Share

8. Misi Baru

Selagi Dara asyik menonton drama kesukaannya, aku menyelinap naik ke lantai atas menemui Kak Rian. Aku mengetuk pelan pintu kamarnya dan dari dalam terdengar suara yang menyuruhku masuk.

 

"Hai, Kak Rian...," sapaku dengan senyum manis terpampang di wajah.

 

"Sini, Frel," ujar Kak Rian sembari tersenyum.

 

Aku menatap Kak Rian yang sedang serius membaca beberapa tumpukan berkas di meja kerjanya. Aku mencoba mendekat. "Sibuk, ya, Kak?"

 

"Hmm, lumayan. Ada apa, Frel?" tanya Kak Rian balik setelah melihatku sekilas.

 

Kak Rian kembali menghadap tumpukan berkas itu, sesekali menandatangani beberapa lembar kertas. Dahiku berkerut ketika melihat Kak Rian yang baru pulang kerja tapi sudah bergelut lagi dengan pekerjaannya.

 

Harusnya masih ada dua jam lagi kan, sebelum waktu pulang Kak Rian dari kantor? Apa karena permintaan gue tadi, ya?

 

Aku berusaha menepis semua pemikiranku, kemudian berjalan dan duduk di ranjang dekat meja kerja Kak Rian.

 

"Ya, nggak ada apa-apa, Kak. Masa harus ada apa-apa dulu baru boleh ngomong sama Kak Rian," ucapku sebal sambil meraih sebuah guling di ranjang, lalu kupeluk erat.

 

Kak Rian tersenyum geli lalu menyeret kursi yang tadi ia duduki dan meletakkan di depanku. Ia duduk menatapku dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya.

 

"Kalo nggak ada apa-apa, terus ngapain tadi kalian berantem segalaaa...," ujar Kak Rian seraya menarik kedua pipiku gemas, membuatku meringis kesakitan.

 

"Kalo soal itu sih, emm ... tapi sebelum gue cerita, gue mau minta maaf sama Kak Rian." Kulihat Kak Rian mengangkat sebelah alisnya meminta penjelasan. "Emm, i-itu ... ehm."

 

Aku mendadak gugup. Kuingat-ingat, ini kali kedua aku dikuasai rasa bersalah luar biasa pada Kak Rian. Dulu, waktu Kak Rian heboh mencari ikan kesayangannya hilang di akuarium, akulah dalang yang sengaja mengambil ikannya lantas kuserahkan ke kucing saat aku temukan tanpa sengaja di tengah jalan, yang hampir tewas dilindas truk.

 

"Kak, maaf, ya. Gara-gara gue, Kak Rian harus pulang kantor lebih awal. Padahal maksud gue di W******p tadi itu beli martabaknya saat pulang kerja aja, nggak mesti buru-buru kayak gini," ucapku penuh penyesalan.

 

"Jadi karena itu?"

 

Aku menunduk lalu mengangguk pelan.

Kak Rian seketika tergelak. "Gue kirain apaan. Lo, Frel, nggak usah berlagak sok melankolis di depan gue. Tampang lo itu nggak cocok. Sama kayak Dara. Kalian itu pantesnya cekakak-cekikik kayak ABG labil di luar sono, noh."

 

Aku memasang muka cemberut. "Kok ABG labil sih, kak?"

 

"Lo nggak nyadar? Kalian itu tiap ketemu kerjaannya selalu gosipin cowok cakep sama nyari misi buat nembak. Nah, kalo bukan ABG labil, terus apa?" terang Kak Rian, lantas menyentil dahiku yang langsung kuusap-usap dengan kesalnya.

 

"Huh, emang yang biasa ngasih opsi nembak cowok, itu siapa coba," gerutuku tak terima dan dibalas dengan tawa yang lebih membahana lagi.

 

Kak Rian kalau nggak ada kerjaan, biasanya sering ikut nimbrung. Nggak jarang ia malah kasih solusi buat kami cara untuk menembak cowok yang hasilnya kebanyakan gagal total. Kadang aku sempat mikir, Kak Rian sepertinya memang sengaja membuat kami malu dengan ide-ide gilanya yang norak dan aneh itu, tapi lebih anehnya lagi, kami selalu melaksanakan semua perkataannya.

 

"Makanya jadi orang itu jangan banyak GR. Lagian sebelum lo kirim pesan, rencananya emang gue pengin pulang lebih awal buat melajari itu semua," ujar Kak Rian sambil nunjuk tumpukan berkas tersebut.

 

Oh, syukur, deh. Untung bukan karena aku. Akhirnya aku menceritakan semua yang terjadi di antara aku dan Dara. Tentang pertemuanku dengan Kak Kevan, tentang Dara yang naksir berat sama Kenn, bagaimana hebohnya Dara saat berkenalan dengan Kenn, tentang beberapa rencananya yang selalu gagal sebelum terlaksana, hingga adegan aku yang nggak sadar ninggalin Dara demi Kak Kevan dan berakhir Dara ngambek di sepanjang jam pelajaran.

 

Setengah jam, dua belas menit dan dua puluh detik, aku cerita panjang lebar tentang semua yang sudah terjadi belakangan ini antara aku dan Dara.

 

Sesuai yang aku duga Kak Rian terbelalak, lalu tertawa super kencang. "Bahahahahahahaha...."

 

Sialan! Bukannya prihatin malah ketawa, lagi!

 

Kak Rian pindah ke sebelahku dan berguling-guling di sana sambil memegangi perutnya. Tiba-tiba Dara datang dan mengempaskan pintu dengan kencang. Napasnya memburu, wajahnya menunjukkan amarah yang meluap-luap.

