Share

5. Masih Berdebar?

Author: Bintu Ikhwani
last update Last Updated: 2022-01-29 10:42:34

“Kamu nggak pernah bilang punya teman bernama Ali?”

Nadya tergagap. Dia memandang suaminya dan Ali bergantian. Belum sempat Nadya membuka mulut, Ali mendahului bicara, “Mungkin dia lupa,” ucapnya tenang, “dia terlalu pelupa untuk mengingat aku.

Lagi pula, kami baru bertemu setelah lebih dari sepuluh tahun,” lanjutnya.

Ali beralih pada Tasya dan menyerahkan boneka panda itu padanya dan menatap teduh seakan ada sesuatu di wajah bocah itu yang sangat menarik perhatiannya.

“Sya ... Papa udah pulang, Uncle ke sana dulu, ya?” tunjuknya pada salah satu sudut halaman rumah Minarti di mana pemuda berpakaian serupa tengah berkumpul.

Tasya mengangguk. “Makasih, Uncle.”

Ali menarik kedua sisi bibirnya. Lalu mengacak gemas rambut bocah itu. “Titip Panda, dijaga baik-baik. Janji?” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingking. Tasya menyambut riang.

Ali bangkit. Dia memandang Nadya dan Pramono bergantian sebelum melenggang pergi.

Di sampingnya, pandangan Pramono masih mengikuti Ali sampai panggilan Tasya mengalihkannya, “Pa, tadi Tasya mandi bola,” ucap Tasya mengalihkan sang ayah padanya.

“Oya?” sahut Pramono. Dia melirik Nadya sesaat, lalu putrinya. “Terus apa lagi?”

“Trampolin ...”

“Terus ...”

Seharusnya, ini sudah berakhir. Namun, jauh dalam lubuk hati Nadya, dia  justru cemas memikirkan apa yang mungkin suaminya pikirkan setelah ini.

***

“Mas keluar, ya. Kamu di sini, atau?”

“Nad nyusul nanti, Mas. Tasya biar lelap dulu.”

Pramono mengangguk. Sebuah kecupan Nadya terima sebelum melangkah suaminya keluar kamar.

‘Ya, benar begini. Ini sudah benar,’ Nadya berbisik dalam hati tepat setelah suaminya menghilang di balik tirai. Diusapnya wajah lembut Tasya, dan mengecupnya.

Nadya bangkit mendekati meja rias. Disapunya tipis pelembab, lalu bedak ke wajah. Pemulas bibir, dia oleskan untuk sentuhan terakhir hanya agar tak terlalu pucat.

Berbeda dari siang tadi, malam ini Nadya tak benar-benar semangat untuk mengikuti acara. Terlihat dari bagaimana dia hanya menutupi homedressnya dengan cardigan, dan rambut yang diikatnya asal-asalan.

Setelah sekali lagi mengecup pipi sang putri, Nadya melangkah keluar, dan mengendap ke balik tirai pembatas antara aula dengan rumah Minarti, duduk menyendiri.

Hujan sejak sore, menjadikan malam terasa membeku. Nadya memeluk tubuh di antara aktivitas menyimak ceramah pemuka agama yang sengaja dihadirkan.

“... maka dari itu, kunci kebahagiaan rumah tangga ada pada kepercayaan dan saling menghargai ...”

Belum sampai Nadya mendengar lebih banyak, sebuah gelas berisi teh terulur tepat di depannya. Nadya melihatnya sekian detik sebelum mengangkat wajah.

Bagai tersengat listrik, panas menjalar ke sekujur tubuh Nadya. Sesaat dipandangnya seseorang yang menyunggingkan selarik senyum itu sebelum menerima gelas darinya.

“Minum?” ucapnya.

Lihat ... alangkah baiknya jika aku tidak pernah lagi melihat senyum itu.’

Nadya menerima gelas itu laku menunduk. Helaan napasnya mendadak terasa berat. “Makasih,” ucapnya.

Hening menggantung beberapa saat.

“Kenapa Mas nggak ikut kumpul bareng di sana?” Pandangannya Nadya tertuju pada gelas di tangan saat rasa hangat mulai mengambil alih, menggantikan dingin yang sejak tadi menyerang.

Ali terkekeh. “Kau sendiri kenapa di sini?” jawabnya justru bertanya tanpa benar-benar melihat ke arah Nadya.

“Aku menghindarimu.”

“Tapi kau justru tertangkap olehku.”

Nadya menghela napas dalam. “Berhentilah bersikap seperti ini!”

