Share

Mulut pedas Erna

"Kejutan!" sorak Erna sembari bangkit berdiri.

"Hai, Sal-wa!" ucapnya sengaja mengeja mana Salwa.

"Kok kalian bengong di situ! Kaget ya ada Erna?" tanyaku membuat suasana kian memanas.

Mas Wahyu terlihat semakin gugup dan dengan cepat melangkah mendekat mendahului Salwa yang masih diam mematung ditempat.

"Astaghfirullah! Itu kenapa baju sama rok anak SD dipake, Wa? Udah lama gak beli baju ya? Atau mbak Murni lupa ukuran baju kamu?" cecar Erna dengan senyum sinisnya. Salwa semakin salah tingkah, wajahnya sudah memerah entah malu atau marah.

Salwa bergeming, Erna justru melangkah mendekatinya.

"Duh masih wangi, habis perjalanan jauh masih wangi loh, apa sih parfum kamu, Wa? Aku mau ikutan beli dong, biar nanti wangi sepanjang hari." kekeh Erna. Salwa semakin kelimpungan sementara mas Wahyu hanya menunduk di sofa single sebelah kananku.

"Kamu sehat, kan, Wa? Lama loh kita gak ketemu, yuk duduk!" Erna merangkul Salwa dan membawanya duduk di sofa single sebelah kiri yang berhadapan langsung dengan mas Wahyu dan dipisahkan meja kecil di tengah.

"Ya, Ampun! Itu kok merah-merah kenapa, Wa? Pasti ini gatal kena gigitan nyamuk ya? Gimana sih, Bang! Udah tahu perjalanan kesini tu ngelewatin hutan dan kebun kopi, kaca tu harus di tutup, biar nyamuk gak masuk! Pasti gatel banget ya, Wa? Sampe merah-merah gitu!" cerocos Erna, sambil menyunggingkan senyum liciknya melihat area dada Salwa.

"Erna!" hardik mas Wahyu, namun Erna tak menggubrisnya.

"Mbak Arini, besok jahitin baju Salwa ya! Kasihan masa baju anak SD dipake!" sindir Erna pedas, sembari menjatuhkan bobotnya di sampingku. Salwa terlihat gelisah terbukti dengan ia menggerak-gerakkan kakinya. Aku cukup hafal gerak-gerik Salwa jika ia merasa tak nyaman dengan sesuatu, ia pasti menggerak-gerakkan kakinya.

"Mas, kok sampe jam segini baru sampai?" tanyaku mengalihkan perhatian. Mas Wahyu mendongak menatapku.

"Em, itu Bund, tadi bannya pecah di perempatan simpang, jadi harus nunggu montir dari dekat terminal cukup lama." kilahnya lancar namun bola matanya terus bergerak menghindari tatapan mataku. Dan itu artinya ia sedang berbohong. 14 tahun bersama aku sudah sangat hafal bagaimana sikap mas Wahyu.

"Oh, pecah ban! Kirain pecah kepala sampe otaknya bececer kemana-mana!" sambar Erna pedas.

Siapa yang tak tahu Erna, adik iparku satu itu mulutnya pedas dan tajam, jika ia tak suka dengan sesuatu maka ia akan berubah jadi singa lapar yang siap menerkam apa saja dan siapa saja. Namun jika ia sudah sayang dengan sesuatu, ia akan menjaganya sekalipun nyawa taruhannya.

"Udah malem, istirahat yuk! Salwa pasti capek habis perjalanan jauh!" putusku sembari bangkit berdiri.

"Tante, Salwa di kamar biasa, kan?" tanyanya setelah sedari datang hanya bungkam.

"Iya, Wa! Di kamar biasanya, sama Erna!" jawabku lantas menggandeng lengan mas Wahyu menuju kamar kami. Wajah Salwa berubah pucat bagai tak mendapat aliran darah. Sedangkan pujaan hatinya tak dapat membantunya sama sekali.

Sekilas aku melirik Erna yang juga berjalan menuju kamar, mau tak mau Salwa mengikuti dengan menyeret koper miliknya, dari pada tidur diluar, kan?

Rumah ini terbilang luas dan besar, meski hanya satu lantai. Ada empat kamar yang tiga kamar berukuran 3x3 dan kamar utama yang aku tempati sedikit besar berukuran 4x4 dengan kamar mandi di dalam.

Satu kamar madi berada di tengah antara kamar paling depan yang ditempati Erna juga Salwa dengan kamar yang di tempati anak-anakku bersama neneknya. Sementara satu kamar lagi berada di seberang kamarku yang sengaja aku jadikan gudang penyimpanan bahan makanan dan perabot yang jarang terpakai.

