“Makanlah bersama kami, Ratna,” ucap Pramono saat melihat perempuan yang sudah seperti adiknya itu hendak melangkah pergi setelah melayani sang ayah. Ragu-ragu Ratna melirik Nadya lalu sang ayah, dan berakhir pada Pramono. “Makasih, Mas, mau bareng Bik Endang aja. Silakan.” Ratna melangkah meninggalkan mereka. Nadya menatap kepergian gadis itu dan baru menoleh saat dia menghilang di balik dinding. ‘Sombong!’ “Apa biasanya dia memang makan di belakang, Yah?” Awalnya Nadya tak berniat menanyakan itu, tapi melihat sikap Ratna yang dalam pandangannya adalah kesombongan, Nadya kesal. Di telinga Tuan Aji, pertanyaan itu terdengar seperti mereka adalah keluarga kejam yang membedakan antara anak kandung dan anak angkatnya, sehingga laki-laki sepuh itu memilih menjawab jujur. “Tidak. Biasanya di sini, bareng ayah.” Nadya manggut-manggut. Sejujurnya dia tak suka jawaban itu, namun memilih menutupinya dengan senyum samar. “Berarti gara-gara Nad di sini, mungkin.” “Nad ....” Pramono menye
“Sejak tadi, aku lihat kau sibuk. Sudah makan?” tanya Pramono pada gadis di depan wastafel yang masih sibuk dengan gelas di tangannya. “Kenapa kau mengelap gelas, bukankah itu pekerjaan Bik Endang?” tanya Pramono lagi. Ratna meletakkan gelas yang baru dia keringkan, begitu pun kain lap putih di tangannya. “Kami saling membantu, Mas. Tidak ada pekerjaan siapa dan siapa.” Pramono menangguk. Dia meletakkan cangkir kopi di wastafel dan bermaksud mencucinya. Namun, Ratna terlebih dulu meraihnya hingga tangan mereka bertumbuk. Hati-hati Ratna melepas jemari laki-laki itu dari cangkir, membilasnya dengan air yang mengucur dari kran, sebelum melepaskannya. “Makasih.” Pramono menarik tangannya dan mengeringkan. Ratna hanya menekan bibirnya dan menoleh ke wastafel. Dia tak sanggup melihat wajah matang laki-laki yang sudah seperti kakaknya itu, yang entah kenapa rasa itu berubah justru setelah Pramono menikah. “Maafkan sikap Nadya tadi, ya.” Ratna menggeleng. “Tak apa, itu salahku,” jawa
“Benarkah? Apa buktinya?” “CCTV yang terpasang di tikungan tak jauh dari rumahmu.” Pram lupa ada CCTV di tempat itu. “Bagaimana dengan saksi?” “Aku sudah dengar sendiri, dan kupastikan mereka jujur.” “Kau sudah pastikan mereka bisa menjaga rahasia?” “Kujamin. Kuancam mereka dengan pencemaran nama baik, jika sampai membocorkan rahasia ini.” Jemari Pramono mengepal kuat yang sebenarnya hanya upaya untuk menguatkan hatinya yang mendadak kacau. “Buat pertemuan antara aku dan mereka,” ucap Pramono akhirnya. “Kapan?” “Besok aku pulang.” “Baiklah.” Hening sesaat. “Setelah membuktikan ini, apa rencanamu?” Pramono tercenung. Itu juga pertanyaan yang muncul di benaknya. “Aku belum tahu. Akan kupikirkan besok.” Tidak ada orang yang baik-baik saja setelah mendengar kabar buruk. Begitu juga dengan Pramono. Dengan tangan gemetar dia mematikan sambungan telepon, memasukkan benda pipih itu ke dalam saku celana, dan kembali melangkah ke dalam. “Siapa, Pram?” tanya Dinar setiba dia di rua
Sejak malam, Pramono belum sekali pun menyapa Nadya. Bahkan setelah menyeruput kopi yang disajikan sang istri, laki-laki itu hanya diam dan bicara saat ada orang tuanya—demi menutupi apa yang terjadi di antara mereka. Tak ada orang tua yang ingin melihat pertengkaran putra-putrinya, bukan? Apalagi ancaman hancurnya rumah tangga karena adanya orang ke tiga. Pramono masih cukup waras untuk sekedar menjaga perasaan mereka. “Ayah sudah tahu?” tanya Pram setelah sekali lagi menyesap kopi pekat pada cangkir di atas meja. Meja yang sama yang digunakan Nadya untuk meracik sarapan mereka. Ikhsan mengernyit. “Tahu apa?” Pramono melirik sang istri yang tengah menyimak sambil memotong wortel. Jika tak salah melihat, dia sempat menangkap raut kecemasan di wajah itu. “Ibu Roro, ibunda Ali, meninggal malam tadi.” Lalu berpaling setelah menangkap ekspresi Nadya yang terkejut hingga nyaris memotong ujung jarinya. **** Hening meliputi sepanjang perjalanan ke rumah Ali. Bukan benar-benar hening tan
