Aku pamit. Aku mulai menstarter motor lalu Iren melambaikan tangan ke arah Rizqi yang membuka separuh kaca jendela mobilnya. Kedua makhluk kecil itu saling senyum. Lagi-lagi hati ini berdesir nyeri saat mengingat tentang siapa ayah biologis anak laki-laki itu. Mungkinkah ada keterikatan batin antara Irena dan Rizqi sampai mereka bisa akrab secepat itu? Aku pun tak tahu. Namun, hatiku mencelos tiap kali melihat keakraban dan keasyikan mereka saat bermain bersama. Ada rasa cemburu, khawatir dan takut tiap kali melihat senyum dan tawa mereka. Seolah yang kulihat adalah tawa dan canda papa dan mamanya. Kutepis berbagai prasangka yang kembali menyesaki benak. Aku tak ingin tenggelam dalam opini burukku sendiri. Lebih baik tetap tenang dan terus mencari bukti, apakah dugaanku benar jika Rizqi adalah darah daging Mas Bian. Kuhela napas panjang lalu kembali beristighfar lirih. Irena sedikit menganggukkan kepalanya. Aku pun melakukan hal yang sama. Ucapan salam mengakhiri pertemuan kali ini.
Taman biasa, begitu pesan Mas Bian untuk Irena itu. Taman yang mana? Bahkan selama empat tahun bersamanya aku belum pernah dia ajak ke taman itu. Dia begitu rapat menyembunyikan semua kenangan dan masa lalunya. Pura-pura bahagia hidup denganku, padahal dia masih menyimpan rindu dan cinta untuk perempuan itu. Sekalipun sejak sama-sama menikah mereka tak pernah bertemu. |Ma, mama tahu nggak taman favorit Mas Bian saat kuliah dulu? Nia mau mengikuti Mas Bian sore ini, Ma. Sepertinya dia mau bertemu dengan Irena|Kukirimkan pesan itu pada mama. Aku yakin mama bisa diajak kerja sama sebab dia sangat menyayangiku dan Iren. Mama juga tak ingin Mas Bian dan mantan kekasihnya itu bersatu. Benar dugaanku. Mama pasti sangat kaget membaca pesan yang kukirimkan, karena itulah mama langsung menelponku. Gegas kuterima panggilan darinya. "Assalamu'alaikum, Nia. Maksudmu gimana?" tanya Mama sedikit gugup. "Wa'alaikumsalam, Ma. Iren sudah kembali ke kota ini, Ma. Mas Bian sudah menemukan nomor pons
Bakda ashar aku sudah siap dengan segala kostum yang sudah kususun sejak beberapa jam yang lalu. Beruntung Irena mau kutinggal bersama ibu, bahkan kini dia sudah asyik bermain dengan nenek dan pakdhenya, yang kebetulan baru sampai dari Jogja.Setelah pamit pada mereka di halaman belakang, aku pun segera mengambil kontak motor Mas Fano untuk melengkapi penyamaranku kali ini.Ada rasa nyeri yang tiba-tiba datang. Bayangan Irena dan Mas Bian yang begitu merindu kembali berkelebat dalam benakku.Senyum tipis dan binar mata mereka saat beradu pandang dan debar cinta yang bisa kupastikan semakin mengembang selalu lalu lalang di pelupuk mata.Semoga saja aku tak tumbang saat mendapati kenyataan suamiku jauh lebih memilihnya, dibandingkan mempertahankan rumah tangganya denganku. Ya Allah aku benar-benar merasa tak berharga jika dia pada akhirnya Mas Bian lebih memilih Irena. Pengorbanan dan perjuangan yang selama ini kuberikan padanya ternyata hanya sia-sia belaka. Sekalipun aku sudah menyi
"Mas Bian ...." Langkah kakiku terhenti lalu mundur kembali. Nyeri. Ada sesak yang tak bisa kuungkapkan lewat kata-kata. Hanya air mata yang bisa menemaniku detik ini. Saat kulihat perempuan itu melangkah mendekat dengan membawa payungnya. Laki-kaki yang tadi begitu lesu itu mulai mendongak. Kedua matanya membulat, beberapa kali mengerjap sebab terkena percikan air langit yang jatuh dari sela-sela pohon cemara. Kedua sudut bibinya mengembang sempurna saat sosok yang ditunggu ternyata hadir di depan mata. Hanya beberapa langkah saja. Iya, beberapa langkah dari tempatnya duduk dan kini mencoba berdiri dengan badan kuyub. Kuusap kedua pipi yang basah lalu menyeka kembali sudut mata perlahan. Sesak ini rasanya sudah mencapai puncak, hanya saja aku tetap berusaha mendamaikan hatiku sendiri untuk tetap tenang. Kulihat sekeliling. Sudah banyak yang pulang beberapa menit yang lalu, tapi sebagian masih ada yang di sini. Sengaja menanti hujan reda, tapi yang ada justru semakin deras terasa