 

"DIEM LO, SETAN! GUE DENGER SEMUA!!"

 

Tawa Kak Rian semakin keras, sementara Dara maju dengan langkah lebar, menyambar bantal terdekat dan memukul kepala Kak Rian.

 

BUGH!

 

"Adaw,  sakit, woyy!"

 

"Rasain, siapa suruh lo ngetawain gue."

 

BUGH!

 

"Wadow ... sakit, Ra!"

 

Kak Rian berguling ke samping, menutup kepalanya dengan kedua tangan, sedangkan Dara tak kalah gesitnya, ia selalu bisa mengikuti pergerakan Kak Rian dan berkali-kali bantal itu tepat sasaran.

 

BUGH! BUGH!

 

"Woy, gue ini abang, lo. Gue kutuk jadi jomblo seumur hidup, mau?!"

 

"Punya nyali lo mau ngutuk gue, hah! Dasar kodok jelek!"

 

"Oke, oke, sorry. Gue nggak bakalan ngetawain lo lagi. Sekarang berhenti mukulin kakak, berasa maling aja gue," lanjut Kak Rian.

 

Dara langsung berhenti dari aksinya. "Sekali lagi lo ngetawain gue, bukan bantal lagi yang bicara, tapi ini, nih. Mau?" sahut Dara melotot sambil nunjukin kepalan tangannya ke wajah Kak Rian.

 

Kak Rian hanya mampu menggelengkan kepala dan berusaha menahan tawanya.

 

"Kalian mau nggak gue kasih tips buat nembak gebetan lo pada?" tanya Kak Rian kemudian, kali ini wajahnya tampak serius.

 

Aku mencibir. "Paling-paling idenya itu-itu aja."

 

"Kali ini beda, Frel. Ide kali ini lebih kreatif dan bakalan berhasil. Gue jamin! Gimana?" ujar Kak Rian seraya menaikturunkan kedua alisnya.

 

Kalau aku sih nggak minat, lagian stok ide untuk mendapatkan Kak Kevan masih banyak berkeliaran di kepala. Tinggal tunggu tanggal mainnya aja. Dara lain lagi, matanya langsung ijo begitu mendengar kata "ide" dan "berhasil".

 

Dan terbukti, nggak ada beberapa menit Dara sudah melompat dan memeluk Kak Rian dengan semangatnya, sampai-sampai Kak Rian hampir terjengkang ke belakang.

 

"Wow, wow, woww ...  slow aja, kali. Minat amat lo!"

 

"Ide apaan? Gue mau, gue mau," serbu Dara.

 

"Eits, tapi ada syaratnya." Kak Rian tersenyum jahil.

 

"Apaan sih, pakai acara syarat segala? Cepetan!" 

 

"Lo harus minta tolong sambil merayu kakak lo yang super ganteng ini."

 

Hahaha ... nggak nyangka, kakak adik ternyata sama-sama narsis.

 

Dara sontak melotot selebar-lebarnya. "NAJIS!"

 

"Ya, udah kalo nggak mau. Yang rugi bukan gue." Kak Rian berdiri berniat pergi, tapi tiba-tiba suara Dara menghentikannya.

 

"Oke, gue mau," sahut Dara.

 

Seketika Kak Rian berbalik dan menatap Dara dengan seringaian licik muncul di bibirnya. "Gue tunggu, jangan lupa harus ada kata kakak."

 

Dara menghela napas pasrah. "Kak Riiiaaan, kasih tau dong gimana caranya, kan kakak adalah kakak terbaik dan terganteng sedunia. Ya, ya ya...?" rayu Dara, suaranya lembut sengaja dibuat-buat.

 

Begitu melihat Kak Rian hanya diam dan berlagak mikir, Dara geram lalu kembali ke sifat aslinya. "TUNGGU APA LAGI? CEPETAAAN!"

 

Tanpa terpengaruh teriakan Dara, Kak Rian kini mengubah posisinya dengan memiringkan kepala sambil telunjuk tangan ia ketuk-ketukkan ke dagu.

 

"Masih kurang. Kata tersayang dan tercinta belum ada."

 

Bwahahahaha!

 

Mau tahu seperti apa wajah Dara sekarang? Kalian bisa bayangin wajah orang yang kena ambeien. Persis banget. Ingin rasanya aku tertawa sekeras-kerasnya. Namun aku masih punya akal sehat, daripada kena amukan Dara, mending aku cari amannya aja.

 

"Kakaaak, bagi tipsnya doong. Kan Kak Rian selain kakak terganteng, kakak juga kakak tercinta, tersayang, terpintar, termanis, dan terhebaaaat," tutur Dara dengan menekankan di tiap kata "kakak" dan menampilkan senyuman semanis mungkin.

 

Tanpa sepengetahuan Kak Rian, Dara melengos ke samping dan bergaya seakan-akan mau muntah. Aku terkikik geli melihatnya.

 

"Oke, udah cukup. Sini, gue kasih tau!"

 

Aku ikut mendekat bersama Dara. Entah mengapa perasaanku nggak enak.

 

Dan terbukti, setelah Kak Rian selesai bicara, mata kami melotot layaknya di film-film kartun begitu mendengar semua ide darinya. Ingin rasanya aku menendang bokong Kak Rian sekarang juga.

 

Aku dan Dara saling bertatapan sebentar dan seperti koor kami berteriak bareng, "APAA??"

 

...........................***.....................  

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status