Share

Awal pembalasan

"Salwa!!Bikinin kopi dong!" terdengar suara Erna cukup jelas dari pintu penghubung yang berada di samping dapur.

Aku yang baru saja melangkah masuk kedalam rumah cukup terkejut mendapati pemandangan indah di depan sana.

Salwa dengan daster lusuh panjang hingga bawah lutut tengah memegang alat pel dengan keringat yang mengucur membasahi dahinya. Rambut panjang yang biasa tergerai indah itupun kini ia ikat asal dan terlihat semrawut.

Ia melangkah menuju dapur dengan raut wajah kesal. Ia berjalan mendekat dimana posisiku berada. Aku segera melangkah seolah baru saja masuk kedalam rumah. Saat Salwa bertemu denganku di dekat pintu masuk dapur, ia menatapku dengan mata berkaca-kaca seolah meminta pertolongan.

Aku mengulum senyum tertahan melihat penampilannya, memperihatinkan.

"Tante," lirihnya dengan bendungan di kedua netranya yang siap meluncur.

"Kamu kenapa, Wa?" tanyaku pura-pura.

"Salwa capek, Tante! Mbak Erna nyuruh ini itu gak ada habisnya!" adunya dengan air mata mengalir.

Dia pikir aku akan iba, oh tidak salwa! Kalau dulu kamu di rumah ini bagai tuan putri, sekarang tak ubahnya seorang babu. Itu karena ulahmu sendiri, Salwa.

"Emang disuruh apa sama Erna?"

"Bersih-bersih, nyuci piring, nyapu pel, eh masih disuruh bikin kopi! Salwa capek, Tante!" gerutunya.

"Wah, bagus itu, Wa! Anggap saja latihan buatmu, Wa. Kalau nanti kamu menikah pekerjaan ini gak seberapa, kan?" jawabku sambil bersedakap tangan. Salwa menatapku tak percaya.

Biasanya aku tak memperbolehkannya memegang sapu, ataupun sekedar mencuci piring bekas makannya sendiri. Mungkin dia syock dengan jawabanku tadi.

"Tapi, Tan-"

"Tadi Erna minta kopi, kan? udah bikinin sana! Sekalian buat Tante ya, Wa!" aku gegas menghampiri Erna yang tengah sibuk dengan ponselnya di sofa. Mengabaikan raut wajah kesal Salwa yang masih diam mematung di tempatnya.

Aku tersenyum samar dan segera menjatuhkan bobotku di samping Erna.

"Kios udah tutup, Mbak?"

"Udah, untuk tiga hari kedepan! Mbak pengen memghabiskan waktu sama kamu sama Ibuk!" jawabku sekenanya.

"Bukan kali, Mbak! Yang bener mbak Arini mau lihat aku sama Ibuk kasih pelajaran buat dua pengkhianat itu!" sambarnya di barengi gelak tawa. Akupun ikut tertawa bersamanya, karena memang benar apa yang diucapkannya.

"Tau aja kamu! Eh, Ibuk kemana?" tanyaku sembari mencari keberadaan ibu mertua.

"Ibuk lagi jemput kedua cucu sholehnya!"

"HAH?"

"Tenang, Ibuk kan punya sopir pribadi!"

"Jadi, naik mobil?"

"Ya, iyalah! Gak sedetikpun bang Wahyu punya kesempatan jauh dari Ibuk. Kebayang kan gimana keselnya tu ulat nangka? Mana hp bang Wahyu aku sita!" Erna tergelak sembari memperlihatkan ponsel mas Wahyu padaku.

Sungguh, aku tak menyangka Erna bisa berpikir sampai sejauh itu. Bahkan mungkin dia dan ibuk sudah merencanakan sesuatu, entahlah. Yang jelas aku sangat berterimakasih pada keduanya.

"Aku tahu, mbak Arini gak akan tega sama bang Wahyu apalagi sama ular beludak itu. Jadi biar aku sama Ibuk yang kasih pelajaran!" ucapnya setelah sesaat kami terdiam.

"Semua bukti percakapan mereka sudah aku amankan, termasuk foto dan video asusila mereka. Tinggal tunggu waktu yang tepat untuk membongkar semua di hadapan mbak Murni. Mbak Arini persiapkan hati dan mental yang kuat, jika pun bang Wahyu lebih memilih ulet bulu itu nanti." Erna menatap dalam manik mataku yang berkabut seketika.