“Seperti apa?”

Nadya menguatkan gerahamnya. Tak mungkin mengatakan yang sebenarnya, dia memilih bungkam.

“Malam ini dingin, ‘kan?” tanya Ali setelah hening cukup lama.

Nadya sama sekali tak bisa fokus pada isi ceramah dari panggung akibat kebekuan yang mendadak menyerang suasana. Berada di dekat Ali, membuatnya merasa lebih menggigil dari sebelumnya.

Sementara di sampingnya, Ali justru tampak menikmati keheningan itu. Sama seperti dua belas tahun lalu.

Lagi-lagi, ingatan Nadya menggelincir jauh. Ada malam di mana dia dan Ali sempat duduk berdua. Meski tak banyak kata yang terucap, namun cukup membuatnya melayang sepanjang malam.

Nalam itu, Ali yang sekian lama terlihat pendiam tiba-tiba mengajaknya pergi.

“Ke mana?” Nadya penasaran.

Tak ada jawaban melainkan seulas senyum tipis. Laki-laki itu melangkah mendahului Nadya, menyalakan mesin motornya.

Ali membawa Nadya menembus dinginnya malam. Tak berselang lama, motor berhenti di pelataran warung bakso. Cuaca hujan, menjebak mereka untuk tetap duduk di warung bambu itu bahkan setelah isi mangkok mereka habis.

“Hari ini dingin, ‘kan?”

“Ya.”

“Kali ini mau kopi?”

Nadya menggeleng. Dan Ali hanya tersenyum.

Selebihnya hanya hening. Laki-laki itu lebih suka mengamati hujan daripada perempuan di depannya. Namun itu sudah cukup untuk membuat Nadya bahagia tak terkira.

Nadya tersenyum samar menyadari Ali sama sekali belum berubah. Namun segera lenyap ketika keadaan melemparnya pada kenyataan.

“Makasih untuk siang tadi. Tolong jangan diulangi lagi!” ucapnya.

Walau bagaimana pun Ali sudah membawa Tasya dengan selamat. Dia merasa perlu berterima kasih untuk itu.

Ali tak langsung menyahut. Dia masih menatap kosong ke depan sana sampai beberapa saat.

“Apa ada kemungkinan untuk melakukan itu lagi?” ucapnya sembari menoleh. Pandangan mereka bertemu.

Pertanyaan itu terdengar ambigu di telinga Nadya. Tanpa sadar, dipindainya wajah Ali cukup lama hingga membuatnya menahan napas.

Menyadari kebingungan Nadya, Ali kembali bicara, “Maksudku, apa mungkin aku main—bareng Tasya lagi?” jelasnya dengan menekankan dua kata “main” dan “bareng”.

Nadya berpaling lalu membuang napas dalam. Dialah yang salah mencerna kalimat itu dan berpikir bahwa Ali mungkin punya maksud lain.

“Aku merasa bermain denganmu saat bersama Tasya. Sesaat, aku bahkan lupa kalau dia masih punya ayah,” ujar Ali nyaris seperti bisikan.

Wajah itu kini menunduk yang dalam pandangan Nadya justru menyiratkan kepedihan mendalam. “Dulu, kau sering—“

“Mas,” sela Nadya, “itu sudah berlalu. Tak perlu diingat lagi!” Nadya tak sanggup mendengarnya.

Nostalgia, akan terasa indah ketika bersama orang tepat. Namun, Nadya yakin, sama seperti dirinya yang tertekan, hal yang sama juga Ali rasakan. Tidak ada yang lebih menyakitkan melebihi rindu yang tak mungkin tersampaikan.

Ali tersenyum sumir. “Ini salahku. Aku minta maaf. Bertemu kau, bahagia dan sakit berbaur menjadi satu. Aku bahkan tak bisa membedakan yang mana.”

“Bagaimana pun, itu sudah berlalu.”

“Itu benar,” Ali mengangguk samar, “terlambat semuanya,” lanjutnya lalu menghela napas dalam.

“Maaf, sebaiknya Mas lupakan saja semua itu. Tak baik membahas itu dengan wanita bersuami,” desis Nadya di antara upaya meredam gejolak hati yang tak mau tenang. Begitu bergemuruhnya sampai perempuan itu takut Ali mendengarnya.

Ali terkekeh. “Kenapa? Hatimu kembali berdebar? Atau—masih?” Pertanyaan itu terdengar seperti godaan yang disengaja, seakan bagi Ali itu bukan apa-apa.