"Kamu sudah menikah kan?" Pertanyaan Irena kembali terulang. Mas Bian masih terdiam. "Kamu pasti sudah menikah," sambung perempuan itu lagi. Dia meremas jemari-jemari tangannya karena gugup. Aku benar-benar tak tahu apa yang ada dalam benaknya saat ini. Mungkinkah dia mengharap Mas Bian kembali? "Apa kamu mencari tahu soal itu?" Mas Bian kembali bertanya. "Aku nggak perlu cari tahu tentang itu. Cukup bertanya padamu saja sebab aku yakin kamu tak akan mendustaiku." Mas Bian menghela napas lalu menganggukkan kepalanya. Mungkin sebagai jawaban kecil atas pertanyaan Irena apakah dia sudah berkeluarga. Irena menghembuskan napas panjangnya lalu tersenyum tipis."Sebenarnya itu hanya pertanyaan konyol untuk semakin menguatkan dugaanku saja. Tanpa bertanya pun aku percaya jika kamu sudah menikah. Mana mungkin seorang lelaki betah melajang sekian lama. Kadang karena keadaan atau suatu hal, seseorang bisa dengan mudah melupakan janji setianya." Irena kembali tersenyum, tapi aku yakin ada mak
Hati ini rasanya tak karuan. Nyeri tiap kali membayangkan bagaimana perempuan itu diperlakukan dan diistimewakan. Aku tak ingin mengingat, tapi bayang itu selalu berkelebatan seolah tak ingin dilupakan. Aku tak tahu apa yang dilakukan Mas Bian dan Irena setelah kepergianku, tapi pernyataan dan jawaban-jawabannya sudah membuatku mengerti bahwa aku bukanlah harapannya. Aku bukan impiannya. Jadi tak perlu juga bermimpi terlalu tinggi sebab bila jatuh akan semakin membuatku sakit hati. Bisa saja aku pura-pura tak tahu atau diam, hanya saja pastilah sakit itu terasa semakin dalam. Hanya menunggu bom waktu saja hingga akhirnya dia menjatuhkan talaknya. Daripada ditalak semakin membuatku terluka, lebih baik aku menggugatnya saja. Lagipula percuma bertahan dalam pernikahan jika dia hanya memikirkan perempuan lain sepanjang waktunya. Tak pernah berusaha melupakan justru selalu mengingat bahkan hingga dalam tidurnya. "Kamu kenapa, Nia? Habis nangis?" Ibu menatapku lekat dengan pandangan pen
Jika Mas Bian tak pernah peduli dengan perasaanku, tak mengapa. Aku bisa menata batinku sendiri. Kini aku fokus dengan kebahagiaan dan masa depan Irena. Aku akan memilih pergi setelah menguasai semuanya. Bukan demiku, tapi demi Irenaku. Lihat saja. Perempuan yang selama ini selalu dia hina hanya karena dia anggap tak punya power apa-apa, perempuan yang mungkin dia pikir terlalu lemah bahkan tak mungkin memilih berpisah dengannya dan perempuan yang dia pikir sudah luluh hanya karena cintanya yang penuh sandiwara, ternyata tak seperti yang dia kira. Aku memiliki banyak cara untuk membuatnya ternganga dan tak percaya. Jika dia membawa luka dan sakit hati untukku, maka dia juga harus merasakan kekalahan yang lain. Sekali lagi, tak akan kubiarkan dia tertawa dan bahagia sementara aku harus memikul lara. |Berkas semua siap, Nia. Tanda tangan Bian sudah mama dapatkan sore tadi. Sepertinya dia nggak baca apa isi berkas itu. Langsung tanda tangan saja. Persis seperti dugaanmu. Notaris kita a
"Assalamu'alaikum." Aku dan Irena kompak mengucap salam saat sampai di teras rumah. Kudengar mama menjawab salam kami dari dalam. Sepertinya Mama memang menginap di sini sejak kemarin. Mobilnya parkir di garasi. Mobil Mas Bian pun ada, berarti dia nggak kerja hari ini. Mungkin cuti. Aku tak tahu sebab sejak tiga ke rumah ibu, tak ada satu pun pesan darinya atau sekadar menanyakan kabar Irena. Sebegitu mudahnya dia melupakan kami, saat sudah menemukan cinta sejatinya yang pernah hilang. Aku yang biasanya selalu menanyakan keadaannya, kabarnya dan kegiatannya pun sengaja diam saja. Menekan hatiku kuat-kuat agar tak mengiriminya pesan dan berhasil. Mungkin Mas Bian cukup kaget, seorang Dania yang biasanya bisa puluhan kali mengirimi suaminya pesan dalam sehari hanya untuk tanya kabar dan keadaannya, kini bisa dengan mudah menyetop semuanya. Menekan rasa perhatian dan kekhawatirannya sejak kulihat dengan mata kepalaku sendiri betapa bahagianya dia bertemu Irena.Berulang kali menenangk