mengedar pandang, memperhatikan sekitar.
Tempat itu telah banyak berbuah sejak kali terakhir Narti mengadakan acara, dua belas tahun lalu. Bahkan rumah seseorang yang sempat mereka lewati tadi pun sudah jauh berubah. Terlihat mewah dengan lantai yang tersusun dan sebuah mobil terparkir di halaman.
Nadya mengulum senyum ketika menyadari Ali telah menjadi laki-laki sukses. Apakah dia sudah menikah? Siapa dan seperti apa istrinya?
Dengan apa yang dimiliki, istrinya pastilah bukan orang biasa.
Seperti antena yang menemukan gelombangnya, pandangan Nadya tertuju pada sesosok laki-laki berkemeja batik di ujung aula. Duduk dengan kedua siku bertumpu pada kedua kaki. Sebuah gelas menggantung di tangan kanan. Pandangannya kosong pada lantai di antara kakinya.
Detik berikutnya, seperti memikirkan hal yang sama, laki-laki itu mengangkat wajah. Pandangan mereka bertemu.
Nadya gelagapan. Buru-buru dialihkannya pandang hanya demi menghindari tatapan lelaki itu. Meski dia yakin, telah tertangkap basah.
Sungguh, jika ada kebetulan yang menyakitkan, itu adalah pertemuan dengan cinta lama. Membuka kembali luka dan memunculkan aroma anyir kesedihan masa lalu dalam relung dada.
Nadya kembali menoleh. Sama seperti sebelumnya pandangan mereka kembali beradu. Lalu mengunci bagai sihir yang menarik keinginan terus menyelam dalam lautan hati yang dalam. Nadya memalingkan muka saat menyadari tatapan mereka terpaut terlalu lama.
Dua belas tahun sejak kali pertama mereka bertemu, Nadya melihat laki-laki itu banyak berubah—terutama ukuran tubuhnya. Ali yang dulu begitu kurus, kini berubah menjadi pria dewasa yang gagah dan matang. Tubuhnya berisi. Otot-otot tubuhnya terbentuk sempurna bahkan dalam balutan kemeja batik. Nadya hafal bagaimana wujudnya dalam perwujudan Pramono.
Tapi ... dari semua yang berubah, wajah itu, senyum dan pandangan mata itu tetap sama bagi Nadya.
Tampan dan bersih.
‘Astaga, aku mikir apa?’
“Lihat apa, Nad?” Dinar tiba-tiba putrinya tergagap.
“Bukan apa-apa, Bu,” ucap Nadya keluar begitu saja. Membuatnya sontak menggigit bibir karena telah berbohong.
Nadya melirik laki-laki itu sekali lagi. Dan sekali lagi pula pandangan mereka beradu. Bahkan kali ini selarik senyum samar, begitu samar, Ali sunggingkan.
Seperti ditenggelamkan berkali-kali, Nadya terbengap. Enam tahun, cukup lama untuk bisa mengembalikan apa yang seharusnya terhapus bersih. Baik dia dan Ali, dulu, sama sekali tak ada apa pun.
Nadya menghirup napas dalam. Mengusir sesak yang tiba-tiba menyerang. Ingatan lama itu menyeruak kembali, berkelebat bagai kilasan film lama yang berputar dalam layar besar kepalanya.
Dulu, Nadya kerap datang ke tempat itu untuk sekedar main. Itu niat kedua, karena tujuan utamanya adalah berjumpa dengan Ali, demi diam-diam memperhatikannya membantu orang tua memasah kayu untuk dijadikan mebel. Diam-diam mengagumi sosok pemuda yang berbakti kepada orang tuanya, saat yang lain sibuk dengan urusannya sendiri.
Ali memiliki kepribadian santun dan jauh dari predikat sok ganteng seperti pemuda lain yang mendekati Nadya kala itu.
Ya, tak sedikit. Sayangnya, tak satu pun dari mereka adalah Ali. Hingga pada satu sore. Untuk janji yang telah disepakati. Ali datang bersama Juna, sahabatnya. Di tepi jembatan yang airnya mengalir tak terlalu deras, Nadya harus kecewa jika mengira Alilah yang akan menyatakan perasaan padanya. Di luar dugaan, laki-laki yang disukai justru mengantar sahabatnya menemui Nadya.
Bukan Juna, tapi kamu. Begitu ingin dia katakan, namun berakhir bungkam akibat gumpalan besar di tenggorokan.
“Maaf, Juna. Tapi aku suka orang lain,” ucap Nadya kala itu.
Dahi Juna mengerut begitu saja. Pun Ali yang memandangnya dari balik punggung sahabatnya.