“Apa Mas gila?”“Mas suruh laki-laki asing datang ke rumah, sementara di rumah nggak ada orang lain!Mas mikir apa, sih?”“Astaga, dek, tenang. Dia cuma Ali. Bukan penjahat.”“Cuma, Mas bilang?”“Ya. Ali, Om kamu, ‘kan?”“Tapi, Mas, Ali itu—“ Kalimat Nadya terjeda, dan setelahnya Pram tak pernah bertanya apa kelanjutannya dan kenapa Nadya semarah itu. (Bab 12. Kemarahan Nadya)Pramono memejamkan mata ketika terngiang kembali percakapannya dengan Nadya siang itu. Bagaimana marahnya perempuan itu ketika tahu kedatangan Ali adalah atas suruhannya, yang sebenarnya adalah bentuk perhatian Pramono untuk istrinya yang sedang sakit.Pramono bukan tak berusaha menghubungi sang ibu. Siang itu Dinar mengatakan belum bisa datang karena sang ayah pun sedang sakit, hingga pada tahap ekstrem Pram memilih meminta tolong pada Ali, orang yang dia anggap saudara sendiri.Maju ke berapa tahun yang lalu, Pramono pun akhirnya tahu apa arti huruf ‘A' yang dia lihat tergantung di dompet Nadya pada kali perta
Dengan langkah gontai, Nadya mendekati Pramono yang duduk di ruang tamu. Sementara dua tamunya berangsur mundur, memberi kesempatan pada pasangan itu untuk menyelesaikan masalahnya. Pramono tersenyum tenang ke arah Nadya seakan tak pernah terjadi apa-apa. Wanita itu menjatuhkan diri di sofa dengan pandangan kosong ke arah meja di mana map dengan bukti percakapan dan laptop itu berada. Kini Nadya tahu alasan di balik sikap Pramono yang begitu kasar semalam, adalah terbongkarnya semua kecurangan yang dia lakukan bersama Ali. “Pak Santosa datang untuk mengkonfirmasi apa yang dia lihat beberapa waktu lalu. Dan dia minta maaf karena sudah lancang melihat yang tidak seharusnya.” Pramono menatap laki-laki di seberang meja yang menunduk. Kepalanya bergerak naik turun, mengangguk-angguk. “Maaf, Bu. Punten sanget,*” ucap Santosa pada Nadya. Nadya hanya diam. Dia merasa riwayatnya akan tamat saat itu juga. “Tidak apa-apa, Pak. Memang saat kangen dengan istri, saya sering tidak ingat tempat,
Benar kata pepatah, penyesalan selalu datang di akhir. Menyeret manusia pada rasa bersalah tak berkesudahan yang entah bagaimana cara memperbaikinya. Di tepi jalan yang sunyi, Nadya tergugu menangisi hancurnya hidup akibat ulahnya sendiri. Hatinya semakin ngilu tatkala terlintas wajah Tasya yang menangis mencari sang ibu, lalu Asih susah payah mencari alasan untuk menjawab pertanyaan gadis kecil itu. Oh ... apa yang sudah kulakukan? Nadya kembali menanyakan pertanyaan yang sama untuk ke sekian kalinya. Nadya mengusap pipinya sekali lagi. dia bangkit setelah melihat sudut atas layar ponselnya. Waktu menunjukkan pukul delapan malam, yang artinya hampir dua jam dia terduduk di tepi jalan meratapi kesalahan yang terlambat dia sadari. Andai dia lebih tegas ... Andai dia lebih berani, mungkin semua itu tidak harus terjadi. Lelah menangis, dan sebetulnya juga lapar, perempuan itu lalu menghampiri tukang ojek yang memarkir kendaraan mereka tepat di persimpangan jalan. Tujuannya malam ini
Pramono terbangun dari tidurnya di atas sajadah saat mendengar bising nada dering dari ponsel. Pandangannya sempat menangkap penunjuk waktu digital di meja saat ia melangkah mendekati benda bergetar di sampingnya. Waktu menunjukkan pukul empat pagi, dan diari kejauhan terdengar sayup suara azan subuh. “Ya, Suf? Pagi sekali kau menggangguku.” Pramono mengusap wajahnya. “Mumpung ingat. Karena seharusnya aku meneleponmu dua hari lalu. Ada calon karyawan yang akan interviu hari Senin, kapan kau akan ke sini?” Seketika Pramono ingat rencananya untuk membawa Nadya pindah ke Bandung. “Sementara tolong hendel dulu, Suf. Mungkin kantornya akan kupindah ke Boyolali saja. Toh, Tasya mengerti kesibukan ayahnya.” “Pindah? Bagaimana dengan rencana pindah ke Bandung? Dan rumahmu di sana?” “Mungkin akan kusewakan sampai menemukan pembeli. Entah lah, aku belum tahu.” “Terjadi sesuatu? Kenapa mendadak sekali?” Pramono mengedikkan bahu seakan Yusuf, laki-laki di ujung sana, bisa melihatnya. “Beg