Benar, aku harus terima semua keputusan mas Wahyu nanti. Kalaupun dia memilih Salwa aku akan berusaha ikhlas. Aku tersenyum getir membayangkan saat itu tiba. Tidak ada angin, tidak ada badai namun rumah tangga yang sudah berlayar kini berada di ujung tanduk. Tinggal menunggu detik-detik karamnya saja.

Usapan lembut di bahuku kembali membuatku harus tersenyum meski luka itu kian menganga.

"Sebelum semua itu terjadi, akan kita beri mereka pelajaran supaya kejadian seperti ini tidak terulang kembali. Biar bagaimanapun, bang Wahyu tetaplah kakakku dan Salwa adalah keponakan mbak Arini sendiri. Luka yang mereka torehkan tentu akan dirasakan oleh seluruh keluarga besar."

Aku mengangguk paham arah ucapan Erna. Aku tersenyum, sebagai bukti bahwa aku mampu melewati ini semua.

"Mbak Arini siap dengan pelajaran berikutnya?" Erna memainkan kedua alisnya yang membuatku tertawa geli.

"Salwa! Bisa bikin kopi gak sih? Lama banget!" teriak Erna memekakkan telinga.

"Salwa!"

Salwa tergopoh-gopoh datang dengan nampan berisi dua cangkir kopi pesanan kami.

"Bikin kopi aja gak becus kamu!Eh, tapi kamu lebih cocok jadi babu loh, Wa, daripada jadi mahasiswa." Salwa merengut semakin kesal namun tak berani berucap sepatah katapun

Memanglah untuk urusan nyiyir Erna jagonya. Erna meraih cangkir kopi dan menyeruputnya.

Pyuuh,

Erna menyemburkan kopi yang baru saja sampai mulutnya itu ke wajah Salwa yang tidak sempat menghindar. Salwa mematap tajam Erna yang tengah membersihkan mulutnya.

"Apaan nih? Kopi kok kek gini! Airnya kamu ambil dari mana sih, Wa? kopinya gak bisa larut gini!" sembur Erna memancing amarah Salwa lagi.

"Dari dispenser, Mbak!" Jawab Salwa menahan kesal sembari mengusap wajahnya yang terkena semburan kopi dari mulut Erna.

"Dasar b*go! Bikin kopi itu airnya direbus dulu, b*d*h!" omel Erna pedas.

Aku meraih cangkir kopi milikku dan menyesapnya.

Wuueeekk,

"Kok gini rasanya, Wa?" aku memuntahkan kopi yang rasanya entahlah, manis enggak pahit dan ada asin-asinnya.

Air mata buayanya meleleh begitu saja sambil mematapku. Dia pikir aku akan terenyuh, oh tidak tuan putri. Arini yang sekarang bukan lagi Arini yang sebulan lalu masih baik padamu.

"Kamu bisa bedain gula sama garam gak sih, Wa! Masa hal gini aja kamu gak tahu!" ucapku kesal dengan menaikkan volume suaraku.

Aku menghempaskan cangkir kopi kelantai hingga membuatnya berjingkat kaget. Segera bangkit dari dudukku dan melangkah meninggalkan mereka berdua menuju kamar.

Sebelum membuka pintu kamar sempat aku menoleh pada Erna yang sudah berkacak pinggang di hadapan Salwa yang menunduk. Salwa sudah persis seperti babu yang kena omel majikannya.

"Bikin kopi saja gak becus! Apa keahlianmu cuma bikin rumah tangga orang berantakan, HAH!" bentak Erna. Salwa mengangkat wajahnya, mungkin dia takut jika aku mendengarnya. Padahal memang aku mendengarnya meski di balik pintu kamar yang tak tertutup sempurna.

"Bersihkan!" teriak Erna lagi.

Usai aku menenangkan diri sejenak. Aku kembali keluar kamar dan mendapati Salwa masih membersihkan beling bekas cangkir yang aku hempaskan tadi.

Melewatinya begitu saja tanpa berniat menyapa, dengan sengaja aku injakkan kaki tepat di depan wajahnya yang tengah menunduk memunguti beling, berjalan menuju kamar yang ditempati Erna. Salwa menatapku tak percaya.

"Rasain!" Gumam Erna sembari mengintip di celah pintu yang sedikit terbuka.

Aku ikut membungkukkan tubuhku di belakang tubuh Erna, melihat Salwa merogoh saku dan mengeluarkan ponsel sembari sesenggukan.

"Dia pasti mau ngadu sama bang Wahyu!" tebak Erna. Dan benar saja, ponsel bang Wahyu berkedip dalam genggaman Erna, karena memang dimode silent.