“Siapa?” Ragu-ragu Juna bertanya.
Nadya membuang pandang. “Orang sini juga,” jawabnya, lalu melempar pandang pada laki-laki di belakang Arjuna.
“Aku kenal dia?”
Nadya tertawa tipis. “Mustahil nggak kenal.”
Lagi ... pandangan Nadya tertuju pada Ali yang masih memandang ke arahnya. Lalu menunduk. “Maaf, ya,” ucapnya sebelum melangkah pergi.
Meski tak mengatakannya, Nadya tahu Ali paham perasaannya. Namun sifat pemalu yang dipelihara itu pula yang akhirnya mengantarkan Nadya pada keputusasaan. Bahkan setelah sekian tahun berlalu, Ali tak kunjung menyatakan apa-apa.
Tahun berganti.
Usia Nadya menginjak dua puluh empat dan cukup untuk menikah. Pramono datang dan menyatakan niat baiknya di hadapan orang tua Nadya untuk memperistri.
Dengan pertimbangan tak baik menolak laki-laki baik yang datang melamar, Nadya menerima lamaran Pramono.
Sayang, malang tak dapat ditolak. Beberapa hari setelahnya, Ali datang membawa serta lamarannya.
‘Terlambat sudah, Ali. Itu salahmu! Salahmu! Salahmu!’ Nadya memejam. Sebutir bening berhasil lolos begitu saja, dan segera diusapnya.
Wanita itu selalu meyakinkan diri bahwa semua telah berlalu. Namun dia tak mengira, bahwa hanya dengan satu pandangan, dan selarik senyum samar, gelombang dalam dirinya, kembali membuktikan seberapa berarti dia di masa lalu.
Jantung Nadya berdengap. Ekor matanya menyadari seseorang mendekat lalu berhenti tak jauh darinya.
“Apa kabar, Nad?”
Ali.
To be continue ....
Usai makan malam, dan menidurkan Tasya di kamarnya, Nadya termenung di ujung ruang tamu. Remote di pangkuan. Televisi menyala di ujung ruangan. Namun, pikirannya melayang entah kemana. Ada hal yang membuat dia enggan dengan mudah menerima kebaikan Pramono. Salah satunya, dosa yang dia perbuat. Nadya malu. Dia merasa tak tahu diri jika menerima kebaikan Pramono begitu saja, sementara tangannya telah begitu jahat mencabik hati laki-laki baik itu. Hal yang juga sekali lagi akhirnya Nadya sesali, adanya lebam biru di pipi Tasya yang ternyata akibat ulah Ratna, wanita yang selama ini menampakkan wajah lembutnya di hadapan Pramono, yang seolah sanggup menggantikan kedudukan istri mana pun. Nadya menunduk. ‘Ini semua salahku. Andai aku tak menanggapi Ali. Andai aku tak menyerahkan kehormatanku begitu saja ... mungkin ini semua tak akan terjadi. Dan jika ada yang pantas dihukum, maka itu adalah aku,’ bisik Nadya dalam hati. Dia menangis dalam diam. “Apa yang kau pikirkan?” Dari arah dapur,
“Mas baik-baik saja?” tanya Annisa pada Pramono tepat ketika membuka pintu kamar rawatnya. Setelah sempat melirik sebentar, alih-alih menanggapi, laki-laki itu justru berpaling dari gadis yang mendekat ke arahnya. “Jadi Nadya bersamanya, sekarang?” tanya Pramono tak terkejut. Annisa mengedikkan bahu, seolah ada jawaban, ‘Begitulah’ pada gerakan itu. “Hanya untuk minta maaf. Tak ada yang lain,” jawabnya datar. Sontak laki-laki di bed menoleh. Dahinya berkerut begitu saja. “Minta maaf? Untuk?” “Mbak Nadya merasa apa yang menimpa Ali—kalian adalah salahnya.” Laki-laki itu menatap skeptis, lalu terkekeh pada detik berikutnya. Ekspresi wajahnya berubah begitu getir. “Korban sesungguhnya bukan dia,” ucapnya di antara geraham beradu. “Bukan dia yang seharusnya mendapatkan permintaan maaf itu, kau tahu bukan?” “Mas, Nisa pikir bukan itu maksud Mbak Nadya.” “Lalu apa?” Annisa menelan ludah sebelum mulai bicara, “Dia hanya merasa Ali tak perlu mendapat pukulan itu.” Kerutan di dahi Pra