Tapi kedua alis di antara dahi mengernyit itu, jelas lebih jujur dari bibir yang mengembang. Nadya tahu, hatinya lebih terluka lebih dari apa yang bisa dia lihat.

Kesal mendengar tebakan yang tepat sasaran, Nadya bangkit.

“Tolong, Mas ...” ucapnya nyaris seperti pengemis yang meminta belas kasihan. Berharap Ali tahu, bahwa membicarakan ini sekarang hanya menambah penyesalan di hatinya. Membuatnya seperti pembohong yang mengalami perundungan oleh perasaan sendiri.

Menyesakkan.

Memuakkan.

Nadya menutup wajah jengah.

Sesaat raut di wajah Ali berubah pilu. Lalu kembali menyunggingkan senyum samar.

Detik berikutnya laki-laki itu bangkit. “Maaf,” ucapnya, lancang mengusap pucuk kepala perempuan itu. Sementara Nadya hanya menunduk, mencoba menyembunyikan kekacauan hatinya, lalu mengangkat wajah saat perlahan usapan lembut itu turun ke pipi. Nadya merasakan hangat jemari mengusap separuh wajahnya.

Senyum di wajah Ali memudar dalam tarikan napas dalam. Berganti tatapan getir, sebelum melangkah pergi.

To be continue ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   136. Last Part Season 2

    Usai makan malam, dan menidurkan Tasya di kamarnya, Nadya termenung di ujung ruang tamu. Remote di pangkuan. Televisi menyala di ujung ruangan. Namun, pikirannya melayang entah kemana. Ada hal yang membuat dia enggan dengan mudah menerima kebaikan Pramono. Salah satunya, dosa yang dia perbuat. Nadya malu. Dia merasa tak tahu diri jika menerima kebaikan Pramono begitu saja, sementara tangannya telah begitu jahat mencabik hati laki-laki baik itu. Hal yang juga sekali lagi akhirnya Nadya sesali, adanya lebam biru di pipi Tasya yang ternyata akibat ulah Ratna, wanita yang selama ini menampakkan wajah lembutnya di hadapan Pramono, yang seolah sanggup menggantikan kedudukan istri mana pun. Nadya menunduk. ‘Ini semua salahku. Andai aku tak menanggapi Ali. Andai aku tak menyerahkan kehormatanku begitu saja ... mungkin ini semua tak akan terjadi. Dan jika ada yang pantas dihukum, maka itu adalah aku,’ bisik Nadya dalam hati. Dia menangis dalam diam. “Apa yang kau pikirkan?” Dari arah dapur,

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   135. Mengubah Niat

    “Mas baik-baik saja?” tanya Annisa pada Pramono tepat ketika membuka pintu kamar rawatnya. Setelah sempat melirik sebentar, alih-alih menanggapi, laki-laki itu justru berpaling dari gadis yang mendekat ke arahnya. “Jadi Nadya bersamanya, sekarang?” tanya Pramono tak terkejut. Annisa mengedikkan bahu, seolah ada jawaban, ‘Begitulah’ pada gerakan itu. “Hanya untuk minta maaf. Tak ada yang lain,” jawabnya datar. Sontak laki-laki di bed menoleh. Dahinya berkerut begitu saja. “Minta maaf? Untuk?” “Mbak Nadya merasa apa yang menimpa Ali—kalian adalah salahnya.” Laki-laki itu menatap skeptis, lalu terkekeh pada detik berikutnya. Ekspresi wajahnya berubah begitu getir. “Korban sesungguhnya bukan dia,” ucapnya di antara geraham beradu. “Bukan dia yang seharusnya mendapatkan permintaan maaf itu, kau tahu bukan?” “Mas, Nisa pikir bukan itu maksud Mbak Nadya.” “Lalu apa?” Annisa menelan ludah sebelum mulai bicara, “Dia hanya merasa Ali tak perlu mendapat pukulan itu.” Kerutan di dahi Pra