"Mau ngadu sama kekasihmu!" jawab Erna sembari berdiri di depan pintu dan satu tangannya nangkring di pinggang. Salwa gelagapan mendengar suara Erna di ponsel kekasihnya. Segera ia menatap Erna yang berdiri tak jauh darinya.

Dengan wajah memerah menahan amarah, Salwa gegas menyelesaikan perintah Erna.

Aku menjatuhkan bobot di kasur Erna. Erna kembali masuk kedalam kamar dan tertawa cekikikan.

"Jadi yang tidur di kasur siapa, Na?"

"Ya, akulah! Tuh ulet nangka tidur di bawah, gelar kasur lantai! Ya, kali aku tidur dempetan sama ulet bulu, ketularan gatel ntar! Ih, amit-amit deh!" jawabnya berdidig sedangkan aku hanya tertawa saja.

"Na, setiap lihat wajah mereka berdua kok tangan Mbak gatel ya, pengen gitu rasanya cakar-cakar tu muka mereka!" ujarku geram.

"Boleh banget itu, Mbak! Sekali-kali emang mbak Arini perlu pelampiasan! Hajar aja manusia modelan mereka itu! Tapi tunggu beberapa hari lagi, persiapkan tenaga buat hajar para pengkhianat itu!" balas Erna berapi-api.

"Emang boleh gitu, Na?"

"Ya, boleh dong! Sesekali bersikap bar-bar itu gak papa, Mbak! Tunjukkan sama mereka kalau mbak Arini bukan wanita lemah yang bisa mereka injak-injak seenak jidat mereka."

"Kalau gitu, Mbak harus latihan dulu nih!" kelakarku.

"Kalau perlu kirim mereka ke UGD, biar tahu rasa mereka!" kompornya.

Aku dan Erna terbahak bersama. Rupanya benar adik iparku ini korsletnya udah parah.

Tawa kami harus berakhir sebab terdengar deru mobil memasuki halaman. Siapa lagi jika bukan suami dan anak-anakku, berikut ibu mertuaku.

"Assalamualaikum. ."

"Walaaikumsalam!" jawab kami serentak sembari berjalan keluar dari kamar.

Begitu keluar kamar sudah tak kudapati Salwa di tempat tadi. Anak-anak mencium tanganku takzim dan berlalu ke kamar untuk berganti pakaian. Namun tak kudapati ibuk dan mas Wahyu.

Langkah kakiku terayun menuju teras. Rupanya benar, ibuk tak membiarkan mas Wahyu sendirian. Beliau terus memantau gerak-gerik anak sulungnya itu.

"Buk, kok gak masuk?" tanyaku basa-basi.

"Lagi nunggu anak durhaka itu, tu!" jawabnya asal sembari duduk di kursi teras.

Aku mengikutinya duduk disebelah beliau, terlihat dari sini mas Wahyu seperti kelimpungan mencari sesuatu.

"Mas Wahyu nyari apa, Buk?"

"Gak tahu, sedari tadi gelisah terus. Mungkin kepikiran sama gundiknya itu!" jawab ibuk setengah berbisik.

"Heh, Wahyu! Mau sampai kapan kamu di dalam situ? Atau mau Ibuk kirim semua bajumu sekalian?" teriak ibu lantang, membuat mas Wahyu gegas turun dari mobil.

"Nyari apa sih, Mas?" tanyaku datar.

"Em, itu-, nyari dompet Ayah! Kok gak ada ya?" elaknya. Aku melengos dan segera masuk kedalam. Tak mau berlama-lama menatap wajahnya, yang ada nanti aku simpati lagi dengan raut palsunya itu.

"Gak usah banyak alasan hanya untuk menemui wanita jalang itu, atau ku bongkar semua di hadapan Arini!" ancam ibu yang masih terdengar di telingaku.

"Jangan, Buk! Aku janji akan mengkhiri semuanya dengan Salwa. Aku gak mau Arini tahu semuanya, Buk!" mohonnya pada Ibuk.

Aku segera masuk kedalam dan menuju meja makan untuk menyiapkan makan siang.

πŸ’πŸ’πŸ’

Usai makan siang, kedua anakku pamit untuk tidur siang. Sudah menjadi kebiasaan mereka selalu tidur siang setidaknya satu jam setiap harinya.

"Wahyu, sampai kapan kamu gak narik?" tanya ibu usai menyelesaikan makan siangnya.

"Mungkin dua hari, Buk! Kenapa?"