Aku segera naik ke kasur, merebahkan tubuhku yang benar-benar lelah. Menarik selimut hingga sebatas dagu, mencoba memejamkan mata meski pikiran berjalan-jalan entah kemana.

"Kapan Erna datang, Bund?" tanya mas Wahyu memecah keheningan.

"Tadi sebelum azan Maghrib sampai!" jawabku sedatar mungkin.

"Bunda kok gak bilang kalau Erna mau datang!"

"Aku juga gak tahu, Mas! Erna gak kabarin dulu kalau mau datang!" bohongku.

"Naik apa dia?" 

"Diantar, Irwan soalnya sama Ibuk!"

"HAH! Sama Ibuk?" kagetnya dengan mata melebar.

"Iya, kenapa? Kayak gak seneng gitu Ibuk datang?" selidikku dengan mata memicing. Mas Wahyu terlihat gugup dengan pertanyaanku.

"Em, enggak, Bun! Cuma heran aja, gak biasanya mereka datang gak kabarin dulu!" jawabnya gugup.

"Ya, iyalah gak kabarin kamu, Mas! Kalau kabarin kamu namanya bukan surprise lagi buatmu sama gundikmu itu! Yang ada nanti kau sembunyikan pula tu jalang kecil!" batinku.

Aku tak membalas ucapannya dan mencoba memejamkan mata kembali. kasur bergoyang, pertanda mas Wahyu menyusulku merebahkan dirinya. Wajahnya nampak lelah dengan mata menerawang menatap langit-langit kamar. Mungkin sedang berpikir bagaimana cara menyelamatkan gundiknya itu yang terancam dengan kehadiran Erna dan Ibuk.

"Matiin lampunya dulu, Mas!" perintahku tanpa membuka mata. Ia segera bangkit kembali dan mematikan lampu kamar. Hingga tinggal temaram dari lampu tidur yang menempel di dinding.

Air mata kembali tumpah tanpa bisa di cegah. Aku mencoba memejamkan mata dengan air yang terus mengalir dari setiap sudutnya. Menyembunyikan luka dibalik selimut, hingga tangan kekarnya melingkar di perutku. Jika dulu aku sangat bahagia dengan perlakuannya sekarang justru jijik sebab tangan ini tak hanya merengkuh tubuhku namun juga telah merengkuh tubuh wanita lain.

Dengkuran halus terdengar dari mulut mas Wahyu, ia sudah terlelap ke alam mimpinya sementara aku masih berkelana dengan luka yang semakin menganga. Aku bangkit dari tidurku, menyibak selimut dan melangkah menuju kamar mandi. Aku melihat jam dan waktu baru menunjukkan pukul satu dini hari. 

Kuputuskan menggelar sajadah dan menegakkan shalat malamku. Aku adukan segala lara pada Rabbku, dalam tangis tanpa suara. Sungguh aku hanyalah manusia biasa, hati ini bukanlah karang yang biasa diterpa ombak lautan.

"Ya Allah, ya Rabb! Jika Engkau berkenan memberiku ujian sebesar ini, maka aku yakin Engkau telah mempercayaiku untuk mampu melewatinya. Pintaku bukan untuk Kau akhiri ujian ini, namun kuatkan hati dan imanku untuk dapat menyelesaikan ujian ini dengan tetap bersandar padaMu!" kulangitkan doa tulus memohon kekuatan pada sang Maha Kasih dengan air mata mengalir deras. 

Cukup lama aku larut dalam sujud panjangku hingga hati ini merasa damai. Aku putuskan untuk mengakhiri dan melipat kembali sajadahku dan kembali merebahkan diriku. Perasaan tenang hingga mata terpejam dengan sendirinya.

"Mbak, Arini! Bangun, Mbak!" samar kudengar suara Erna memanggil dengan dibarengi gedoran pintu kamar yang cukup keras. Aku mengerjap, mengumpulkan serpihan kesadaran hingga menyatu.

Mengucek mata sebentar dan melirik jam di atas meja. Pukul lima lewat dua puluh menit, astghfirullah aku kesiangan.

"Mbak! Bangun!" suara Erna kembali terdengar.

"Ya, Na!" jawabku sembari membuka pintu.

"Shalat subuh dulu, Mbak! Kami tungguin buat jamaah, gak keluar-keluar!" ucapnya mengingatkan. Aku hanya garuk-garuk kepala yang tak gatal.