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   134. Semakin Keruh

    Berniat pulang lebih awal, pukul tiga sore Pramono keluar dari ruangannya. Melewati meja Hana, berbelok kiri, dia melangkah menuju ruang editor untuk menemui Nadya dan bermaksud mengajaknya pulang bersama. Namun, Pramono harus kecewa karena wanita itu tidak ada di mejanya. Laki-laki itu berbalik. “Kau tahu di mana Nadya, Hana?” Sontak Hana mendongak. Pandangannya sempat melirik ke ruangan sebelah di mana Nadya biasanya berada, sebelum kembali pada sang bos yang berdiri dengan tatapan dingin, menunggu jawaban. “Tidak, Pak. Saya kira tadi sudah izin sama Bapak.” Pramono memicing. Artinya dia pergi? “Sejak kapan?” “Mungkin satu jam yang lalu.” Laki-laki itu meninggalkan meja Hana dan keluar dari ruang editor dengan langkah panjang. Satu tangannya menyelip ke dalam saku kanan celana, lalu keluar dengan ponsel dalam genggaman dan mulai menggulirkan ibu jari. “Kau di mana?” tanyanya pada seseorang di ujung sana setelah nada sambung terputus. “Aku di rumah.” “Rumah yang mana?” “Yang

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   133. Persaingan Dua Lelaki

    “Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Pramono berusaha menutupi kemarahannya. Laki-laki di hadapannya berdeham pelan. Detik berikutnya punggung dan menatap dingin ke arah Pramono. “Aku ingin mengatakan, mari kita bersaing secara sehat,” jawabnya tenang. “Aku tahu, meski Anda begitu marah, jauh dalam lubuk hati Anda, Anda masih sangat mengharapkan Nadya—demi putri kalian. Dan mungkin, masih ada sedikit cinta untuk dia di dalam sana. Benar? Kupastikan, aku akan mencintainya dengan baik. Jika Anda tidak yakin bisa memaafkannya dengan ikhlas, sebaiknya menyerah lah dari sekarang.” ‘Astaga ...’ Pramono meraup wajah lelah. Gigi geraham bergemeletuk. Menoleh ke kanan, diraihnya ponsel yang tergeletak di meja. Ibu jarinya bergulir menelusuri daftar kontak. Pada nama Annisa dia berhenti dan menekan tombol call. “Ya, Mas?” sapa Annisa tepat setelah bunyi dengung di telinganya terputus. “Sa, aku bisa minta tolong?” “Ya. Minta tolong apa?” *** Sepulang dari kantor Pramono, Edwin

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   132. Kedatangan Edwin

    Beberapa menit yang lalu. “Nah, begini kan cantik.” Shofwa mengulum senyum. “Coba Teteh lihat. Cantik, ‘kan?” tanya Shofwa pada wanita di sampingnya. Dipandanginya wajah itu dari pantulan kaca di depan mereka. Tak menyahut, Nadya memandang seraut wajah di cermin. Dia hampir tak mengenali dirinya sendiri yang kini dibalut jilbab panjang. Tak ada yang terlihat lagi melainkan wajah bersih dengan mata coklat dalam dan bibir yang dipulas dengan warna lembut, khas dirinya. Gadis di samping Nadya mengulum senyum. Kedua matanya menyipit. Menampakkan ekspresi kebahagiaan yang tak dibuat-buat. “Bahkan ... masih secantik itu setelah Teteh pakai jilbab. Maha Kuasa Allah menciptakan wanita dengan kecantikannya yang sempurna.” ‘Cantik?’ Nadya menatap ragu pada dirinya sebelum menunduk. ‘Apakah itu anugerah, atau musibah?’ Dia bahkan mengira kecantikannya adalah petaka yang berakhir dengan terlukanya hati banyak orang. Kini, bahkan keluarga dan orang tuanya juga. Nadya merasakan hangat merebak

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   131. Perbincangan dengan Shofwa

    “Mama masih di sini?” tanya Tasya saat menuruni anak tangga dan melihat ada sang ibu di dapur. Wanita yang masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin siang, memandang ke arah bocah yang mendekat. Selarik senyum dia suguhkan seolah tak ada beban apa pun di hatinya. “Mama harus masak dulu. Terus antar Tasya ke Sekolah, terus berangkat kerja,” jawabnya. “Tapi ... tapi ... mama pulang lagi, kan?” Gerakan tangan Nadya melambat. Piring berisi nasi itu sempat mengambang sebelum diletakkannya ke meja, lalu memandang bocah di ujung meja dengan tatapan teduh. Dia bisa melihat dengan jelas ketakutan di wajah bocah itu. Nadya menoleh pada laki-laki yang kini siap dengan kemeja putihnya. Tak ikut campur, namun dia yakin Pramono menyimak pembicaraan itu, dan ingin tahu apa jawabannya. Tak berselang lama, wanita yang berdiri di ujung meja mengangguk. “Iya, Sayang. Mama akan datang lagi,” jawabnya seiring tatapan ke arah Pramono. Pandangan mereka beradu. Pramono sadar dia belum mendapat j

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status