Share

BAB 7

Bias senja masuk melewati celah jendela. Aku masih sibuk di sini. Membaca novel tentang kesabaran seorang istri menunggu suaminya koma berbulan-bulan lamanya. Koma. Antara ada dan tiada.

Air mataku menetes lagi, tiap membaca untaian kata di dalamnya. Terasa menyesakkan, seperti yang kini kurasakan. Berusaha menyelami hati Mas Bian, tapi akhirnya aku kembali terjatuh dan sakit.

Lembar demi lembar diary itu sudah kubaca hingga tak ada sisa beberapa hari yang lalu. Namun bayang perempuan itu terus menerorku. Seolah sedang meledek dengan senyum termanisnya.

"Hei, Dania. Kau mungkin berhasil memiliki raganya, tapi sampai kapanpun kau tak akan pernah berhasil memiliki hatinya. Dia tetap milikku sampai kapanpun. Sebab akulah cinta pertamanya, akulah masa depannya, akulah pelita hidupnya, meski kini kamulah ratu di dunia nyatanya."

Gegas kututup novel yang kubaca untuk mencari mama. Tadi mama pamit menemani Irena ke mini market terdekat untuk membeli es krim. Sementara Mas Bian sudah berangkat kerja sejak dua jam yang lalu. Dia bekerja di sebuah kantor pemasaran, tiga puluh menitan dari rumah.

Suara Irena terdengar di garasi. Sepertinya mama dan Iren sudah pulang. Langkah kaki kecil itupun mulai mendekat. Aku keluar kamar dan menyambut bentangan kedua tangannya dengan hangat.

Gadis kecil yang cantik. Dia cukup mendapatkan cinta dan perhatian papanya, mungkinkah harus kurusak dengan keegoisanku saja? Aku yang tak terima dengan segala sandiwara papanya?

"Nia, kamu kenapa? Apa ada masalah dengan Bian?" Tiba-tiba mama menatapku penuh curiga.

"Iya, Ma," jawabku singkat. Kuajak Irena ke kamar bermainnya dan dia pun sudah mulai asyik dengan beberapa boneka kesayangannya. Mama mengajakku duduk di sofa kamar bermain Irena sembari menatap jendela.

"Bicaralah, Nia. Ada masalah apa? Sejak empat tahun menikah, mama belum pernah melihat kalian bermasalah. Itu membuat mama sangat bersyukur dan bahagia," ucap mama sembari mengusap punggung tanganku. Aku tersenyum tipis menatapnya. Ada cinta dan kasih sayang dalam binar matanya. Aku sangat bersyukur memiliki mama.

Kuhembuskan napas panjang lalu meletakkan tangan kananku di atas tangan mama. Menatap manik matanya dari jarak cukup dekat. Sengaja ingin bicara dari hati ke hati, semoga saja tak ada dusta yang sengaja ditutupi lagi.

"Kenapa mama tak cerita, jika Mas Bian pernah mencintai gadis lain?" Mama tersentak. Spontan melepaskan tumpukan tanganku lalu sedikit mundur ke sofa.

"Maksud kamu apa, Nia?" Mama masih mencoba menurunkan kadar keterkejutannya. Mungkin agar aku tak terlalu curiga. Sayangnya, aku sudah mengetahui semuanya.

"Irena Prameswari Abdullah. Aku tak menyangka jika Mas Bian sengaja menyematkan nama perempuan itu untuk anakku. Kupikir, itu nama spesial darinya yang sudah diinginkannya sejak lama. Tak ada curiga sedikitpun kuiyakan saja saat dia menyebut nama itu untuk anaknya. Bahkan saat mama memintaku untuk mengganti nama itu pun, kuindahkan begitu saja. Ternyata, semua terlalu menyesakkan dada, Ma."

Aku tergugu di tempatku, sementara mama langsung memelukku. Dua perempuan beda usia yang kini menangis bersama. Berulang kali mama mengucapkan maaf, berkali-kali pula mama mengaku sangat bersalah padaku. Namun semua tak bisa membalikkan keadaan bukan?

Andai aku tahu tentang Irena sebelum aku menikah dengan Mas Bian, tentu rasanya tak sesakit ini. Aku pasti juga akan berpikir puluhan kali lagi untuk menyetujui perjodohan ini. Meski almarhum bapak begitu memohon untuk menerima lamarannya.

"Maafkan Bian, Nia. Dia memang bersalah, tapi bukankah selama ini dia tak pernah melukai hatimu? Dia bertanggungjawab lahir batinmu, kan?" Mama meneliti wajahku. Mencari ekspresi dukaku di sana.