Gegas aku membangunkan mas Wahyu untuk melaksanakan shalat, namun ia tak merespon, mungkin ia sangat kelelahan hingga sulit sekali di bangunkan.

πŸ’πŸ’πŸ’

"Kamu beneran, Wa, mau kuliah di universitas A itu?" tanyaku pada Salwa saat kami tengah sarapan.

"Iya, Tante!"

"Kenapa? Maksudku, kenapa justru milih di universitas itu? Padahal kamu cerdas dan uang Mama kamu juga gak akan berkurang dengan kamu kuliah di kota besar. Banyak loh anak-anak yang bermimpi kuliah di kota besar, ya setidaknya yang terakreditasi A gitu! Lah kamu, dari kota justru milih kuliah di kampus yang hanya terakreditasi B saja! Apa gak sayang?" ocehku panjang.

"Pergaulannya, Tante yang jadi pertimbangan! Lagian otakku gak sampai kalau kuliah di kampus favorit." jawabnya sembari mengoles selai pada roti.

"Jelas otak kamu gak sampai! Wong kamu udah gak punya otak!" sambar Erna santai yang membuat mas Wahyu tersedak, sementara Salwa mberengut kesal.

"Na!" tegurku pura-pura.

"Oy, ntar aku bagi otakku dikit sama kamu biar bisa mikir jernih!" lanjut Erna lagi, sembari beranjak meninggalkan meja makan. Beruntung anak-anakku sudah berangkat sekolah pagi-pagi sehingga tak perlu mendengar pembicaraan yang unfaedah ini.

Mas Wahyu diam tak berkutik di hadapan Erna. Jelas dia takut sebab sudah hafal betul watak adik satu-satunya itu, jika ia melawan bisa patah rahangnya. 

"Oy Mbak, aku mau tidur dulu ya! Ngantuk nih semalam begadang! Ronda, takut ada maling!" ucapnya lagi sembari melangkah menuju kamar.

Aku dan ibu saling bertatapan, ibuk tersenyum sekilas dan mengedipkan matanya sebagai kode aku tak boleh khawatir sebab ada ibuk yang akan mengacaukan rencana dua pengkhianat itu.

"Oh iya, Buk! Hari ini Arini masih buka kios, masih ada beberapa jahitan yang harus Arini selesaikan. Ibuk, Arini tinggal gak papa ya? Paling cuma sampai Zuhur!" ucapku menatap ibu dan beliau tersenyum. Sekilas aku melihat Salwa dan mas Wahyu tersenyum samar, mungkin mereka pikir bakal bisa enak-enak setelah aku berkutat dengan mesin jahit. Oh, tidak semudah itu markonah! Ada ibu mertua yang mantan anggota mata-mata polisi kompleks.

"Iya, gak papa, Nduk! Ibu juga ada yang mau dikerjakan." jawabnya, aku tahu apa yang akan ibu kerjakan, apalagi jika bukan mengerjai anak sulungnya beserta si gundik kecentilan itu.

Aku mengangguk seraya tersenyum lebar, biarlah mas Wahyu mendapat pelajaran berharga dari ibu kandungnya sendiri lebih dulu, supaya lebih berkesan dan tak terlupakan. 

"Oh iya, Mas! Nanti tolong jemput anak-anak ya! Kalau hari Rabu si Adek pulangnya agak siang, jam satu baru keluar soalnya ikut kelas hafids tambahan."

"Iya, Bund! Nanti biar Ayah yang jemput!" Jawabnya sembari tersenyum, rasanya pengen sekali tangan ini menampar mulutnya yang penuh dusta itu jika tak ingat akan kedua anak sholehku.

Aku gegas menuju kios sebab karyawanku sudah datang. Namun saat, hendak membuka pintu penghubung netraku menangkap ibu memberikan baju daster untuk dipake Salwa.

"Nih, pake! Selama saya ada disini kamu harus berpakaian yang bener! Risih mata saya lihat bokongmu yang sudah ternoda itu!" Salwa menerima daster itu dengan raut wajah kesal.

"Jangan umbar tubuh murahanmu itu di depan kedua cucu sholehku! Dan kau Wahyu, masih jelalatan ku congkel sendiri matamu!" ancam ibuk, membuatku semakin semangat menjalani hari ini.

"Selamat menikmati enak-enaknya, Salwa!" batinku girang. Gegas menuju kios dengan hati riang gembira. Para pengkhianat sudah berada di tangan yang tepat.

🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status