"Mulai sekarang kamu gak perlu narik lagi. Lebih baik buka usaha atau bantu Arini di kios!" Jawaban ibuk membuat mas wahyu tersedak.

"Dan kamu, Salwa. Kapan pergi dari rumah ini!" hardik ibuk tegas.

Salwa dan mas Wahyu saling melempar pandangan. Mungkin Salwa berpikir mas Wahyu akan membujuk ibunya untuk mengijinkan dia tetap tinggal disini. Namun kenyataannya, tak sepatah katapun keluar dari mulutnya.

"Rencananya Arini akan mencarikan kontrakan yang dekat dengan kampus Salwa, Buk. Sesuai dengan permintaan mbak Murni kemarin." ujarku mengurai ketegangan.

"Gak usahlah, Mbak! Lagian belum tentu juga itu Salwa beneran kuliah di situ!" Sambar Erna santai namun sukses membuat Salwa mendelik tajam ke arahnya.

"Bilang saja sama mbak Murni, suruh jemput kesini saja suruh bawa pulang!" lanjutnya.

"Mbak Erna ini kenapa sih? Ada masalah apa sama aku!" Entah keberanian dari mana hingga Salwa berani bersuara lantang.

Mas Wahyu berubah pias, mungkin dia takut rahasianya terbongkar sekarang.

"Kenapa? Tersinggung? Kalau bener kuliah ya gak usah ngegas gitu kali!" balas Erna tak kalah sengit.

"Lagian nih ya, yang otaknya waras pasti mikir. Gak mungkin orang dari kota justru milih kuliah di kampus yang di pinggiran, kecuali ada maksud terselubung!"

"Erna!" sentak mas Wahyu.

"Kalian ini ada masalah apa sih sebenarnya?" sambarku menengahi perdebatan ini. Aku tatap tajam mata mas Wahyu yang salah tingkah.

Hening untuk sesaat hingga akhirnya mas Wahyu bersuara.

"Nanti biar Ayah yang carikan kontrakan buat Salwa, Bund!" ujarnya pelan.

Kami semua terdiam, sudah muak rasanya menghadapi sandiwara mereka.

Waktu terus berlalu, usai makan siang ibuk melarangku membereskan meja makan. Aku menurut dan masuk kedalam kamar, merebahkan diri mengatur degub jantung yang kian berpacu. Tak lama mas Wahyu menyusulku ke kamar.

"Bund!" panggilnya seraya duduk si tepian ranjang persis di bawah kakiku. Aku enggan menanggapi dan memilih bermain ponsel.

"Bunda, marah?" Aku menghe nafas besar dan menatapnya tajam.

"Apa yang Ayah sembunyikan?" tembakku membuatnya gugup.

"Ti-tidak ada, Bund!"

"Lantas, kenapa Ayah terlihat tak suka ada Erna dan Ibuk di sini?" tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku dari wajahnya.

"Bukan begitu, Bund. Hanya, Erna salah paham saja. Dia menyangka Ayah ada hubungan dengan Salwa." ceplosnya.

Aku akui mas Wahyu memang pandai merangkai kata namun sayangnya matanya tak pandai berbohong.

"Memangnya apa yang sudah kalian lakukan hingga Erna bisa salah paham?" skakmat! Mas Wahyu gelagapan dengan pertanyaanku. Matanya terus bergerak menghindari tatapanku.

Tanpa aku bersusah payah, dia membongkarnya sendiri.

"Em, itu. Ayah hanya bilang kalau akan mencarikan Salwa kontrakan gitu. Iya, itu saja kok!"

"Oke, anggaplah aku percaya padamu."

"Kok gitu?"

"Pergilah, carikan kotrakannya segera!"

Tanpa kata mas Wahyu melangkah kembali keluar dari kamar. Dia pikir aku akan memberinya kesempatan pergi berdua dengan gundiknya itu, ah tidak suamiku.

Aku mengintip dari jendela kamar yang menghadap langsung ke halaman depan. Terlihat mas Wahyu tengah tersenyum menuju mobil dengan Salwa yang bersiap membuka pintu depan samping kemudi. Namun tiba-tiba Erna masuk dan segera duduk di samping kemudi setelah Salwa membuka pintunya.

"Oh, terimakasih Salwa!" ujar Erna membuat Salwa merengut seketika. Menutup pintu dengan keras dan beralih ke bangku belakang dengan raut wajah kesal.

Ya, ada Erna yang akan menguntit mereka kemanapun mereka pergi. Aku tersenyum senang. Lagi, rencana mereka untuk berduaan gagal sudah.

🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status