"Nggak, Ma. Mas Bian bahkan nyaris sempurna di mataku. Sebab itulah aku sangat hancur sekarang. Laki-laki yang begitu sempurna tanpa cela ternyata sudah membohongiku sedemikian rupa. Rasanya ingin pingsan dan kembali di titik semula, saat aku belum tahu masa lalunya. Namun sayangnya itu tak mungkin terjadi, kan, Ma? Kecuali aku amnesia," sambungku lagi.

Sesak ini mulai menjalar. Aku bahkan tak bisa bernapas sesempurna biasanya. Sakit sekali dada ini. Tak bisa kuungkapkan lewat kata-kata bagaimana perihnya.

"Mama tahu perasaanmu. Mama juga pernah merasakan sakit itu, saat Bian bersikeras melamar Irena waktu itu. Padahal jelas, orang tua Irena tak pernah setuju. Mama tahu Bian sering dihina dan direndahkan oleh mereka, hanya karena kehidupan kami yang tak standart dengannya. Mereka bilang Bian tak mungkin bisa membuat Irena bahagia, sebab saat itu Bian masih kuliah semester akhir dan belum tetap bekerja. Sementara Irena sudah terlalu banyak yang ingin melamarnya. Mama hanya ingin menyelamatkan Bian saja. Bukan untuk melukai hatinya. Mama tak pernah menyangka jika semuanya jauh lebih buruk yang mama kira. Maafkan mama, Nia. Karena mama akhirnya kamu ikut terluka."

Mama menghela napas lalu kembali mengusap punggung tanganku.

"Bukan maksud mama untuk membohongimu, Nia. Hanya saja, mama ingin melihatmu bahagia tanpa harus terbelenggu dengan masa lalu suamimu," sambung mama lagi.

Aku mengangguk pelan, mencoba memahami apa yang mama rasakan. Entah siapa yang salah dalam hal ini. Aku bahkan bingung untuk mengurainya, setidaknya agar tak terlalu menyiksa hati sendiri.

Mama pamit pulang, karena ada arisan bersama teman-temannya. Kini, tinggallah aku dan Irena di rumah ini. Rumah yang disiapkan Mas Bian bahkan sebelum aku menikah dengannya. Atau, sebenarnya rumah ini dia siapkan untuk Irena? Sebagai bukti pada orang tuanya yang pernah menghina Mas Bian hanya karena kekurang mapanan?

Jika iya, betapa malunya aku selama ini yang begitu bangga karena diberi kado rumah sebesar ini saat menikah dengannya. Kado yang mama bilang hasil jerih payah Mas Bian sendiri dalam mengembangkan usaha kulinernya, meski sampai kini dia tetap tak meninggalkan pekerjaannya sebagai manager sebuah kantor periklanan.

Samar kudengar dering ponselku berbunyi. Ponsel yang kuletakkan di atas nakas kamarku. Setelah izin sebentar pada Irena, aku pun mengambil ponsel itu di sana.

Sebuah pesan dari Mas Bian masuk ke aplikasi hijauku. Tumben sekali dia kirim pesan jam segini, biasanya saat makan siang baru dia berkirim pesan.

|Nia, kamu nggak ngambek lagi, kan? Bisa minta tolong?|

Meski aku masih marah dengannya, aku tetap memiliki kewajiban untuk menjalankan perintahnya. Sebab aku tahu, dia masih menjadi imamku. Pemimpin keluarga yang wajib kupatuhi titahnya asalkan tak melanggar aturanNya.

|Minta tolong apa?| Singkat kukirimkan balasan untuknya.

|Jangan marah, ya? Minta tolong kirimkan file dari laptop di meja kerjaku. Masih terbuka sepertinya, sebab lupa kumatikan. Kirimkan saja ke emailku, ya? Itu data yang tadi pagi baru selesai kukerjakan tapi lupa kusimpan|

Tak kubalas lagi. Gegas ke ruang kerjanya dan mengirimkan apa yang Mas Bian minta. Entah mengapa mendadak aku ingin membuka aplikasi birunya di sana.

F******k lain yang tak pernah kutahu. Tak banyak pertemanan di sana. Sepertinya teman-teman yang dia kenal di dunia nyata saja, sebab komen-komen di statusnya saling bersahutan dan colek sana-sini.

Empat tahun bersama, sampai aku tak tahu jika selama ini Mas Bian memiliki dua akun yang aktif. Akun satunya yang berteman denganku dan akun ini yang tak ada namaku dalam pertemanannya.

Aku tersenyum tipis, menertawakan diriku sendiri. Bodohnya aku telat menyadari jika selama ini dia benar-benar berusaha menyimpan rahasia ini serapat mungkin. Sebuah komentar membuatku membelalakkan mata.

|Bi, aku kemarin nggak sengaja bertemu Irena. Dia kembali ke kota ini. Masih cantik seperti dulu, meski kulihat duka di kedua matanya. Apa kamu juga sudah bertemu dengannya?|

💕💕💕

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Zubaidah Yusuf
begitulah laki laki
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status