Berniat pulang lebih awal, pukul tiga sore Pramono keluar dari ruangannya. Melewati meja Hana, berbelok kiri, dia melangkah menuju ruang editor untuk menemui Nadya dan bermaksud mengajaknya pulang bersama. Namun, Pramono harus kecewa karena wanita itu tidak ada di mejanya. Laki-laki itu berbalik. “Kau tahu di mana Nadya, Hana?” Sontak Hana mendongak. Pandangannya sempat melirik ke ruangan sebelah di mana Nadya biasanya berada, sebelum kembali pada sang bos yang berdiri dengan tatapan dingin, menunggu jawaban. “Tidak, Pak. Saya kira tadi sudah izin sama Bapak.” Pramono memicing. Artinya dia pergi? “Sejak kapan?” “Mungkin satu jam yang lalu.” Laki-laki itu meninggalkan meja Hana dan keluar dari ruang editor dengan langkah panjang. Satu tangannya menyelip ke dalam saku kanan celana, lalu keluar dengan ponsel dalam genggaman dan mulai menggulirkan ibu jari. “Kau di mana?” tanyanya pada seseorang di ujung sana setelah nada sambung terputus. “Aku di rumah.” “Rumah yang mana?” “Yang
“Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Pramono berusaha menutupi kemarahannya. Laki-laki di hadapannya berdeham pelan. Detik berikutnya punggung dan menatap dingin ke arah Pramono. “Aku ingin mengatakan, mari kita bersaing secara sehat,” jawabnya tenang. “Aku tahu, meski Anda begitu marah, jauh dalam lubuk hati Anda, Anda masih sangat mengharapkan Nadya—demi putri kalian. Dan mungkin, masih ada sedikit cinta untuk dia di dalam sana. Benar? Kupastikan, aku akan mencintainya dengan baik. Jika Anda tidak yakin bisa memaafkannya dengan ikhlas, sebaiknya menyerah lah dari sekarang.” ‘Astaga ...’ Pramono meraup wajah lelah. Gigi geraham bergemeletuk. Menoleh ke kanan, diraihnya ponsel yang tergeletak di meja. Ibu jarinya bergulir menelusuri daftar kontak. Pada nama Annisa dia berhenti dan menekan tombol call. “Ya, Mas?” sapa Annisa tepat setelah bunyi dengung di telinganya terputus. “Sa, aku bisa minta tolong?” “Ya. Minta tolong apa?” *** Sepulang dari kantor Pramono, Edwin
Beberapa menit yang lalu. “Nah, begini kan cantik.” Shofwa mengulum senyum. “Coba Teteh lihat. Cantik, ‘kan?” tanya Shofwa pada wanita di sampingnya. Dipandanginya wajah itu dari pantulan kaca di depan mereka. Tak menyahut, Nadya memandang seraut wajah di cermin. Dia hampir tak mengenali dirinya sendiri yang kini dibalut jilbab panjang. Tak ada yang terlihat lagi melainkan wajah bersih dengan mata coklat dalam dan bibir yang dipulas dengan warna lembut, khas dirinya. Gadis di samping Nadya mengulum senyum. Kedua matanya menyipit. Menampakkan ekspresi kebahagiaan yang tak dibuat-buat. “Bahkan ... masih secantik itu setelah Teteh pakai jilbab. Maha Kuasa Allah menciptakan wanita dengan kecantikannya yang sempurna.” ‘Cantik?’ Nadya menatap ragu pada dirinya sebelum menunduk. ‘Apakah itu anugerah, atau musibah?’ Dia bahkan mengira kecantikannya adalah petaka yang berakhir dengan terlukanya hati banyak orang. Kini, bahkan keluarga dan orang tuanya juga. Nadya merasakan hangat merebak
“Mama masih di sini?” tanya Tasya saat menuruni anak tangga dan melihat ada sang ibu di dapur. Wanita yang masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin siang, memandang ke arah bocah yang mendekat. Selarik senyum dia suguhkan seolah tak ada beban apa pun di hatinya. “Mama harus masak dulu. Terus antar Tasya ke Sekolah, terus berangkat kerja,” jawabnya. “Tapi ... tapi ... mama pulang lagi, kan?” Gerakan tangan Nadya melambat. Piring berisi nasi itu sempat mengambang sebelum diletakkannya ke meja, lalu memandang bocah di ujung meja dengan tatapan teduh. Dia bisa melihat dengan jelas ketakutan di wajah bocah itu. Nadya menoleh pada laki-laki yang kini siap dengan kemeja putihnya. Tak ikut campur, namun dia yakin Pramono menyimak pembicaraan itu, dan ingin tahu apa jawabannya. Tak berselang lama, wanita yang berdiri di ujung meja mengangguk. “Iya, Sayang. Mama akan datang lagi,” jawabnya seiring tatapan ke arah Pramono. Pandangan mereka beradu. Pramono sadar dia belum mendapat j